Surah Al-Baqarah Ayat 216: Pergulatan Manusia dan Kebijaksanaan Ilahi

Ilustrasi Jalan Sulit dan Mudah yang Diukur oleh Timbangan Hikmah Ilahi Gambar ilustrasi sebuah timbangan keadilan. Salah satu sisinya (yang berat) menggambarkan jalan mendaki dan sulit (disukai Allah), sisi lainnya (yang ringan) menggambarkan jalan datar dan mudah (tidak disukai nafsu). Di tengahnya terdapat simbol mata yang melambangkan kebijaksanaan Allah. SULIT (Disukai) MUDAH (Dibenci) HIKMAH

I. Pendahuluan: Kontradiksi Fitrah dan Perintah

Surah Al-Baqarah, sebagai surah terpanjang dalam Al-Qur’an, memuat pedoman hidup yang sangat komprehensif, mulai dari akidah, muamalah, hingga syariat yang mengatur peperangan. Di antara sekian banyak ayat yang penuh makna, ayat 216 memiliki daya tarik filosofis dan psikologis yang luar biasa. Ayat ini tidak hanya memberikan perintah yang spesifik, tetapi juga menyingkap tirai psikologi dasar manusia: kecenderungan alami untuk membenci sesuatu yang sulit, meskipun di dalamnya tersimpan kebaikan hakiki, dan mencintai sesuatu yang mudah, meskipun di baliknya tersembunyi kerugian yang fatal.

Ayat mulia ini adalah landasan penting untuk memahami konsep ketundukan total (Islam). Ketika akal dan nafsu manusia berbenturan dengan perintah Ilahi yang terasa berat atau tidak nyaman, ayat ini menegaskan bahwa pandangan manusia hanyalah sebatas horizon yang pendek, sementara pengetahuan Allah meliputi segala dimensi waktu, ruang, dan konsekuensi. Dialah Yang Maha Mengetahui, sementara kita, manusia, adalah makhluk yang serba terbatas pengetahuannya.

Perintah utama yang disinggung dalam konteks awal ayat ini adalah ‘Perang’ atau ‘Qital’, sebuah kewajiban yang secara fitrah sangat dibenci oleh manusia karena implikasinya yang melibatkan pertumpahan darah, kehilangan nyawa, dan kesulitan fisik yang ekstrem. Namun, perluasan makna ayat ini melampaui medan perang fisik; ia menyentuh setiap aspek kehidupan di mana manusia dihadapkan pada pilihan antara kesulitan yang menghasilkan manfaat jangka panjang dan kemudahan yang berujung pada kerugian abadi.

Kajian mendalam terhadap Surah Al-Baqarah ayat 216 adalah perjalanan memahami hati dan pikiran kita sendiri, serta pengakuan mutlak atas superioritas dan kesempurnaan hikmah (kebijaksanaan) Allah SWT. Ayat ini mengajarkan kita bahwa ujian hidup seringkali datang dalam bentuk yang paling kita takuti atau hindari, dan bahwa kebahagiaan sejati seringkali hanya dapat dicapai melalui jalan kesabaran, disiplin, dan pengorbanan yang justru terasa pahit di awal.

II. Teks dan Terjemah Ayat 216

Untuk memahami kedalaman ayat ini, kita harus merenungkan setiap komponennya:

كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَّكُمْ ۖ وَعَسَىٰٓ أَن تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ وَعَسَىٰٓ أَن تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216)

III. Analisis Lafziyah dan Konteks Hukum

A. Makna Kata Kunci

1. كُتِبَ عَلَيْكُمُ (Kutiba ‘alaykum): Diwajibkan atas kamu

Penggunaan kata ‘kutiba’ (telah ditulis/diwajibkan) dalam Al-Qur’an selalu mengindikasikan perintah yang tegas dan mengikat (fardhu). Kata ini juga digunakan untuk mewajibkan puasa (QS Al-Baqarah: 183) dan qisas (QS Al-Baqarah: 178). Ini menunjukkan bahwa perintah Qital (berperang) adalah kewajiban yang ditetapkan secara definitif, bukan sekadar anjuran (sunnah). Kewajiban ini adalah penetapan hukum (tasyri') yang harus diterima oleh umat Islam saat itu, terlepas dari perasaan subjektif mereka.

Penetapan kewajiban ini muncul setelah periode yang panjang di Mekkah di mana umat Islam hanya diperintahkan untuk bersabar (sabr) dan menahan diri dari peperangan. Ketika komunitas Islam telah terbentuk di Madinah dan menghadapi ancaman eksistensial yang nyata dari musuh-musuh, barulah perintah ini diturunkan. Ini menunjukkan bahwa kewajiban militer adalah respons yang diatur oleh Allah, bukan sekadar tindakan emosional.

2. الْقِتَالُ (Al-Qital): Berperang

Qital secara harfiah berarti saling bunuh atau pertempuran. Dalam konteks syariat, ini merujuk pada upaya pertahanan diri dan penegakan keadilan melalui kekuatan militer, terutama ketika dakwah dan perjanjian damai tidak lagi memungkinkan. Para ulama tafsir sepakat bahwa Qital pada masa awal Islam ini sangat dibenci karena melibatkan risiko tertinggi: kematian. Namun, Qital ini adalah wasilah (sarana) untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi, yaitu kebebasan beribadah dan perlindungan agama dari kezaliman.

Jika kita meninjau dari sudut pandang psikologis, Qital adalah puncak dari segala kesulitan fisik, emosional, dan mental. Perasaan benci (kruh) yang disebutkan setelahnya adalah pengakuan Ilahi atas fitrah manusiawi—bahwa manusia normal tidak suka menghadapi bahaya besar, terutama yang mengancam nyawa. Ini adalah pengakuan yang lembut dari Allah bahwa Dia memahami kesulitan hamba-Nya.

3. وَهُوَ كُرْهٌ لَّكُمْ (Wa huwa kurhun lakum): Padahal ia amat kamu benci

Kata kurh (dengan dhammah pada kaf) merujuk pada sesuatu yang dibenci atau tidak disukai, yang dipaksakan atas seseorang, biasanya melibatkan kesakitan atau kesulitan fisik maupun mental. Ini adalah inti dari psikologi ayat ini. Allah mengetahui bahwa perintah tersebut sulit dan tidak nyaman bagi jiwa. Pengakuan ini berfungsi sebagai penenang batin; umat Islam tahu bahwa Pencipta mereka mengetahui penderitaan mereka, namun perintah itu harus dilaksanakan karena alasan yang melampaui pengetahuan mereka.

B. Asbabun Nuzul (Sebab Turunnya Ayat)

Menurut banyak riwayat tafsir, ayat ini turun di Madinah setelah kaum Muslimin menghadapi tekanan berat dan ancaman serangan dari Quraisy Mekkah. Awalnya, kaum Muslimin di Madinah ragu-ragu untuk mengangkat senjata. Ada dua faktor utama yang menyebabkan keraguan mereka:

  1. Ketakutan Alami: Ketakutan akan kematian dan meninggalkan keluarga, sebuah naluri dasar manusia.
  2. Kekuatan Musuh: Musuh, terutama Quraisy, jauh lebih kuat dan memiliki perlengkapan perang yang lebih lengkap.

Kaum Muslimin pada saat itu bahkan sempat memohon agar perintah Qital itu ditunda atau dibatalkan. Respon Al-Qur'an melalui ayat 216 ini adalah jawaban langsung terhadap keraguan tersebut. Ini adalah penegasan bahwa kewajiban itu datang dari Allah, dan bahwa ketidaksukaan subjektif manusia tidak boleh menjadi penghalang untuk melaksanakan perintah-Nya, karena hikmah Allah jauh lebih luas.

IV. Filosofi 'Ketidaksukaan' dan 'Kebaikan'

Inti filosofis dari ayat 216 terletak pada bagian kedua: relasi antara perasaan manusia (benci/suka) dan konsekuensi objektif (baik/buruk). Bagian ini mengangkat sebuah kaidah universal yang melampaui konteks peperangan, menjadi pedoman dalam setiap keputusan hidup.

A. Kebenaran yang Terasa Pahit (Taqdir dan Hikmah)

“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu.”

Pernyataan ini mencerminkan keterbatasan perspektif manusia. Kita cenderung mengukur kebaikan berdasarkan kenyamanan segera, kepuasan emosional, atau keuntungan materi yang terlihat di hadapan mata. Namun, Allah, sebagai Sang Perencana Agung, mengetahui dampak jangka panjang dan akhir dari setiap peristiwa. Sesuatu yang kita benci seringkali mengandung:

1. Kebaikan Rohani (Penyucian Jiwa)

Kesulitan, sakit, atau kerugian materi (seperti berperang, kemiskinan, atau penyakit) seringkali memaksa jiwa untuk kembali kepada Allah (tawakkal), membersihkan dosa, dan meningkatkan derajat kesabaran (sabr). Tanpa kesulitan, jiwa cenderung sombong dan lupa diri. Kebaikan di sini adalah kematangan spiritual yang hanya bisa dicapai melalui penderitaan yang dibenci.

Sebagai contoh, kewajiban Qital mungkin menyebabkan kematian (yang dibenci), tetapi bagi mukmin, kematian di jalan Allah (syahid) adalah kebaikan tertinggi yang mengantar langsung ke surga. Ini adalah keuntungan abadi yang jauh melampaui kerugian duniawi sesaat.

2. Kebaikan Sosial dan Kolektif (Maslahah Ammah)

Terkadang, perintah yang dibenci oleh individu (seperti membayar zakat, menegakkan hukum yang keras, atau berperang) adalah hal yang mutlak baik bagi kelangsungan komunitas dan tegaknya keadilan di bumi. Individualisme cenderung memandang kesulitan hanya dari kacamata diri sendiri, padahal kewajiban tersebut mungkin merupakan fondasi bagi kedamaian dan keamanan seluruh masyarakat (maslahah ammah). Kebaikan yang dimaksud di sini adalah terciptanya tatanan sosial yang adil (kebaikan kolektif), yang lebih utama daripada kenyamanan pribadi.

B. Kesukaan yang Berujung Bahaya

“Dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu.”

Kebalikan dari poin pertama, ayat ini memperingatkan bahaya mengikuti hawa nafsu dan kesenangan duniawi yang mudah dicapai. Manusia cenderung menyukai kemalasan, kekayaan tanpa kerja keras, pujian, dan kepuasan syahwat yang instan. Namun, semua 'kesukaan' ini seringkali adalah perangkap.

1. Kerugian Spiritual Jangka Panjang

Kesenangan yang disukai tanpa batas, seperti harta haram atau popularitas yang menyebabkan riya', mungkin terasa manis di dunia, tetapi ia menghancurkan iman, menghalangi seseorang dari ketaatan, dan menuntun kepada kerugian di akhirat. Keburukan di sini adalah hilangnya fokus pada tujuan utama penciptaan manusia, yaitu ibadah dan ketaatan kepada Allah.

2. Ilusi Kenyamanan

Dalam konteks Qital, menyukai kedamaian dan menghindari perang (padahal harusnya berperang) mungkin terasa nyaman, tetapi jika hal itu berarti membiarkan musuh menghancurkan agama dan komunitas, maka kedamaian itu adalah ilusi yang buruk. Menghindari tanggung jawab yang sulit demi kenyamanan sesaat adalah kerugian moral dan spiritual yang signifikan.

V. Kekuatan Penutup Ayat: Allah Ya'lamu wa Antum La Ta'lamun

وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

(Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.)

Frasa penutup ini adalah jantung teologis ayat 216. Ini adalah penegasan Tauhid Rububiyah (keesaan Allah dalam mengatur alam semesta) dan Tauhid Asma’ wa Sifat (keesaan Allah dalam sifat-sifat-Nya, termasuk pengetahuan mutlak). Kalimat ini berfungsi sebagai penutup argumen yang mutlak dan tidak terbantahkan, membatalkan semua keberatan emosional dan logika manusiawi yang terbatas.

A. Keterbatasan Pengetahuan Manusia (Taqsir)

Pengetahuan manusia terbatas dalam tiga dimensi utama:

  1. Waktu (Jangka Pendek): Kita hanya dapat melihat saat ini dan masa depan dekat. Kita tidak mengetahui konsekuensi penuh dari tindakan kita dalam kurun waktu 10, 20, atau 100 tahun ke depan, apalagi di akhirat.
  2. Ruang (Konsekuensi Luas): Kita tidak mengetahui dampak sebuah perintah terhadap seluruh umat, atau bahkan terhadap makhluk lain di alam semesta.
  3. Niat (Hati): Kita bahkan tidak sepenuhnya mengetahui niat tersembunyi kita sendiri, apalagi niat orang lain, sementara Allah mengetahui isi hati dan rahasia yang tersembunyi.

Pengakuan ‘Antum La Ta'lamun’ (kalian tidak mengetahui) adalah ajakan untuk rendah hati (tawadhu’). Ayat ini mengajarkan bahwa sikap seorang mukmin yang paling utama adalah menerima perintah Ilahi, meskipun perintah itu bertentangan dengan preferensi pribadi, semata-mata karena keyakinan bahwa Sumber perintah itu adalah Dzat Yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui.

B. Ilmu Allah yang Mutlak (Al-Alim)

Sebaliknya, ‘Wallahu Ya’lam’ (Allah mengetahui) menunjukkan bahwa Allah melihat secara komprehensif (ilmu-Nya meliputi Al-Ghaib, yang gaib, dan Ash-Shahadah, yang tampak). Ketika Allah memerintahkan sesuatu yang sulit, Dia tidak bermaksud menyiksa, melainkan mendidik dan memberikan manfaat tertinggi.

Sifat ilmu Allah ini menjadi jaminan (guarantee) bagi orang beriman. Jika suatu perintah datang dari Dzat yang ilmunya absolut dan kasih sayang-Nya melampaui segala sesuatu, maka perintah itu pasti mengandung maslahat (kebaikan), meskipun rasanya seperti menelan obat pahit. Keyakinan ini adalah kekuatan spiritual utama yang memungkinkan seorang hamba menghadapi ujian terberat, termasuk medan Qital yang dibenci.

C. Prinsip Tawakkal dan Rida

Ayat 216 memicu dua sikap mental yang fundamental: Tawakkal (berserah diri sepenuhnya kepada Allah setelah berusaha) dan Rida (lapang dada menerima ketetapan Allah). Tawakkal muncul dari keyakinan bahwa Allah tahu yang terbaik, dan Rida muncul dari penerimaan bahwa meskipun jalan itu sulit, akhir dari jalan yang diperintahkan Allah pasti baik.

Jika seorang Muslim terus-menerus mengutamakan yang disukai nafsu daripada yang diwajibkan syariat, maka dia telah menempatkan ilmunya yang terbatas di atas Ilmu Allah yang tak terbatas. Ayat ini menutup pintu bagi rasionalisasi yang didasarkan pada keinginan pribadi untuk menghindari kewajiban.

VI. Perluasan Makna: Jihadun Nafs dan Kehidupan Modern

Meskipun ayat 216 secara kontekstual diturunkan mengenai kewajiban Qital (perang fisik), para ulama dan ahli hikmah telah sepakat bahwa prinsip psikologis dan teologis yang terkandung di dalamnya memiliki aplikasi universal dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam konteks ‘Jihadun Nafs’ (perjuangan melawan hawa nafsu).

A. Jihad dalam Ibadah (Ketaatan yang Dibenci)

Banyak ibadah wajib yang secara naluriah dibenci oleh nafsu karena bertentangan dengan kenyamanan fisik atau keinginan materi:

1. Shalat Subuh: Kesulitan Bangun

Bangun dari tidur nyenyak pada waktu Subuh adalah hal yang dibenci (kurh) oleh tubuh dan nafsu yang menginginkan istirahat. Namun, ketaatan untuk Shalat Subuh pada waktunya adalah kebaikan yang amat besar (khayr), baik dalam aspek pahala maupun disiplin diri. Rasa kantuk dan keinginan untuk kembali tidur adalah manifestasi nyata dari ketidaksukaan yang harus diatasi dengan kesadaran akan kebaikan yang hakiki.

2. Puasa: Kesulitan Menahan Diri

Puasa (saum) melibatkan penahanan diri dari hal-hal yang disukai nafsu, seperti makan, minum, dan syahwat, dari fajar hingga senja. Ini adalah kesulitan fisik yang dibenci. Namun, puasa adalah proses penyucian jiwa, pengendalian diri, dan pencapaian derajat takwa (kebaikan yang hakiki).

3. Sedekah dan Zakat: Kesulitan Mengeluarkan Harta

Manusia pada umumnya mencintai harta dan membenci pengeluaran yang mengurangi kepemilikan. Zakat dan sedekah terasa berat (kurh) bagi jiwa yang kikir. Namun, perintah ini adalah pembersih harta, penyeimbang sosial, dan investasi abadi (kebaikan yang hakiki).

B. Jihad dalam Disiplin Ilmu dan Karir

Penerapan ayat 216 juga relevan dalam menghadapi proses pendidikan, pekerjaan, dan pengembangan diri:

  1. Belajar Keras: Membaca buku tebal, menghafal, dan begadang untuk ilmu terasa sangat dibenci (kurh) dibandingkan dengan hiburan atau istirahat. Namun, ilmu yang didapatkan adalah kemuliaan dan manfaat abadi (khayr).
  2. Menjaga Integritas: Menolak suap atau tawaran haram yang cepat mendatangkan kekayaan adalah tindakan yang dibenci nafsu karena melewatkan kesempatan mudah. Namun, menjaga integritas dan rezeki halal adalah kebaikan yang fundamental.
  3. Menghadapi Kritik: Kritik yang membangun seringkali menyakitkan dan dibenci oleh ego. Namun, ia adalah alat koreksi yang menghasilkan perbaikan dan pertumbuhan (khayr). Sementara pujian yang disukai (hubb) bisa menjadi racun kesombongan (sharr).

Setiap orang memiliki ‘medan perang’ internalnya sendiri yang ditentukan oleh ayat 216. Setiap kali kita merasa berat melakukan sesuatu yang kita yakini benar menurut syariat, atau tergoda melakukan sesuatu yang mudah tetapi kita tahu itu salah, kita sedang mengaktualisasikan pesan ayat ini: bahwa pandangan kita dangkal, dan hanya Allah yang mengetahui hakikat hasilnya.

VII. Kedalaman Syariah: Hubungan Ayat 216 dengan Lima Hukum Taklifi

Dalam ilmu Ushul Fiqh (Prinsip-prinsip Hukum Islam), perintah dan larangan diklasifikasikan menjadi lima kategori (Al-Ahkam Al-Khamsah): Wajib, Sunnah, Mubah, Makruh, dan Haram. Ayat 216 berinteraksi kuat dengan semua kategori ini, terutama yang berkaitan dengan motivasi dan persepsi manusia.

A. Al-Wajib (Wajib) dan Al-Haram (Haram)

Ayat 216 langsung berhubungan dengan Wajib dan Haram. Semua yang diwajibkan oleh Allah—meskipun dirasa sulit (kurh), seperti Qital, Haji, atau berbuat adil—pasti mengandung kebaikan (khayr). Sebaliknya, semua yang diharamkan—meskipun terasa menyenangkan dan disukai (hubb), seperti riba, zina, atau khamr—pasti mengandung keburukan (sharr).

Tugas mukmin adalah mengubah preferensi emosionalnya agar sejalan dengan hukum syariat. Jika syariat mewajibkan Qital, maka mukmin harus berjuang agar tidak membencinya, melainkan melihatnya sebagai peluang kebaikan. Jika syariat mengharamkan riba, mukmin harus berjuang melawan kecintaan pada keuntungan instan yang mudah (riba) karena itu adalah keburukan yang tersembunyi.

B. Al-Makruh (Dibenci) dan Al-Mandub (Sunnah)

Ayat ini juga memberikan wawasan tentang Makruh (hal-hal yang tidak dianjurkan, tetapi tidak haram) dan Mandub (Sunnah, hal-hal yang dianjurkan). Sesuatu yang Makruh seringkali menarik bagi nafsu karena kemudahannya, meskipun secara etika dan spiritual tidak baik. Menghindari yang Makruh adalah sebuah latihan mengutamakan ‘khayr’ di atas ‘hubb’.

Sebaliknya, banyak amalan Sunnah yang terasa berat untuk dilakukan secara konsisten (seperti shalat malam, puasa sunnah, atau tilawah rutin). Mengambil inisiatif untuk melakukan amalan Sunnah ini, meskipun dirasa memberatkan (kurh), adalah investasi spiritual yang dijamin mengandung kebaikan besar (khayr), mengukuhkan keimanan kita terhadap ‘Wallahu Ya’lamu wa Antum La Ta’lamun’.

C. Peran Niat dan Ilmu Yaqin

Pengamalan hukum Islam membutuhkan niat yang murni dan keyakinan (yaqin) yang kuat. Ayat 216 menegaskan bahwa niat untuk melaksanakan kewajiban (Wajib) harus didasarkan bukan pada rasa suka atau benci, tetapi pada keyakinan bahwa Allah telah memilihkan yang terbaik. Ilmu Yaqin inilah yang mengubah persepsi seorang prajurit dari melihat medan perang sebagai tempat kematian menjadi lapangan kehormatan syahid.

Tanpa keyakinan ini, ketaatan hanyalah formalitas yang mudah runtuh ketika dihadapkan pada kesulitan yang lebih besar. Ayat ini memastikan bahwa fondasi ketaatan adalah keimanan rasional pada kebijaksanaan Ilahi, bukan semata-mata perasaan emosional.

VIII. Implikasi Kontemporer Ayat 216 dalam Kehidupan Umat

Pesan dari Al-Baqarah 216 tetap abadi dan relevan, mengajarkan umat Islam di era modern untuk menghadapi tantangan dengan perspektif tauhid yang benar.

A. Menghadapi Ujian Ekonomi dan Kekurangan

Di masa modern, banyak orang membenci (kurh) kesulitan finansial, kemiskinan, atau kegagalan bisnis. Kecintaan yang kuat (hubb) terhadap kekayaan instan mendorong pada praktik yang haram seperti investasi berbasis riba atau penipuan. Ayat 216 memberikan perspektif:

Mungkin kemiskinan atau kesulitan rezeki yang dibenci adalah kebaikan (khayr) karena menjauhkan seseorang dari kesombongan, memaksa dia untuk bersabar, dan meningkatkan ketergantungan spiritualnya kepada Allah. Sebaliknya, kekayaan mendadak yang disukai mungkin adalah keburukan (sharr) yang melalaikan dari ibadah dan menjerumuskan pada maksiat.

Tugas kita adalah berikhtiar keras (Jihadul Mal) namun tetap rida terhadap hasil yang ditetapkan Allah, karena Dia lebih mengetahui apa yang baik untuk kondisi spiritual kita.

B. Tantangan Kesehatan dan Penyakit

Penyakit atau musibah kesehatan adalah hal yang sangat dibenci (kurh) oleh manusia. Dalam tafsir kontemporer, sakit parah atau kehilangan anggota keluarga yang dicintai dapat dianggap sebagai manifestasi dari ‘sesuatu yang dibenci’.

Namun, dalam pandangan Islam, penyakit adalah cara Allah menghapus dosa, meninggikan derajat, dan mengingatkan hamba akan keterbatasannya. Sakit itu adalah kebaikan (khayr) jika dihadapi dengan sabar dan diterima sebagai ujian. Sementara kesehatan prima yang disukai, jika digunakan untuk maksiat dan kelalaian, adalah keburukan (sharr) di mata Allah.

C. Kontradiksi Demokrasi dan Syariah

Dalam konteks politik dan sosial, ayat ini sangat penting. Syariat (hukum Islam) seringkali dibenci oleh sebagian masyarakat karena dianggap kaku, tidak modern, atau membatasi kebebasan (kurh). Sebaliknya, kebebasan tanpa batas (liberalisme) atau sistem yang memprioritaskan keinginan mayoritas daripada kebenaran Ilahi sering disukai (hubb) karena memberikan kenyamanan dan otonomi pribadi.

Ayat 216 mengingatkan bahwa hukum Allah, meskipun terasa berat atau membatasi, adalah satu-satunya jalan menuju kebaikan hakiki (khayr), keadilan sejati, dan kedamaian abadi. Sementara ideologi yang disukai manusia, yang mengabaikan batasan agama, dapat membawa kerusakan moral dan sosial yang hebat (sharr).

Mukmin harus yakin bahwa penegakan Syariat, meskipun memerlukan pengorbanan dan perjuangan berat (Qital dalam makna perjuangan politik/dakwah), adalah kebaikan yang fundamental karena berasal dari Dzat Yang Maha Tahu.

IX. Melatih Jiwa Mengatasi Rasa Benci Terhadap Kebaikan

Bagaimana seorang mukmin dapat mengubah rasa benci (kurh) terhadap kewajiban menjadi rasa suka (mahabbah) atau setidaknya rida (penerimaan ikhlas)? Ini adalah inti dari tazkiyatun nufus (penyucian jiwa).

A. Konsep Mujahadah (Perjuangan Keras)

Langkah pertama adalah Mujahadah, yaitu perjuangan keras melawan kecenderungan diri sendiri. Seseorang harus memaksa dirinya untuk taat meskipun merasa berat. Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa amal yang paling besar pahalanya adalah yang paling berat dilakukan oleh hati, sebab ia memerlukan mujahadah yang lebih besar.

Ketika seseorang rutin melakukan amal yang berat (misalnya, Qiyamullail), lama-kelamaan rasa benci itu akan berkurang, tergantikan oleh rasa manisnya ketaatan (halawatul iman). Ini adalah transformasi psikologis yang dihasilkan dari kepatuhan yang konsisten, berlandaskan keyakinan bahwa Allah tahu yang terbaik.

B. Memperdalam Ilmu dan Refleksi

Rasa benci terhadap suatu perintah seringkali berakar pada kebodohan tentang manfaat perintah tersebut. Dengan memperdalam ilmu (tafakkur dan tadabbur) tentang hikmah di balik puasa, salat, atau kewajiban sosial lainnya, seorang mukmin akan memahami bahwa apa yang ia benci (kurh) sebenarnya adalah jalan menuju pembebasan, bukan belenggu.

Refleksi konstan terhadap firman ‘Wallahu Ya’lamu wa Antum La Ta’lamun’ berfungsi sebagai pengingat harian bahwa perasaan kita adalah indikator yang buruk untuk menentukan kebaikan sejati. Ilmu adalah cahaya yang mengusir kegelapan kebodohan dan rasa benci. Semakin tinggi ilmunya, semakin mudah baginya untuk tunduk meskipun perintah itu sulit.

C. Menghadirkan Akhirat dalam Setiap Keputusan

Kunci untuk mengatasi kecintaan pada yang buruk (sharr) dan kebencian pada yang baik (khayr) adalah dengan mengukur segala sesuatu dengan timbangan akhirat. Kebaikan yang ditawarkan dunia selalu sementara, sementara kebaikan yang dijanjikan Allah adalah kekal.

Seorang Muslim yang menjadikan akhirat sebagai tujuan utama akan memandang kematian (konsekuensi Qital) bukan sebagai akhir, melainkan sebagai transisi yang diinginkan. Dia akan memandang pengorbanan harta dan waktu bukan sebagai kerugian, melainkan sebagai investasi yang paling menguntungkan. Perspektif ini menetralkan rasa benci terhadap kesulitan duniawi dan mengurangi kecintaan terhadap kesenangan duniawi yang fana.

X. Kedalaman Teologis: Ayat 216 dan Qada' serta Qadar

Ayat 216 adalah landasan penting dalam pembahasan Qada’ (ketetapan) dan Qadar (takdir). Ketika manusia dihadapkan pada kesulitan yang dibenci, seringkali ia menyalahkan takdir. Ayat ini mengajarkan sikap yang benar terhadap takdir Ilahi.

A. Takdir sebagai Kebijaksanaan Penuh

Segala sesuatu yang menimpa kita, baik yang kita sukai maupun yang kita benci, adalah bagian dari Qada’ dan Qadar Allah. Ayat 216 menanamkan keyakinan bahwa takdir buruk sekalipun (seperti kegagalan, penyakit, atau perintah Qital yang sulit) tidak pernah kosong dari kebaikan dan hikmah yang Allah ketahui, sementara kita tidak mengetahuinya.

Tingkat keimanan tertinggi dalam takdir adalah menerima takdir buruk dengan rida, bukan hanya sabar. Kesabaran adalah menahan diri dari keluh kesah. Sementara rida adalah penerimaan batin yang tenang, karena yakin bahwa di balik takdir yang dibenci tersebut ada rencana dan kebaikan besar dari Yang Maha Mengetahui.

B. Titik Pertemuan Iradah (Kehendak) Manusia dan Ilahi

Ayat ini menunjukkan titik kritis di mana kehendak (iradah) manusia bertemu dengan kehendak (iradah) Allah. Kehendak manusia adalah menghindari perang (karena takut mati), tetapi kehendak Allah mewajibkannya (karena kebaikan di baliknya). Islam menuntut manusia untuk menundukkan kehendak pribadinya kepada kehendak Ilahi.

Imam Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa ketaatan yang sempurna adalah ketika seorang hamba melaksanakan perintah meskipun hatinya terasa berat, semata-mata karena memandang keagungan Sang Pemberi Perintah. Ini adalah bukti ketaatan yang tulus, berbeda dengan ketaatan yang muncul hanya karena amal itu mudah atau menyenangkan.

C. Kesalahan Persepsi 'Kebaikan' dan 'Keburukan'

Seringkali, kita mendefinisikan ‘kebaikan’ (khayr) berdasarkan parameter duniawi (seperti kesehatan, kekayaan, dan umur panjang). Ayat 216 memperbaiki definisi ini. Kebaikan sejati, dalam terminologi syariat, adalah segala sesuatu yang membawa manfaat abadi di akhirat, bahkan jika ia harus diwujudkan melalui kesulitan dan penderitaan di dunia.

Oleh karena itu, jika kesulitan (kurh) meningkatkan iman, ia adalah khayr. Jika kesenangan (hubb) merusak iman, ia adalah sharr. Ini adalah pergeseran paradigma yang fundamental, yang membedakan pandangan hidup seorang mukmin dengan pandangan hidup materialis.

XI. Penutup: Pilar Ketundukan Mutlak

Surah Al-Baqarah ayat 216 adalah salah satu pilar utama dalam membangun fondasi ketundukan seorang Muslim kepada Allah SWT. Ayat ini bukan hanya mengenai hukum berperang, tetapi merupakan manual psikologis dan spiritual tentang bagaimana menghadapi kehidupan di mana kebenaran seringkali datang dalam kemasan kesulitan, dan bahaya seringkali tersembunyi di balik kesenangan dan kemudahan.

Pesan intinya adalah penolakan terhadap relativisme emosional. Perasaan pribadi—rasa suka atau benci—tidak boleh menjadi hakim dalam menentukan mana yang baik dan mana yang buruk dalam konteks perintah agama. Hakim tertinggi adalah Ilmu Allah yang Mahaluas. Setiap kewajiban yang terasa pahit adalah obat bagi jiwa, dan setiap larangan yang terasa manis adalah racun yang mematikan.

Dengan mengamalkan makna ayat ini, seorang Muslim mencapai kedewasaan spiritual: ia mampu menghadapi cobaan dengan ketenangan (rida), melaksanakan kewajiban dengan kekuatan (mujahadah), dan menghindari godaan dengan kewaspadaan (taqwa). Keyakinan teguh pada penutup ayat, “Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui,” adalah kunci untuk menemukan kebaikan di tengah badai kesulitan dan menghindari kerugian di tengah lautan kenikmatan dunia.

🏠 Kembali ke Homepage