Surah Al-Balad

Pendahuluan: Negeri dan Perjuangan Manusia

Surah Al-Balad, yang berarti "Negeri," adalah surah ke-90 dalam Al-Qur'an. Tergolong sebagai surah Makkiyah, ia diturunkan di Mekkah pada periode awal dakwah kenabian. Meskipun singkat, surah ini membawa pesan yang sangat mendalam dan universal tentang hakikat kehidupan manusia. Ia membuka mata kita pada realitas bahwa hidup adalah sebuah arena perjuangan yang tak pernah usai, sebuah perjalanan mendaki yang penuh dengan rintangan. Namun, di tengah kesulitan itu, Allah menunjukkan jalan menuju kemuliaan sejati, bukan melalui kekayaan atau kekuasaan, melainkan melalui kepedulian, empati, dan pengorbanan untuk sesama.

Surah ini dimulai dengan sumpah agung atas nama kota suci Mekkah, tempat di mana Nabi Muhammad SAW berada, yang menambah kemuliaan kota tersebut. Sumpah ini menjadi pengantar untuk menegaskan sebuah kebenaran fundamental: manusia diciptakan dalam keadaan "kabad," yaitu susah payah dan perjuangan. Dari tangisan pertama saat lahir hingga napas terakhir, setiap fase kehidupan menuntut usaha, kesabaran, dan ketahanan. Pesan ini bukan untuk membuat kita pesimis, melainkan untuk membekali kita dengan pemahaman yang realistis agar tidak mudah terbuai oleh angan-angan kosong dan siap menghadapi tantangan hidup dengan jiwa yang tegar.

Ilustrasi sebuah jalan mendaki yang terjal di sebuah negeri, melambangkan konsep 'aqabah' atau jalan yang sukar dalam Surah Al-Balad.

Lebih jauh, Al-Balad mengkritik tajam kesombongan manusia yang merasa berkuasa penuh atas harta dan dirinya, lupa bahwa ada Dzat Yang Maha Melihat dan Maha Kuasa di atas segalanya. Allah kemudian mengingatkan manusia akan nikmat-nikmat dasar yang sering terlupakan—dua mata, lidah, dan bibir—serta anugerah terbesar, yaitu petunjuk untuk membedakan dua jalan: jalan kebaikan yang mendaki dan jalan keburukan yang menurun. Surah ini mendefinisikan kebajikan sejati bukan sekadar ritual ibadah, melainkan sebagai tindakan nyata yang disebut "al-'aqabah" atau jalan yang sukar didaki. Jalan ini adalah jalan kepedulian sosial: membebaskan mereka yang tertindas, memberi makan di saat kelaparan, dan menyantuni anak yatim serta fakir miskin. Inilah esensi dari iman yang produktif, iman yang diwujudkan dalam amal saleh yang berlandaskan kesabaran dan kasih sayang.

Bacaan Surah Al-Balad: Arab, Latin, dan Terjemahan

لَآ اُقْسِمُ بِهٰذَا الْبَلَدِۙ

lā uqsimu bihāżal-balad

1. Aku bersumpah demi negeri ini (Mekah),

وَاَنْتَ حِلٌّۢ بِهٰذَا الْبَلَدِۙ

wa anta ḥillum bihāżal-balad

2. dan engkau (Muhammad) bertempat di negeri ini,

وَوَالِدٍ وَّمَا وَلَدَۙ

wa wālidiw wa mā walad

3. dan demi bapak dan anaknya.

لَقَدْ خَلَقْنَا الْاِنْسَانَ فِيْ كَبَدٍۗ

laqad khalaqnal-insāna fī kabad

4. Sungguh, Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah.

اَيَحْسَبُ اَنْ لَّنْ يَّقْدِرَ عَلَيْهِ اَحَدٌ ۘ

ayaḥsabu allay yaqdira ‘alaihi aḥad

5. Apakah dia (manusia) itu mengira bahwa tidak ada sesuatu pun yang berkuasa atasnya?

يَقُوْلُ اَهْلَكْتُ مَالًا لُّبَدًاۗ

yaqụlu ahlaktu mālal lubadā

6. Dia mengatakan, “Aku telah menghabiskan harta yang banyak.”

اَيَحْسَبُ اَنْ لَّمْ يَرَهٗٓ اَحَدٌ ۗ

ayaḥsabu allam yarahū aḥad

7. Apakah dia mengira bahwa tidak ada sesuatu pun yang melihatnya?

اَلَمْ نَجْعَلْ لَّهٗ عَيْنَيْنِۙ

alam naj’al lahụ ‘ainain

8. Bukankah Kami telah menjadikan untuknya sepasang mata,

وَلِسَانًا وَّشَفَتَيْنِۙ

wa lisānaw wa syafatain

9. dan lidah dan sepasang bibir?

وَهَدَيْنٰهُ النَّجْدَيْنِۙ

wa hadaināhun-najdain

10. Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan (kebaikan dan keburukan).

فَلَا اقْتَحَمَ الْعَقَبَةَ ۖ

falaqtaḥamal-‘aqabah

11. Tetapi dia tidak menempuh jalan yang mendaki dan sukar.

وَمَآ اَدْرٰىكَ مَا الْعَقَبَةُ ۗ

wa mā adrāka mal-‘aqabah

12. Dan tahukah kamu apakah jalan yang mendaki dan sukar itu?

فَكُّ رَقَبَةٍۙ

fakku raqabah

13. (Yaitu) melepaskan perbudakan (hamba sahaya),

اَوْ اِطْعَامٌ فِيْ يَوْمٍ ذِيْ مَسْغَبَةٍۙ

au iṭ’āmun fī yaumin żī masgabah

14. atau memberi makan pada hari terjadi kelaparan,

يَتِيْمًا ذَا مَقْرَبَةٍۙ

yatīman żā maqrabah

15. (kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat,

اَوْ مِسْكِيْنًا ذَا مَتْرَبَةٍۗ

au miskīnan żā matrabah

16. atau orang miskin yang sangat fakir.

ثُمَّ كَانَ مِنَ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ وَتَوَاصَوْا بِالْمَرْحَمَةِۗ

ṡumma kāna minallażīna āmanụ wa tawāṣau biṣ-ṣabri wa tawāṣau bil-marḥamah

17. Kemudian dia termasuk orang-orang yang beriman dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang.

اُولٰۤىِٕكَ اَصْحٰبُ الْمَيْمَنَةِۗ

ulā'ika aṣḥābul-maimanah

18. Mereka (orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan) itu adalah golongan kanan.

وَالَّذِيْنَ كَفَرُوْا بِاٰيٰتِنَا هُمْ اَصْحٰبُ الْمَشْـَٔمَةِۗ

wallażīna kafarụ bi'āyātinā hum aṣḥābul-masy'amah

19. Dan orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, mereka itu adalah golongan kiri.

عَلَيْهِمْ نَارٌ مُّؤْصَدَةٌ ࣖ

‘alaihim nārum mu'ṣadah

20. Mereka berada dalam neraka yang ditutup rapat.

Tafsir Mendalam Surah Al-Balad: Mengurai Makna Perjuangan dan Kebajikan

Untuk memahami pesan agung di balik surah ini, kita perlu menyelami makna setiap ayatnya secara lebih mendalam. Surah Al-Balad dapat dibagi menjadi beberapa bagian tematik yang saling berkaitan, membentuk sebuah narasi utuh tentang kondisi manusia dan jalan keselamatannya.

Bagian 1: Sumpah Agung dan Hakikat Penciptaan Manusia (Ayat 1-4)

Ayat 1-3 dibuka dengan serangkaian sumpah. Dalam Al-Qur'an, ketika Allah bersumpah dengan ciptaan-Nya, hal itu menandakan betapa penting dan mulianya objek sumpah tersebut, sekaligus untuk menegaskan kebenaran pesan yang akan disampaikan setelahnya.

"Aku bersumpah demi negeri ini (Mekah), dan engkau (Muhammad) bertempat di negeri ini, dan demi bapak dan anaknya."

Allah bersumpah dengan "negeri ini" (hāżal-balad), yang disepakati oleh para ulama tafsir merujuk pada kota Mekkah. Mekkah bukan sekadar kota biasa; ia adalah pusat spiritual, tempat Ka'bah berdiri, dan kiblat umat Islam. Kemuliaannya semakin bertambah karena Nabi Muhammad SAW, manusia paling mulia, lahir, tumbuh, dan memulai dakwahnya di sana. Frasa "wa anta ḥillum bihāżal-balad" memiliki beberapa lapisan makna. Pertama, ia menegaskan bahwa keberadaan Nabi di Mekkah menambah kemuliaan kota itu. Kedua, sebagian ulama menafsirkannya sebagai isyarat bahwa kelak Nabi akan diizinkan (dihalalkan) untuk berperang di kota suci tersebut pada saat Fathu Makkah (Penaklukan Mekkah), sebuah pengecualian dari aturan umum yang melarang pertumpahan darah di sana.

Sumpah ketiga, "demi bapak dan anaknya" (wa wālidiw wa mā walad), memiliki interpretasi yang lebih luas. Ada yang menafsirkannya secara spesifik sebagai Nabi Adam AS dan seluruh keturunannya (manusia), atau Nabi Ibrahim AS dan putranya, Nabi Ismail AS, yang bersama-sama membangun Ka'bah. Namun, makna yang lebih umum dan mencakup adalah sumpah demi hukum universal tentang regenerasi, hubungan antara orang tua dan anak, serta kesinambungan generasi manusia yang terus berlanjut.

Setelah tiga sumpah yang agung ini, Allah menyatakan pesan utamanya: "Sungguh, Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah (fī kabad)." Inilah jawaban dari sumpah tersebut. Kata 'kabad' berasal dari akar kata yang berarti hati atau bagian tengah sesuatu, yang secara metaforis menunjuk pada inti dari kesulitan, beban, dan perjuangan. Ayat ini adalah sebuah deklarasi ilahi tentang kondisi fundamental manusia. Kehidupan, dari awal hingga akhir, adalah serangkaian 'kabad'. Bayi berjuang untuk keluar dari rahim, anak-anak berjuang untuk belajar berjalan dan berbicara, remaja berjuang mencari jati diri, orang dewasa berjuang mencari nafkah dan mendidik anak, dan di usia senja, manusia berjuang melawan kelemahan fisik. Tidak ada satu fase pun yang bebas dari perjuangan. Pemahaman ini penting agar kita tidak memiliki ekspektasi yang salah terhadap dunia, dan agar kita menyadari bahwa nilai dan pertumbuhan kita justru ditempa melalui 'kabad' ini.

Bagian 2: Kesombongan Manusia dan Ujian Harta (Ayat 5-7)

Bagian ini mengalihkan fokus pada potret psikologis manusia yang lalai dan sombong, yang lupa akan hakikat 'kabad' dan pengawasan Ilahi.

"Apakah dia (manusia) itu mengira bahwa tidak ada sesuatu pun yang berkuasa atasnya? Dia mengatakan, 'Aku telah menghabiskan harta yang banyak.' Apakah dia mengira bahwa tidak ada sesuatu pun yang melihatnya?"

Ayat 5, "ayaḥsabu allay yaqdira ‘alaihi aḥad," menelanjangi arogansi manusia yang ketika diberi sedikit kekuatan atau kekayaan, merasa seolah-olah ia tak terkalahkan dan tak akan pernah dimintai pertanggungjawaban. Ia lupa bahwa di atas kekuasaannya, ada kekuasaan Allah yang mutlak. Ini adalah penyakit spiritual yang berbahaya, di mana manusia mendewakan dirinya sendiri.

Kesombongan ini kemudian diekspresikan melalui hartanya. "Aku telah menghabiskan harta yang banyak (mālal lubadā)," katanya dengan bangga. Kata 'lubadā' berarti harta yang bertumpuk-tumpuk. Perhatikan, ia tidak mengatakan "Aku telah menginfakkan," tetapi "Aku telah menghabiskan (ahlaktu)." Kata 'ahlaktu' menyiratkan penghancuran atau pemborosan. Hartanya dihabiskan bukan untuk kebaikan, tetapi untuk pamer, persaingan kemegahan, dan memuaskan hawa nafsu. Ia melihat pengeluaran ini sebagai bukti status dan kekuasaannya, bukan sebagai amanah yang harus dipertanggungjawabkan.

Allah kemudian membantah ilusi ini dengan pertanyaan retoris yang tajam: "ayaḥsabu allam yarahū aḥad?" Apakah dia pikir tidak ada yang melihatnya? Manusia mungkin bisa menyembunyikan perbuatannya dari sesama manusia, tetapi tidak ada satu pun yang tersembunyi dari penglihatan Allah. Setiap sen yang dibelanjakan, setiap niat di balik tindakan, semuanya terekam dan akan diperhitungkan. Ini adalah pengingat keras tentang konsep muraqabah (merasa diawasi Allah) dan akuntabilitas di akhirat.

Bagian 3: Anugerah Allah dan Dua Jalan Pilihan (Ayat 8-10)

Setelah menggambarkan kesombongan manusia, Allah mengingatkannya pada nikmat-nikmat dasar yang seringkali dianggap remeh, sebagai bukti kekuasaan dan kasih sayang-Nya.

"Bukankah Kami telah menjadikan untuknya sepasang mata, dan lidah dan sepasang bibir? Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan (kebaikan dan keburukan)."

Allah tidak menyebutkan nikmat harta atau jabatan, melainkan nikmat yang melekat pada diri setiap insan: mata, lidah, dan bibir. Dua mata bukan hanya untuk melihat dunia fisik, tetapi juga untuk mengambil pelajaran ('ibrah) dari apa yang dilihat. Lidah dan bibir bukan hanya untuk makan dan minum, tetapi juga untuk berkomunikasi, berkata benar, berzikir, dan menyampaikan kebaikan. Ini adalah instrumen-instrumen fundamental yang diberikan Allah agar manusia dapat menavigasi hidupnya.

Puncak dari anugerah ini adalah "wa hadaināhun-najdain," yaitu petunjuk kepada dua jalan. 'An-Najdain' secara harfiah berarti dua dataran tinggi yang menonjol, menyiratkan dua jalan yang jelas dan berbeda: jalan kebaikan yang menanjak (sulit namun membawa ke puncak kemuliaan) dan jalan keburukan yang menurun (mudah namun membawa ke jurang kehancuran). Petunjuk ini diberikan Allah melalui fitrah (naluri dasar untuk mengakui kebenaran), akal untuk berpikir, dan wahyu yang diturunkan kepada para rasul. Dengan semua perangkat dan petunjuk ini, manusia diberi kebebasan untuk memilih jalannya sendiri, dan dengan pilihan itu, ia memikul tanggung jawab penuh atas konsekuensinya.

Bagian 4: Definisi Kebajikan Sejati: Mendaki Jalan yang Sukar ('Aqabah) (Ayat 11-16)

Di sinilah inti praktis dari surah ini. Setelah diberi pilihan, ternyata manusia cenderung enggan menempuh jalan yang benar karena jalan itu sulit.

"Tetapi dia tidak menempuh jalan yang mendaki dan sukar (al-'aqabah). Dan tahukah kamu apakah jalan yang mendaki dan sukar itu?"

Frasa "falaqtaḥamal-‘aqabah" adalah sebuah celaan. Manusia enggan untuk "menerjang" atau "mendaki" jalan yang sukar ini. 'Aqabah adalah jalan terjal di gunung yang sulit dilalui. Metafora ini sangat kuat, menggambarkan bahwa kebajikan sejati bukanlah sesuatu yang mudah dan ringan, melainkan membutuhkan pengorbanan, perjuangan melawan ego, kekikiran, dan kemalasan.

Allah kemudian merinci apa saja bentuk-bentuk 'aqabah' itu. Ini bukanlah amalan-amalan yang bersifat individualistis semata, melainkan amalan yang berdampak sosial secara langsung.

  • Fakku Raqabah (Membebaskan Perbudakan): Ini adalah puncak kepedulian sosial. 'Raqabah' berarti leher, melambangkan belenggu perbudakan. Dalam konteks historis, ini berarti memerdekakan budak. Dalam konteks modern, maknanya meluas menjadi membebaskan manusia dari segala bentuk penindasan: belenggu utang yang mencekik, kebodohan, kemiskinan struktural, atau bahkan kecanduan. Ini adalah tindakan mengembalikan kemerdekaan dan martabat seorang manusia.
  • Iṭ’āmun fī Yaumin żī Masgabah (Memberi Makan di Hari Kelaparan): Perhatikan penekanannya. Bukan sekadar memberi makan, tetapi memberi makan di "hari yang penuh kelaparan" (żī masgabah). Artinya, memberi di saat kondisi sedang sulit, paceklik, atau krisis, di mana makanan menjadi langka dan berharga. Di saat seperti inilah ujian kedermawanan yang sesungguhnya terjadi.
  • Yatīman żā Maqrabah (Anak Yatim yang Kerabat): Lagi-lagi ada penekanan. Bukan sembarang anak yatim, tetapi "yang memiliki hubungan kerabat" (żā maqrabah). Mengapa? Karena seringkali manusia lebih mudah berderma kepada orang jauh untuk mendapat pujian, namun abai terhadap kerabat dekat yang membutuhkan. Mengurus yatim dari keluarga sendiri menuntut keikhlasan yang lebih besar dan seringkali lebih berat karena melibatkan hubungan personal jangka panjang.
  • Miskīnan żā Matrabah (Orang Miskin yang Sangat Fakir): Kata 'matrabah' berasal dari kata 'turab' yang berarti tanah atau debu. Ini adalah gambaran orang yang saking miskinnya seolah-olah ia "menempel di tanah," tidak memiliki apa-apa lagi selain debu yang melekat di tubuhnya. Ini adalah level kemiskinan yang paling ekstrem. Menolong mereka adalah bagian dari mendaki 'aqabah'.

Keempat contoh ini menunjukkan bahwa Islam menempatkan keadilan sosial dan kepedulian terhadap kaum lemah sebagai inti dari kebajikan. Inilah jalan mendaki yang harus ditempuh.

Bagian 5 dan 6: Dua Golongan Manusia dan Konsekuensinya (Ayat 17-20)

Amal-amal sosial yang berat tadi tidak akan bernilai jika tidak dilandasi oleh fondasi yang benar. Ayat 17 memberikan syaratnya.

"Kemudian dia termasuk orang-orang yang beriman dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang."

Kata "ṡumma" (kemudian) di sini sangat penting. Ini menunjukkan bahwa setelah atau bersamaan dengan menempuh 'aqabah', seseorang harus memiliki dua pilar utama:

  1. Iman kepada Allah: Inilah fondasi dan motivasi utama. Semua amal kebaikan harus lahir dari keyakinan kepada Allah dan harapan akan balasan-Nya, bukan untuk riya' atau pujian manusia.
  2. Membangun Komunitas Positif: Iman dan amal tidak cukup dilakukan sendiri. Seorang mukmin harus menjadi bagian dari komunitas yang "saling berpesan untuk bersabar" (tawāṣau biṣ-ṣabri) dan "saling berpesan untuk berkasih sayang" (tawāṣau bil-marḥamah). Sabar dibutuhkan karena meniti jalan 'aqabah' itu berat dan penuh rintangan. Kasih sayang (marhamah) adalah bahan bakar yang mendorong semua tindakan kepedulian sosial tersebut.

Mereka yang berhasil menggabungkan iman, amal sosial ('aqabah'), dan komitmen untuk saling menasihati dalam kesabaran dan kasih sayang inilah yang disebut "Aṣḥābul Maimanah" (Golongan Kanan). Mereka adalah orang-orang yang akan menerima buku catatan amal mereka dengan tangan kanan, sebuah lambang kesuksesan, keberkahan, dan kebahagiaan abadi di surga.

Sebaliknya, "orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, mereka itu adalah golongan kiri (Aṣḥābul Masy'amah)." Mereka adalah orang-orang yang mengingkari petunjuk Allah, menolak untuk menempuh jalan 'aqabah', dan hidup dalam kesombongan dan kekafiran. Balasan bagi mereka adalah "nārum mu'ṣadah," yaitu api neraka yang "ditutup rapat," tanpa ada celah untuk lari atau secercah harapan untuk keluar. Sebuah gambaran keputusasaan dan azab yang total.

Pelajaran dan Refleksi dari Surah Al-Balad

Surah Al-Balad, meskipun pendek, meninggalkan jejak yang mendalam di hati pembacanya. Ia memberikan peta jalan kehidupan yang realistis dan penuh makna. Beberapa pelajaran penting yang dapat kita petik adalah:

  • Menerima Perjuangan Sebagai Sunnatullah: Jangan pernah berharap hidup akan mulus tanpa tantangan. Surah ini mengajarkan kita untuk memandang perjuangan ('kabad') bukan sebagai kutukan, melainkan sebagai media Allah untuk menempa, menguatkan, dan mengangkat derajat kita.
  • Waspada Terhadap Tipu Daya Harta dan Kekuasaan: Kekayaan dan jabatan adalah ujian. Surah ini mengingatkan bahwa kebanggaan atas harta yang dihamburkan tanpa tujuan yang benar dan perasaan berkuasa tanpa batas adalah tanda kebutaan hati yang akan membawa kepada kebinasaan.
  • Syukur yang Produktif: Mensyukuri nikmat mata, lidah, dan bibir bukan hanya dengan ucapan 'Alhamdulillah', tetapi dengan menggunakannya di jalan yang benar. Mata untuk melihat kebenaran, lidah untuk menyuarakan kebaikan, dan keduanya adalah alat untuk menempuh jalan kebajikan.
  • Kebajikan Sejati Adalah Aksi Sosial: Standar kebaikan dalam Islam sangatlah tinggi. Ia diukur dari sejauh mana kita peduli dan berkorban untuk meringankan beban orang lain, terutama mereka yang paling lemah dan tertindas di masyarakat.
  • Pentingnya Iman sebagai Landasan dan Komunitas sebagai Penguat: Amal tanpa iman adalah bangunan tanpa fondasi. Dan iman tanpa dukungan komunitas yang saling mengingatkan dalam kesabaran dan kasih sayang akan mudah rapuh. Keduanya adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan untuk mencapai ridha Allah.
🏠 Kembali ke Homepage