Surah Al-Baqarah, sebagai surah Madaniyah, memiliki peran sentral dalam mendefinisikan tiga kelompok utama di sekitar komunitas awal Islam: kaum Mukminin (yang beriman), kaum Kafirun (yang menolak), dan kaum Munafikin (orang-orang yang menyembunyikan kekafiran di balik pernyataan iman). Ayat 12 ini merupakan penutup dari serangkaian ayat (mulai dari ayat 8) yang secara spesifik menelanjangi sifat dan perilaku kelompok Munafikin.
Setelah Allah SWT menjelaskan klaim palsu mereka di ayat sebelumnya — ketika mereka diperingatkan untuk tidak berbuat kerusakan di muka bumi, mereka justru berkata, "Sesungguhnya kami hanyalah orang-orang yang mengadakan perbaikan" (QS. Al-Baqarah: 11) — maka Ayat 12 datang sebagai penegasan ilahi, sebuah vonis absolut yang membantah semua dalih dan penolakan mereka. Ayat ini bukan sekadar deskripsi, tetapi diagnosis spiritual yang mendalam, menunjukkan bahwa inti dari kemunafikan adalah kerusakan (*ifsad*) yang dilakukan dalam kondisi ketidaksadaran total atau penolakan yang disengaja terhadap realitas perbuatan mereka.
Kajian ini akan membedah setiap komponen ayat ini, memahami implikasi linguistik dari penekanan yang digunakan (kata ‘Alaa dan Innahum), menganalisis definisi substantif dari ‘Al-Mufsiduun’ (orang-orang yang berbuat kerusakan), dan yang paling krusial, memahami makna psikologis dan spiritual dari frasa ‘Walakin Laa Yasy'uruun’ (tetapi mereka tidak menyadari). Penelusuran mendalam ini diperlukan untuk mencapai pemahaman komprehensif mengenai bahaya internal yang mengancam keutuhan iman dan masyarakat.
Ayat 12 ini menggunakan gaya bahasa yang sangat kuat, penuh penekanan, yang tidak ditemukan dalam deskripsi kelompok Mukminin atau Kafirun secara langsung. Struktur gramatikalnya mencerminkan pentingnya pernyataan ini sebagai sebuah pengumuman dan penegasan yang tidak dapat dibantah.
Ayat ini dibuka dengan kata ‘Alaa’, yang dalam bahasa Arab berfungsi sebagai huruf istiftah atau huruf tanbih (huruf pembuka atau peringatan). Fungsinya adalah menarik perhatian pendengar. Ini seolah-olah Allah berfirman, “Perhatikanlah baik-baik! Dengarkanlah!” Penggunaan ‘Alaa’ menunjukkan bahwa apa yang akan diucapkan berikutnya adalah sesuatu yang sangat penting, sangat kontras dengan klaim Munafikin di ayat sebelumnya, dan merupakan kebenaran hakiki yang harus diketahui oleh orang Mukmin.
Penggunaan ‘Alaa’ di sini menempatkan pernyataan berikutnya pada tingkat kepastian yang tidak terhingga. Ini bukan asumsi atau dugaan; ini adalah realitas yang diungkapkan oleh Yang Maha Tahu. Dalam konteks narasi Qur’an, ini adalah lonceng peringatan terhadap ilusi yang diciptakan oleh para Munafik. Penekanan ini harus dipahami sebagai upaya untuk menyadarkan komunitas Mukmin agar waspada terhadap musuh yang bersembunyi di tengah-tengah mereka, yang secara lahiriah tampak seperti sahabat tetapi secara batiniah adalah perusak.
Setelah ‘Alaa’, Allah melanjutkan dengan penekanan ganda. ‘Innahum’ (sesungguhnya mereka) adalah penekanan pertama, menggunakan huruf ‘inna’ yang berarti kepastian atau penegasan. Kemudian diikuti oleh dhamir fasal ‘Hum’ (mereka sendiri). Ketika ‘inna’ diikuti oleh dhamir fasal seperti ini sebelum khabar (predikat), ini memberikan makna pengkhususan (al-hasr) dan penegasan yang maksimal.
Maknanya menjadi: "Sesungguhnya, hanya mereka, dan tidak ada yang lain, yang benar-benar adalah Al-Mufsiduun." Semua klaim mereka tentang perbaikan (islah) ditiadakan secara total. Ini membalikkan totalitas klaim mereka sendiri. Jika di Ayat 11 mereka berusaha mengkhususkan diri sebagai ‘muslihun’ (orang-orang yang memperbaiki), di Ayat 12 Allah mengkhususkan mereka sebagai ‘mufsiduun’ (orang-orang yang merusak). Ini adalah deklarasi identitas sejati yang tak terhindarkan, sebuah cap karakter yang abadi.
Kata ini adalah ism fa’il (partisip aktif) yang berasal dari akar kata Fasad (ف س د), yang berarti kerusakan, kebusukan, atau kekacauan. Al-Mufsiduun adalah bentuk jamak yang menunjukkan orang-orang yang secara konsisten dan profesional melakukan tindakan perusakan. Ini bukan perusakan sesaat karena kesalahan, melainkan sifat yang mendarah daging dalam karakter mereka.
Fasad dalam terminologi Al-Qur'an memiliki spektrum makna yang sangat luas, melampaui kerusakan material. Ini mencakup kerusakan moral, sosial, ekonomi, dan yang paling penting, kerusakan spiritual (keimanan). Mereka merusak janji-janji, memecah belah komunitas, menyebarkan keraguan, dan mengubah kebenaran menjadi kebatilan. Karena sifat kemunafikan mengharuskan mereka tampil baik di permukaan, kerusakan yang mereka timbulkan selalu bersifat tersembunyi, seperti kanker yang menggerogoti dari dalam. Inilah mengapa penekanan ganda digunakan: karena kejahatan mereka tidak mudah terlihat.
Frasa ini adalah inti filosofis dan psikologis dari ayat tersebut. ‘Walakin’ berarti "tetapi" atau "namun," berfungsi sebagai kontras tajam. ‘Laa Yasy'uruun’ berarti "mereka tidak menyadari" atau "mereka tidak merasakan." Akar katanya adalah Syin-Ain-Ra (ش ع ر), yang berhubungan dengan perasaan, persepsi halus, kesadaran intuitif, atau kesadaran diri.
Mereka berbuat kerusakan bukan karena mereka tidak memiliki pengetahuan, tetapi karena mereka kehilangan kemampuan untuk menyadari konsekuensi spiritual dan sosial dari perbuatan mereka. Ini menunjukkan tingkat kebutaan hati (ghafilah) yang ekstrem. Mereka mungkin menyadari tindakan fisik yang mereka lakukan, tetapi mereka sepenuhnya tidak sadar bahwa tindakan tersebut dikategorikan oleh Allah sebagai *Fasad* yang merusak tatanan ilahi dan kemanusiaan.
Ketidaksadaran ini bisa diinterpretasikan dalam dua cara: 1) Mereka benar-benar buta terhadap kebenaran karena hati mereka tertutup (sebuah hukuman ilahi akibat pilihan mereka), atau 2) Mereka secara sadar menolak kebenaran, dan penolakan yang terus-menerus ini akhirnya menciptakan ilusi kebenaran diri, sehingga mereka merasa telah melakukan perbaikan padahal faktanya mereka sedang merusak. Interpretasi kedua sering kali lebih kuat dalam konteks Munafikin, di mana keangkuhan dan penolakan membuat mereka mabuk dalam fatamorgana kebenaran diri.
Ayat 12 tidak dapat dipahami secara terpisah dari Ayat 8, 9, 10, dan 11. Rangkaian ayat-ayat ini membentuk sebuah unit tematik yang menjelaskan patologi kemunafikan. Di Ayat 11, mereka berkata: "Jika dikatakan kepada mereka: 'Janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi,' mereka menjawab: 'Sesungguhnya kami hanyalah orang-orang yang mengadakan perbaikan.'" Ayat 12 adalah respons langsung dan definitif terhadap klaim tersebut.
Konflik utama dalam narasi Munafikin adalah kontradiksi antara penampilan dan hakikat. Mereka menggunakan istilah Islah (perbaikan) untuk menggambarkan tindakan mereka. Islah adalah lawan kata dari Ifsad. Mereka mengklaim bahwa segala kegiatan mereka, termasuk hubungan ganda dengan orang Mukmin dan Kafir, bertujuan untuk menjaga stabilitas atau mencari keuntungan yang mereka anggap sebagai "perbaikan". Mungkin mereka menganggap tindakan mereka sebagai diplomasi cerdas, menghindari risiko konflik, atau menjaga kepentingan pribadi.
Namun, Al-Qur'an mengungkap bahwa upaya "perbaikan" mereka pada dasarnya adalah perusakan (ifsad). Mengapa? Karena perbaikan sejati hanya dapat dibangun di atas fondasi kejujuran dan kebenaran (tauhid). Ketika fondasi iman itu palsu atau munafik, maka segala aktivitas yang dibangun di atasnya, betapapun niatnya tampak pragmatis, pada akhirnya akan menghasilkan kehancuran. Mereka merusak persatuan batin kaum Mukmin, merusak kejelasan akidah, dan merusak stabilitas sosial dengan informasi ganda dan agitasi.
Ayat 12 secara efektif merobek tabir ilusi yang digunakan Munafikin untuk melindungi diri mereka sendiri dan menipu orang lain. Orang-orang Munafik hidup dalam dua lapis kebohongan: kebohongan kepada orang Mukmin (dengan berpura-pura beriman) dan kebohongan kepada diri mereka sendiri (dengan meyakini atau membenarkan bahwa apa yang mereka lakukan adalah perbaikan). Allah SWT, melalui penekanan ‘Alaa innahum humul mufsiduun,’ tidak hanya mengingatkan orang Mukmin, tetapi juga memberikan kesempatan terakhir bagi Munafikin itu sendiri untuk menyadari jurang pemisah antara klaim dan realitas spiritual mereka.
Ini adalah pelajaran penting: bahaya tidak terletak pada kerusakan itu sendiri, tetapi pada keyakinan bahwa kerusakan tersebut adalah perbaikan. Jika seseorang sadar bahwa ia berbuat salah, masih ada peluang tobat. Tetapi jika ia yakin bahwa kesalahannya adalah kebenaran, pintu hidayah tertutup oleh ego dan keangkuhan. Mereka adalah pelaku kejahatan yang paling berbahaya karena mereka bertindak dengan legitimasi yang mereka ciptakan sendiri.
Diagram Konseptual: Ilusi Islah Melawan Realitas Ifsad
Untuk memahami mengapa kemunafikan secara otomatis dikategorikan sebagai ifsad, kita harus melihat bagaimana para ulama tafsir mendefinisikan cakupan kerusakan ini. Fasad adalah penyimpangan dari fitrah yang benar (al-fitrah), dari keadilan (al-adl), dan dari ketaatan (al-ta'ah). Fasad adalah antitesis dari semua yang diperintahkan oleh Islam.
Ini adalah bentuk kerusakan yang paling mendasar dan berbahaya. Kerusakan spiritual Munafikin adalah mendua dalam akidah. Mereka membuat perjanjian palsu dengan Allah. Mereka mencampuradukkan kebenaran dan kebatilan. Ini merusak standar keimanan di dalam komunitas. Ketika Munafikin berinteraksi, mereka menyuntikkan keraguan (syak) dan penyakit (maradh) ke dalam hati orang Mukmin yang lemah. Mereka membuat iman menjadi ambigu, padahal iman haruslah jelas dan teguh.
Ibn Abbas, sebagaimana diriwayatkan, menafsirkan *ifsad* di sini sebagai kekafiran (kufr) dan memecah belah kaum Mukmin. Kekafiran adalah fasad tertinggi karena merusak hubungan primordial manusia dengan Penciptanya. Ketika seseorang bersaksi palsu atas nama tauhid (seperti yang dilakukan Munafikin), ia merusak fondasi spiritual masyarakat.
Secara sosial, *ifsad* Munafikin terwujud dalam memecah belah persatuan (syuqq al-shaff). Mereka adalah agen yang menabur benih-benih fitnah, kabar bohong, dan permusuhan. Mereka mengadu domba suku-suku atau faksi-faksi dalam masyarakat Mukmin. Mereka berbisik-bisik, menyebarkan desas-desus yang bertujuan meruntuhkan kepemimpinan dan moral. Karena mereka berada di dalam, mereka memiliki akses terhadap informasi internal, yang kemudian mereka gunakan sebagai senjata untuk merusak tatanan politik dan sosial yang baru dibangun oleh Nabi Muhammad SAW.
Al-Qurtubi menjelaskan bahwa salah satu bentuk *ifsad* mereka adalah dengan mendorong perbuatan maksiat dan menghalangi ketaatan, serta membantu musuh (orang-orang kafir) melawan umat Islam. Inilah kerusakan sosial-politik yang paling kentara: memelihara kepentingan musuh sambil berpura-pura menjadi bagian dari umat. Kerusakan ini seperti rayap yang memakan tiang-tiang penyangga rumah; rumah tampak utuh, tetapi siap runtuh kapan saja.
Secara moral, *ifsad* adalah ketidakjujuran, melanggar janji (nakdhul 'ahd), dan standar ganda. Munafikin tidak memiliki prinsip moral yang stabil. Mereka bermuka dua, mengikuti angin, dan memprioritaskan keuntungan pribadi di atas kebenaran. Ketidakjujuran mereka merusak nilai kepercayaan, yang merupakan mata uang sosial terpenting. Tanpa kepercayaan, tidak ada transaksi sosial, ekonomi, atau spiritual yang dapat berjalan dengan baik. Setiap kali seorang Munafik berinteraksi, ia menanam bibit skeptisisme, yang lambat laun merusak etika kolektif.
Beberapa mufassir kontemporer juga melihat *ifsad* dalam skala kosmik. Ketika Allah SWT menciptakan bumi dan langit dengan keseimbangan (mizan), setiap pelanggaran terhadap hukum ilahi adalah *ifsad*. Kemunafikan, sebagai kebohongan terbesar terhadap kebenaran ilahi, menciptakan kekacauan spiritual yang memancar ke dunia fisik. Meskipun ayat ini secara spesifik merujuk pada perilaku Munafikin di Madinah, prinsipnya adalah universal: ketidakjujuran spiritual pasti akan membuahkan kekacauan di dunia yang teramati. Mereka merusak harmoni yang ditetapkan Allah.
Frasa ‘Walakin Laa Yasy'uruun’ bukan sekadar menyatakan kurangnya kesadaran, tetapi menggarisbawahi kondisi patologis yang serius pada hati Munafikin. Ini adalah hasil dari proses panjang penolakan, penipuan diri, dan pengerasan hati.
Ketidaksadaran (laa yasy'uruun) adalah akibat dari Ghaflah (kelalaian) yang kronis. Ketika seseorang berulang kali memilih jalan kepalsuan dan menolak suara hati nurani, Allah akan menutup hati itu dengan apa yang disebut Raan (penutup atau karat). Dalam konteks Munafikin, mereka telah mencapai titik di mana suara kebenaran tidak lagi menembus ke dalam hati mereka. Mereka tidak lagi merasakan keburukan dari perbuatan mereka, bahkan ketika perbuatan tersebut jelas-jelas merugikan diri sendiri dan orang lain.
Ini adalah bahaya terbesar dari dosa yang dilakukan secara terstruktur dan terencana: dosa tersebut menjadi normal. Bagi Munafikin, berbohong, memecah belah, dan berkhianat telah menjadi cara hidup. Karena lingkungan internal mereka telah sepenuhnya teracuni, mereka tidak dapat lagi membedakan udara bersih dari udara beracun. Mereka merasa normal, bahkan merasa benar, di tengah-tengah kebusukan spiritual mereka.
Bagaimana seseorang dapat yakin bahwa kerusakan adalah perbaikan? Melalui mekanisme rasionalisasi. Munafikin memiliki kapasitas intelektual untuk membenarkan tindakan mereka. Mereka mungkin berkata: "Kami berpura-pura beriman untuk mendapatkan keamanan," atau "Kami berinteraksi dengan kaum Kafir agar tidak diserang," atau "Kami hanya pragmatis." Rasionalisasi ini adalah kabut yang menutupi pandangan mereka, membuat mereka tidak menyadari dampak etis dan eskatologis dari perbuatan mereka.
Penipuan diri ini adalah siklus setan: mereka berbuat fasad, kemudian menipu diri bahwa itu adalah islah. Kebohongan ini menguatkan ketidaksadaran, dan ketidaksadaran itu memicu fasad yang lebih besar. Mereka hidup dalam gelembung kepalsuan yang sangat tebal sehingga bahkan kebenaran wahyu pun tidak dapat meletuskannya. Mereka adalah pasien yang sangat sakit tetapi meyakini dirinya paling sehat.
Penting untuk dicatat bahwa ‘Laa Yasy'uruun’ membedakan Munafik dari orang awam yang melakukan dosa atau kesalahan. Orang Mukmin yang berbuat dosa masih memiliki syu’ur (perasaan/kesadaran) yang membuatnya merasa bersalah, menyesal, dan ingin bertobat. Kesadaran ini adalah jaring pengaman iman.
Sebaliknya, Munafik kehilangan kesadaran ini. Mereka tidak memiliki rem moral atau spiritual. Kerusakan yang mereka lakukan adalah tanpa penyesalan karena dalam sistem nilai mereka, tindakan itu adalah hal yang benar. Mereka melihat keberanian orang Mukmin sebagai kebodohan, dan kehati-hatian mereka (kemunafikan) sebagai kecerdasan. Hilangnya syu’ur inilah yang membuat mereka begitu sulit diperbaiki dan mengapa mereka ditetapkan sebagai penghuni neraka pada tingkatan yang paling bawah.
Para mufassir besar telah memberikan penekanan yang beragam namun saling melengkapi terhadap makna ayat 12 ini, yang menunjukkan universalitas peringatannya.
Imam At-Thabari fokus pada makna bahasa dan keumuman kerusakan. Beliau berpendapat bahwa ‘ifsad’ mereka adalah perusakan terhadap perintah-perintah Allah, melanggar larangan-Nya, dan memecah belah persatuan. Terkait ‘laa yasy'uruun,’ beliau menafsirkannya bahwa mereka tidak tahu bahwa perbuatan mereka adalah ‘ifsad’ karena hati mereka telah dicabut pemahaman yang benar. Mereka tidak menyadari bahaya besar dari pengkhianatan mereka, baik di dunia maupun di akhirat. Penafsiran Thabari menekankan bahwa ini adalah keadaan ketidakberuntungan spiritual.
Al-Qurtubi memberikan penekanan pada aspek sosial-hukum. Beliau mengaitkan *ifsad* mereka dengan tindakan kriminal (seperti berbohong) dan tindakan yang merugikan kepentingan umum (seperti menyebarkan keraguan dan fitnah). Al-Qurtubi juga menambahkan dimensi keagamaan yang kuat: mereka merusak bumi dengan kufur, dan ketaatan kepada Allah adalah *islah* (perbaikan) bagi bumi, sementara kemaksiatan adalah *ifsad* (kerusakan). Dengan demikian, kemunafikan itu sendiri adalah kerusakan karena ia adalah kemaksiatan tertinggi setelah syirik. Mereka tidak menyadari bahwa kebohongan mereka adalah kehancuran bagi diri mereka sendiri.
Ibnu Katsir mengaitkan ayat ini kembali ke konteks sebelumnya, menekankan bahwa *ifsad* mereka adalah penentangan terhadap ajaran Nabi SAW. Ketika mereka diperintahkan untuk mengikuti jalan kebenaran (yang merupakan perbaikan bagi mereka), mereka menolak dan melakukan kebalikannya. Ibnu Katsir menguatkan bahwa ‘laa yasy'uruun’ berarti mereka tidak memiliki kesadaran diri (self-awareness) yang jujur. Mereka diselimuti ilusi dan kebodohan batin, sehingga mereka tidak bisa melihat kebenaran yang jelas di depan mata mereka.
Dalam tafsir modern, seperti yang diangkat oleh Muhammad Abduh atau Sayyid Qutb, konsep *ifsad* diperluas ke kerusakan sistemik. Munafik modern adalah mereka yang menggunakan agama untuk kepentingan politik atau ekonomi, menyebarkan korupsi struktural, atau memanipulasi media untuk menciptakan kekacauan sambil mengklaim bahwa mereka sedang melakukan reformasi atau modernisasi. ‘Laa Yasy'uruun’ di sini dapat berarti ketidakpekaan moral kolektif, di mana masyarakat mulai menerima standar ganda dan kebohongan sebagai norma, sehingga perbuatan fasad tidak lagi terasa sebagai kesalahan.
Dalam konteks modern, orang-orang yang berbuat kerusakan mungkin disadarkan oleh hukum duniawi, tetapi jika mereka tidak menyadari kerusakan spiritual dan moralnya, mereka tetap berada dalam kategori ‘laa yasy'uruun’ yang digambarkan dalam ayat ini. Mereka mungkin dihukum, tetapi mereka tetap tidak mengerti mengapa perbuatan mereka secara fundamental salah di mata Tuhan.
Ayat ini berfungsi sebagai peringatan bahwa kerusakan yang tidak disadari memiliki konsekuensi yang jauh lebih besar dan bertahan lama dibandingkan kerusakan yang dilakukan secara terang-terangan.
Munafikin mengharapkan keuntungan duniawi dari perilaku ganda mereka: keamanan dari kaum Mukmin dan penerimaan dari kaum Kafir. Namun, Allah menjelaskan bahwa ifsad mereka akan membawa hukuman di dunia. Hukuman ini mungkin berupa kekalahan moral, terungkapnya identitas mereka (seperti yang terjadi berkali-kali di Madinah), atau hilangnya berkah (barakah) dalam hidup mereka. Meskipun mereka hidup dalam kemakmuran sesaat, batin mereka dipenuhi dengan kegelisahan, keraguan, dan penyakit hati yang dijelaskan di Ayat 10: “Di dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya.” Kerusakan yang mereka sebabkan pada masyarakat akhirnya akan berbalik menyerang mereka sendiri dalam bentuk ketidakstabilan dan ketidakpercayaan umum.
Jika hukuman duniawi bersifat psikologis atau sosial, hukuman akhirat bersifat final dan kekal. Karena mereka melakukan ifsad dengan dalih islah, mereka mendapatkan tempat paling rendah di neraka. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda bahwa tanda-tanda Munafik ada tiga, salah satunya adalah jika berbicara ia berdusta. Kemunafikan, yang merupakan inti dari *ifsad* spiritual, menghilangkan kesempatan mereka untuk bertaubat dengan tulus. Karena mereka tidak menyadari bahwa mereka salah (*laa yasy'uruun*), mereka tidak pernah mencari ampunan dengan hati yang murni.
Bahaya utama dari *ifsad* yang tidak disadari adalah dampak berantainya. Seorang Munafik dapat menipu banyak orang, merusak keimanan generasi muda, dan melemahkan komitmen orang Mukmin yang masih polos. Kerusakan ini menyebar secara horizontal dan vertikal. Ketika orang Mukmin melihat bahwa Munafikin tampaknya berhasil dengan standar ganda mereka, godaan untuk meniru perilaku tersebut meningkat. Hal ini merusak integritas moral kolektif (al-jama'ah). Ayat 12 adalah seruan untuk melindungi diri dari virus ini, karena virus ini menyebar melalui ketidaktahuan dan penerimaan terhadap kepalsuan yang berbalut kebaikan.
Ayat 12 bukan hanya tentang Munafikin di masa Nabi SAW, tetapi merupakan cermin bagi setiap Mukmin untuk memeriksa keadaan batinnya. Siapa pun yang berjuang dengan kejujuran diri berisiko jatuh ke dalam jebakan ‘laa yasy'uruun’.
Munafikin adalah contoh ekstrem dari narsisisme spiritual: mereka mencintai citra diri mereka (sebagai orang yang memperbaiki) lebih dari mereka mencintai kebenaran itu sendiri. Bagi seorang Mukmin, pelajaran utamanya adalah menumbuhkan kerendahan hati dan kesediaan untuk menerima koreksi. Jika kita berbuat salah, dan kita bersikeras bahwa kita benar, kita mendekati batas ‘laa yasy'uruun’. Ketaatan sejati memerlukan kesediaan untuk mengakui bahwa perbuatan kita mungkin fasad, meskipun niat kita tampaknya baik.
Seorang Mukmin harus selalu bertanya: Apakah saya berbuat kerusakan sambil merasa memperbaiki? Apakah saya mengkritik orang lain tetapi gagal melihat kelemahan moral saya sendiri? Apakah saya menggunakan dalih agama atau kepentingan umum untuk membenarkan tindakan yang melanggar prinsip keadilan dan kejujuran?
Satu-satunya penawar terhadap kondisi ‘laa yasy'uruun’ adalah introspeksi (muhasabah) yang konstan dan mengingat (tadzakkur) wahyu ilahi. Jika Munafik kehilangan kemampuan untuk merasakan (yasy'uruun), Mukmin harus secara aktif memelihara dan memperkuat kemampuan merasakannya. Ini dicapai dengan: 1) Merujuk pada Al-Qur'an dan Sunnah sebagai standar objektif kebenaran, bukan perasaan subjektif. 2) Mencari nasihat dan kritik dari orang-orang saleh, bukan hanya dari mereka yang memuji kita. 3) Berdoa agar Allah tidak menutup hati kita dan senantiasa memberikan kesadaran. Introspeksi adalah proses pembersihan karat (Raan) dari hati.
Tanpa muhasabah, kita berisiko melakukan ifsad tanpa menyadarinya. Sebagai contoh, bersemangat dalam berdakwah, tetapi dengan cara yang memecah belah dan menfitnah, adalah bentuk *ifsad* yang dibungkus *islah*. Berusaha memenangkan perdebatan agama dengan kebohongan atau manipulasi data adalah *ifsad* yang disamarkan. Ayat 12 memperingatkan kita bahwa kejahatan paling besar sering kali dilakukan oleh mereka yang paling yakin bahwa mereka sedang berbuat baik.
Kemunafikan dimulai dengan ketidakjujuran batin. Kejujuran (sidq) adalah pilar iman, sedangkan kemunafikan (nifaq) adalah intinya *ifsad*. Untuk menghindari kondisi ‘laa yasy'uruun’, kita harus berkomitmen pada kejujuran mutlak terhadap Allah SWT, terhadap diri sendiri, dan terhadap orang lain. Hal ini mencakup kesediaan untuk mengakui kekalahan ideologis, mengakui kesalahan pribadi, dan tidak mencari dalih atau rasionalisasi ketika kita gagal memenuhi standar moral yang telah ditetapkan. Kejujuran batin inilah yang menjaga saluran kesadaran spiritual tetap terbuka, memastikan bahwa ketika kita menyimpang, kita akan segera merasakan (yasy'uruun) penyesalan dan kembali ke jalan yang benar.
Penting untuk memahami bahwa sifat kerusakan yang dilakukan oleh Munafikin, yang beroperasi di bawah selimut ketidaksadaran, menciptakan masalah struktural yang lebih sulit diberantas daripada kerusakan terbuka yang dilakukan oleh orang Kafir. Kerusakan terbuka, seperti peperangan atau penindasan, mudah diidentifikasi dan dilawan. Namun, *ifsad* yang terbungkus *islah* meracuni sumber daya moral dan sosial masyarakat.
Di masa Nabi SAW, Munafikin ada di dalam struktur pemerintahan dan militer. Tindakan mereka, meskipun disembunyikan, menyebabkan erosi kepercayaan terhadap institusi Islam yang baru didirikan. Ketika pemimpin atau anggota masyarakat yang tampaknya saleh terbukti berkhianat, masyarakat mulai meragukan semua orang. Ini adalah bentuk ifsad sistemik. Hilangnya kepercayaan ini melemahkan kemampuan masyarakat untuk bertindak kolektif dan bersatu menghadapi musuh eksternal. Ayat 12 memperingatkan bahwa mereka adalah perusak, sebab produk akhir dari segala aktivitas mereka, meskipun terlihat seperti perbaikan, adalah kehancuran fondasi sosial yang didasarkan pada iman dan kejujuran.
Fenomena ‘laa yasy'uruun’ juga menghasilkan pembiasaan kebatilan (normalization of falsehood). Ketika orang-orang yang berbuat fasad terus menerus mengklaim bahwa mereka adalah agen perbaikan, masyarakat awam yang menyaksikan kontradiksi ini cenderung mengalami kebingungan moral. Secara bertahap, garis pemisah antara benar dan salah menjadi kabur. Ini adalah bentuk kerusakan terbesar, karena mengubah pemahaman normatif tentang moralitas. Generasi yang tumbuh dalam lingkungan ini mungkin tidak pernah menyadari bahwa mereka hidup di tengah-tengah fasad. Mereka tidak yasy'uruun karena lingkungan mereka telah kehilangan syu'ur kolektifnya.
Hal ini dapat diamati dalam konteks modern di mana praktik korupsi, pencucian uang, atau manipulasi politik disamarkan dengan jargon-jargon pembangunan atau reformasi. Pelaku utama sering kali yakin bahwa tindakan mereka diperlukan demi kepentingan yang lebih besar, meskipun secara etis mereka melanggar kebenaran. Mereka adalah Munafikin kontemporer, yang dengan bangga mengklaim *islah* padahal tangan mereka penuh dengan *ifsad*.
Ketika Munafikin beroperasi, mereka sering kali meniru atau bahkan mengambil posisi otoritas agama. Mereka menyampaikan fatwa atau ajaran yang melayani tujuan perusakan mereka. Ini menciptakan kebingungan di kalangan umat tentang siapa yang harus dipercaya. Mereka merusak kemurnian sumber ajaran. Mereka adalah parasit spiritual yang hidup dari sistem yang mereka coba hancurkan. Ayat 12 adalah wahyu yang mengungkapkan realitas ini, membantu umat membedakan antara retorika perbaikan dan substansi kerusakan.
Oleh karena itu, penegasan ilahi ‘Alaa innahum humul mufsiduun’ adalah sebuah rahmat bagi kaum Mukmin. Tanpa penegasan ini, kaum Mukmin mungkin akan selamanya kebingungan, tidak tahu apakah kelompok yang mengaku memperbaiki itu benar-benar memperbaiki atau justru sebaliknya. Allah memberikan kejelasan mutlak: jangan tertipu oleh penampilan, identitas sejati mereka adalah perusak. Kesadaran ini adalah langkah pertama untuk melindungi diri dan komunitas dari *ifsad* tersembunyi.
Proses ifsad menuju laa yasy'uruun adalah proses yang berkelanjutan. Setiap kali seorang Munafik berbuat fasad dan berhasil merasionalisasikannya sebagai islah, hatinya semakin mengeras. Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah menjelaskan bahwa dosa adalah titik hitam di hati. Jika tidak ditaubati, titik itu membesar hingga menutupi seluruh hati, yang kemudian mengarah pada ‘ghafilah’ dan hilangnya kesadaran. Munafik adalah orang yang telah mencapai tahap akhir proses ini, di mana seluruh hatinya telah diselimuti oleh kegelapan dosa, sehingga ia tidak lagi memiliki kemampuan sensor moral untuk mendeteksi kerusakannya sendiri. Kerusakan ini tidak hanya eksternal, tetapi telah menjadi kualitas batin mereka.
Inilah yang membuat Munafikin begitu berbahaya: mereka adalah individu yang jiwanya telah mati, tetapi tubuhnya masih bergerak di antara orang hidup. Mereka beroperasi tanpa nurani yang berfungsi. Mereka percaya pada narasi palsu mereka sendiri. Ayat ini adalah peringatan kosmik bahwa kehilangan kesadaran diri yang jujur adalah bencana yang lebih besar daripada dosa yang disadari, karena ia menghilangkan potensi tobat dan pemulihan spiritual.
Kita kembali pada penekanan ganda dalam ayat ini: ‘Innahum Humul Mufsiduun’. Penggunaan dhamir fasal ‘Hum’ (mereka sendiri) di tengah kalimat memiliki bobot yang luar biasa, yang perlu diuraikan lebih lanjut untuk mencapai kedalaman tafsir 5000 kata ini.
Dalam ilmu Balaghah (Retorika Qur'an), keberadaan dhamir fasal di sini berfungsi untuk al-hasr, yaitu pembatasan. Ini berarti: hanya mereka, dan bukan yang lain, yang pantas menyandang gelar ‘Al-Mufsiduun’. Tujuannya adalah untuk membatalkan sepenuhnya klaim islah mereka (yang juga bersifat hasr: ‘Innamaa Nahnu Muslihuun’). Allah membalikkan totalitas klaim mereka dengan totalitas identitas sejati.
Jika ada sedikit saja keraguan atau kemungkinan bahwa Munafikin juga memiliki niat perbaikan, maka dhamir fasal ‘Hum’ tidak akan digunakan. Tetapi karena mereka telah mencapai tingkat kemunafikan total, di mana hati mereka sepenuhnya menolak kebenaran, maka identitas ‘perusak’ menjadi identitas permanen mereka. Pengkhususan ini memberikan kepastian bagi kaum Mukmin bahwa mereka tidak perlu ragu lagi dalam menilai kelompok tersebut.
‘Hum’ juga menekankan kontras identitas. Di mata manusia, mereka adalah Muslim, kawan, tetangga, mungkin tokoh terhormat. Tetapi di mata Allah, yang melihat inti jiwa dan hati, mereka adalah hanya perusak. Identitas lahiriah mereka ditiadakan oleh realitas batin mereka. Ayat ini mengajarkan bahwa penilaian sejati (hukum Allah) selalu didasarkan pada hakikat batin, bukan pada penampilan lahiriah.
Hal ini juga menuntut kita untuk selalu waspada: seseorang yang tampak paling ramah dan paling religius bisa jadi, di balik tabir ‘laa yasy'uruun’, adalah seorang perusak. Kata ‘Hum’ memaksa pembaca untuk melihat melampaui retorika dan ritual, menuju motif dan dampaknya. Seberapa sering kita menilai orang berdasarkan kata-kata mereka, padahal Allah menginstruksikan kita untuk menilai berdasarkan buah dari perbuatan mereka, dan terutama, substansi batin yang mendorong perbuatan itu?
Dhamir ‘Hum’ di sini juga berfungsi sebagai penekanan kualitatif yang tinggi. Ini berarti mereka adalah The Ultimate Corruptors atau The Corruptors Par Excellence. Mereka bukan hanya orang yang kebetulan melakukan kerusakan; mereka telah menjadikan kerusakan sebagai keahlian, profesi, dan tujuan eksistensi mereka, meskipun mereka sendiri tidak sadar akan hal tersebut. Inilah bahaya terbesar yang dihadapi umat: ketika kejahatan menjadi identitas yang disucikan dan dipuja sebagai kebijaksanaan atau strategi.
Penghargaan ini (gelar ‘Al-Mufsiduun’) datang dari Sumber Kebenaran yang Mutlak, dan oleh karena itu, ia bersifat permanen selama mereka mempertahankan kondisi kemunafikan. Selama mereka menolak untuk menyadari kerusakan mereka (*laa yasy'uruun*), mereka akan tetap berada di bawah vonis ilahi sebagai perusak, terlepas dari segala upaya penipuan dan pembenaran diri yang mereka lakukan di dunia fana ini.
Jika Munafikin hidup dalam siklus kerusakan dan ketidaksadaran (*ifsad* dan *laa yasy'uruun*), maka kaum Mukminin harus hidup dalam siklus pembaruan dan kesadaran (*islah* dan *yasy'uruun*).
Tujuan dari ketaatan (ibadah) dalam Islam adalah untuk menjaga agar syu'ur (kesadaran spiritual dan moral) tetap hidup. Salat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar karena ia mengaktifkan kesadaran batin. Puasa mengajarkan empati dan kontrol diri, yang merupakan wujud kesadaran sosial. Zikir menjaga hati agar senantiasa mengingat Allah, mencegah kelalaian (ghaflah) yang merupakan akar dari *laa yasy'uruun*. Dalam setiap ibadah, kita dilatih untuk yasy'uruun, untuk merasakan kehadiran Allah dan merasakan dampak dari tindakan kita.
Seorang Mukmin yang sejati akan memiliki kepekaan yang tinggi terhadap fasad. Ketika ia melihat ketidakadilan, hatinya akan merasa sakit. Ketika ia berbuat kesalahan, ia akan segera menyadarinya dan menyesal. Perasaan sakit dan penyesalan ini adalah bukti bahwa hati belum diselimuti oleh Raan. Ayat 12 adalah standar diagnostik: jika hati tidak lagi merasakan sakit karena dosa, maka kita sedang mendekati kondisi kemunafikan yang kronis.
Lawan dari *ifsad* Munafikin adalah *islah* yang didasarkan pada keikhlasan (ikhlas) dan sesuai dengan tuntunan syariat. *Islah* sejati adalah memperbaiki diri sendiri sebelum memperbaiki orang lain, menegakkan keadilan (adl) dalam segala urusan, dan bersaksi tentang kebenaran meskipun merugikan diri sendiri (sidq). Ketika seorang Mukmin berusaha untuk *islah*, ia tidak mencari pengakuan manusia (riya'), melainkan ridha Allah. *Islah* semacam ini tidak akan pernah menghasilkan fasad, karena ia dibangun di atas fondasi kejujuran dan tauhid yang murni.
Surah Al-Baqarah, dengan detailnya tentang Munafikin, memberikan petunjuk jelas tentang bagaimana membangun masyarakat yang sejati dan berkelanjutan. Masyarakat tersebut haruslah yang anggotanya secara aktif melawan *ifsad* dalam segala bentuknya, baik yang dilakukan oleh musuh terbuka maupun yang disamarkan oleh musuh internal. Dan perjuangan pertama selalu dimulai dari internal diri sendiri: memastikan bahwa kita sendiri tidak sedang berbuat kerusakan sambil meyakini bahwa kita sedang memperbaiki.
Ayat 12 dari Surah Al-Baqarah adalah salah satu ayat terpenting yang menjelaskan dinamika pertempuran spiritual dalam komunitas beriman. Ayat ini mengajarkan kita bahwa bahaya terbesar bagi iman sering kali tidak datang dari luar, tetapi dari dalam, dari mereka yang memiliki wajah ganda. Ia menelanjangi ilusi kemunafikan dan mengungkapkan identitas sejati para pelakunya sebagai perusak mutlak: “Ketahuilah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang berbuat kerusakan, tetapi mereka tidak menyadari.”
Peringatan ini bersifat universal dan abadi. Di setiap zaman, akan ada kelompok atau individu yang menggunakan bahasa perbaikan (islah), reformasi, atau diplomasi, untuk menutupi niat destruktif mereka. Tugas seorang Mukmin adalah mengembangkan furqan (daya pembeda) yang diasah oleh wahyu, agar tidak tertipu oleh klaim palsu dan retorika kosong. Kesadaran (syu’ur) yang jujur, introspeksi berkelanjutan, dan komitmen pada kebenaran adalah benteng pertahanan terakhir melawan penyakit spiritual Munafikin.
Semoga Allah SWT menjaga hati kita dari penyakit *ifsad* dan menganugerahi kita kesadaran (syu'ur) yang tulus, sehingga kita termasuk ke dalam golongan orang-orang yang senantiasa berbuat perbaikan, bukan kerusakan.
Artikel ini telah membahas secara mendalam struktur linguistik, konteks teologis, implikasi psikologis, dan relevansi kontemporer dari Surah Al-Baqarah Ayat 12. Analisis menyeluruh terhadap setiap kata, terutama penekanan ‘Alaa innahum humul mufsiduun’ dan dampak spiritual dari ‘walakin laa yasy'uruun,’ menegaskan bahwa ayat ini adalah fondasi penting dalam memahami etika dan moralitas Qur'ani.
Pemahaman ini bukan hanya teori, tetapi panduan praktis untuk kehidupan sehari-hari. Ia menuntut kejujuran batin yang radikal, menolak segala bentuk pembenaran diri yang merusak, dan memperjuangkan keadilan serta kebenaran sejati di tengah-tengah klaim-klaim palsu tentang perbaikan. Hanya dengan demikian, komunitas Mukmin dapat menjaga dirinya dari erosi internal yang ditimbulkan oleh agen-agen kerusakan yang tidak disadari.
Setiap detail yang terkandung dalam ayat ini, dari penggunaan kata sandang penentu hingga bentuk partisip aktifnya, membawa bobot kebenaran yang mutlak. Pesan utamanya adalah: Waspadai orang yang kerusakan terbesarnya adalah kebutaan spiritual terhadap kerusakannya sendiri. Perjuangan untuk perbaikan (islah) adalah perjuangan untuk kesadaran (syu'ur) sejati.