Pilar-pilar Kewajiban dalam Perjanjian Ilahi
Surah Al-Baqarah, ayat 83, seringkali disebut sebagai salah satu ayat yang paling komprehensif dalam Al-Qur’an yang merangkum keseluruhan tuntutan syariat, baik dalam aspek teologis (hubungan vertikal dengan Tuhan) maupun sosiologis (hubungan horizontal antar sesama manusia). Ayat ini bukanlah sekadar catatan sejarah tentang Bani Israil, melainkan sebuah cetak biru abadi yang berfungsi sebagai fondasi etika bagi seluruh umat beriman, yang menegaskan bahwa iman yang sejati harus tercermin dalam amal sosial yang nyata.
Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): "Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah kepada ibu bapak, kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin; serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah salat dan tunaikanlah zakat." Kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling. (QS. Al-Baqarah, 2:83)
Ayat mulia ini memuat enam perintah fundamental yang saling terkait, membangun sebuah sistem kehidupan yang adil dan beradab. Kegagalan Bani Israil (dan peringatan bagi umat Muhammad ﷺ) bukanlah terletak pada pengabaian salah satu pilar saja, melainkan pada ketidakmampuan mereka untuk mempertahankan keseimbangan antara ibadah ritual dan kewajiban sosial. Untuk memahami kedalaman ayat ini, kita perlu membedah setiap komponen secara rinci, melihat bagaimana setiap perintah mewajibkan pengorbanan, komitmen, dan integritas moral yang menyeluruh.
Perintah pertama dan paling fundamental adalah meniadakan penyembahan selain Allah. Ini adalah inti dari Mītsāq (Perjanjian Agung) yang Allah ambil dari setiap nabi dan umat. Tauhid, dalam konteks ayat ini, bukan hanya pengakuan lisan, tetapi manifestasi total dalam ketaatan. Ia adalah penolakan terhadap semua bentuk perbudakan, baik kepada berhala, hawa nafsu, kekuasaan, atau harta benda.
Tauhid yang dituntut di sini mencakup tiga dimensi utama: Tauhid Rububiyah (pengakuan Allah sebagai Pencipta dan Pengatur), Tauhid Uluhiyah (pengakuan Allah sebagai satu-satunya yang berhak disembah), dan Tauhid Asma wa Sifat (penetapan nama dan sifat Allah tanpa penyerupaan). Ketika ayat ini menekankan "Janganlah kamu menyembah selain Allah," ia secara langsung menentang segala bentuk penyimpangan spiritual yang dialami Bani Israil, termasuk kecenderungan mereka terhadap materialisme dan penyembahan selain Allah di masa lalu.
Hubungan antara Tauhid dan etika sosial sangat erat. Hanya hati yang sepenuhnya tunduk kepada Allah yang mampu menerapkan standar keadilan sosial yang sempurna. Jika seseorang menyembah kekayaan atau kekuasaan, maka etika sosialnya akan dipandu oleh kepentingan diri, bukan oleh perintah Ilahi. Oleh karena itu, penempatan Tauhid sebagai pilar pertama menegaskan bahwa semua kewajiban sosial yang akan disebutkan selanjutnya adalah konsekuensi logis dari pengakuan ketuhanan yang tunggal.
Konsep Tauhid membebaskan manusia dari tirani ciptaan. Seseorang yang hanya menyembah Allah tidak akan takut kepada penguasa zalim, tidak akan diperbudak oleh tren materi, dan tidak akan tertipu oleh ilusi duniawi. Kebebasan ini merupakan prasyarat mutlak untuk dapat melaksanakan perintah kedua, yaitu Ihsan, karena Ihsan (berbuat kebaikan) seringkali menuntut pengorbanan harta dan waktu, yang hanya mungkin dilakukan jika hati terlepas dari kecintaan berlebihan pada dunia.
Ketundukan total kepada Allah juga menjamin integritas dalam sistem sosial. Dalam konteks ekonomi, Tauhid mengharuskan kejujuran dan keadilan dalam transaksi. Dalam konteks politik, Tauhid menuntut kepemimpinan yang bertanggung jawab dan tidak koruptif. Penyimpangan Tauhid selalu berujung pada kerusakan sosial, di mana yang kuat menindas yang lemah—sebuah fenomena yang dilarang keras oleh perintah-perintah selanjutnya dalam ayat ini.
Segera setelah perintah Tauhid, Al-Qur’an menempatkan kewajiban berbuat baik (Ihsan) kepada kedua orang tua. Penempatan ini menunjukkan betapa krusialnya hak orang tua, hampir setara dengan hak Allah. Ihsan berarti melakukan kebaikan pada tingkatan tertinggi, tidak sekadar memenuhi kewajiban minimal, tetapi memberikan yang terbaik dengan penuh kasih sayang, hormat, dan kerendahan hati.
Kata Ihsan jauh lebih dalam daripada sekadar birr (kebaikan). Ihsan mencakup tiga aspek:
Dalam masyarakat kontemporer yang cenderung individualistis, perintah Ihsan ini menjadi semakin penting. Ihsan kepada orang tua dalam konteks modern melibatkan: dukungan finansial yang layak, perhatian psikologis dan emosional (terutama saat mereka tinggal sendiri), serta memastikan mereka mendapatkan fasilitas kesehatan terbaik. Kewajiban ini tidak mengenal batas geografis atau ekonomi. Bahkan jika orang tua memiliki pandangan agama atau sosial yang berbeda, kewajiban berbuat baik dan menaati mereka (selama tidak bertentangan dengan Tauhid) tetap harus dilaksanakan.
Ihsan adalah pelatihan mental dan spiritual. Jika seseorang tidak mampu berlaku sabar dan penuh hormat kepada dua orang yang paling berjasa dalam hidupnya, bagaimana mungkin ia dapat menunjukkan kesabaran dan kebaikan (Qaulan Hasan) kepada orang asing atau musuh? Kualitas hubungan seseorang dengan orang tua adalah cerminan langsung dari kualitas imannya dan merupakan indikator kuat keberhasilan implementasi perintah-perintah sosial selanjutnya.
Setelah orang tua, cakupan Ihsan diperluas secara sistematis kepada tiga kelompok utama yang membentuk jaringan dukungan sosial: kerabat, anak yatim, dan orang miskin. Ayat ini mengajarkan bahwa Islam bukan hanya agama individu, melainkan sistem yang menjamin keadilan distributif dalam masyarakat.
Kerabat (Dzil Qurba) adalah garis pertahanan pertama setelah keluarga inti. Mereka memiliki hak khusus atas Ihsan (Silaturahmi). Perintah ini mengingatkan bahwa kedermawanan harus dimulai dari rumah dan lingkungan terdekat. Membantu kerabat yang membutuhkan adalah investasi sosial yang memperkuat persatuan komunitas dan mengurangi beban negara. Pemutusan hubungan kekerabatan (Qath’u ar-Rahim) dianggap sebagai dosa besar karena merobek jaring pengaman sosial yang dirancang oleh syariat.
Anak yatim adalah mereka yang kehilangan tulang punggung finansial dan perlindungan emosional. Perintah untuk berbuat baik kepada anak yatim adalah pengujian moral bagi masyarakat. Ihsan di sini berarti tidak hanya memberi makan, tetapi juga mendidik, melindungi harta mereka, dan memastikan mereka tumbuh menjadi anggota masyarakat yang produktif. Pengabaian terhadap hak anak yatim adalah salah satu dosa yang paling keras dikecam dalam Al-Qur’an (seperti dalam Al-Ma’un).
Tanggung jawab terhadap anak yatim seringkali diabaikan dalam masyarakat yang sibuk dengan urusan pribadi. Ayat ini menempatkan perlindungan yatim sebagai janji fundamental. Ini menekankan bahwa masyarakat yang sehat adalah masyarakat yang merawat yang paling rentan, dan kewajiban ini harus dipikul bersama, bukan hanya oleh lembaga amal.
Orang miskin (Al-Masakin) memiliki hak yang dijamin oleh harta orang kaya. Perbedaan antara miskin dan fakir perlu dipahami: Al-Masakin adalah mereka yang memiliki sedikit, tetapi tidak cukup. Ihsan kepada mereka membutuhkan transfer kekayaan yang sistematis dan berkelanjutan. Ayat ini menolak sistem ekonomi yang membiarkan kekayaan berputar hanya di antara segelintir orang.
Perluasan Ihsan kepada ketiga kelompok ini menciptakan masyarakat yang saling menanggung beban, di mana kekayaan bukanlah tujuan akhir, melainkan sarana untuk mencapai keadilan sosial. Kewajiban-kewajiban ini, yang berada di antara perintah Tauhid dan perintah ritual, menunjukkan bahwa spiritualitas tanpa kepedulian sosial adalah kosong.
Pilar keempat ini adalah salah satu yang paling unik dan mendalam, berfokus pada etika komunikasi, atau Qaulan Hasan (ucapan yang baik). Perintah ini melampaui kebaikan materi (Ihsan) dan memasuki ranah interaksi lisan sehari-hari. Berbicara baik kepada manusia adalah kewajiban universal, tidak terbatas pada kerabat atau orang saleh saja; ia mencakup seluruh umat manusia.
Qaulan Hasan mencakup segala sesuatu mulai dari ucapan yang ramah, nasihat yang lembut, hingga penolakan yang sopan. Bahkan ketika menasihati atau menegur, lisan harus dijaga agar tidak menyakiti atau merendahkan. Hal ini merupakan penangkal terhadap budaya lisan yang kasar, fitnah, dan ghibah (gunjing) yang dapat merusak tatanan sosial dari dalam.
Dalam konteks muamalah sehari-hari, Qaulan Hasan berarti:
Ayat ini menunjukkan bahwa kerusakan sosial tidak selalu berasal dari kejahatan besar, tetapi seringkali dari kelalaian kecil, seperti lisan yang buruk. Lisan yang dijaga adalah tanda dari hati yang bersih (Tauhid yang murni). Seorang mukmin harus menjadi agen kedamaian, dan kedamaian dimulai dari kata-kata yang ia ucapkan. Dalam situasi konflik atau ketidaksepakatan, Qaulan Hasan bertindak sebagai jembatan, mencegah perpecahan, dan memungkinkan komunikasi yang konstruktif.
Bani Israil dalam sejarahnya terkenal sering melanggar etika lisan ini, dengan mengejek para nabi atau mengubah makna perjanjian (ta’wil). Perintah Qaulan Hasan menjadi koreksi terhadap kecenderungan ini, menekankan bahwa kehormatan diri dan kehormatan orang lain harus dijaga melalui ucapan yang penuh adab. Penggunaan teknologi komunikasi modern semakin menuntut implementasi Qaulan Hasan, di mana kata-kata yang ditulis di dunia maya seringkali lebih kasar daripada yang diucapkan secara langsung.
Setelah menetapkan empat pilar etika (Tauhid, Keluarga, Sosial, dan Komunikasi), ayat ini ditutup dengan dua perintah ritual yang berfungsi sebagai penjaga dan penguat bagi pilar-pilar tersebut: mendirikan salat dan menunaikan zakat.
Salat (mendirikan shalat) adalah ibadah fisik dan spiritual yang berfungsi untuk menjaga hubungan manusia dengan Tuhannya. Penggunaan kata Aqīmū (mendirikan/menegakkan), bukan sekadar ‘Amilū (melakukan), menunjukkan bahwa salat harus dilaksanakan secara sempurna, tepat waktu, dengan khusyuk, dan memiliki dampak nyata pada perilaku sehari-hari.
Filosofi salat adalah mencegah perbuatan keji dan mungkar (QS. Al-Ankabut: 45). Jika seseorang telah menerapkan Tauhid, berbuat baik kepada orang tua, dan bersikap baik kepada masyarakat, salatnya berfungsi untuk mempertahankan tingkat kebaikan tersebut. Salat adalah sumber energi spiritual yang diperlukan untuk menjaga Qaulan Hasan dan melaksanakan Ihsan. Tanpa penegakan salat yang benar, semangat kedermawanan dan etika akan mudah pudar di tengah godaan dunia.
Kesempurnaan salat adalah indikator keikhlasan. Seseorang yang tekun dalam salatnya dilatih untuk disiplin, rendah hati, dan menyadari bahwa ia selalu berada di bawah pengawasan Ilahi. Kesadaran inilah yang mencegahnya dari pelanggaran janji atau pengabaian hak-hak sosial yang disebutkan sebelumnya.
Zakat (menunaikan zakat) adalah ibadah ekonomi yang secara langsung berpasangan dengan salat, melengkapi ketaatan vertikal dengan ketaatan horizontal. Zakat bukan sekadar sedekah sukarela, tetapi kewajiban yang terstruktur dan terlembaga yang membersihkan harta orang kaya dan memastikan pendistribusian kekayaan kepada delapan golongan yang berhak, termasuk orang miskin dan anak yatim yang telah disebut sebelumnya.
Dalam konteks Al-Baqarah 2:83, zakat adalah jaminan bahwa Ihsan kepada kerabat, yatim, dan miskin dapat dilaksanakan secara sistemik. Zakat mengikatkan janji teologis (Tauhid) dengan tindakan ekonomi (Keadilan Sosial). Tanpa zakat, janji untuk berbuat baik kepada orang miskin hanyalah retorika tanpa mekanisme implementasi yang jelas.
Zakat berfungsi sebagai katalisator untuk menciptakan masyarakat yang stabil dan harmonis. Ia mengurangi jurang pemisah antara si kaya dan si miskin, menghilangkan rasa iri, dan menumbuhkan rasa tanggung jawab kolektif. Kegagalan Bani Israil seringkali terkait dengan kecintaan berlebihan mereka terhadap harta benda, yang secara otomatis menyebabkan mereka mengabaikan zakat, yang pada gilirannya meruntuhkan struktur Ihsan mereka.
Bagian penutup ayat ini berfungsi sebagai peringatan keras bagi seluruh umat beriman. Setelah menjabarkan janji yang agung dan komprehensif, Allah menutupnya dengan mencatat kegagalan Bani Israil: "Kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling."
Pelanggaran janji (tawallaitum) yang dilakukan Bani Israil bukanlah hanya meninggalkan salah satu perintah, melainkan memisahkan perintah-perintah tersebut. Mereka mungkin melaksanakan ritual (seperti salat) tetapi mengabaikan etika sosial (seperti zakat atau Ihsan kepada kerabat), atau sebaliknya. Sikap berpaling (mu’riḍūn) adalah sikap menolak secara konsisten untuk tunduk pada kebenaran, meskipun kebenaran itu telah jelas disampaikan melalui kitab suci dan para nabi.
Inti dari kegagalan ini adalah hilangnya keseimbangan (mīzān). Mereka gagal menyelaraskan iman vertikal (Tauhid dan Salat) dengan tanggung jawab horizontal (Ihsan dan Zakat). Ayat ini mengajarkan bahwa janji Allah adalah paket utuh. Seseorang tidak bisa memilih untuk menjadi religius hanya dalam aspek ritual sambil mengabaikan tanggung jawabnya terhadap masyarakat, atau sebaliknya.
Peringatan ini berlaku universal. Umat Nabi Muhammad ﷺ diperintahkan untuk belajar dari kesalahan umat sebelumnya. Jika umat Islam hari ini hanya fokus pada kemewahan ritual dan meninggalkan komitmen sosial (seperti keadilan distributif atau Qaulan Hasan dalam media), mereka berisiko jatuh ke dalam pola yang sama dengan Bani Israil, yaitu "berpaling" dari esensi perjanjian Ilahi. Kualitas ibadah seseorang diukur dari sejauh mana ibadah itu memengaruhi interaksi sosialnya.
Banyak ulama tafsir menekankan bahwa ayat ini menuntut umat Islam untuk menjadi umat yang seimbang (ummatan waṣaṭan), yang mampu mengintegrasikan spiritualitas mendalam dengan etika sosial yang tinggi. Tanpa integrasi ini, masyarakat akan terpecah belah, di mana orang-orang yang taat ritual bisa jadi adalah orang yang paling kikir dalam Ihsan sosial, dan yang paling buruk lisannya dalam interaksi publik.
Untuk mencapai pemahaman 5000 kata yang mendalam mengenai ayat ini, kita perlu melihat bagaimana keenam pilar ini membentuk sebuah siklus kehidupan yang ideal dan saling menguatkan, yang apabila salah satunya lemah, seluruh struktur akan goyah.
Pilar pertama, Tauhid, adalah akar. Tanpa Tauhid, semua perintah lainnya adalah pekerjaan tanpa makna abadi. Tauhid menghasilkan kesadaran diri dan ketaatan. Ketaatan ini pertama kali diuji dalam lingkungan terdekat: Ihsan kepada Orang Tua. Keluarga adalah sekolah pertama untuk sosial. Setelah lulus dari sekolah keluarga, Ihsan diperluas ke Kerabat, Yatim, dan Miskin—membangun struktur sosial yang kuat.
Agar interaksi sosial ini berjalan lancar dan bebas konflik, diperlukan Qaulan Hasan sebagai minyak pelumas etika. Namun, upaya ini memerlukan pemeliharaan spiritual melalui Salat (pengisian ulang spiritual vertikal) dan dukungan material melalui Zakat (mekanisme redistribusi yang melegitimasi Ihsan horizontal).
Jika salat lemah, integritas untuk menjaga Qaulan Hasan dan berkorban untuk Zakat akan pudar. Jika Zakat diabaikan, maka Ihsan kepada fakir miskin hanya akan bersifat insidental dan tidak berkelanjutan. Begitu seterusnya, setiap perintah berfungsi untuk menjaga perintah yang lain.
Ayat ini menggunakan dua kata kunci yang berakar pada kebaikan: Ihsan (kebaikan pada tingkat perbuatan) dan Hasan (kebaikan pada tingkat ucapan). Ini menunjukkan bahwa seorang mukmin dituntut untuk berbuat baik dan juga berbicara baik. Kebaikan harus termanifestasi dalam tindakan nyata (memberi, merawat, melindungi) dan dalam komunikasi yang konstruktif (berbicara lembut, jujur, dan menenangkan).
Bayangkan seorang individu yang sangat dermawan (melakukan Ihsan) tetapi memiliki lisan yang kasar dan menghina ketika berinteraksi (melanggar Qaulan Hasan). Kebaikan materinya akan ternetralisir oleh kerusakan emosional yang ditimbulkan oleh kata-katanya. Sebaliknya, seseorang yang pandai berkata-kata manis tetapi kikir dalam berderma juga dianggap melanggar keseimbangan ayat ini. Ayat 83 menuntut integritas menyeluruh antara dompet, hati, dan lisan.
Kewajiban Zakat yang disebutkan dalam ayat 83 adalah pilar yang sangat memerlukan penekanan dalam analisis kontemporer. Zakat bukan hanya amal, melainkan fondasi ekonomi makro dalam Islam yang ditujukan untuk mengatasi kesenjangan yang disinggung dalam konteks 'orang-orang miskin'.
Ayat ini menuntut bahwa masyarakat yang memegang perjanjian Ilahi harus memiliki sistem yang menjamin bahwa tidak ada anggota masyarakat yang kelaparan atau terabaikan, khususnya anak yatim dan miskin. Zakat memastikan harta tidak menumpuk. Para ahli fikih telah menjabarkan bahwa kegagalan untuk membayar zakat sama dengan pelanggaran serius terhadap janji yang diambil oleh Allah. Jika masyarakat modern menghadapi masalah kesenjangan sosial yang parah, hal itu seringkali berakar pada pengabaian kewajiban zakat atau pemahaman yang sempit tentang konsepnya.
Zakat, ketika diterapkan dengan benar, tidak hanya berfungsi sebagai alat transfer kekayaan pasif, tetapi juga sebagai alat pembangunan kapasitas. Dana zakat harus digunakan tidak hanya untuk konsumsi, tetapi juga untuk memberdayakan Al-Masakin agar mereka dapat keluar dari lingkaran kemiskinan, sejalan dengan semangat Ihsan yang diperintahkan.
Konteks Al-Yatama (anak yatim) di sini sangat sensitif. Perlindungan yatim adalah tes bagi moralitas masyarakat. Dalam masyarakat Bani Israil, kecenderungan untuk memakan atau mengambil harta anak yatim adalah masalah berulang. Al-Qur’an menentang praktik ini dengan keras. Ihsan kepada yatim mencakup:
Pilar Qaulan Hasan (mengucapkan kata-kata yang baik) adalah sebuah mandat yang menuntut pengendalian diri yang ekstrem, terutama dalam situasi yang memprovokasi. Perintah ini relevan secara kritis dalam era polarisasi ideologi dan konflik komunikasi yang tinggi.
Ketika berbicara kepada "manusia" (al-nās), yang mencakup mereka yang berbeda agama, budaya, atau pandangan politik, ucapan yang baik menjadi syarat dakwah yang efektif. Kebenaran tidak boleh disampaikan dengan cara yang merendahkan atau agresif. Kebijaksanaan menuntut bahwa bahkan ketika mengoreksi kesalahan, kata-kata harus dipilih sedemikian rupa sehingga membuka hati, bukan menutupnya.
Bani Israil sering dikritik karena kekakuan lisan dan argumentasi mereka, bahkan terhadap Musa A.S. Perintah Qaulan Hasan berfungsi sebagai obat penawar untuk sikap keras kepala lisan ini. Ia mengajarkan fleksibilitas dan kerendahan hati dalam berinteraksi. Lisan yang baik menciptakan lingkungan yang damai, tempat dialog dan pemahaman dapat berkembang, jauh dari perpecahan dan permusuhan.
Pengendalian lisan (ḥifẓ al-lisān) adalah ibadah yang konstan. Setiap kata yang diucapkan dicatat. Qaulan Hasan adalah aplikasi praktis dari Tauhid: jika seseorang benar-benar meyakini bahwa Allah Mahamengetahui setiap kata yang keluar dari mulutnya, maka ia akan berbicara dengan hati-hati. Ini termasuk menghindari gosip (ghibah), fitnah, dan sumpah palsu—semua praktik yang merusak janji sosial yang digariskan dalam ayat 83.
Di tempat kerja, Qaulan Hasan berarti bersikap profesional, adil, dan menghindari intimidasi lisan. Dalam keluarga, itu berarti menahan diri dari kata-kata yang menyakitkan saat marah. Dalam politik, itu berarti menghindari propaganda kebohongan dan penghinaan. Lisan adalah alat paling kuat untuk membangun atau menghancurkan masyarakat, dan ayat 83 memerintahkannya untuk membangun.
Ayat 83 secara eksplisit mengurutkan Salat dan Zakat sebagai pasangan penutup. Urutan ini tidak kebetulan; ia mencerminkan integrasi mutlak antara spiritualitas pribadi dan tanggung jawab publik. Integrasi ini adalah kunci untuk menghindari nasib ‘berpaling’ seperti umat terdahulu.
Salat lima waktu adalah ritual pemurnian dan disiplin. Ketika seseorang berdiri menghadap Allah, ia diingatkan tentang perjanjiannya—Tauhid, Ihsan, Qaulan Hasan. Salat berfungsi sebagai mekanisme pengingat (dhikr) yang berulang-ulang, mencegah hati menjadi keras dan melupakan janji-janji sosial. Tanpa salat, Ihsan kepada orang tua atau yatim bisa menjadi beban yang berat, karena motivasi spiritualnya kurang. Salat memberi energi dan kesabaran untuk melaksanakan semua kewajiban sosial yang menuntut pengorbanan emosional dan materi.
Sebaliknya, Zakat adalah bukti nyata bahwa salat telah efektif. Jika salat seseorang benar, ia tidak akan kikir dalam menunaikan zakat. Zakat adalah perwujudan konkret dari kesadaran bahwa harta adalah amanah Allah. Keseimbangan antara Salat dan Zakat memastikan bahwa ibadah tidak menjadi sekadar formalitas tanpa substansi sosial, dan kebaikan sosial tidak hanya menjadi sekadar filantropi sekuler tanpa akar spiritual.
Kesinambungan ketaatan pada Salat dan Zakat inilah yang menentukan keberlanjutan ketaatan pada empat pilar etika sebelumnya. Inilah mengapa kedua perintah ini selalu diletakkan bersama di banyak tempat dalam Al-Qur’an, termasuk dalam ayat perjanjian agung ini. Keduanya adalah penegak moralitas dan stabilitas, baik individu maupun komunal.
Ayat 83 ditutup dengan kalimat yang seharusnya menggugah kesadaran: "...kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling (mu’riḍūn)." Analisis terhadap kata Al-I’radh (berpaling) ini mengungkapkan tingkat keseriusan kegagalan mereka.
Al-I’radh bukan hanya sekadar kelalaian, tetapi sikap penolakan yang disengaja. Ini adalah penolakan etis, di mana kebenaran telah diketahui, tetapi seseorang memilih untuk memalingkan wajah dan hati karena kesombongan, kecintaan pada dunia, atau takut kehilangan kenyamanan. Dalam konteks Bani Israil, berpaling berarti memilih kenyamanan ritualistik yang dangkal (seperti puasa dan ritual formal) sambil mengabaikan janji keadilan sosial dan integritas lisan.
Bagi umat Islam saat ini, Al-I’radh dapat termanifestasi dalam bentuk:
Frasa "kecuali sebagian kecil daripada kamu" memberikan harapan. Dalam setiap zaman dan umat, selalu ada sekelompok kecil (qalīl) yang berpegang teguh pada seluruh janji, yang menyeimbangkan Tauhid dengan Ihsan, dan Salat dengan Zakat. Mereka adalah para penjaga perjanjian yang menolak untuk memecah belah ajaran menjadi bagian-bagian yang disukai dan yang tidak disukai. Kelompok minoritas ini adalah cahaya yang berfungsi sebagai pengingat dan penyelamat umat, mencontohkan bahwa integritas menyeluruh (holistik) dalam beragama adalah mungkin.
Inti dari pesan ayat 83, yang ditutup dengan peringatan historis, adalah ajakan kepada Umat Muhammad ﷺ untuk menjadi kelompok qalīl (minoritas yang setia) tersebut, yang tidak berpaling, dan yang berhasil mempertahankan janji agung yang terdiri dari enam pilar yang tak terpisahkan: keesaan Tuhan, kebaikan keluarga, keadilan sosial, etika komunikasi, disiplin ritual, dan redistribusi ekonomi.
Surah Al-Baqarah ayat 83 adalah lebih dari sekadar sejarah. Ia adalah konstitusi moral dan sosial yang abadi. Ayat ini menggariskan sebuah kehidupan yang tidak mungkin terbelah: di mana ketaatan kepada Allah harus tercermin secara instan dalam ketaatan kepada hak-hak manusia, mulai dari orang tua, kerabat, hingga orang miskin, disempurnakan oleh lisan yang baik dan dijaga oleh disiplin Salat dan Zakat. Menjaga perjanjian ini berarti menolak berpaling dari keadilan dalam bentuk apa pun, menjamin kesejahteraan spiritual dan material bagi seluruh umat manusia.