Surah Al-Baqarah dikenal sebagai surah terpanjang dalam Al-Qur'an, yang memuat landasan hukum, akidah, dan kisah-kisah penting. Di antara ayat-ayatnya yang sarat makna, Al-Baqarah ayat 200 berdiri sebagai mercusuar yang memandu umat Muslim menuju pemahaman mendalam tentang prioritas hidup, khususnya dalam konteks ibadah haji, namun relevan untuk setiap detik kehidupan sehari-hari. Ayat ini menyingkap tabir perbedaan fundamental antara dua kelompok manusia dalam memohon kepada Allah SWT, yaitu mereka yang hanya terpaku pada kenikmatan fana duniawi, dan mereka yang menjangkau keseimbangan abadi.
Ayat 200 muncul setelah serangkaian pembahasan mengenai ibadah haji dan umrah. Setelah menyelesaikan manasik (ritual), umat diizinkan untuk beristirahat dan mengingat Allah. Di sinilah konteks historis dan spiritual ayat ini menjadi sangat jelas: bagaimana seharusnya seorang mukmin menggunakan kesempatan emas, terutama setelah penyempurnaan ibadah besar, untuk mengarahkan permintaan dan doanya. Sebelum Islam, kaum musyrikin Makkah memiliki kebiasaan (pada masa Jahiliyyah) untuk berdiri di sekitar Ka'bah, berbangga-bangga dengan nasab dan keturunan mereka, serta memohon hal-hal yang sangat duniawi, seperti panen yang melimpah, ternak yang banyak, dan umur panjang. Ayat ini datang sebagai koreksi tegas terhadap mentalitas materialistik tersebut.
Para ulama tafsir sepakat bahwa konteks utama ayat ini berkaitan dengan hari-hari tasyriq setelah Hari Raya Idul Adha, ketika para jamaah haji selesai melaksanakan ritual inti dan berada di Mina. Pada masa Jahiliyyah, setelah haji, tradisi mereka adalah mengadakan perkumpulan (mafil) di mana mereka akan memuji-muji, menyebut-nyebut, dan berbangga-bangga dengan kehebatan, kekayaan, dan keberanian nenek moyang mereka. Doa-doa mereka pun cenderung sempit, hanya meminta kemenangan perang, kekayaan segera, atau kesehatan instan. Tradisi ini dikenal sebagai ‘zikr al-aabaa’ (mengingat nenek moyang).
Ayat Al-Baqarah 200 ini memberikan instruksi ilahi yang revolusioner. Allah memerintahkan, "Maka berzikirlah kepada Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut nenek moyangmu, atau bahkan lebih banyak dari itu." Ini bukan sekadar perintah untuk berzikir, tetapi sebuah perintah untuk mengganti objek kebanggaan dan fokus permintaan. Fokus harus beralih dari warisan duniawi dan pencapaian fana (nenek moyang) menuju Pencipta yang Maha Kekal (Allah).
Bagian kedua dari ayat inilah yang menjadi fokus utama filosofi kehidupan: pengelompokan manusia berdasarkan isi doa mereka. Ayat ini membagi manusia menjadi dua tipe fundamental: *Thalib al-Dunya* (Pencari Dunia) dan *Thalib al-Akhirah* (Pencari Akhirat) yang seimbang.
Kelompok pertama adalah mereka yang doanya terhenti hanya pada 'Rabbanaa aatinaa fid-dunyaa' (Ya Tuhan kami, berilah kami di dunia). Permintaan mereka dibatasi oleh horizon material dan jangka pendek. Mereka mungkin meminta kekayaan yang berlimpah, jabatan yang tinggi, pasangan yang cantik/tampan, atau kesehatan yang prima, namun semua itu diminta tanpa kaitannya dengan bekal menuju akhirat.
Ayat ini menunjukkan bahwa meskipun permintaan duniawi diperbolehkan, jika permintaan itu mendominasi hati dan pikiran sehingga melupakan tujuan utama penciptaan, maka dampaknya fatal: “Wama lahu fil-aakhirati min khalaq” (dan tidak ada baginya bagian (pahala) di akhirat).
Kata “khalaq” (خَلَٰقٍ) dalam konteks ini diartikan sebagai bagian, porsi, atau nasib baik. Para mufassir menjelaskan bahwa kalimat ini mengindikasikan bahwa jika seseorang hanya bertujuan pada duniawi semata, ia mungkin mendapatkan apa yang ia minta di dunia, sesuai kehendak Allah, namun ia tidak akan mendapatkan bagian dari kebaikan abadi di akhirat. Mengapa? Karena niat (intent) mereka sudah terfokus dan selesai di bumi ini. Ketika segala amal perbuatan, ibadah, dan doa hanya ditujukan untuk kesenangan sesaat, maka hasil (balasan) yang diterima pun bersifat sesaat dan fana.
Imam Ibnu Katsir, dalam tafsirnya, menjelaskan bahwa kelompok ini adalah orang-orang munafik atau orang-orang yang lemah imannya, yang tidak memiliki keyakinan kuat terhadap kehidupan setelah mati. Mereka beribadah hanya karena ingin dilihat atau hanya untuk mendapatkan manfaat material segera. Karena mereka tidak beriman secara mendalam terhadap akhirat, maka mereka tidak akan mendapatkan ganjaran di sana. Doa-doa mereka mencerminkan nihilisme spiritual, di mana tujuan tertinggi adalah kepuasan diri di kehidupan ini, dan tidak ada ruang bagi harapan akan kemuliaan abadi.
Filosofi hidup yang ditolak oleh ayat 200 ini adalah materialisme praktis, di mana nilai segala sesuatu diukur dari manfaat materialnya. Jika seseorang berdoa hanya untuk dunia, ia telah merendahkan martabat ibadah. Ibadah, termasuk doa, seharusnya menjadi jembatan menuju Allah, bukan sekadar alat untuk mendapatkan harta. Kelompok ini telah membatasi karunia Allah yang luas hanya pada ruang lingkup yang sempit dan berbatas waktu. Konsekuensi dari pandangan sempit ini adalah hilangnya kesempatan untuk mendapatkan kebaikan yang tak terhingga dan abadi yang telah disediakan Allah bagi hamba-hamba-Nya yang bersungguh-sungguh. Ini adalah peringatan keras bahwa fokus yang salah dapat menghapus seluruh pahala akhirat.
Meskipun tidak disebutkan secara eksplisit dalam ayat 200, ayat selanjutnya (Al-Baqarah 201) memberikan solusi dan doa yang ideal, yang merupakan kontras sempurna terhadap kelompok pertama. Ayat 201 berbunyi: "Dan di antara mereka ada yang berdoa: 'Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan peliharalah kami dari siksa neraka'." Ayat 200 berfungsi sebagai peringatan, dan ayat 201 sebagai panduan.
Ayat 200 dan 201 bersama-sama mengajarkan prinsip *wasatiyyah* (moderasi atau keseimbangan) dalam Islam. Seorang mukmin sejati tidak diperintahkan untuk meninggalkan dunia sepenuhnya (karena dunia adalah ladang amal), namun juga tidak boleh tenggelam di dalamnya.
Kunci dari doa yang ideal terletak pada penggunaan kata "Hasanaat" (حَسَنَةً). Kata ini mencakup segala bentuk kebaikan, keberkahan, dan kemuliaan. Para ulama tafsir telah menghabiskan ribuan kata untuk mengurai keluasan makna 'Hasanaat' ini, membaginya menjadi dua dimensi: Hasanaat fid-Dunya dan Hasanaat fil-Aakhirah.
Ketika seorang mukmin meminta 'Hasanaat fid-Dunya', ia tidak sekadar meminta uang atau harta. Permintaan ini jauh lebih komprehensif. Berdasarkan tafsir para sahabat dan tabi'in, Hasanaat di dunia mencakup:
Pentingnya Hasanaat fid-Dunya adalah bahwa semua kebaikan ini harus berfungsi sebagai bekal, sarana, dan jembatan untuk mencapai kebaikan di akhirat. Jika kekayaan hanya menghasilkan kesombongan, atau kesehatan hanya digunakan untuk maksiat, maka itu bukan lagi 'Hasanaat' dalam pengertian yang disukai Allah, melainkan ujian yang menjerumuskan.
Para ulama sepakat bahwa Hasanaat di akhirat jauh lebih penting, abadi, dan mencakup hal-hal yang tidak terjangkau oleh akal manusia. Ibnu Katsir menjelaskan bahwa kebaikan akhirat adalah hal-hal tertinggi dan termulia:
Doa ini adalah contoh sempurna dari *Jawami' al-Kalim* (ungkapan yang ringkas namun maknanya luas) yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Doa ini memadukan kebutuhan jasmani dan rohani, sementara pada saat yang sama, ia menempatkan akhirat sebagai tujuan yang superior dan abadi. Imam Al-Qurthubi menekankan bahwa doa ini mencakup semua kebaikan, baik secara pribadi, keluarga, maupun komunitas.
Kontras antara kelompok pertama (hanya dunia) dan kelompok kedua (dunia dan akhirat) mengajarkan kita tentang filosofi niat yang benar (al-niyyah al-shadiqah) dalam Islam. Intinya bukanlah apa yang diminta, tetapi mengapa dan bagaimana hal itu diminta.
Kelompok pertama memiliki niat yang dangkal (qashd qashir), hanya melihat sebatas kuburan. Mereka mirip dengan pedagang yang hanya berorientasi pada keuntungan harian tanpa memikirkan modal jangka panjang. Allah mungkin mengabulkan permintaan dunia mereka, tetapi karena niat mereka memang hanya itu, maka tidak ada sisa pahala di akhirat.
Sebaliknya, kelompok kedua memiliki niat yang panjang (qashd ba'id). Mereka meminta dunia sebagai alat untuk beribadah dan meraih akhirat. Ketika mereka meminta kekayaan, mereka berniat menggunakannya untuk sedekah dan membangun masjid. Ketika mereka meminta kesehatan, mereka berniat menggunakannya untuk shalat dan puasa. Dengan demikian, permintaan duniawi mereka bertransformasi menjadi investasi akhirat. Dunia di tangan mereka menjadi ladang yang subur, bukan penjara jiwa.
Ayat 200 dan 201 menggunakan kata kerja "Aatinaa" (berilah kami). Dalam konteks kelompok pertama, pemberian duniawi mungkin bersifat semu atau sementara, seperti karunia yang diberikan kepada Firaun atau Qarun. Pemberian tersebut menjadi ujian yang menyesatkan. Bagi kelompok kedua, pemberian itu adalah 'Hasanaat', yang berarti pemberian itu disertai keberkahan (barakah) dan menjauhkan dari fitnah.
Imam Ar-Razi menyoroti perbedaan antara pemberian dunia yang diberikan kepada orang kafir (istidraj) dan yang diberikan kepada mukmin (rahmat). Pemberian dunia kepada kelompok pertama adalah istidraj, yaitu penangguhan hukuman yang membuat mereka semakin jauh. Sementara kepada kelompok kedua, pemberian itu adalah rahmat, karena disertai hidayah dan taufik untuk menggunakan nikmat tersebut sesuai ridha Allah.
Untuk memahami kedalaman ayat ini, kita harus menyelami pilihan kata yang digunakan oleh Allah SWT.
Frasa "كذِكْرِكُمْ آبَاءَكُمْ" (sebagaimana kamu menyebut-nyebut nenek moyangmu) adalah salah satu gaya bahasa terkuat (balaghah) dalam Al-Qur'an. Ini adalah perbandingan kuantitas dan kualitas. Allah memerintahkan agar kecintaan, ingatan, dan penyebutan (zikir) kepada Allah harus melebihi obsesi mereka terhadap nenek moyang, yang pada dasarnya adalah manifestasi dari kebanggaan duniawi dan kesombongan nasab.
Perintah ini secara psikologis menyentuh akar permasalahan masyarakat Jahiliyyah: rasa bangga yang berlebihan terhadap materi yang telah lampau. Allah menggantikan fokus kesombongan ini dengan fokus ketaatan. Ini mengajarkan bahwa dalam Islam, satu-satunya kebanggaan yang diperhitungkan adalah takwa dan keimanan, bukan warisan duniawi.
Frasa "أَوْ أَشَدَّ ذِكْرًا" (atau bahkan lebih banyak dari itu) menunjukkan bahwa batasan minimum zikir adalah sebanding dengan zikir Jahiliyyah, tetapi idealnya harus melampaui batasan tersebut. Ini menekankan pentingnya melipatgandakan ingatan kepada Allah, khususnya setelah menunaikan ritual haji yang padat, yang merupakan momen paling subur bagi hati untuk menerima cahaya ilahi.
Seperti yang telah disebutkan, 'khalaq' berarti bagian atau porsi. Dalam ayat 200, penegasannya menggunakan negasi ganda: "وَمَا لَهُۥ فِي ٱلْءَاخِرَةِ مِنْ خَلَٰقٍ" (dan tidak ada baginya dari akhirat sedikitpun bagian). Kata 'min' (مِنْ) di sini adalah *min za'idah* (tambahan untuk penegasan) yang mengindikasikan bahwa kerugian itu mutlak dan total. Kelompok yang hanya meminta dunia tidak hanya mendapatkan bagian yang sedikit di akhirat; mereka sama sekali tidak mendapatkan apa-apa. Kerugian ini bersifat definitif karena mereka telah membatasi niat mereka sendiri.
Meskipun Al-Baqarah 200-201 diturunkan dalam konteks haji, ajaran yang terkandung di dalamnya bersifat universal dan berlaku dalam setiap aspek kehidupan mukmin. Filosofi keseimbangan ini adalah fondasi utama etika kerja dan ibadah dalam Islam.
Ayat ini membantah pandangan asketisme ekstrem yang menolak dunia. Islam tidak melarang mencari kekayaan atau kesuksesan, asalkan niatnya adalah untuk menggunakan keberhasilan tersebut sebagai modal menuju akhirat. Jika seorang insinyur bekerja keras untuk menciptakan teknologi yang bermanfaat, ia harus menyertakan niat agar hasil kerjanya menjadi sedekah jariyah dan mempermudah kehidupan umat. Ini mengubah pekerjaan duniawi menjadi ibadah yang bernilai Hasanaat fid-dunya dan Hasanaat fil-aakhirah.
Ayat 200 mengajarkan kita untuk memeriksa setiap doa yang kita panjatkan. Apakah doa kita hanya berkutat pada kebutuhan jangka pendek (naik gaji, sembuh dari sakit ringan), ataukah ia mencerminkan kerinduan kita akan keridhaan Allah dan tempat yang mulia di surga? Doa 'Rabbanaa Aatinaa' adalah pengingat bahwa kita tidak boleh menjadi tawanan ambisi duniawi yang fana.
Permintaan akan 'Hasanaat fid-dunya' mengakui bahwa manusia memiliki kebutuhan jasmani. Jika kebutuhan fisik dan sosial tidak terpenuhi secara memadai (misalnya, kesehatan, keluarga harmonis), fokus ruhani bisa terganggu. Namun, permintaan 'Hasanaat fil-Aakhirah' memastikan bahwa kita tidak melupakan tujuan tertinggi, yaitu hidup abadi. Inilah yang disebut oleh ulama sebagai keseimbangan yang sehat antara Hak Allah (Haququllah) dan Hak Manusia (Haququl 'Ibad), serta keseimbangan antara urusan duniawi dan ukhrawi.
Dalam konteks modern, godaan ‘hanya dunia’ semakin besar. Ayat Al-Baqarah 200 berfungsi sebagai filter bagi mentalitas yang digerakkan oleh konsumerisme, hedonisme, dan persaingan materialistik.
Saat ini, konsep 'Hasanaat fid-dunya' sering disalahpahami hanya sebagai kepemilikan benda mewah. Tafsir kontemporer mengingatkan bahwa kebaikan di dunia adalah *ketenangan hati* (sakinah), *kedamaian dalam rumah tangga* (mawaddah wa rahmah), dan *kesempatan untuk berkontribusi positif* kepada masyarakat, jauh melampaui sekadar aset finansial. Orang yang memiliki kekayaan tapi hatinya gersang, atau memiliki kekuasaan tapi jiwanya gelisah, tidak mendapatkan Hasanaat yang hakiki.
Ilmu pengetahuan dan teknologi modern adalah bagian dari Hasanaat fid-dunya. Namun, jika ilmu itu hanya digunakan untuk tujuan eksploitasi, perang, atau kesenangan pribadi tanpa mempertimbangkan implikasi moral dan etika, ia menjadi fitnah, bukan Hasanaat. Keseimbangan menuntut ilmu digunakan untuk menegakkan keadilan, mengurangi penderitaan, dan memuliakan nilai-nilai keagamaan, sehingga ia turut menjadi modal akhirat.
Secara epistemologis (ilmu tentang pengetahuan), Al-Baqarah 200 mengajarkan bahwa pengetahuan yang sempurna harus mencakup dua horizon: yang terlihat (dunia) dan yang ghaib (akhirat).
Kebaikan duniawi bersifat relatif; apa yang baik hari ini bisa menjadi buruk besok (kekayaan bisa hilang, kesehatan bisa memburuk). Sementara itu, kebaikan akhirat bersifat absolut dan kekal. Doa dalam ayat ini adalah pengakuan bahwa meskipun kita harus berinteraksi dengan dunia, perspektif kita harus selalu didominasi oleh kebenaran absolut yang akan datang. Ini membentuk kerangka berpikir yang tidak mudah terguncang oleh kegagalan duniawi, karena tujuan utamanya adalah transenden.
Ayat 200 diawali dengan perintah berzikir: "Maka berzikirlah kepada Allah...". Zikir (mengingat Allah) berfungsi sebagai mekanisme kontrol spiritual (muhasabah). Ketika kita sibuk dengan urusan duniawi (manasik telah selesai), potensi hati untuk kembali tertarik pada materi (seperti kebiasaan Jahiliyyah) sangat tinggi. Zikir yang intensif (lebih banyak dari mengingat nenek moyang) memastikan bahwa hati tetap terikat pada Allah, sehingga doa yang keluar darinya (baik dunia maupun akhirat) adalah doa yang ikhlas dan seimbang.
Karena keutamaan yang luar biasa, doa 'Rabbanaa Aatinaa fid-dunyaa hasanatan wa fil-aakhirati hasanatan wa qinaa 'adzaaban naar' adalah doa yang paling sering dipanjatkan oleh Rasulullah SAW, bahkan beliau menjadikannya sebagai standar umum permohonan.
Diriwayatkan dari Anas bin Malik RA bahwa Nabi Muhammad SAW paling sering memanjatkan doa ini. Ketika Anas ditanya mengapa beliau sering membacanya, beliau menjawab karena doa itu mengumpulkan semua kebaikan dunia dan akhirat. Dalam riwayat lain, beliau SAW mengajarkan doa ini kepada seorang Badui yang tidak tahu harus berdoa apa, menunjukkan kesederhanaan dan komprehensifnya doa tersebut.
Ayat 200 secara spesifik merujuk pada masa setelah menyelesaikan manasik haji. Ini menunjukkan bahwa waktu setelah menyelesaikan ibadah besar adalah waktu yang sangat mustajab untuk berdoa. Namun, para ulama menganjurkan agar doa Rabbanaa Aatinaa ini dipanjatkan di setiap kesempatan, termasuk:
Surah Al-Baqarah ayat 200 memberikan sketsa moral tentang jenis hamba yang diinginkan Allah: hamba yang realistis namun visioner. Realistis karena ia mengakui kebutuhan dunia, namun visioner karena ia tidak pernah melupakan tujuan akhir yang abadi.
Ayat ini adalah peringatan abadi bahwa ibadah, perjuangan, dan setiap permintaan harus dijiwai oleh dua horizon: bumi tempat kita berpijak, dan langit tempat kita kembali. Kelompok pertama adalah contoh kerugian total, karena mereka menukarkan keabadian dengan kefanaan. Kelompok kedua, yang doanya tercermin dalam ayat 201, adalah model kesuksesan sejati, karena mereka memohon agar kefanaan mereka menjadi jembatan yang kokoh menuju keabadian. Hanya dengan orientasi ganda inilah seorang mukmin dapat mencapai puncak ketenangan spiritual dan kesuksesan hakiki, sesuai dengan kehendak Allah SWT.
Oleh karena itu, setiap kali kita melafalkan doa 'Rabbanaa Aatinaa', kita tidak hanya memohon karunia, tetapi juga menegaskan kembali komitmen kita untuk menggunakan setiap karunia duniawi sebagai sarana untuk meraih keridhaan abadi di sisi-Nya, menjaga agar kita tidak termasuk dalam barisan mereka yang hanya meminta dunia, sehingga kehilangan bagian mereka di akhirat.
Keseimbangan yang diajarkan dalam Al-Baqarah 200 adalah cetak biru bagi seorang Muslim untuk menjalani kehidupan yang holistik: jiwa yang tenang, harta yang berkah, keluarga yang bahagia, dan, yang terpenting, tempat kembali yang mulia di Jannah. Ini adalah warisan doa yang paling komprehensif dan paling sering diamalkan, memastikan bahwa tidak ada satu pun kebaikan pun, baik di bumi maupun di langit, yang terluput dari permohonan kita kepada Sang Pencipta.
Inti dari pesan ayat 200 ini adalah ajakan untuk meningkatkan kualitas zikir dan doa kita. Zikir bukan hanya pengucapan lisan, tetapi ingatan yang mendalam dalam hati yang kemudian termanifestasi dalam tindakan dan pilihan doa. Ketika kita mengingat Allah lebih dari kita mengingat sejarah atau kekayaan fana, orientasi hidup kita secara otomatis akan berubah, dari pencari kepuasan sesaat menjadi pencari ridha Allah yang kekal. Dengan demikian, kita menghindari nasib kelompok pertama, yaitu orang-orang yang, meskipun beribadah, tidak mendapatkan bagian dari kebaikan akhirat karena niat mereka yang terbatas pada horizon dunia.
Pengulangan dan penegasan makna 'Hasanaat' dalam dua dimensi (dunia dan akhirat) menunjukkan betapa pentingnya konsep integrasi ini. Tidak ada dikotomi atau pemisahan antara spiritualitas dan materialitas dalam pandangan Islam yang ideal. Segala sesuatu yang kita raih di dunia—kekuatan, ilmu, harta, posisi—adalah amanah yang harus dikelola dengan kesadaran penuh akan pertanggungjawaban akhirat. Jika pengelolaan amanah ini benar, ia menjadi 'Hasanaat'. Jika pengelolaan ini menyimpang dan hanya bertujuan untuk kepuasan ego, ia menjadi fitnah dan menyebabkan hilangnya 'khalaq' (bagian) di akhirat.
Oleh karena itu, Surah Al-Baqarah 200-201 bukan hanya sekadar doa yang indah, melainkan sebuah peta jalan filosofis yang mengarahkan niat dan ambisi seorang hamba. Ini adalah pembeda antara kesuksesan yang fana dan keberhasilan yang hakiki, yang kekal abadi di sisi Allah SWT.
Lebih jauh lagi, tafsir mengenai ayat ini juga menyentuh isu keadilan sosial dan tanggung jawab komunal. Hasanaat fid-Dunya tidak hanya berlaku untuk individu, tetapi juga bagi masyarakat. Kebaikan dunia bagi suatu komunitas adalah terciptanya keamanan, kemakmuran yang merata, pemerintahan yang adil, dan harmoni antar sesama. Ketika seorang Muslim berdoa untuk Hasanaat fid-Dunya, ia juga harus mengupayakannya melalui partisipasi aktif dalam membangun tatanan sosial yang Islami. Permintaan akan kebaikan di dunia ini, oleh karena itu, merupakan dorongan untuk berbuat baik (ihsan) dan membawa manfaat (manfa’ah) bagi sesama manusia dan lingkungan. Ini adalah antitesis dari egoisme, yang merupakan ciri khas dari kelompok yang hanya memohon keuntungan pribadi semata.
Sementara itu, permintaan Hasanaat fil-Aakhirah menegaskan bahwa semua upaya sosial dan ibadah kita tidak boleh terhenti pada penghargaan manusia. Tujuan akhir adalah pengakuan dan pahala dari Allah. Keseimbangan ini mencegah seorang aktivis sosial menjadi frustrasi ketika usahanya tidak diakui, karena ia tahu bahwa ganjaran sejatinya tersimpan di akhirat. Ini menanamkan konsep keikhlasan (ikhlas) sebagai inti dari setiap tindakan, baik dalam ranah pribadi maupun publik.
Dalam interpretasi Imam Fakhruddin Ar-Razi, beliau mengupas mengapa lafaz Hasanaat diulang dua kali. Pengulangan ini (Hasanaat fid-dunya dan Hasanaat fil-aakhirah) adalah penekanan ganda akan pentingnya mencakup kedua aspek tersebut dalam doa. Jika seseorang hanya meminta 'hasanatan', maknanya bisa jadi terlalu umum dan bisa diasumsikan hanya mencakup dunia. Dengan menyebut 'fid-dunya' dan 'fil-aakhirah' secara terpisah, Allah memastikan bahwa mukmin itu harus secara sadar menghendaki kebaikan yang spesifik dan terpisah untuk setiap alam kehidupan, sehingga tidak ada keraguan tentang niatnya yang komprehensif. Pengulangan ini juga menunjukkan bahwa Allah menyukai permintaan yang detail dan spesifik, selama diarahkan pada hal-hal yang baik dan membawa kepada keridhaan-Nya.
Perbedaan antara dua kelompok manusia yang disajikan dalam Al-Baqarah 200 juga dapat dilihat melalui kacamata psikologi ibadah. Kelompok pertama adalah hamba yang fokus pada hasil segera (instant gratification). Mereka ingin melihat balasan atas ibadah mereka secara cepat, di dunia ini juga. Jika mereka sakit, mereka ingin segera sembuh; jika mereka miskin, mereka ingin segera kaya, dan itulah batas permintaan mereka. Psikologi ini membuat mereka mudah putus asa ketika ujian dunia datang, karena tidak ada jangkar spiritual yang mengikat mereka pada janji abadi. Ketika dunia berbalik, iman mereka pun goyah.
Sebaliknya, kelompok kedua memiliki psikologi kesabaran dan harapan (sabr dan raja'). Mereka mengerti bahwa kehidupan ini adalah ladang ujian. Walaupun mereka meminta kebaikan di dunia (Hasanaat fid-Dunya), mereka sadar bahwa Hasanaat sejati mungkin baru terwujud sepenuhnya di akhirat. Kesadaran ini memberikan ketahanan mental dan spiritual. Mereka tidak tergesa-gesa dalam mencari balasan duniawi, karena mata hati mereka tertuju pada balasan yang tak terhingga dan tak terbayangkan di Surga. Inilah yang membuat mereka menjadi hamba yang tabah dan selalu bersyukur, baik dalam kelapangan maupun kesempitan.
Selain itu, perintah untuk berzikir kepada Allah "sebagaimana kamu menyebut-nyebut nenek moyangmu, atau bahkan lebih banyak dari itu" (Ayat 200) mengandung pelajaran penting mengenai intensitas dan keikhlasan zikir. Pada zaman Jahiliyyah, kebanggaan terhadap nenek moyang dilakukan dengan penuh semangat, detail, dan emosi yang mendalam. Allah menuntut intensitas emosional dan dedikasi yang sama, atau bahkan lebih tinggi, untuk diarahkan kepada-Nya. Zikir yang dimaksud bukan hanya lafaz, melainkan sebuah kondisi hati yang selalu hadir (hudhur al-qalb) di hadapan Allah dalam setiap aktivitas.
Jika seorang mukmin mampu mencapai tingkat zikir yang intensif ini, maka ia akan terlindungi dari jatuh ke dalam perangkap kelompok pertama yang materialistik. Zikir yang kuat akan menjernihkan niat, memastikan bahwa Hasanaat fid-Dunya yang diminta adalah Hasanaat yang benar-benar mendekatkan diri kepada Allah, bukan Hasanaat yang menjauhkan dan melalaikan. Zikir menjadi fondasi bagi Du'a yang seimbang.
Dalam pandangan fiqih (hukum Islam), ayat 200 juga menjadi dasar pembolehan mencari kenikmatan dunia, asalkan tidak melanggar syariat. Islam menolak monastisisme (kerahiban) yang mengharamkan kenikmatan dunia. Makanan yang baik, pakaian yang indah, dan harta yang melimpah diperbolehkan, bahkan dianjurkan, asalkan diperoleh dan digunakan secara halal dan menjadi bagian dari Hasanaat. Pelarangan dalam ayat 200 bukanlah terhadap dunia itu sendiri, melainkan terhadap menjadikan dunia sebagai satu-satunya tujuan dan menafikan akhirat.
Kesimpulan yang tidak dapat diganggu gugat dari telaah Al-Baqarah 200 adalah bahwa Muslim harus menjadi *Homo Duplex*—makhluk yang hidup secara dualistik—dengan tubuh di bumi dan hati di langit. Mereka adalah insan yang bekerja keras seolah-olah akan hidup seribu tahun, tetapi beribadah dengan penuh kesadaran seolah-olah akan mati esok hari. Keseimbangan ini adalah esensi dari Hasanaat, yang menjamin seseorang mendapatkan karunia Allah yang sempurna, baik dalam kehidupan fana ini maupun dalam kehidupan kekal di akhirat.
Oleh karena itu, setiap jamaah haji, dan setiap Muslim yang membaca ayat ini, diundang untuk melakukan introspeksi mendalam: Apakah doaku, apakah tujuanku, apakah usahaku, telah melampaui batas-batas materialistik yang sempit? Apakah aku telah memohon lebih dari sekadar pemenuhan kebutuhan jasmani, dan sungguh-sungguh merindukan keridhaan abadi Allah SWT? Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan apakah kita termasuk dalam kelompok yang merugi total di akhirat ('Wama lahu fil-aakhirati min khalaq') atau dalam kelompok yang beruntung, yang mendapatkan kebaikan sempurna di kedua alam kehidupan.
Doa yang agung ini adalah penawar terhadap keputusasaan dan keserakahan. Ia adalah manifestasi dari keyakinan bahwa Allah adalah Maha Pemberi (Al-Wahhab) yang mampu memberikan segalanya, dari detail terkecil dalam kehidupan dunia hingga kemuliaan terbesar di Surga. Memanjatkan doa ini dengan keyakinan yang teguh adalah cara seorang mukmin menegaskan kembali iman mereka pada Hari Akhir dan menempatkan prioritas hidup mereka di bawah payung ketaatan Ilahi.
Adapun penafsiran mengenai 'Hasanaat fid-dunya' yang mendalam tidak terlepas dari konsep Barakah. Barakah (keberkahan) adalah penambahan kebaikan yang tidak terduga dan kualitas yang melekat pada sesuatu. Sejumlah ulama tafsir menegaskan bahwa Hasanaat fid-dunya adalah rezeki yang bukan hanya banyak, tetapi diberkahi. Kekayaan yang sedikit namun membawa ketenangan dan mempermudah ibadah lebih utama daripada kekayaan melimpah yang menimbulkan kesengsaraan dan menjauhkan dari Allah. Sehingga, doa 'Rabbanaa Aatinaa' adalah permintaan agar Allah menyertakan barakah dalam segala pemberian duniawi, sehingga pemberian itu secara intrinsik terhubung dengan Hasanaat fil-Aakhirah. Tanpa barakah, harta atau jabatan yang diminta oleh kelompok pertama akan menjadi laknat, bukan kebaikan.
Secara spiritual, ayat ini juga memberikan petunjuk tentang kualitas taqwa. Taqwa (ketakutan kepada Allah) bukanlah sekadar ketakutan akan hukuman, melainkan kesadaran penuh akan kehadiran-Nya yang memandu setiap langkah. Orang yang bertakwa, saat meminta Hasanaat fid-Dunya, akan meminta dengan cara yang tidak melanggar batasan-batasan agama. Mereka menjaga lisan, tangan, dan hati mereka dari kecurangan dalam mencari rezeki, karena mereka tahu bahwa rezeki yang tercampur dengan keharaman tidak akan pernah menjadi Hasanaat yang sesungguhnya. Inilah yang membedakan mereka dari kelompok yang hanya fokus pada hasil, tanpa memperhatikan proses. Integritas dalam pencarian dunia menjadi prasyarat untuk mendapatkan Hasanaat di akhirat.
Oleh karena itu, Surah Al-Baqarah ayat 200 ini merupakan fondasi etika dan spiritualitas yang menyeluruh. Ia memanggil umat Muslim untuk keluar dari kebiasaan lama yang picik, materialistik, dan sombong (seperti kebiasaan Jahiliyyah yang membanggakan nenek moyang), menuju visi yang lebih besar, yang mencakup keadilan di bumi dan kemuliaan di langit. Doa ini adalah manifesto keseimbangan, pengakuan bahwa kita membutuhkan Allah untuk segala hal, dan penegasan bahwa semua yang kita miliki di dunia harus menjadi alat untuk mendapatkan yang terbaik di sisi-Nya, Al-Baqarah 200 menjadi penegas keutamaan fokus ganda dalam kehidupan.