Pedoman Syariat Mengenai Haji, Umrah, dan Ketentuan Fidyah
Surah Al-Baqarah, sebagai salah satu surah terpanjang dalam Al-Qur'an, tidak hanya mencakup dasar-dasar akidah dan muamalah, tetapi juga pedoman rinci mengenai ibadah. Ayat 196 dari surah ini adalah pilar utama dalam pemahaman syariat Islam terkait pelaksanaan ibadah haji dan umrah. Ayat ini memberikan arahan yang jelas mengenai kewajiban, ketentuan darurat (ihsar), penggantian (fidyah), serta tata cara bagi mereka yang mengambil jenis haji *tamattu'*.
Kajian terhadap ayat ini memerlukan telaah mendalam terhadap konteks historis penurunan ayat, interpretasi linguistik dari setiap kata kuncinya, dan penerapan hukum fiqh dari berbagai mazhab. Ini adalah ayat yang mengatur ibadah yang bersifat fisik dan finansial, sehingga detailnya menjadi sangat krusial bagi setiap muslim yang berniat menunaikan rukun Islam kelima tersebut.
وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ ۚ فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ ۖ وَلَا تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّىٰ يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ ۚ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ بِهِ أَذًى مِّن رَّأْسِهِ فَفِدْيَةٌ مِّن صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ ۚ فَإِذَا أَمِنتُمْ فَمَن تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ ۚ فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ ۗ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ ۗ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. Jika kamu terhalang (oleh musuh atau sakit), maka (sembelihlah) kurban yang mudah didapat. Dan janganlah kamu mencukur (rambut) kepalamu, sebelum kurban sampai di tempat penyembelihannya. Jika ada di antara kamu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu dia bercukur), maka dia wajib membayar fidyah, yaitu berpuasa atau bersedekah atau berkurban. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan umrah sebelum haji (tamattu'), wajib (membayar) kurban yang mudah didapat. Tetapi jika dia tidak menemukan (binatang kurban atau tidak mampu), maka dia wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (setelah kamu kembali). Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya.
Ayat ini dibuka dengan perintah tegas, *“Wa atimmu al-hajja wa al-‘umrata lillahi.”* (Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah). Kata kunci di sini adalah *“atimmu”* (sempurnakanlah). Perintah ini memiliki dua dimensi utama yang telah menjadi fokus perdebatan ulama fiqh selama berabad-abad.
Dimensi pertama adalah pelaksanaan haji dan umrah itu sendiri. Menyempurnakan berarti melaksanakan seluruh rukun, wajib, dan sunnah haji serta umrah sesuai dengan tuntunan syariat, sejak ihram di miqat hingga tahallul akhir. Seseorang dianggap tidak menyempurnakan ibadahnya jika ia meninggalkan rukun, yang mengakibatkan hajinya batal, atau meninggalkan wajib, yang harus diganti dengan dam (denda).
Dimensi kedua berkaitan dengan status hukum umrah. Mayoritas ulama, termasuk mazhab Syafi'i dan Hanbali, memahami perintah ini sebagai penegasan bahwa umrah adalah wajib, sebagaimana haji. Mereka berargumen bahwa kata *atimmu* mencakup keduanya secara setara. Namun, mazhab Hanafi berpendapat bahwa umrah adalah sunnah muakkadah (sunnah yang sangat dianjurkan), bukan rukun Islam. Bagi mereka, perintah untuk menyempurnakan lebih merujuk pada keharusan menyelesaikan ibadah yang sudah dimulai, bukan penetapan kewajiban awal. Meskipun ada perbedaan pendapat, keutamaan melaksanakan umrah sangat ditekankan, baik dalam konteks ayat ini maupun hadis-hadis Nabi Muhammad ﷺ.
Ketulusan (*Lillahi*): Kewajiban ini harus dilakukan *lillahi* (karena Allah). Ini menekankan aspek keikhlasan. Haji dan umrah harus bebas dari riya' (pamer) atau motivasi duniawi. Nilai kesempurnaan ibadah tidak hanya terletak pada bentuk ritualnya, tetapi juga pada niat murni yang menyertai setiap langkah. Keikhlasan adalah fondasi yang membedakan ibadah yang diterima dari sekadar perjalanan wisata religius.
Menyempurnakan haji melibatkan serangkaian rukun yang tak boleh ditinggalkan, yaitu niat ihram, wukuf di Arafah, tawaf ifadah, sa'i antara Safa dan Marwah, dan mencukur atau memotong rambut (tahallul). Jika salah satu dari rukun ini ditinggalkan, haji seseorang batal dan wajib diulang di tahun mendatang. Konsep penyempurnaan dalam ayat 196 ini adalah pengingat keras bahwa ibadah haji bukanlah sekadar perjalanan ringan; ia adalah kontrak spiritual yang harus dipenuhi secara penuh.
Sebaliknya, jika yang ditinggalkan adalah kewajiban haji—seperti ihram dari miqat, melempar jumrah, atau mabit di Muzdalifah dan Mina—maka haji tetap sah, tetapi pelakunya harus membayar dam atau denda. Ayat ini, dengan permulaannya yang menekankan kesempurnaan, mengatur seluruh kerangka tata cara pelaksanaan yang harus dipatuhi oleh jamaah haji dan umrah.
Bagian kedua ayat ini membahas kondisi darurat: *“Fa-in uhsirtum fa-ma istaysara mina al-hadyi.”* (Jika kamu terhalang, maka kurbanlah yang mudah didapat). Kata *uhsirtum* (terhalang) adalah titik hukum yang sangat penting. Secara harfiah, ia merujuk pada situasi di mana seseorang terhalang untuk melanjutkan atau menyelesaikan ibadahnya setelah berihram.
Pada masa awal Islam, konteks utama *ihsar* adalah terhalang oleh musuh, seperti yang terjadi pada Perjanjian Hudaibiyah. Namun, ulama fiqh kemudian memperluas makna ini:
Jika seseorang telah berihram dan kemudian terhalang, ia tidak boleh langsung melepaskan diri dari ihram. Ia harus menyembelih *hadyi* (hewan kurban) sebagai pengganti, yaitu seekor kambing, sepertujuh unta, atau sepertujuh sapi, yang "mudah didapat" (*ma istaysara*). Setelah kurban disembelih, barulah ia diperbolehkan bertahallul (melepas ihram) dengan mencukur rambut.
Ketentuan kritis dalam konteks *ihsar* ini adalah bahwa kurban harus disembelih di tempat terhalangnya jamaah. Ini berbeda dengan kurban haji *tamattu'* yang wajib di Makkah. Ulama juga menetapkan bahwa jika jamaah tidak mampu menyembelih hewan kurban, ia dapat menggantinya dengan berpuasa. Berapa hari puasa yang harus dilakukan? Ada perbedaan pendapat, namun umumnya disamakan dengan fidyah puasa, yaitu puasa 10 hari jika dianalogikan dengan Tamattu', atau puasa sesuai nilai harga kurban yang seharusnya disembelih.
Ayat 196 melanjutkan dengan larangan penting saat ihram: *“Wa la tahliqu ru’usakum hatta yablugha al-hadyu mahillahu.”* (Dan janganlah kamu mencukur (rambut) kepalamu, sebelum kurban sampai di tempat penyembelihannya). Larangan ini berlaku bagi dua kategori jamaah:
Ayat ini menetapkan bahwa tindakan mencukur rambut adalah penanda final dari tahallul. Melanggar larangan ini tanpa alasan syar'i sebelum waktunya akan membatalkan beberapa jenis haji atau memerlukan fidyah yang besar.
Meskipun mencukur rambut dilarang, syariat memberikan keringanan bagi mereka yang memiliki uzur (alasan yang dibenarkan). *“Fa-man kana minkum maridan aw bihi adhan min ra'sihi fa-fidyatun min siyam aw sadaqatin aw nusuk.”* (Jika ada di antara kamu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu dia bercukur), maka dia wajib membayar fidyah, yaitu berpuasa atau bersedekah atau berkurban).
Ayat ini secara spesifik menyebutkan sakit atau gangguan di kepala (seperti kutu, luka, atau penyakit kulit) yang memaksa jamaah untuk mencukur rambutnya sebelum waktu tahallul. Ini dikenal sebagai *fidyah al-Aza* (fidyah karena gangguan). Keringanan ini bersifat pilihan (takhayur), di mana jamaah boleh memilih salah satu dari tiga opsi fidyah:
Ketentuan fidyah ini sangat penting karena ia menjadi standar denda untuk hampir semua pelanggaran larangan ihram yang bersifat tidak merusak (seperti memakai pakaian berjahit, memakai wewangian, atau memotong kuku). Setiap pelanggaran yang disengaja dan dilakukan dengan sadar, namun tidak merusak (seperti berhubungan seksual yang membatalkan haji), diatur oleh standar fidyah ini.
Bagian akhir ayat 196 berfokus pada salah satu jenis haji yang paling umum dilakukan, yaitu Haji Tamattu’: *“Fa-idha amintum fa-man tamatta'a bi al-'umrati ila al-hajji fa-ma istaysara mina al-hadyi.”* (Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan umrah sebelum haji (tamattu'), wajib (membayar) kurban yang mudah didapat).
Haji Tamattu’ adalah pelaksanaan umrah yang diselesaikan terlebih dahulu (tahallul) pada bulan-bulan haji (Syawal, Dzulqa'dah, 10 hari pertama Dzulhijjah), diikuti dengan pelaksanaan haji pada tahun yang sama, dengan memulai ihram haji dari Makkah. Kenikmatan (tamattu') yang didapat adalah kebolehan untuk melepaskan ihram dan menikmati larangan ihram (seperti memakai pakaian biasa) antara umrah dan haji.
Karena menikmati keringanan ini, syariat mewajibkan *hadyi tamattu'* (kurban tamattu') sebagai bentuk syukur. Kurban ini harus disembelih di area Haram pada Hari Raya Kurban (10 Dzulhijjah) atau Hari Tasyriq (11, 12, 13 Dzulhijjah).
Ayat ini dengan jelas mengatur solusi bagi jamaah Tamattu' yang tidak mampu atau tidak menemukan hewan kurban (*hadyi*): *“Fa-man lam yajid fa-siyamu thalathati ayyamin fi al-hajji wa sab'atin idha raja'tum. Tilka 'asharatun kamilah.”* (Tetapi jika dia tidak menemukan (binatang kurban atau tidak mampu), maka dia wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (setelah kamu kembali). Itulah sepuluh (hari) yang sempurna).
Ini adalah pengaturan yang sangat rinci mengenai substitusi ibadah. Jika kurban tidak dapat dilaksanakan, wajib diganti dengan puasa 10 hari. Puasa ini dibagi menjadi dua periode yang berbeda dan sangat spesifik:
Tiga hari puasa ini harus dilaksanakan sebelum Hari Nahr (Idul Adha). Waktu idealnya adalah sebelum Wukuf di Arafah. Ulama umumnya membolehkan puasa pada tanggal 7, 8, dan 9 Dzulhijjah. Namun, puasa pada tanggal 9 Dzulhijjah (Hari Arafah) bagi yang sedang wukuf di Arafah hukumnya makruh, sehingga seringkali dianjurkan pada tanggal 6, 7, dan 8 Dzulhijjah, atau tiga hari berturut-turut yang berakhir paling lambat pada tanggal 9 Dzulhijjah menjelang matahari terbit.
Jika jamaah Tamattu' melewatkan puasa ini sebelum Wukuf, puasa tiga hari ini masih dapat dilaksanakan pada Hari Tasyriq (11, 12, 13 Dzulhijjah). Ini adalah pengecualian penting karena pada umumnya puasa pada Hari Tasyriq adalah dilarang, kecuali bagi mereka yang tidak mampu membayar *hadyi tamattu’*.
Tujuh hari puasa sisanya dilaksanakan setelah jamaah kembali ke negerinya atau setelah perjalanan haji selesai. Frasa *“idha raja’tum”* (setelah kamu kembali) diinterpretasikan sebagai setelah jamaah selesai dari manasik haji. Sebagian ulama menafsirkan *kembali* secara harfiah, yaitu kembali ke tanah air, untuk memudahkan pelaksanaan puasa dalam kondisi yang lebih stabil dan tidak terburu-buru.
Ayat ini menegaskan, *“Tilka ‘asharatun kamilah”* (Itulah sepuluh hari yang sempurna), menekankan bahwa kedua bagian puasa ini (tiga dan tujuh hari) harus digabungkan untuk mencapai kesempurnaan kewajiban pengganti kurban tersebut. Ini menunjukkan perhatian syariat terhadap rincian numerik dalam pemenuhan kewajiban.
Untuk memahami sepenuhnya ayat 196, penting untuk membedakan antara tiga kategori denda atau tebusan yang muncul dalam konteks haji, meskipun semuanya sering disebut *dam* atau *fidyah* dalam percakapan sehari-hari:
Dam ini wajib karena memilih jenis haji yang memberikan keringanan (Tamattu’) atau menggabungkan dua ibadah (Qiran). Tujuannya adalah syukur. Jenis Dam ini adalah kurban wajib (seekor kambing/sepertujuh unta/sapi), dan jika tidak mampu, diganti dengan puasa 10 hari (3 hari saat haji, 7 hari setelahnya). Inilah yang diatur secara eksplisit pada akhir ayat 196.
Fidyah ini diwajibkan karena melanggar larangan ihram yang disebabkan oleh uzur (seperti sakit atau kutu). Aturannya adalah pilihan antara puasa 3 hari, sedekah (memberi makan 6 fakir miskin), atau kurban 1 kambing. Ini adalah hukum yang sangat fleksibel dan diatur pada bagian tengah ayat.
Ini adalah denda untuk pelanggaran yang lebih serius, seperti membunuh binatang buruan di tanah haram. Ayat 196 tidak secara langsung mengatur hal ini, tetapi ketentuan kurban dan fidyah yang disajikan di sini memberikan dasar analogi hukum. Dam Jaza' biasanya berupa kurban setara dengan hewan buruan yang dibunuh, atau setara dengan nilai makanan untuk fakir miskin, atau puasa yang setara.
Pentingnya struktur tripartit dalam ayat 196 (perintah haji/umrah, solusi *ihsar*, dan ketentuan *tamattu'*) menunjukkan bahwa syariat telah merancang sistem komprehensif yang menjamin bahwa ibadah tetap dapat disempurnakan, bahkan dalam keadaan sulit atau ketika jamaah menggunakan keringanan (tamattu').
Ayat 196 ditutup dengan peringatan spiritual yang kuat: *“Wa at-taqullaha wa’lamu anna Allaha shadidu al-‘iqab.”* (Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya).
Penutup ini berfungsi sebagai penegasan bahwa semua ketentuan hukum, baik yang bersifat wajib (menyempurnakan haji), bersifat keringanan (fidyah bagi yang sakit), maupun bersifat denda (hadyi tamattu’), harus dijalankan dengan kesadaran penuh akan ketaatan kepada Allah. Ayat ini mengingatkan bahwa ibadah haji bukan sekadar ritual, tetapi ujian ketakwaan dan ketulusan.
Peringatan tentang kerasnya siksaan Allah di akhir ayat ini berfungsi sebagai motivasi untuk tidak menyepelekan detail-detail yang telah ditetapkan. Melanggar rukun haji, atau sengaja menghindari kewajiban fidyah atau dam, berarti menantang aturan yang telah ditetapkan oleh syariat. Ini menekankan pentingnya *ittiba'* (mengikuti) sunnah dan hukum dalam setiap aspek manasik haji.
Dalam fiqh modern, salah satu bentuk *ihsar* yang sering dibahas adalah hilangnya bekal atau nafkah yang cukup untuk melanjutkan perjalanan haji. Apakah jamaah yang mendadak bangkrut atau kehilangan paspor dan dana di tengah perjalanan dapat dianggap *muhsar*? Menurut pendapat jumhur ulama, ini termasuk dalam kategori halangan yang tidak dapat dihindari. Jika jamaah telah berihram dan tidak mungkin melanjutkan wukuf di Arafah atau tawaf, maka ia wajib melakukan tahallul dengan menyembelih *hadyi* di tempat ia terhalang, sebagaimana diatur dalam ayat 196.
Konsekuensi dari tahallul *ihsar* ini adalah bahwa jamaah tersebut harus menunaikan haji yang terlewatkan (qadha’) di tahun berikutnya, jika itu adalah haji wajibnya. Namun, kewajiban menyembelih *hadyi* dan tahallul di tempat terhalang tetap wajib berdasarkan ayat, agar ia dapat keluar dari status ihram dan kembali menjalani kehidupan normal.
Perlu dibedakan secara tegas antara tahallul akibat *ihshir* dan tahallul yang sah setelah wukuf. Tahallul *ihshir* terjadi karena keadaan darurat dan dapat dilakukan kapan saja dan di mana saja. Tahallul ini memerlukan *hadyi* (kurban) dan mencukur rambut. Ritual ini menandakan berakhirnya upaya ibadah haji yang tidak dapat disempurnakan.
Sebaliknya, jika seseorang telah melakukan ihram namun melewatkan wukuf di Arafah (disebut *fawat al-hajj*), ia dianggap gagal melaksanakan haji pada tahun itu. Ia tetap melakukan amalan-amalan umrah (tawaf dan sa'i) dan bertahallul. Meskipun ada perbedaan pendapat, umumnya bagi yang *fawat*, ia wajib mengqadha haji tahun depan dan membayar dam, namun status tahallulnya lebih kompleks dibandingkan *muhsar* yang diatur langsung dalam ayat 196.
Puasa tiga hari di masa haji merupakan elemen vital dalam memenuhi kewajiban *tamattu'* bagi yang tidak mampu berkurban. Jika puasa ini tidak dilakukan, penggantinya menjadi puasa penuh 10 hari setelah kembali, dan ini dapat menimbulkan keraguan mengenai kesempurnaan ibadah. Oleh karena itu, fiqh menekankan pentingnya menjalankan puasa ini sebelum Wukuf.
Para ahli fiqh sepakat bahwa puasa tersebut boleh dilakukan secara terpisah atau berturut-turut. Namun, disunnahkan untuk menjalankannya secara berurutan. Jika seseorang baru berihram Tamattu' pada tanggal 8 Dzulhijjah, maka ia tidak memiliki cukup waktu tiga hari sebelum Wukuf. Dalam kasus ini, ia boleh berpuasa pada Hari Tasyriq (11, 12, 13 Dzulhijjah) untuk mengganti kekurangan tersebut.
Implikasi penting dari puasa di Hari Tasyriq ini menunjukkan betapa kuatnya ketentuan pengganti kurban yang ditetapkan dalam ayat 196, bahkan sampai melanggar larangan umum puasa pada hari-hari tersebut, hanya untuk memastikan kewajiban Tamattu’ dapat disempurnakan.
Puasa tujuh hari yang dilakukan *idha raja’tum* (setelah kembali) ditujukan untuk memberikan kenyamanan kepada jamaah. Setelah melalui kelelahan fisik dan mental dari manasik haji yang padat, syariat tidak membebankan puasa berat secara langsung. Mereka boleh menunggu hingga sampai di tanah air mereka atau tempat tinggal mereka, yang dapat memberikan suasana yang lebih kondusif untuk berpuasa.
Apakah tujuh hari ini harus berturut-turut? Mayoritas ulama berpendapat tidak harus. Yang terpenting adalah terpenuhinya jumlah tujuh hari puasa. Namun, disunnahkan untuk menyegerakannya agar kewajiban Dam Tamattu' segera terpenuhi secara sempurna, sesuai dengan penekanan ayat: *“Tilka ‘asharatun kamilah.”* (Itulah sepuluh hari yang sempurna).
Ayat 196 adalah contoh agung bagaimana syariat Islam menggabungkan ketegasan perintah dengan keluwesan keringanan (rukhsah). Perintah untuk menyempurnakan ibadah (ketegasan) diikuti dengan solusi darurat *ihsar* (keringanan). Larangan mencukur rambut (ketegasan) diikuti dengan fidyah bagi yang sakit (keringanan). Kewajiban kurban bagi Tamattu’ (ketegasan) diikuti dengan penggantian puasa (keringanan).
Keseimbangan ini mencerminkan prinsip *yusrun* (kemudahan) dalam Islam. Allah tidak membebani hamba-Nya melampaui batas kemampuannya. Namun, kemudahan ini selalu disertai dengan pengganti yang setara, memastikan bahwa kewajiban finansial dan spiritual tetap terpenuhi kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Jika jamaah mampu berkurban, maka ia wajib berkurban, karena kurban adalah perintah asal. Jika tidak mampu, barulah beralih kepada puasa. Hierarki kewajiban ini harus dipatuhi. Ayat 196 mengajarkan bahwa setiap hambatan pasti memiliki jalan keluar yang diakui syariat, asalkan jamaah menjaga niat *lillahi* (karena Allah) dan bertakwa dalam menjalankan rincian hukum.
Untuk memastikan pemahaman yang mendalam mengenai ketentuan fidyah yang diizinkan dalam ayat 196, kita perlu mengulang dan menekankan kembali pada kondisi ‘gangguan di kepala’ (*adhan min ra’sihi*). Ini merujuk pada segala kondisi yang menyebabkan jamaah menderita jika ia tidak mencukur rambutnya, seperti infestasi kutu yang parah atau luka yang memerlukan perawatan medis yang mengharuskan rambut dihilangkan.
Dalam kondisi ini, jamaah diizinkan melanggar larangan ihram (mencukur), tetapi ia wajib membayar fidyah. Fleksibilitas fidyah ini (puasa, sedekah, atau kurban) adalah keindahan syariat. Misalnya, jamaah yang memiliki waktu luang mungkin memilih puasa, jamaah yang memiliki harta mungkin memilih sedekah atau kurban. Nilai kurban (satu kambing) dalam fidyah ini setara dengan memberi makan enam orang miskin, dan kedua-duanya setara dengan puasa tiga hari.
Ketentuan fidyah ini kemudian digunakan oleh para ulama untuk mengukur denda pada pelanggaran-pelanggaran ihram yang serupa tingkatannya, seperti memotong kuku, memakai wangi-wangian, atau menutup kepala (bagi laki-laki). Semua pelanggaran ini masuk dalam kategori fidyah *takhayur* (pilihan), yang sumber dasarnya adalah keringanan yang ditetapkan dalam ayat 196 ini.
Ayat 196 merupakan salah satu ayat terpadat hukum dalam Al-Qur’an. Ia memadukan hukum kewajiban ritual (*atimmu*), hukum darurat (*ihsar*), hukum pengganti (fidyah), dan hukum jenis ibadah spesifik (tamattu’). Setiap frasa di dalamnya membawa beban hukum yang besar, memerlukan implementasi yang cermat dan pemahaman yang taat asas.
Prinsip sentral yang mendasari seluruh ayat 196 adalah kesempurnaan dan kepatuhan. Allah memerintahkan penyempurnaan haji dan umrah, yang berarti pelaksanaan ibadah harus sesuai dengan tata cara yang diajarkan oleh Rasulullah ﷺ. Meninggalkan amalan sunnah memang tidak membatalkan haji, tetapi meninggalkan amalan wajib harus ditebus dengan dam, dan meninggalkan rukun dapat membatalkan haji.
Kewajiban untuk menyempurnakan juga mencakup penyempurnaan niat, sebagaimana diisyaratkan oleh frasa *lillahi*. Tanpa keikhlasan, seluruh bentuk ibadah, termasuk haji yang sangat mahal dan berat, dapat menjadi amal yang sia-sia di sisi Allah. Oleh karena itu, para ulama tasawuf menekankan bahwa *ihsan* (melakukan yang terbaik) dalam ibadah haji adalah wujud tertinggi dari penyempurnaan.
Ayat ini berfungsi sebagai panduan hukum yang abadi, mengajarkan bahwa ketaatan total kepada Allah adalah prasyarat utama dalam menunaikan rukun Islam ini. Setiap muslim yang berniat melaksanakan ibadah suci ini harus merujuk kembali kepada panduan ini untuk memastikan bahwa mereka telah memenuhi tuntutan syariat secara utuh, dengan pemahaman yang mendalam mengenai setiap rincian kurban, puasa, dan tahallul yang diatur dengan sangat rinci dalam Surah Al-Baqarah ayat 196 ini. Ini adalah peta jalan menuju ibadah haji yang mabrur, terhindar dari siksaan keras yang diperingatkan di bagian penutup ayat tersebut.
Ayat 196 menyatakan, "Dan janganlah kamu mencukur (rambut) kepalamu, sebelum kurban sampai di tempat penyembelihannya." Bagi yang *muhsar* (terhalang), lokasi penyembelihan kurban adalah tempat ia terhalang, bukan di tanah Haram. Ini berdasarkan praktik Nabi Muhammad ﷺ di Hudaibiyah. Ketika beliau dan para sahabat dihalangi masuk Makkah, mereka menyembelih kurban di Hudaibiyah (yang saat itu berada di luar batas Haram), kemudian bertahallul.
Namun, dalam situasi darurat modern, terkadang sulit menyembelih di tempat terhalang. Ulama kontemporer cenderung memudahkan bahwa kurban harus disalurkan ke wilayah yang membutuhkan, namun niat penyembelihan dan tahallul harus mengikuti praktik Nabi, yaitu setelah penyembelihan di lokasi terhalang itu diumumkan atau dilakukan.
Berbeda dengan *hadyi ihsar*, kurban untuk Haji Tamattu' wajib disembelih di area Haram Makkah, sebagaimana disepakati oleh seluruh mazhab. *Mahallahu* (tempat penyembelihan) dalam konteks Tamattu' adalah area Haram. Waktunya adalah hari Nahr (10 Dzulhijjah) atau Hari Tasyriq. Kewajiban ini adalah harga yang harus dibayar atas kenikmatan yang didapat (Tamattu') yaitu boleh tahallul antara umrah dan haji. Jika kurban ini tidak disembelih sesuai waktu dan tempatnya, maka ia harus diganti dengan puasa 10 hari yang telah dijelaskan secara rinci: tiga hari selama masa haji dan tujuh hari setelah kepulangan.
Konsistensi hukum syariat dalam ayat 196 memastikan bahwa tidak ada satu pun kewajiban haji yang dapat diabaikan. Jika rintangan eksternal (ihsar) terjadi, ada pengganti (dam ihsar). Jika pilihan jenis haji (tamattu’) memberikan keringanan, ada harga yang harus dibayar (dam tamattu’). Jika larangan ihram dilanggar karena kebutuhan (sakit), ada tebusan (fidyah pilihan). Seluruh sistem ini terpadu, membuktikan kemudahan sekaligus ketelitian syariat.
Penutup ayat 196—*“Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya”*—tidak hanya berlaku untuk pelaksanaan haji, tetapi juga untuk seluruh perincian di dalamnya. Konteks ini sangat relevan terutama bagi mereka yang mencoba memanipulasi atau menghindari kewajiban fidyah atau dam dengan dalih ketidakmampuan palsu.
Misalnya, jika seorang jamaah Tamattu’ sebenarnya mampu membeli kurban, tetapi memilih berpuasa 10 hari demi menghemat biaya, ia berisiko besar melanggar perintah ayat ini. Ayat tersebut dengan jelas menyatakan: *“Fa-man lam yajid”* (bagi yang tidak menemukan/tidak mampu), barulah puasa menjadi pilihan. Memilih puasa padahal mampu berkurban dianggap menyalahi urutan prioritas yang ditetapkan Allah, dan inilah yang dapat menarik peringatan keras di akhir ayat tersebut.
Kerasnya siksaan Allah di sini berfungsi sebagai penjaga (proteksi) agar jamaah tidak sembarangan dalam menilai keringanan. Keringanan (rukhsah) harus digunakan sesuai dengan syaratnya, bukan sebagai jalan pintas untuk menghindari biaya atau usaha. Integritas finansial dan spiritual sangat diuji dalam penerapan hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Baqarah 196.
Surah Al-Baqarah ayat 196 merupakan fondasi syariat Islam dalam mengatur ibadah haji dan umrah. Ayat ini memastikan bahwa ibadah yang dimulai harus diselesaikan dengan sempurna, menekankan keikhlasan total (*lillahi*), dan menyediakan mekanisme darurat yang adil dan seimbang melalui sistem *hadyi* dan *fidyah*.
Setiap muslim yang berencana menunaikan haji atau umrah wajib merenungkan dan memahami tiga pilar utama yang terkandung dalam ayat ini:
Dengan mematuhi seluruh perincian hukum ini, seorang hamba telah menunjukkan ketakwaan dan kepatuhan mutlaknya kepada Sang Pencipta, menjalankan ibadah yang diharapkan akan membawa pengampunan dosa dan pahala yang besar, sejalan dengan perintah ilahi untuk selalu bertakwa dan menjauhi siksaan-Nya.
Penyempurnaan haji dan umrah, sebagaimana diamanatkan oleh ayat 196, adalah penanda dari komitmen seorang muslim terhadap ajaran agamanya, menjadikannya salah satu puncak spiritual dalam perjalanan hidupnya.
Kita kembali menelaah bagian puasa tujuh hari, karena seringkali jamaah mengalami kebingungan mengenai kapan persisnya puasa tujuh hari tersebut harus dimulai. Frasa *idha raja’tum* (setelah kamu kembali) adalah kunci. Mazhab Syafi'i menafsirkan *kembali* sebagai keluarnya jamaah dari batas kota Makkah menuju negeri asalnya, atau sekurang-kurangnya setelah semua amalan haji, termasuk tawaf wada', selesai dilaksanakan. Tujuan dari penundaan ini adalah untuk memastikan jamaah dapat melaksanakan puasa dalam kondisi yang optimal, jauh dari kesibukan manasik yang melelahkan.
Penting untuk ditegaskan lagi bahwa total puasa pengganti adalah sepuluh hari penuh, dan tidak ada keringanan dalam jumlah ini. Jika seseorang hanya mampu berpuasa enam hari setelah kembali, maka kewajiban Dam Tamattu' belum dianggap gugur secara sempurna. Ia harus menyelesaikan hari yang tersisa. Puasa ini tidak harus dilakukan segera setelah kembali, namun menyegerakannya adalah afdal (lebih utama) sebagai wujud penyempurnaan kewajiban yang tertunda.
Ayat 196 menempatkan kurban (*hadyi* atau *nusuk*) pada posisi sentral, baik sebagai syarat tahallul (*ihsar*), pilihan fidyah minor, maupun kewajiban bagi Tamattu’. Ini menegaskan bahwa aspek finansial dan pengorbanan harta memiliki kedudukan tinggi dalam ibadah haji. Kurban bukan sekadar penyembelihan; ia adalah simbol pengorbanan diri, mematuhi perintah Allah, dan berbagi rezeki dengan fakir miskin di sekitar Tanah Suci.
Baik itu kurban wajib Tamattu’ atau kurban sebagai fidyah pilihan, penyembelihan ini harus dilakukan dengan niat yang benar-benar karena Allah (*lillahi*), sesuai dengan etos yang ditetapkan di awal ayat. Mengingat kurban memiliki peran yang beragam—sebagai denda, sebagai rasa syukur, dan sebagai sarana tahallul darurat—ayat ini secara efektif menjadikan hewan ternak sebagai salah satu instrumen utama dalam penyempurnaan haji dan umrah.
Frasa *ma istaysara mina al-hadyi* (kurban yang mudah didapat) muncul dua kali dalam ayat 196. Pertama, dalam konteks *ihsar*, dan kedua, dalam konteks *tamattu’*. Ini menekankan prinsip kemudahan dalam syariat. Meskipun ibadah haji adalah ibadah yang agung, Allah tidak membebani hamba-Nya dengan persyaratan hewan kurban yang terlalu sulit atau mahal.
Yang dimaksud dengan ‘mudah didapat’ adalah jenis kurban yang paling minimal yang sah di mata syariat, yaitu seekor kambing yang memenuhi syarat (usia, tidak cacat) atau sepertujuh bagian dari unta atau sapi. Penekanan pada ‘yang mudah didapat’ menunjukkan bahwa prioritas adalah pemenuhan kurban, bukan kemewahan dalam jenis kurban. Ini sejalan dengan semangat Islam yang universal dan tidak diskriminatif terhadap kemampuan finansial jamaah.
Pengulangan dan penekanan pada ketakwaan di akhir ayat 196 berfungsi sebagai pengingat abadi bahwa hukum-hukum haji adalah ujian iman. Seorang yang bertakwa akan memastikan bahwa ia telah menyempurnakan ibadahnya, baik secara fisik maupun niat. Ia akan memilih kurban jika mampu, berpuasa jika tidak mampu, dan segera membayar fidyah jika terpaksa melanggar larangan ihram.
Kajian mendalam terhadap Al-Baqarah 196 ini bukan hanya tentang aturan fiqh semata, melainkan tentang bagaimana seorang hamba menjalankan ketaatan tertinggi kepada Allah dalam menghadapi perintah yang paling menantang dan suci. Dengan memahami setiap rincian ayat ini, jamaah haji dapat melaksanakan rukun Islam kelima ini dengan keyakinan penuh dan harapan akan haji yang mabrur.