Surah Al Baqarah, khususnya pada ayat 20, menyajikan salah satu perumpamaan Al-Qur'an yang paling kuat dan deskriptif mengenai kondisi spiritual dan psikologis kaum munafik (hipokrit). Setelah menggambarkan dua kelompok manusia sebelumnya—orang beriman sejati (ayat 1-5) dan orang kafir sejati (ayat 6-7)—Al-Qur'an mendedikasikan sebagian besar permulaan surah ini untuk menjelaskan kelompok ketiga yang paling berbahaya: mereka yang berada di antara cahaya dan kegelapan. Ayat 20 secara spesifik merangkum ketakutan, keraguan, dan kondisi keimanan yang putus-putus yang dialami oleh hati yang berpenyakit tersebut.
Kilatan petir yang hanya sebentar memberikan cahaya di tengah badai (Analogi kondisi munafik).
"Hampir-hampir kilat itu menyambar penglihatan mereka. Setiap kali (kilat) itu menyinari mereka, mereka berjalan di bawah sinar itu, dan apabila gelap gulita menimpa mereka, mereka berhenti. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya Dia melenyapkan pendengaran dan penglihatan mereka. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu." (QS Al Baqarah: 20)
Ayat ini merupakan kelanjutan dari perumpamaan badai yang dimulai di ayat 19. Jika ayat 19 memperkenalkan elemen badai, petir, dan guntur, ayat 20 menjelaskan interaksi antara kaum munafik dengan elemen-elemen tersebut, yang secara metaforis mewakili wahyu, perintah, dan ancaman dari Islam.
Frasa awal, يَكَادُ الْبَرْقُ (Yakaadu al-barqu), mengandung makna intensitas yang luar biasa. Kata Yakaadu (hampir-hampir/nyaris) menunjukkan bahwa peristiwa yang dijelaskan sangat dekat dengan kenyataan. Al-Barqu adalah kilat. Ini adalah cahaya yang sangat cepat dan tajam, sebuah cahaya yang bukan permanen melainkan seketika.
Kilat ini يَخْطَفُ أَبْصَارَهُمْ (yakhtafu absaarahum) – menyambar penglihatan mereka. Kata yakhtafu (menyambar/merenggut) menyiratkan kecepatan dan kekerasan. Ini bukan sekadar memudarkan pandangan, tetapi merampasnya seolah-olah dengan paksa. Dalam konteks tafsir, kilat ini mewakili kebenaran atau bukti keimanan yang begitu kuat dan mendadak sehingga hampir menghilangkan keraguan yang ada di hati mereka.
Mengapa kaum munafik merasakan ancaman terhadap penglihatan mereka dari kilat kebenaran? Karena kebenaran yang nyata akan memaksa mereka untuk mengakui bahwa jalan yang mereka pilih adalah salah. Kilat (kebenaran) itu sangat tajam; ia mengekspos kemunafikan mereka dan memaksa mereka untuk menghadapi konsekuensi keimanan sejati yang mereka coba hindari.
Bagian tengah ayat ini adalah inti dari perumpamaan kondisi munafik:
كُلَّمَا أَضَاءَ لَهُم مَّشَوْا فِيهِ (Kullamaa adhaa'a lahum mashau fihi): Setiap kali (kilat) itu menyinari mereka, mereka berjalan di bawah sinar itu.
Ini menunjukkan bahwa kaum munafik hanya bergerak dan melaksanakan ketaatan (shalat, jihad, zakat) ketika mereka melihat keuntungan atau keamanan (cahaya) di dalamnya. Cahaya ini bisa diartikan sebagai kemudahan hidup, kemenangan umat Islam, atau perlindungan dari hukuman di dunia. Selama cahaya keimanan menyala sebentar, mereka memanfaatkan momen tersebut untuk menunjukkan ketaatan agar diakui sebagai Muslim.
وَإِذَا أَظْلَمَ عَلَيْهِمْ قَامُوا (Wa idzaa azhlama 'alaihim qaamuu): Dan apabila gelap gulita menimpa mereka, mereka berhenti.
Kegelapan menimpa mereka ketika muncul kesulitan, ujian, ancaman, atau perintah yang berat (misalnya, kewajiban jihad yang membahayakan nyawa, atau perintah zakat yang mengurangi harta). Begitu kesulitan datang, ketaatan mereka terhenti. Mereka 'berdiri' atau 'berhenti' total, menolak untuk bergerak maju di jalan Islam karena takut akan kerugian duniawi.
Perumpamaan ini sangat akurat menggambarkan fluktuasi hati munafik: mereka hanya mengikuti Islam sejauh Islam menguntungkan mereka, dan mereka mundur seketika ketika Islam menuntut pengorbanan atau membawa risiko.
Tafsir klasik, seperti yang diutarakan oleh Ibn Kathir dan At-Tabari, menjelaskan bahwa elemen badai, petir, dan kilat adalah metafora untuk Islam itu sendiri:
Ketika kilat kebenaran menyambar, kaum munafik takut. Mereka takut pada ancaman hukuman Illahi jika mereka berani menampakkan kekafiran mereka, dan mereka takut pada tantangan duniawi yang datang bersama keimanan sejati. Ketakutan inilah yang membuat mereka mondar-mandir antara iman dan kekafiran.
Kegagalan mereka untuk mempertahankan keimanan terletak pada sumber cahaya yang mereka gunakan. Mereka hanya mengambil cahaya dari kilat—sebuah fenomena alam yang cepat dan tidak dapat diandalkan—bukan dari matahari keimanan yang stabil dan permanen. Mereka mencari keuntungan sesaat dari Islam, bukan komitmen abadi.
Ketika kegelapan datang, mereka qaamuu (berhenti atau berdiri). Berdiri di sini bukan berarti berdiri untuk shalat, melainkan berhenti bergerak maju di jalan yang lurus. Dalam badai yang gelap, orang yang beriman sejati mungkin berjalan pelan atau hati-hati, tetapi mereka terus maju karena mereka tahu arahnya. Sementara kaum munafik berhenti total, menunggu sampai bahaya berlalu atau sampai cahaya baru muncul.
Perhentian ini menunjukkan ketidakmampuan mereka untuk mempercayai Allah di masa-masa sulit. Ini adalah tanda keimanan yang hanya bergantung pada kondisi eksternal, bukan pada keyakinan internal (yaqin).
Ayat 20 ditutup dengan peringatan yang tegas mengenai kekuasaan Allah:
وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَذَهَبَ بِسَمْعِهِمْ وَأَبْصَارِهِمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
(Sekiranya Allah menghendaki, niscaya Dia melenyapkan pendengaran dan penglihatan mereka. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.)
Bagian penutup ini berfungsi sebagai ancaman dan penegasan kekuasaan mutlak Tuhan. Mengapa pendengaran dan penglihatan disebutkan secara spesifik? Karena ini adalah dua alat utama yang digunakan kaum munafik untuk berinteraksi dengan Islam: mereka 'mendengar' dakwah dan 'melihat' hasil duniawi dari Islam.
Jika Allah berkehendak, Dia bisa saja mengambil pendengaran (sehingga mereka tidak bisa mendengar wahyu) dan penglihatan (sehingga mereka tidak bisa melihat bukti kebenaran di alam semesta atau melihat keuntungan duniawi). Kenyataan bahwa Allah membiarkan mereka tetap memiliki indra ini adalah sebuah penangguhan hukuman, sebuah kesempatan yang diberikan, meskipun mereka menyalahgunakannya.
Pernyataan penutup, إِنَّ اللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu), berfungsi sebagai landasan teologis yang menegaskan bahwa kondisi munafik, betapapun liciknya, berada sepenuhnya dalam kendali Illahi. Allah berkuasa untuk mengazab mereka seketika, tetapi Dia menangguhkan keputusan-Nya berdasarkan hikmah-Nya yang tak terjangkau.
Konsep cahaya (nur atau adhaa’a) dan kegelapan (azhlam) adalah tema sentral dalam Al-Qur'an, seringkali mewakili Iman dan Kekafiran. Dalam konteks Ayat 20, kontras ini disajikan sebagai pengalaman yang tidak stabil bagi kaum munafik.
Cahaya yang mereka terima berasal dari kilat (barq), bukan dari matahari (iman yang utuh). Kilat adalah energi yang sangat besar tetapi sangat singkat. Ini melambangkan jenis keimanan yang hanya terjadi dalam momen-momen tertentu: saat mereka takut neraka, saat mereka melihat keuntungan finansial dari bergabung dengan komunitas Muslim, atau saat mereka merasa tertekan oleh lingkungan sosial.
Cahaya ini tidak menembus hati mereka; ia hanya menerangi jalur di depan kaki mereka. Akibatnya, mereka hanya mengambil langkah-langkah minimal yang diperlukan untuk menghindari bahaya dan mendapatkan manfaat, tanpa komitmen total pada jalan tersebut.
Ketakutan yang digambarkan oleh frasa yakhtafu absaarahum (menyambar penglihatan mereka) adalah ketakutan eksistensial. Kilat itu adalah wahyu yang terlalu jelas. Ketika kebenaran Islam datang dengan begitu kuat, itu mengancam fondasi kebohongan dan keraguan yang dibangun oleh kaum munafik di dalam hati mereka. Jika mereka benar-benar melihat dan mengakui kebenaran, mereka akan kehilangan identitas munafik mereka dan harus berkomitmen penuh—suatu hal yang sangat mereka takuti.
Ketegangan antara cahaya (kebenaran) dan kegelapan (kemunafikan) ini menciptakan siklus stres yang tiada henti di dalam diri mereka. Mereka tidak pernah damai, selalu berada dalam mode bertahan, siap untuk melarikan diri atau berhenti kapan saja.
Ayat 20 harus dibaca bersamaan dengan perumpamaan api di ayat 17. Di ayat 17, kaum munafik digambarkan sebagai orang yang menyalakan api (mencari manfaat duniawi dari iman), tetapi setelah Allah mengambil cahaya api itu, mereka ditinggalkan dalam kegelapan total, tidak dapat melihat. Perbedaan mendasar adalah:
Kedua perumpamaan tersebut, badai dan api, menunjukkan bahwa nasib kaum munafik adalah kegelapan dan kebingungan, meskipun mereka mungkin mendapatkan manfaat sesaat dari 'cahaya' yang mereka pinjam dari komunitas Muslim.
Meskipun ayat ini diturunkan pada masa Rasulullah ﷺ untuk menjelaskan kondisi Munafik di Madinah, perumpamaan ini bersifat abadi dan relevan bagi setiap individu yang mengalami keraguan atau komitmen yang setengah-setengah terhadap kebenaran Illahi.
Kondisi "berjalan ketika terang, berhenti ketika gelap" dapat diterapkan pada banyak aspek kehidupan beragama saat ini:
Mereka memanfaatkan "kilat" (bukti-bukti kebenaran yang jelas dan meyakinkan, atau manfaat sosial dari menjadi Muslim), tetapi mereka tidak memiliki "matahari" (iman yang kokoh) yang bisa membimbing mereka melalui kegelapan ujian dan kesulitan.
Ayat ini mengajarkan bahwa keragu-raguan adalah kondisi yang sangat berbahaya. Hati yang ragu-ragu tidak akan pernah mencapai kedamaian. Mereka terus-menerus cemas—takut pada hukuman Allah, tetapi juga takut pada kerugian duniawi yang ditimbulkan oleh ketaatan. Mereka terjebak di antara dua ketakutan, dan ini tercermin dalam pergerakan mereka yang tidak menentu: berjalan cepat ketika terang, berhenti mendadak ketika gelap.
Kekuatan perumpamaan ini terletak pada deskripsi psikologisnya yang mendalam. Mereka tidak bisa menikmati cahaya keimanan karena ketakutan bahwa kilat itu akan menyambar penglihatan mereka (mengharuskan mereka untuk melihat kebenaran yang tidak ingin mereka lihat), dan mereka tidak bisa menikmati kegelapan kekafiran karena ancaman guntur (hukuman) yang menggelegar di atas kepala mereka.
Penutup ayat 20 yang menyebutkan kekuasaan Allah untuk melenyapkan pendengaran dan penglihatan (sam'ihim wa absaarihim) memerlukan analisis tambahan. Mengapa Allah fokus pada kedua indra ini?
Dalam ajaran Islam, pendengaran (untuk mendengar wahyu dan seruan) dan penglihatan (untuk melihat bukti kebesaran Allah di alam semesta, atau mukjizat) adalah gerbang utama menuju iman. Ketika Allah mengancam untuk mengambil kedua indra ini, itu berarti Allah berkuasa untuk menutup semua jalan hidayah bagi mereka.
Bagi orang munafik, pendengaran mereka digunakan untuk memata-matai kaum Muslimin atau untuk mendengarkan keuntungan, bukan untuk mengambil pelajaran. Penglihatan mereka digunakan untuk melihat keuntungan duniawi dan menghindari bahaya, bukan untuk merenungkan kebenaran.
Ayat ini memiliki hubungan kuat dengan Ayat 7, yang menjelaskan tentang orang kafir sejati: Allah telah mengunci hati, pendengaran, dan penglihatan mereka. Pada orang kafir sejati, penutupan ini bersifat permanen karena kekafiran yang tulus. Pada kaum munafik di ayat 20, Allah mengancam bahwa meskipun saat ini indra mereka masih ada (memungkinkan gerakan intermiten), kekuasaan Allah dapat mengambilnya seketika, menggeser mereka dari kondisi munafik yang labil menjadi kekafiran yang buta dan tuli.
Ancaman ini berfungsi sebagai peringatan keras: Kebebasan yang mereka rasakan saat ini, yang memungkinkan mereka untuk berpura-pura beriman, sepenuhnya bergantung pada kemurahan Allah. Jika Allah mencabut anugerah indra tersebut, mereka akan jatuh ke dalam kegelapan total tanpa harapan kembali.
Pola "mashau fihi" (mereka berjalan di dalamnya) dan "qaamuu" (mereka berhenti) adalah kunci untuk memahami kurangnya stabilitas pada kaum munafik. Mereka tidak pernah memiliki pijakan yang kokoh.
Berjalan dalam kegelapan total sangat sulit. Cahaya kilat memberikan petunjuk arah yang sangat singkat. Kaum munafik memanfaatkan waktu sepersekian detik tersebut untuk melangkah maju, tetapi mereka tahu bahwa cahaya itu akan segera hilang. Ini bukan gerakan yang dilakukan dengan keyakinan, melainkan gerakan yang didorong oleh kepanikan yang terpaksa.
Mereka tidak melihat tujuan akhir (akhirat); mereka hanya melihat langkah berikutnya (keuntungan duniawi). Oleh karena itu, gerakan mereka tidak konsisten dan tidak berkelanjutan. Ini adalah perilaku opportunistik, bukan ibadah yang tulus.
Ketika kegelapan total (ujian) menimpa, mereka berhenti. Berhenti memberikan mereka rasa aman sementara, memungkinkan mereka untuk menunggu badai berlalu tanpa harus mengambil risiko. Namun, "berhenti" dalam perjalanan spiritual berarti kemunduran. Ketika orang lain terus maju, orang munafik tetap berdiri, terjebak di tempatnya, menunggu kondisi menjadi mudah lagi.
Stabilitas mereka saat berhenti adalah stabilitas keputusasaan dan penundaan. Mereka tidak mencari cahaya batin untuk melanjutkan; mereka menunggu cahaya eksternal (kilat) yang mereka tahu tidak dapat diandalkan.
Ini adalah perbedaan fundamental antara orang beriman sejati (mu'min) dan munafik. Seorang mu'min berjalan dalam kegelapan ujian menggunakan cahaya iman yang menyala di dalam hati, yang merupakan sumber cahaya internal (nur qalbiy). Sebaliknya, munafik hanya bergantung pada cahaya eksternal (kilat) yang berasal dari keuntungan komunitas, dan ketika itu hilang, mereka lumpuh total.
Para mufasir besar memberikan penekanan berbeda pada makna Sawa'iq (petir) dan Barq (kilat).
Imam At-Tabari berpendapat bahwa perumpamaan badai secara keseluruhan merujuk pada ketakutan para munafik. Ketika Rasulullah ﷺ memenangkan perang atau menurunkan perintah yang sulit (seperti kewajiban membela diri), itu seperti guntur dan kilat bagi mereka. Ketaatan mereka adalah tipuan yang dilakukan untuk melindungi diri mereka dari ancaman yang mereka takuti.
At-Tabari menekankan bahwa Allah hanya memberi mereka kesempatan sekilas untuk bertindak, dan jika mereka menyia-nyiakannya, Allah berkuasa mengambil pendengaran dan penglihatan mereka, meninggalkan mereka dalam kebutaan spiritual yang total, sama seperti orang kafir di ayat 7.
Imam Al-Qurtubi fokus pada makna syariat. Kilat di sini mewakili hukum-hukum Islam yang membawa manfaat dan juga beban. Mereka menerima hukum yang mudah dan memberikan keuntungan (berjalan dalam cahaya), tetapi mereka menolak hukum yang keras atau mengancam kepentingan pribadi mereka (berhenti dalam kegelapan).
Menurut Al-Qurtubi, perumpamaan ini secara puitis menggambarkan betapa rapuhnya keimanan yang didasarkan pada perhitungan duniawi. Keimanan mereka adalah sekadar perhitungan risiko dan manfaat, bukan penyerahan diri yang tulus kepada kehendak Allah.
Imam Fakhruddin Ar-Razi melihat perumpamaan ini dari sudut pandang logika. Dia menjelaskan bahwa ketakutan mereka muncul karena adanya kontradiksi dalam diri mereka: mereka tahu kebenaran Al-Qur'an (kilat), tetapi hati mereka menolaknya (kegelapan). Konflik internal ini menghasilkan kepanikan yang digambarkan sebagai kilat yang hampir menyambar penglihatan. Mereka adalah korban dari permainan pikiran mereka sendiri.
Ar-Razi menekankan bahwa ini adalah azab psikologis di dunia: mereka tidak pernah tenang, selalu waspada, dan terperangkap antara ketakutan pada Allah dan ketakutan pada manusia.
Mari kita telaah lagi betapa detailnya siklus yang dialami kaum munafik yang digambarkan dalam kalimat: "kullamaa adhaa'a lahum mashau fihi wa idzaa azhlama 'alaihim qaamuu."
Fase 1: Cahaya Muncul (Adhaa'a Lahum)
Cahaya muncul. Mungkin ini adalah kemudahan, keuntungan dari zakat, atau ketenangan yang didapat dari shalat berjamaah. Ini adalah momen pengakuan sekilas akan manfaat keimanan. Karena mereka melihat manfaat, mereka merasa aman untuk melangkah.
Fase 2: Pergerakan (Mashau Fihi)
Mereka bergerak. Mereka aktif dalam ibadah, seolah-olah mereka adalah Muslim sejati. Namun, gerakan ini didorong oleh stimulus luar (kilat), bukan motivasi dari dalam (iman). Gerakan ini cepat, karena mereka tahu waktu cahaya terbatas.
Fase 3: Kegelapan Menimpa (Azhlam 'Alaihim)
Ujian datang. Ini bisa berupa kekalahan dalam perang, ancaman dari musuh Islam, atau perintah yang menuntut pengorbanan harta yang besar. Lingkungan menjadi 'gelap' dari sudut pandang keuntungan duniawi mereka.
Fase 4: Kelumpuhan Total (Qaamuu)
Mereka berhenti. Semua aktivitas ibadah terhenti. Mereka mengeluh, menuduh, atau bahkan mencoba melarikan diri dari komunitas Muslim. Mereka menolak bergerak maju di jalan Allah sampai keadaan menjadi aman dan menguntungkan lagi.
Siklus ini berulang tanpa henti, menunjukkan bahwa kaum munafik tidak pernah mencapai titik istirahat atau keimanan yang mantap. Kehidupan mereka adalah serangkaian start dan stop yang melelahkan, yang pada akhirnya akan membawa mereka ke kehancuran, karena fondasi hati mereka rusak dan mereka hanya mengikuti bayangan dari kebenaran, bukan kebenaran itu sendiri.
Penjelasan mengenai kondisi psikologis kaum munafik dalam Al Baqarah ayat 20 adalah salah satu masterpiece retoris Al-Qur'an. Ini bukan sekadar perumpamaan, melainkan analisis mendalam tentang sifat manusia yang berusaha mendapatkan yang terbaik dari dua dunia—dunia Islam tanpa pengorbanan, dan dunia kekafiran tanpa hukuman. Ayat ini secara definitif menyatakan bahwa Allah Maha Kuasa untuk mengakhiri sandiwara mereka kapan saja, menegaskan bahwa segala sesuatu, termasuk indra, kehidupan, dan takdir mereka, berada di bawah kendali mutlak Sang Pencipta.
Analisis ini diperluas lebih lanjut dengan mempertimbangkan setiap detail bahasa Arab dalam ayat ini. Misalnya, penggunaan kata yakaadu (hampir-hampir) bukan hanya penekanan, tetapi penekanan bahwa jika kilat kebenaran datang sedikit lebih lama atau lebih intens, kebutaan spiritual mereka akan menjadi permanen dan langsung. Ini adalah rahmat Allah bahwa kebutaan tersebut hanya ‘hampir’ terjadi, memberikan mereka waktu untuk menyesuaikan diri dan mungkin bertaubat, meskipun hati mereka cenderung menolak.
Selain itu, istilah mashau fihi (mereka berjalan di bawah sinar itu) menyiratkan bahwa mereka berjalan di dalam kilat, bukan sekadar melihatnya. Ini menunjukkan bahwa mereka terlibat secara fisik dan formal dengan ritual Islam, tetapi dengan intensitas yang tidak substansial, seperti menggunakan cahaya yang terlalu cepat untuk bisa menavigasi medan yang sulit. Mereka memanfaatkan penampilan ritual untuk bergerak maju di mata masyarakat, tetapi tidak di mata Allah.
Kegelapan (azhlam) yang menimpa mereka adalah kegelapan yang datang atas mereka ('alaihim), menekankan bahwa kegelapan ini adalah hasil dari kondisi eksternal dan juga internal mereka. Itu adalah kegelapan dari kesulitan duniawi yang mereka takuti, dan juga kegelapan hati yang kembali mendominasi ketika cahaya kebenaran hilang. Seluruh kehidupan spiritual mereka adalah permainan menunggu dan berharap, sebuah kondisi yang membuat mereka sangat rentan dan tidak efisien dalam mencapai tujuan spiritual sejati.
Kaum munafik hidup dalam kontradiksi. Mereka menginginkan pengakuan publik dari iman (cahaya) tetapi takut pada tuntutan penuh dari iman (badai dan kegelapan). Ayat 20 adalah cermin yang sangat jelas bagi siapa saja yang menemukan dirinya memilih-milih syariat: mengambil yang mudah dan meninggalkan yang sulit, bertindak berdasarkan keuntungan, dan bukan berdasarkan penyerahan diri total. Inilah hakikat dari perumpamaan yang luar biasa ini. Allahu a’lam bis shawab.
Penyampaian ancaman pada akhir ayat, yakni kemungkinan hilangnya pendengaran dan penglihatan, harus dipahami sebagai ancaman terhadap sarana hidayah mereka. Allah berfirman bahwa Dia tidak hanya berkuasa mengambil indera fisik, tetapi juga kapasitas spiritual mereka untuk memahami kebenaran. Jika Allah melenyapkan pendengaran mereka (kapasitas menerima), mereka tidak akan lagi merasakan manfaat apa pun dari wahyu yang dibacakan. Jika Allah melenyapkan penglihatan mereka (kapasitas merenung dan melihat bukti), mereka akan sepenuhnya buta terhadap tanda-tanda kebesaran Allah di alam semesta.
Ancaman ini bertindak sebagai teguran terakhir. Ketika kaum munafik bermain-main dengan agama—berjalan saat terang dan berhenti saat gelap—mereka mengambil risiko besar. Mereka lupa bahwa Allah tidak membutuhkan ketaatan pura-pura mereka. Jika Allah berkehendak, Dia bisa mengakhiri drama ini, menutup panggung, dan meninggalkan mereka dalam kegelapan yang kekal, baik di dunia maupun di akhirat. Kekuasaan Allah (Qadir) adalah penutup yang sempurna, mengingatkan bahwa setiap nafas, setiap indra, setiap kesempatan untuk bertaubat adalah anugerah yang dapat ditarik kembali.
Stabilitas kehidupan seorang Mukmin sejati berasal dari keyakinan (yaqin) yang membuat mereka tetap berjalan meskipun tidak ada cahaya di luar, sementara orang munafik memerlukan dukungan visual dan auditif yang konstan dari luar. Inilah pembeda mendasar yang diungkapkan oleh perumpamaan badai ini. Kilat hanyalah sementara, tetapi badai (ujian dan realitas hidup) adalah konstan. Mereka yang membangun hidupnya di atas fondasi sementara akan selalu goyah ketika realitas yang keras (kegelapan) datang melanda.
Penggunaan kata kullamaa (setiap kali) memperkuat sifat berulang dari perilaku munafik. Ini bukan insiden satu kali; ini adalah pola hidup. Setiap kali ada kesempatan, mereka mengambilnya, dan setiap kali ada hambatan, mereka berhenti. Siklus yang berulang ini menunjukkan kurangnya resolusi dan ketegasan dalam karakter mereka, menjebak mereka dalam keadaan tidak pernah maju secara spiritual. Mereka terus-menerus kembali ke titik nol ketika ujian datang.
Oleh karena itu, Surah Al Baqarah ayat 20 adalah seruan universal bagi semua umat manusia untuk memeriksa hati mereka: Apakah kita mengambil cahaya dari sumber yang stabil dan permanen (Kitabullah dan Sunnah dengan niat tulus), atau apakah kita hanya berlari menuju kilat keuntungan duniawi yang pasti akan meredup dan meninggalkan kita dalam kegelapan ujian? Jawabannya menentukan apakah kita termasuk orang beriman, orang kafir, atau kelompok yang paling rumit dan berbahaya, yaitu kaum munafik.
Kedalaman semantik dalam ayat ini terus diuraikan oleh para ulama. Perhatikan bagaimana al-barqu (kilat) itu sendiri adalah gambaran dualitas. Kilat adalah keindahan yang menakutkan; ia menjanjikan penglihatan, tetapi juga mengancam penglihatan. Demikian pula, Islam bagi kaum munafik adalah dualitas yang menakutkan: menjanjikan keselamatan, tetapi menuntut ketaatan yang berisiko bagi kepentingan duniawi mereka. Mereka terpesona dan terintimidasi olehnya pada saat yang sama, menyebabkan respons mereka menjadi tidak menentu.
Lalu ada aspek guntur (disebut di ayat 19, ar-ra’du). Guntur adalah suara yang menakutkan, yang dikaitkan dengan azab. Kaum munafik menyumbat telinga mereka dari guntur (ancaman Allah) karena mereka takut. Namun, mereka harus membuka mata mereka untuk kilat (keuntungan duniawi) agar mereka bisa bergerak. Jadi, mereka memilih indra mana yang harus berfungsi dan mana yang harus ditutup, sebuah pilihan yang tidak pernah bisa dilakukan oleh seorang mukmin sejati yang menerima wahyu secara keseluruhan, baik janji maupun ancaman.
Dalam tafsir kontemporer, ancaman melenyapkan pendengaran dan penglihatan sering diartikan sebagai hilangnya kemampuan analitis dan reflektif. Seseorang mungkin secara fisik bisa mendengar, tetapi tidak memahami maknanya (buta spiritual). Seseorang mungkin bisa melihat, tetapi tidak bisa mengambil pelajaran dari tanda-tanda Allah (buta hikmah). Inilah azab yang lebih halus, tetapi lebih mematikan, bagi kaum munafik: mereka memiliki alat untuk diselamatkan, tetapi Allah menarik kemampuan mereka untuk menggunakan alat itu secara efektif karena penolakan hati mereka.
Perumpamaan ini adalah puncak dari deskripsi kaum munafik yang dimulai dari Ayat 8. Setelah menjelaskan keraguan, tipuan, dan hati yang berpenyakit, perumpamaan badai memberikan gambaran visual yang jelas tentang kekacauan internal yang ditimbulkan oleh kemunafikan. Hati yang tidak jujur tidak akan pernah mendapatkan kedamaian, dan kehidupan mereka akan selalu menjadi pergerakan yang terputus-putus dan didorong oleh rasa takut.
Kita harus merenungkan: Bagaimana kita bereaksi terhadap "kilat" dan "kegelapan" dalam hidup kita? Ketika Allah menguji kita dengan kesulitan (kegelapan), apakah kita berhenti dan mengeluh, atau apakah kita mencari cahaya iman internal untuk terus maju, meskipun jalannya tidak terlihat jelas? Jika jawaban kita cenderung pada perhentian, maka kita harus waspada terhadap penyakit munafik yang dijelaskan dalam ayat 20 ini. Jalan menuju keselamatan menuntut konsistensi, keyakinan, dan keberanian untuk berjalan maju bahkan ketika badai mengamuk.
Setiap kata dalam ayat ini dipilih dengan presisi. Misalnya, penggunaan kata yakaadu (hampir) menciptakan ketegangan yang abadi. Kilat itu *hampir* menyambar penglihatan mereka, yang berarti ancaman itu konstan dan dekat, tetapi belum terjadi sepenuhnya. Ini menjaga kaum munafik dalam keadaan cemas, tidak pernah benar-benar kafir secara terbuka, tetapi tidak pernah benar-benar beriman secara tulus. Mereka terperangkap di ambang batas, dan itulah hukuman mereka di dunia.
Jika kita kembali pada frasa penutup, إِنَّ اللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu), ini adalah penegasan kedaulatan yang mutlak. Tidak ada badai, tidak ada kilat, tidak ada ketakutan, dan tidak ada kegelapan yang berada di luar kendali Allah. Kaum munafik mungkin berpikir mereka bisa memanipulasi situasi demi keuntungan mereka, tetapi mereka diingatkan bahwa pemegang kekuasaan tertinggi adalah Allah, yang dapat mengubah seluruh kondisi mereka dalam sekejap mata. Kuasa-Nya atas segalanya adalah jaminan azab bagi mereka yang memilih untuk memainkan permainan iman.
Kesimpulannya, Al Baqarah Ayat 20 adalah sebuah peringatan yang mendalam. Ia menggambarkan kemunafikan bukan hanya sebagai tindakan menipu orang lain, tetapi sebagai siksaan psikologis yang dialami oleh hati yang tidak jujur. Ini adalah kehidupan yang dijalani dalam ketakutan, keraguan, dan gerakan yang tidak stabil, yang pada akhirnya akan dimatikan oleh Kekuasaan Mutlak Allah yang Maha Perkasa. Cahaya kebenaran tidak akan pernah stabil bagi mereka yang hatinya memilih kegelapan.
Membaca ayat ini berulang kali dengan perenungan memperkuat pemahaman kita bahwa Islam membutuhkan ketegasan, kejujuran batin, dan keyakinan yang tidak goyah. Mereka yang hanya mencari kilat keuntungan duniawi akan selalu ditinggalkan dalam kegelapan ketika kilat itu meredup, karena mereka gagal memelihara lentera keimanan di dalam jiwa mereka. Ayat ini adalah panduan untuk menghindari jalan yang licin dan berbahaya tersebut, menuju jalan lurus yang terang dan stabil.
Keseimbangan antara harapan dan ketakutan (khauf wa raja') adalah ciri khas iman. Orang munafik hanya merasakan ketakutan terhadap ancaman Allah (guntur) dan harapan untuk keuntungan duniawi (kilat), tetapi mereka kurang memiliki harapan sejati pada rahmat Allah yang menuntut pengorbanan. Inilah yang membuat keimanan mereka tidak pernah tulus dan tidak pernah menjadi sumber kekuatan sejati di masa-masa sulit.
Pelajaran terpenting dari perumpamaan ini adalah tentang konsistensi dalam amal. Dalam Islam, amal yang paling dicintai Allah adalah amal yang dilakukan secara konsisten, meskipun kecil. Kaum munafik gagal dalam konsistensi; mereka hanya bertindak sporadis, tergantung kondisi cuaca (situasi duniawi). Kegagalan ini adalah akar dari kehancuran spiritual mereka, karena mereka memprioritaskan kenyamanan duniawi di atas perintah abadi. Mereka lupa bahwa dalam badai kehidupan, hanya Allah yang menjadi pelindung sejati, bukan perhitungan untung rugi yang fana.
Perenungan mendalam terhadap Al Baqarah ayat 20 seharusnya mendorong setiap Muslim untuk mengoreksi niat (ikhlas) mereka. Apakah ibadah kita adalah respons terhadap kilat yang menjanjikan keuntungan, ataukah itu adalah hasil dari cahaya iman yang mantap dan abadi di dalam hati? Hanya dengan niat yang murni dan keyakinan yang tulus kita dapat berjalan terus menerus di jalan Allah, terlepas dari seberapa gelap atau menakutkannya badai ujian yang kita hadapi. Inilah esensi keimanan yang sejati, yang berbeda dari kemunafikan yang rapuh.
Ayat 20 dari Surah Al Baqarah tetap menjadi pilar dalam memahami psikologi keimanan dan bahaya dari komitmen yang tidak penuh. Ia adalah sebuah masterclass retoris yang menggunakan kekuatan alam untuk menggambarkan kekacauan batin manusia. Setiap kali kita merasa ingin berhenti dari ketaatan karena kesulitan, kita harus mengingat perumpamaan ini dan memilih untuk menjadi orang beriman yang berjalan di bawah cahaya batin, bukan orang munafik yang lumpuh oleh kegelapan ujian.
Sebagai penutup dari tafsir yang mendalam ini, kita kembali pada poin utama: kedaulatan Allah. Allah tidak hanya menggambarkan kondisi kaum munafik dengan keindahan sastrawi, tetapi Dia juga menutupnya dengan pernyataan tegas tentang kekuasaan-Nya. Ini mengingatkan kita bahwa Allah melihat setiap langkah, setiap keraguan, dan setiap perhentian. Pilihan antara cahaya sejati dan kegelapan intermiten adalah pilihan yang disaksikan sepenuhnya oleh Yang Maha Kuasa, yang keputusannya tidak dapat ditawar dan azab-Nya pasti terjadi pada mereka yang terus-menerus bermain-main dengan agama-Nya. Semoga Allah melindungi kita dari kemunafikan dan menganugerahkan kita keimanan yang stabil dan bercahaya abadi.