Secara etimologi, kata "Al Balad" (البلد) dalam bahasa Arab memiliki arti yang sangat mendasar: "kota", "negeri", atau "tanah". Namun, ketika frasa ini merujuk pada konteks geografis di Arab Saudi, khususnya di kota Jeddah, maknanya melampaui definisi sederhana tersebut. Al Balad adalah nama yang diberikan kepada Jeddah Tua, sebuah distrik bersejarah yang menjadi saksi bisu ribuan tahun peradaban, perdagangan, dan perjalanan spiritual para jamaah haji. Al Balad bukan sekadar kota lama; ia adalah esensi dari identitas Jeddah, sebuah permata yang diakui oleh UNESCO sebagai Warisan Dunia.
Akar kata B-L-D (ب-ل-د) dalam bahasa Arab mengacu pada menetap, berdiam, atau suatu tempat tinggal. Oleh karena itu, *Al Balad* adalah istilah definitif yang merujuk pada suatu wilayah berpopulasi atau suatu entitas politik yang terorganisir, entah itu sebuah kota besar (seperti dalam ungkapan "balad al-haramain," merujuk kepada Saudi Arabia) atau hanya suatu desa kecil.
Dalam konteks Jeddah, penamaan distrik bersejarah ini sebagai "Al Balad" terjadi secara organik. Sebelum perluasan kota besar-besaran yang dimulai pada pertengahan abad ke-20, pusat bersejarah ini adalah satu-satunya entitas kota yang sesungguhnya. Seluruh kehidupan, pemerintahan, perdagangan, dan aktivitas sosial terkonsentrasi di dalam tembok pertahanan ini. Maka, bagi penduduk setempat, daerah tersebut adalah *Al Balad* — kota, inti peradaban mereka. Penggunaan nama ini menegaskan peran historisnya sebagai pusat urban primer di sepanjang pantai Laut Merah.
Penting untuk dipahami bahwa Jeddah, sebagai Al Balad, memegang peran strategis yang unik. Ia bukan hanya sebuah kota pesisir, melainkan gerbang utama menuju dua kota suci Islam, Mekkah dan Madinah. Jarak yang relatif dekat dengan Mekkah (sekitar 70 kilometer) menjadikannya titik pendaratan utama bagi peziarah yang datang dari Afrika, Asia, dan Eropa melalui jalur laut. Fungsi sentral ini memperkuat identitasnya sebagai "Kota Gerbang," sebuah balad yang memiliki kepentingan global.
Definisi Al Balad meluas melampaui geografi dan mencapai aspek budaya dan psikologis. Bagi generasi tua Jeddah, Al Balad mewakili masa lalu yang kaya, sebuah era ketika interaksi budaya terjadi dalam bentuk yang paling murni. Para pedagang dari India, Afrika Timur, Mesir, dan Yaman bertemu di souq-souq sempitnya, menciptakan fusi budaya yang unik, tercermin dalam dialek, kuliner, dan, yang paling menonjol, arsitekturnya.
Konsep *Baladi* (yang berasal dari Al Balad) merujuk pada sesuatu yang lokal, asli, atau tradisional. Ketika seseorang berbicara tentang masakan *Baladi* atau seni *Baladi*, mereka merujuk pada gaya atau tradisi yang berakar kuat dari kehidupan di kota lama. Ini menegaskan bahwa Al Balad bukan sekadar situs, melainkan sumber utama identitas budaya bagi seluruh wilayah Jeddah. Kehidupan yang terorganisir, padat, dan bertingkat di dalam tembok lama ini menghasilkan keakraban sosial yang sangat berbeda dari pola urbanisasi modern yang menyebar luas.
Sejarah Al Balad dimulai sejak sebelum Islam, tetapi peran signifikannya baru benar-benar ditetapkan pada tahun 647 Masehi, pada masa Kekhalifahan Utsman bin Affan. Khalifah Utsman memutuskan untuk menjadikan Jeddah sebagai pelabuhan utama untuk Mekkah, menggantikan pelabuhan sebelumnya di Shu'aybah yang kurang strategis. Keputusan ini secara instan mengubah nasib Jeddah, memposisikannya sebagai titik masuk maritim utama bagi jamaah haji dari seluruh dunia Islam.
Selama berabad-abad berikutnya, Al Balad berkembang pesat seiring dengan peningkatan jumlah peziarah dan pertumbuhan rute perdagangan laut. Posisi geografisnya yang ideal, menghadap rute Laut Merah yang sibuk, memungkinkannya menjadi pusat perdagangan penting, menjual barang-barang seperti rempah-rempah, dupa, kopi, dan tekstil, yang sering kali ditujukan ke pasar di Mekkah atau terus ke Yaman dan Hijaz.
Pada masa Mamluk dan kemudian Utsmaniyah, kebutuhan akan pertahanan kota menjadi semakin mendesak. Jeddah sering menjadi target serangan, terutama dari kekuatan Portugis yang mencoba mendominasi rute perdagangan Laut Merah pada abad ke-16. Untuk menanggapi ancaman ini, tembok pertahanan (sur) dibangun di sekitar Al Balad, menjadikan kota ini benteng yang kokoh. Tembok ini, yang kini sebagian besarnya telah hilang tetapi jejaknya tetap dikenang, secara fisik mendefinisikan batas-batas Al Balad selama ratusan tahun.
Di bawah kekuasaan Utsmaniyah (Ottoman), Al Balad mencapai puncak kejayaannya. Periode ini ditandai dengan pembangunan arsitektur yang kini menjadi ciri khasnya. Bangunan-bangunan bertingkat tinggi didirikan, menampilkan struktur kayu *Rowashin* (jendela kayu berukir) yang berfungsi ganda: sebagai sistem ventilasi pasif dan sebagai penanda status sosial.
Tembok kota memiliki beberapa gerbang yang terkenal, masing-masing memiliki fungsi spesifik dan mengarah ke tujuan tertentu. Gerbang-gerbang ini bukan hanya titik masuk, tetapi juga pusat aktivitas sosial dan ekonomi. Gerbang-gerbang utama meliputi:
Meskipun tembok kota dirobohkan pada tahun 1947 seiring dengan modernisasi dan perluasan Jeddah, struktur dan tata letak Al Balad tetap utuh. Setelah berdirinya Kerajaan Arab Saudi, Jeddah mulai berkembang pesat, dan pusat kegiatan bergeser ke area-area baru. Al Balad perlahan mulai kehilangan statusnya sebagai pusat komersial utama, namun, ia tetap mempertahankan nilai sejarah dan budayanya yang tak ternilai.
Dekade 1970-an dan 1980-an menjadi tantangan besar bagi Al Balad, di mana banyak bangunan tua mulai ditinggalkan atau rusak. Namun, kesadaran akan pentingnya pelestarian mulai tumbuh, yang puncaknya adalah upaya konservasi skala besar yang berujung pada penetapan Al Balad sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO.
Apa yang membedakan Al Balad secara visual adalah arsitekturnya yang khas, dikenal dengan rumah-rumah menara (tower houses) yang menjulang hingga empat atau lima lantai, sebuah anomali di antara arsitektur tradisional Arab di semenanjung tersebut. Kepadatan penduduk yang tinggi di dalam batas tembok memaksa pembangunan vertikal.
Bangunan-bangunan ini umumnya dibangun dengan menggunakan bahan yang tersedia secara lokal: karang laut (taufa) yang diekstrak dari Laut Merah, dicampur dengan lumpur dan kapur, dan diperkuat dengan balok kayu. Karang ini menawarkan sifat isolasi yang sangat baik, membantu menjaga suhu interior tetap sejuk, yang merupakan adaptasi cerdas terhadap iklim Hijaz yang panas dan lembab. Dinding tebalnya (seringkali lebih dari satu meter di lantai dasar) memberikan stabilitas struktural dan perlindungan termal.
Terdapat pula penggunaan kayu dari luar, terutama kayu jati (teak) yang diimpor dari India dan Afrika Timur, yang digunakan untuk elemen struktural dan, yang paling penting, untuk *Rowashin*.
Rowashin (atau Mushrabiya di beberapa wilayah Arab lainnya) adalah elemen paling ikonik dari arsitektur Al Balad. Ini adalah jendela-jendela kayu berukir yang menonjol dari fasad bangunan. Fungsinya sangat multifaset, mencerminkan kecerdasan adaptasi iklim dan sosial:
Struktur perkotaan Al Balad didominasi oleh gang-gang sempit (disebut *Hawa* atau *Sikak*). Gang-gang ini jarang lurus dan sengaja dibuat sempit. Lebar gang yang minimal (seringkali hanya cukup untuk dua orang berjalan beriringan) berfungsi ganda. Secara fisik, gang-gang sempit mengurangi paparan sinar matahari langsung, menjaga tanah tetap teduh dan sejuk. Secara sosial, kedekatan antar rumah mendorong interaksi komunitas yang kuat dan rasa memiliki yang kolektif.
Al Balad juga dibagi menjadi beberapa distrik atau lingkungan utama, yang masing-masing memiliki masjid, sumur air, dan souq (pasar) sendiri. Distrik-distrik ini, seperti Al Mazloum, Al Sham, Al Yamen, dan Al Bahr, mencerminkan pembagian sosial dan geografis yang terstruktur di dalam Balad tersebut, dengan setiap distrik seringkali diasosiasikan dengan keluarga atau kelompok suku tertentu.
Mengingat Jeddah berada di wilayah gurun yang panas, ketersediaan air selalu menjadi faktor penentu kelangsungan hidup Al Balad. Meskipun berada di tepi laut, air sumur di Jeddah seringkali payau. Oleh karena itu, sistem pengumpulan air hujan (cistern) dan saluran air menjadi sangat penting. Keluarga-keluarga kaya membangun cistern besar di bawah rumah mereka. Lebih lanjut, Al Balad terhubung dengan sumber air tawar yang berasal dari lembah-lembah di luar kota melalui saluran air yang dibangun selama era Mamluk dan Utsmaniyah, menunjukkan tingkat perencanaan dan infrastruktur yang canggih untuk mempertahankan ‘Balad’ yang padat ini.
Jika Al Balad artinya ‘kota’, maka ia adalah kota yang hidup dari spiritualitas global. Peran Jeddah sebagai pintu gerbang haji tidak hanya membawa jamaah, tetapi juga kekayaan budaya, pengetahuan, dan komoditas. Setiap tahun, Al Balad menjadi tempat bertemunya berbagai kebangsaan—Jawa, Melayu, India, Persia, Turki, Afrika Timur, dan Mesir.
Ketika kapal-kapal berlabuh di Bab Al-Bunt, jamaah haji akan membanjiri kota, membawa mata uang, barang dagangan, dan cerita dari tanah air mereka. Mereka seringkali menghabiskan waktu berhari-hari atau bahkan berminggu-minggu di Al Balad untuk beristirahat, menunggu kafilah menuju Mekkah, atau menunggu kapal kembali ke negara asal mereka. Interaksi massal ini menciptakan dinamika yang luar biasa di souq-souq dan Khan (penginapan) kota.
Kehidupan ekonomi Al Balad berpusat di sekitar souq (pasar). Tidak seperti pasar modern yang terpusat, souq di Al Balad seringkali bersifat spesifik, tersebar di gang-gang sempit:
Sebagai Balad yang berorientasi maritim, profesi pelaut, pedagang, dan penyelam mutiara (sebelum industri mutiara dihentikan oleh munculnya mutiara budidaya) sangat menonjol. Pelabuhan Jeddah adalah sumber kehidupan, dan identitas maritim ini tetap menjadi bagian integral dari sejarah Al Balad.
Fusi budaya di Al Balad melahirkan warisan kuliner yang khas, dikenal sebagai masakan Hijazi. Makanan seperti *Mantu* (pangsit kukus yang dipengaruhi Asia Tengah/Turki), *Yaghmuush* (roti panggang yang dipengaruhi Asia Tengah), dan *Tamees* (roti datar besar, dipengaruhi Afghanistan) menunjukkan betapa beragamnya pengaruh yang berbaur di dalam Balad ini. Makanan ini adalah bukti hidup bahwa Al Balad adalah titik pertemuan, di mana tradisi kuliner para peziarah dan pedagang diserap dan disesuaikan menjadi identitas lokal yang unik.
Karena merupakan pusat yang makmur, Al Balad juga menjadi pusat ilmu pengetahuan. Sekolah-sekolah tradisional (Katateeb) dan kemudian sekolah modern pertama di wilayah Hijaz didirikan di sana. Bait Nassif, salah satu rumah termegah, pernah menjadi kediaman Raja Abdulaziz (pendiri Kerajaan Arab Saudi) saat berkunjung ke Jeddah, dan berfungsi sebagai pusat pertemuan politik dan budaya, memperkuat status Al Balad bukan hanya sebagai pusat ekonomi, tetapi juga politik dan intelektual.
Sejak pertengahan abad ke-20, ketika kota modern berkembang pesat, Al Balad menghadapi tantangan serius. Bangunan-bangunan tua yang terbuat dari karang laut memerlukan pemeliharaan terus-menerus. Kurangnya investasi, perpindahan penduduk kaya ke pinggiran kota yang lebih modern, dan faktor lingkungan seperti air laut yang merembes, menyebabkan banyak struktur rusak atau runtuh.
Pemerintah dan organisasi lokal mulai menyadari bahwa hilangnya Al Balad berarti hilangnya inti sejarah Kerajaan. Upaya konservasi mulai digalakkan pada tahun 1980-an, tetapi momentum besar baru terjadi di awal abad ke-21. Pemerintah daerah dan Komisi Saudi untuk Pariwisata dan Warisan Nasional (SCTH) berinvestasi besar-besaran dalam restorasi rumah-rumah tua, souq, dan masjid-masjid bersejarah.
Pada tahun 2014, setelah proses nominasi yang panjang dan rinci, Al Balad, Jeddah Bersejarah, secara resmi diakui oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) sebagai Situs Warisan Dunia. Pengakuan ini datang berdasarkan kriteria yang menyoroti perannya yang tak tertandingi dalam sejarah Haji dan arsitekturnya yang unik.
Alasan utama penetapan UNESCO adalah nilai universal luar biasa (*Outstanding Universal Value* - OUV) Al Balad, terutama:
Meskipun telah menjadi situs UNESCO, tantangan tetap ada. Lingkungan pesisir yang lembap, peningkatan air tanah, dan kebutuhan untuk menyeimbangkan antara pariwisata modern dan pelestarian keaslian lingkungan adalah masalah berkelanjutan. Proyek-proyek restorasi harus memastikan bahwa kawasan ini tetap hidup dan dihuni, tidak sekadar museum mati. Mempertahankan komunitas lokal dan menghidupkan kembali souq-souq adalah bagian krusial dari upaya ini. UNESCO mengakui bahwa Al Balad, yang artinya ‘kota’ yang hidup, harus tetap berfungsi sebagai kota, bukan hanya artefak sejarah.
Untuk memahami sepenuhnya bobot historis dan budaya yang melekat pada istilah "Al Balad" di Jeddah, penting untuk meninjau bagaimana istilah ini digunakan di wilayah Arab lain, di mana ia juga merujuk pada distrik kota tua atau pusat sejarah. Penggunaan yang konsisten ini menegaskan bahwa Balad selalu mengacu pada inti peradaban yang berakar dalam dan terlindungi.
Meskipun nama resminya adalah *Al-Quds Al-Qadimah* (Kota Tua Yerusalem), konsep ‘Balad’ seringkali melekat pada dinding-dinding Kota Tua yang bersejarah. Di sini, Balad melambangkan pusat spiritual dan historis tiga agama besar. Seperti Jeddah, kota tua ini dikelilingi tembok, memiliki gerbang-gerbang yang berfungsi sebagai titik interaksi, dan memiliki kepadatan arsitektur yang tinggi, menunjukkan bahwa istilah Balad secara psikologis selalu terikat pada tempat yang memiliki signifikansi transendental. Perbedaan utama adalah, sementara Jeddah Balad berpusat pada perdagangan maritim dan haji, Yerusalem Balad berpusat pada tempat-tempat suci.
Di Amman, Yordania, Al Balad adalah nama yang secara informal diberikan kepada pusat kota (downtown) yang bersejarah, yang dikenal sebagai *Wasat Al-Balad*. Area ini adalah jantung komersial Amman modern, tempat di mana puing-puing Romawi kuno berbaur dengan souq-souq tradisional, restoran, dan kedai kopi. Meskipun Amman Balad tidak memiliki arsitektur menara seperti Jeddah, ia tetap menjalankan fungsi historis yang sama: titik pertemuan, pusat perdagangan, dan sumber identitas kota yang pertama. Istilah ini merangkum esensi ‘pusat lama’ yang sibuk dan autentik.
Meskipun terdapat kesamaan dalam arti dasar (kota tua), arsitektur Jeddah Balad benar-benar unik. Di wilayah Hijaz, ketergantungan pada kayu Rowaashin dan karang Taufah menghasilkan gaya yang berbeda dari bangunan batu padat di Yaman (seperti Shibam atau Sana’a) atau arsitektur bata lumpur di wilayah pedalaman Nejd.
Namun, secara sosial, semua ‘Balad’ ini berbagi karakteristik penting:
Dalam konteks ambisi modern Kerajaan Arab Saudi, terutama di bawah payung Saudi Vision 2030, Al Balad telah mendapatkan fokus yang signifikan sebagai aset budaya dan ekonomi yang vital. Pemerintah melihat Al Balad bukan hanya sebagai peninggalan masa lalu, tetapi sebagai mesin pariwisata budaya masa depan. Proyek konservasi dan pembangunan kembali telah dialokasikan dana yang sangat besar.
Tujuan dari revitalisasi ini adalah dua arah: pertama, untuk melestarikan struktur fisik dan historis Balad. Kedua, untuk menyuntikkan kehidupan baru dengan menarik penduduk muda, seniman, dan bisnis kreatif, mengubahnya menjadi destinasi yang layak huni, bukan sekadar situs wisata. Ini melibatkan pengembangan infrastruktur pendukung seperti hotel butik, galeri seni, dan kafe yang beroperasi di dalam dan sekitar bangunan bersejarah, sambil tetap menghormati integritas arsitektur Rowaashin dan lorong-lorong sempitnya.
Salah satu tantangan terbesar dalam revitalisasi Al Balad adalah integrasi antara kebutuhan fungsional modern (seperti fasilitas keamanan kebakaran, pendingin udara, dan aksesibilitas) dengan persyaratan konservasi UNESCO yang ketat. Solusi inovatif diperlukan untuk menyediakan fasilitas modern tanpa merusak tekstur dan penampilan Balad yang bersejarah.
Proyek ini mencakup pemulihan total jalan-jalan, jaringan air, dan listrik, yang telah usang selama bertahun-tahun. Selain itu, ada upaya untuk mendokumentasikan setiap rumah secara digital, menciptakan peta arsitektur yang komprehensif untuk memastikan setiap restorasi dilakukan dengan akurasi historis maksimal. Visi ini bertujuan untuk memastikan bahwa Al Balad artinya masa lalu yang hidup dan relevan, bukan sekadar kenangan.
Untuk menarik perhatian publik kembali ke Jeddah Tua, berbagai festival budaya dan acara musiman diselenggarakan, yang paling terkenal adalah festival "Jeddah Tariqiyah" (Jeddah Bersejarah). Festival ini menghadirkan kembali tradisi, kostum, kuliner, dan musik Hijazi lama ke jalanan Al Balad. Upaya ini berhasil menarik jutaan pengunjung dan telah membantu mengembalikan jiwa sosial ke distrik tersebut.
Melalui inisiatif ini, Balad kembali menjadi pusat pertemuan sosial, tempat di mana generasi muda dapat berinteraksi dengan sejarah mereka, dan di mana pedagang lokal didorong untuk membuka kembali souq-souq yang sempat mati. Keberhasilan revitalisasi Al Balad akan menjadi model bagi konservasi urban di seluruh wilayah Timur Tengah. Ini adalah kisah tentang bagaimana sebuah ‘kota lama’ dapat bertransformasi menjadi ‘kota baru’ yang memegang teguh akarnya.
Meskipun pelabuhan komersial Jeddah telah pindah jauh ke utara, hubungan antara Al Balad dan laut sedang dipulihkan secara simbolis dan fungsional. Rencana pengembangan mencakup pemulihan area tepi laut di dekat Bab Al-Bunt untuk menciptakan ruang publik yang menghadap Laut Merah, mengingatkan kembali pada masa-masa ketika kapal-kapal haji berlabuh tepat di depan gerbang kota. Ini memperkuat narasi Al Balad sebagai kota pelabuhan, yang merupakan inti dari sejarahnya selama berabad-abad.
Al Balad bukan hanya warisan Saudi, tetapi warisan umat manusia, yang mewakili konektivitas global yang dimungkinkan oleh perjalanan haji dan perdagangan Laut Merah. Definisi ‘kota’ yang melekat padanya terus berevolusi, tetapi fondasinya—pusat perdagangan, spiritualitas, dan budaya yang tertutup—tetap tak tergoyahkan.
Menguraikan frasa “Al Balad artinya” membawa kita melalui lapisan-lapisan sejarah, mulai dari definisi linguistik sederhana sebagai ‘kota’ atau ‘negeri’, hingga realitas kompleks sebuah metropoli kuno yang dibangun di atas karang dan perdagangan. Al Balad, Jeddah Tua, adalah simbol ketahanan peradaban di tengah lingkungan gurun yang keras, sebuah bukti kecerdasan arsitektur dalam menghadapi iklim, dan yang paling penting, sebuah monumen bagi peran Jeddah sebagai jembatan global.
Rowaashin, gang-gang sempit, tembok yang hilang, dan souq yang ramai adalah elemen-elemen yang menyusun identitas Balad ini. Ia adalah arsip hidup yang menyimpan kisah perjalanan spiritual, pertemuan budaya yang tak terhitung jumlahnya, dan evolusi ekonomi maritim selama lebih dari 13 abad. Pengakuan UNESCO tahun 2014 memastikan bahwa kisah ini akan terus diceritakan, dan revitalisasi yang didukung oleh Saudi Vision 2030 menjamin bahwa Al Balad akan tetap menjadi jantung budaya yang berdenyut bagi Jeddah modern.
Al Balad artinya akar. Ia adalah titik referensi di mana Jeddah memulai perjalanannya, dan melalui upaya konservasi yang berkelanjutan, ia akan terus menjadi mercusuar yang memandu kota menuju masa depan, sambil membawa warisan masa lalunya yang gemilang di setiap sudut gangnya. Ia bukan hanya sebuah lokasi, melainkan sebuah filosofi urban yang merangkum sejarah Arab Saudi di tepi Laut Merah.