Kajian Mendalam Surah Al-Ankabut Ayat 17
Fondasi Tauhid, Penolakan Syirik, dan Hakikat Rezeki Ilahi
I. Pendahuluan: Ayat Sentral Panggilan Ibrahim
Surah Al-Ankabut (Laba-laba) adalah salah satu surah Makkiyah yang diturunkan pada periode sulit dakwah Nabi Muhammad ﷺ. Surah ini banyak berfokus pada ujian keimanan, kesabaran para nabi, dan kelemahan akidah syirik—yang diibaratkan seperti rumah laba-laba, rapuh dan tidak memiliki substansi.
Di antara ayat-ayat yang memuat fondasi tauhid yang paling tegas dan mendasar adalah Ayat 17. Ayat ini merupakan bagian dari dialog dan seruan Nabi Ibrahim a.s. kepada kaumnya yang musyrik. Ayat 17 Al-Ankabut tidak hanya memerintahkan penyembahan kepada Allah semata, tetapi juga menyajikan argumen rasional (burhan) yang menghancurkan logika penyembahan berhala. Argumen ini dibangun di atas dua pilar utama: ketidakmampuan berhala dalam penciptaan, dan monopoli Allah dalam pemberian rezeki.
Memahami kedalaman Ayat 17 adalah memahami inti dari misi kenabian, yaitu membebaskan manusia dari ketergantungan kepada entitas yang lemah dan palsu, serta mengarahkan hati, jiwa, dan pengharapan hanya kepada Sumber Kekuatan sejati, Sang Pencipta Rezeki.
II. Teks Ayat dan Terjemah
Ayat mulia ini berbunyi:
Terjemah Standar (Kemenag):
“Sesungguhnya apa yang kamu sembah selain Allah itu hanyalah berhala-berhala, dan kamu membuat suatu kebohongan. Sesungguhnya apa yang kamu sembah selain Allah itu tidak mampu memberikan rezeki kepadamu. Maka mintalah rezeki itu di sisi Allah, dan sembahlah Dia serta bersyukurlah kepada-Nya. Hanya kepada-Nyalah kamu akan dikembalikan.”
III. Analisis Linguistik dan Leksikal Kunci
Untuk menggali makna yang utuh, kita perlu membedah beberapa kata kunci yang digunakan dalam ayat ini, karena setiap pilihan kata Al-Qur'an mengandung ketelitian makna yang luar biasa.
1. إِنَّمَا تَعْبُدُونَ (Innama Ta'buduun): Sesungguhnya yang kamu sembah
Penggunaan kata *Innama* (sesungguhnya hanyalah) adalah pembatasan (hasyr) yang sangat kuat. Ayat ini membatasi hakikat penyembahan mereka hanya pada *awtsanan* (berhala-berhala). Ini menyingkirkan klaim mereka bahwa mereka menyembah tuhan yang nyata atau kekuatan yang valid. Secara retoris, ini adalah pukulan telak yang merendahkan objek ibadah mereka.
2. أَوْثَٰنًا (Awtsanan): Berhala-berhala
Kata ini merujuk pada patung atau objek material yang dijadikan sembahan. Dalam konteks Nabi Ibrahim a.s., ini mencakup berhala yang terbuat dari kayu atau batu. Namun, secara konsep, ia mencakup segala sesuatu yang dijadikan sandaran atau tandingan bagi Allah dalam ibadah, harapan, dan ketaatan.
3. وَتَخْلُقُونَ إِفْكًا (Wa Takhluquuna Ifkan): Dan kamu membuat suatu kebohongan
Ini adalah frase yang paling tajam dalam ayat ini.
- تَخْلُقُونَ (Takhluquun): Secara harfiah berarti 'kamu menciptakan' atau 'kamu membuat'. Namun, dalam konteks ini, kata *khalq* digunakan dalam arti 'mengarang' atau 'mereka-reka'.
- إِفْكًا (Ifkan): Berarti dusta, kebohongan besar, atau kepalsuan yang sangat nyata.
Ayat ini menuduh para penyembah berhala tidak hanya melakukan kesalahan ritual, tetapi melakukan kebohongan intelektual dan spiritual yang serius. Mereka ‘menciptakan’ kebohongan dengan mengklaim bahwa berhala itu adalah tuhan, atau memiliki kekuatan ilahiah, atau mampu menjadi perantara yang bermanfaat. Mereka mengarang narasi palsu untuk membenarkan tindakan syirik mereka.
4. لَا يَمْلِكُونَ لَكُمْ رِزْقًا (La Yamlikuuna Lakum Riqzan): Tidak mampu memberikan rezeki kepadamu
Pilar argumentasi rasional. Kata *yamlikuun* (memiliki kekuasaan) menunjukkan peniadaan total atas kepemilikan. Berhala tidak hanya tidak menciptakan, tetapi mereka bahkan tidak memiliki kontrol sedikit pun atas rezeki. Rezeki (*riqzan*) di sini diposisikan sebagai kebutuhan primer manusia, baik jasmani (makanan, harta) maupun rohani (hidayah, ketenangan, ilmu).
5. فَٱبْتَغُوا عِندَ ٱللَّهِ ٱلرِّزْقَ (Fabtaghuu Indallahi Ar-Riqza): Maka mintalah rezeki itu di sisi Allah
Ini adalah perintah langsung setelah penolakan. Kata *Ibtaghuu* (carilah/mintalah dengan sungguh-sungguh) mengandung makna usaha yang proaktif, bukan hanya harapan pasif. Ia mengalihkan seluruh fokus pencarian dan harapan rezeki dari objek-objek palsu menuju sumber tunggal, yaitu Allah ﷻ.
IV. Tiga Pilar Inti Pesan Ayat 17
Ayat 17 Al-Ankabut dapat dilihat sebagai konstruksi argumentatif sempurna yang terdiri dari tiga langkah logis dan kohesif:
Pilar 1: Diagnosa Kesalahan (Hanyalah Berhala)
Langkah pertama adalah identifikasi masalah: ibadah yang ditujukan kepada selain Allah adalah ibadah kepada berhala (أَوْثَٰنًا). Ini adalah penegasan bahwa objek ibadah tersebut rapuh, tidak bernyawa, dan tidak berdaya. Selanjutnya, kesalahan ini diperparah dengan 'penciptaan dusta' (وَتَخْلُقُونَ إِفْكًا). Syirik bukanlah sekadar kebodohan; ia adalah kesalahan yang disengaja, di mana manusia berupaya menciptakan tuhan-tuhan palsu dalam pikiran mereka untuk membenarkan keterikatan duniawi mereka.
Pilar 2: Pembuktian Ketidakberdayaan (Monopoli Rezeki)
Argumen paling kuat yang digunakan dalam dakwah tauhid adalah korelasi antara ketuhanan (uluhiyah) dan kekuasaan mutlak (rububiyah), khususnya dalam hal rezeki. Rezeki adalah hal yang paling mendesak dan dibutuhkan oleh makhluk. Jika sembahan-sembahan itu bahkan tidak mampu memberi rezeki, bagaimana mungkin mereka layak disembah? Allah menantang para musyrik untuk menunjukkan satu pun berhala yang dapat menciptakan sebiji benih, menahan hujan, atau memberi kesembuhan.
Tafsir klasik menekankan bahwa rezeki adalah bukti nyata dan tak terbantahkan atas Rububiyah Allah. Seseorang mungkin menyembah patung karena tradisi, tetapi ketika lapar atau sakit, ia akan mencari sumber daya nyata. Ayat ini memaksa manusia untuk menghadapi kenyataan: Siapa yang memberi makan Anda hari ini? Hanya Allah.
Pilar 3: Solusi dan Perintah Praktis (Ibadah, Mencari, Syukur)
Setelah menolak yang palsu, ayat ini memberikan tiga perintah fundamental sebagai solusi:
- Mencari Rezeki di Sisi Allah (فَٱبْتَغُوا عِندَ ٱللَّهِ ٱلرِّزْقَ): Ini menegaskan bahwa rezeki harus dicari, bukan ditunggu. Namun, pencariannya harus diarahkan kepada Allah, yang berarti mencari dengan cara yang halal, disertai doa, dan tawakal.
- Sembahlah Dia (وَٱعْبُدُوهُ): Tujuan utama penciptaan. Ibadah adalah manifestasi tauhid.
- Bersyukurlah kepada-Nya (وَٱشْكُرُوا لَهُۥٓ): Syukur adalah pengakuan bahwa semua nikmat, termasuk rezeki yang dicari, datang dari-Nya. Syukur mengikat rezeki dan memastikan keberkahannya.
Penutup ayat, إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ (Hanya kepada-Nyalah kamu akan dikembalikan), memberikan peringatan eskatologis. Semua perbuatan, termasuk pilihan kita dalam mencari rezeki dan menyembah, akan dipertanggungjawabkan ketika manusia kembali kepada sumber segala kekuasaan.
V. Dimensi Akidah dan Konteks Kenabian Ibrahim a.s.
Ayat ini diturunkan dalam konteks dakwah Nabi Ibrahim a.s. kepada kaumnya, yang merupakan penyembah bintang dan patung. Ibrahim a.s. menggunakan metode dialog rasional untuk membuktikan kebatilan ibadah mereka, sebuah metode yang dikenal sebagai Hujjah Bil Burhan (argumen dengan bukti).
1. Tauhid Rububiyah Melawan Klaim Kosong
Tauhid Rububiyah (pengesaan Allah sebagai Pencipta, Pemelihara, dan Pengatur Alam) adalah titik masuk utama Ayat 17. Meskipun kaum musyrik Mekah dan kaum Ibrahim mungkin mengakui adanya Tuhan Pencipta, mereka gagal dalam mengaitkan rezeki secara eksklusif kepada-Nya.
Ibrahim a.s. menyempurnakan argumen ini: Jika kalian mengakui ada Pengatur alam, maka mustahil pengaturan vital seperti rezeki diserahkan kepada entitas mati atau lemah. Rezeki adalah manifestasi Rububiyah yang paling konstan dan sehari-hari. Dengan menafikan kemampuan rezeki dari berhala, Ayat 17 secara efektif menafikan seluruh klaim ketuhanan berhala.
2. Syirik sebagai Kebohongan Terstruktur
Pernyataan ‘kamu membuat suatu kebohongan’ (وَتَخْلُقُونَ إِفْكًا) menunjukkan bahwa syirik bukan hanya warisan leluhur yang keliru, tetapi sebuah sistem penipuan yang dibuat dan dipertahankan. Kebohongan ini mencakup:
- Klaim bahwa perantara (berhala) dapat mendekatkan diri kepada Allah.
- Klaim bahwa ritual syirik dapat menjamin hasil duniawi (rezeki, kesuburan, kemenangan).
- Penolakan terhadap bukti rasional yang menunjukkan ketidakmampuan objek sembahan.
Dalam sejarah peradaban, sistem syirik selalu didukung oleh narasi mitologis yang diciptakan untuk membenarkan kekuasaan klerus atau penguasa. Ayat 17 menyingkap inti dari sistem tersebut: ia adalah kepalsuan yang direkayasa oleh manusia itu sendiri.
3. Ketegasan Perintah untuk Mencari Rezeki
Konteks historis juga relevan dengan kehidupan di Mekah, di mana sebagian orang khawatir beribadah kepada Allah secara terbuka akan mengganggu jalur perdagangan dan rezeki mereka. Ayat ini menenangkan kekhawatiran tersebut. Ia menjamin bahwa, terlepas dari tekanan sosial atau ekonomi, rezeki sejati hanya ada ‘di sisi Allah’ (*indallah*), dan ibadah yang murni tidak akan pernah menghalangi rezeki, melainkan menjadi kunci untuk membukanya.
VI. Perluasan Makna Rezeki (Ar-Riqz) dalam Konteks Kontemporer
Kata Ar-Riqz dalam Al-Qur'an memiliki spektrum makna yang jauh lebih luas daripada sekadar makanan atau uang. Ayat 17, ketika diterapkan di masa kini, menuntut kita untuk mengidentifikasi 'berhala' modern yang kita harapkan darinya rezeki, dan kemudian mengalihkan harapan tersebut kepada Allah.
1. Rezeki Harta dan Materialisme Modern
Dalam masyarakat kontemporer, berhala bukan lagi patung batu, melainkan materialisme, jabatan, popularitas, atau sistem keuangan yang diagung-agungkan. Manusia modern cenderung menyembah harta benda (secara de facto, bukan formal), percaya bahwa uang sendirilah yang memiliki kekuasaan mutlak untuk memberi keamanan dan kebahagiaan. Jika harapan, kecintaan, dan rasa takut kita terpusat pada mata uang atau kekayaan, maka itu adalah bentuk syirik yang terselubung.
Ayat 17 mengingatkan: “لا يَمْلِكُونَ لَكُمْ رِزْقًا.” Uang, jabatan, dan koneksi tidak memiliki kendali atas rezeki Anda. Mereka hanyalah sarana (asbab). Kontrol mutlak tetap berada di tangan Allah. Kesadaran ini membebaskan seseorang dari kegelisahan berlebihan dalam mencari nafkah dan dari penghambaan kepada pekerjaan atau atasan yang melanggar nilai-nilai ilahi.
2. Rezeki Non-Material (Ilmu, Waktu, Kesehatan)
Rezeki mencakup segala manfaat yang Allah anugerahkan.
- Rezeki Ilmu: Kita mungkin menyembah gelar akademis atau institusi bergengsi, meyakini bahwa hanya mereka yang mampu memberikan pengetahuan sejati. Padahal, ilmu hakiki adalah rezeki dari Allah. Tanpa izin-Nya, buku yang paling tebal pun tidak akan memberi manfaat.
- Rezeki Kesehatan: Kita bergantung pada dokter, rumah sakit, dan teknologi canggih. Meskipun kita diperintahkan untuk berusaha mencari pengobatan, jika kita menempatkan harapan mutlak pada teknologi (sebagai berhala kesembuhan), kita telah melupakan Pemberi kesehatan sejati.
- Rezeki Waktu dan Keberkahan: Waktu adalah rezeki. Jika kita menyembah efisiensi, produktivitas, atau bahkan tidur, dengan keyakinan bahwa itu adalah sumber kebaikan utama, kita menciptakan 'berhala waktu'. Keberkahan waktu berasal dari Allah, bukan dari manajemen jadwal yang sempurna semata.
3. Rezeki Sosial dan Popularitas
Di era digital, rezeki sering dikaitkan dengan popularitas, pengikut (followers), dan validasi sosial. Banyak yang menghabiskan hidup mereka untuk menyembah ‘berhala *like*’ atau ‘berhala *engagement*’, meyakini bahwa harga diri atau kesuksesan finansial mereka tergantung pada penerimaan publik. Ayat 17 menampar realitas ini: Validasi dan rezeki sejati (ketenangan hati dan harga diri) hanya *Indallah* (di sisi Allah). Segala popularitas yang tidak membawa kepada ketaatan adalah *ifkan* (kebohongan).
Gambar: Kontras antara objek ketergantungan palsu di bawah dan arah pencarian rezeki sejati (Tauhid) yang ditujukan ke atas (di sisi Allah).
VII. Mencari Rezeki (Ibtigha') dan Keseimbangan Tawakal
Ayat 17 memerintahkan: “Maka mintalah rezeki itu di sisi Allah (فَٱبْتَغُوا عِندَ ٱللَّهِ ٱلرِّزْقَ).” Kata kerja *Ibtaghuu* menuntut adanya usaha (ikhtiar) yang sungguh-sungguh. Ini bukan ajakan untuk pasif atau menunggu rezeki turun dari langit tanpa bergerak. Islam menuntut keseimbangan antara aksi duniawi dan ketergantungan spiritual (tawakal).
1. Ikhtiar yang Didasari Tauhid
Usaha mencari rezeki yang sejati, sesuai dengan spirit Ayat 17, adalah usaha yang didasari keyakinan tauhid:
- Usaha harus dilakukan melalui jalur yang halal (thayyib). Mencari rezeki dengan cara haram menunjukkan kepercayaan bahwa Allah tidak mampu memberikan kecukupan melalui jalur yang benar—suatu bentuk syirik dalam Rububiyah.
- Usaha harus disertai dengan doa dan pengharapan kepada Allah, bukan kepada proses itu sendiri. Seorang petani menanam benih, tetapi dia tidak menyembah benih atau teknik pertanian; dia berharap hasil panen dari Allah.
- Kegagalan dalam usaha tidak boleh menghancurkan jiwa, karena keyakinan tauhid mengajarkan bahwa hasil rezeki adalah kehendak Allah, bukan hasil mutlak dari ikhtiar manusia.
2. Tawakal yang Benar
Tawakal (ketergantungan penuh) adalah puncak dari pemahaman Ayat 17. Tawakal adalah menambatkan hati kepada Allah setelah melakukan segala upaya yang dimungkinkan. Jika seseorang mencari rezeki dengan cara menyembah ‘berhala’ (misalnya, menipu dalam bisnis), ia tidak bertawakal kepada Allah, melainkan bertawakal kepada kebohongannya sendiri (*ifkan*).
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ayat ini membalikkan seluruh pemahaman ekonomi kaum musyrikin. Mereka takut kehilangan rezeki karena meninggalkan berhala. Allah menyatakan, justru dengan beribadah murni dan mencari rezeki dari-Nya, pintu rezeki sejati akan terbuka, karena Dialah pemilik tunggalnya.
Oleh karena itu, ketika Nabi Ibrahim a.s. menghadapi ancaman pembakaran, ia tidak bergantung pada kekuatan fisiknya atau bantuan dari manusia, melainkan sepenuhnya kepada Allah, karena ia memahami bahwa sumber segala rezeki (termasuk keselamatan, yang merupakan rezeki non-materi) adalah satu.
3. Syukur sebagai Pengikat Rezeki
Perintah ketiga, “وَٱشْكُرُوا لَهُۥٓ” (dan bersyukurlah kepada-Nya), adalah komponen esensial dari siklus rezeki tauhid. Syukur memiliki fungsi ganda:
- Pengakuan: Syukur adalah pengakuan bahwa Allah adalah Pemberi Rezeki. Ini menguatkan tauhid dan mencegah kekayaan atau keberhasilan menjadi berhala baru.
- Jaminan: Syukur adalah kunci untuk mempertahankan dan meningkatkan rezeki. Allah menjanjikan: “Jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu.” (QS. Ibrahim: 7).
Tanpa syukur, rezeki, sebanyak apa pun itu, akan menjadi hampa (*istidraj*) dan tidak berkah, mengarahkan hati manusia kembali kepada kekufuran atau keangkuhan.
VIII. Kedalaman Konsep Kebohongan (Ifkan) dan Konsekuensinya
Kata ifkan (kebohongan besar/dusta) adalah kunci untuk memahami dimensi spiritual dan filosofis dari Ayat 17. Idolatry bukanlah sekadar kesalahan praktis; ia adalah kegagalan intelektual mendasar.
1. Syirik sebagai Penipuan Diri Sendiri
Penciptaan kebohongan (*takhluquuna ifkan*) berarti para penyembah berhala, melalui argumen yang lemah dan tradisi buta, secara aktif menipu diri mereka sendiri. Mereka tahu secara naluriah bahwa patung itu tidak dapat berbicara atau memberi manfaat, tetapi mereka memaksakan diri untuk percaya pada narasi palsu yang mendukung kepentingan sosial atau spiritual mereka yang menyimpang.
Dalam konteks modern, ‘menciptakan kebohongan’ bisa berupa menciptakan justifikasi yang rumit untuk korupsi, penindasan, atau praktik bisnis tidak etis. Seseorang yang memuja uang (*berhala*) akan menciptakan narasi palsu (ifkan) bahwa tujuannya membenarkan segala cara. Ia telah mengkhianati akal sehatnya demi kepalsuan duniawi.
2. Ifkan Menghalangi Rezeki Sejati
Kebohongan spiritual ini memiliki konsekuensi langsung pada rezeki. Ketika seseorang percaya bahwa sumber rezeki berasal dari ‘berhala’ (entitas lemah), ia secara otomatis membatasi sumber rezekinya. Ia menjadi budak dari sistem yang ia sembah. Jika ia menyembah jabatan, ia akan kehilangan rezeki kebebasan dan harga diri. Jika ia menyembah popularitas, ia kehilangan rezeki ketenangan batin.
Ayat 17 menawarkan kebebasan total dari *ifkan*. Ketika rezeki dicari di sisi Allah, sumbernya tidak terbatas, dan metodenya diatur oleh kebenaran (tauhid), bukan oleh penipuan.
3. Pertanggungjawaban Akhir
Peringatan penutup, إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ (Hanya kepada-Nyalah kamu akan dikembalikan), memberikan bobot abadi pada pilihan tauhid atau syirik. Di hari pengembalian itu, tidak ada satu pun ‘berhala’ material atau konseptual yang mampu memberikan syafaat atau bahkan membela diri sendiri. Mereka yang mengandalkan kebohongan akan menghadapi kenyataan bahwa sandaran mereka rapuh, sebanding dengan rumah laba-laba yang disinggung di awal surah.
Tauhid, yang ditegaskan Ayat 17, adalah sebuah kontrak logis:
- Premis: Hanya Allah yang menguasai rezeki.
- Kesimpulan: Oleh karena itu, hanya Dia yang layak disembah.
Meninggalkan tauhid berarti melanggar kontrak ini dan memilih untuk hidup di bawah bayang-bayang kebohongan yang tidak berdasar.
IX. Koherensi Ayat 17 dalam Struktur Surah Al-Ankabut
Surah Al-Ankabut membahas inti keimanan dan tantangan-tantangannya. Ayat 17 merupakan titik balik penting dalam narasi Nabi Ibrahim, menghubungkan tema-tema yang lebih besar dari surah ini.
1. Ujian dan Kelemahan Syirik
Surah Al-Ankabut dibuka dengan diskusi tentang ujian keimanan (Ayat 2-3). Ujian terbesar bagi umat adalah godaan untuk bergantung pada selain Allah, baik karena ketakutan (misalnya, takut kehilangan rezeki) atau harapan (misalnya, berharap manfaat dari berhala). Ayat 17 secara langsung merespons ketakutan ekonomi ini, menegaskan bahwa tidak ada alasan material atau spiritual yang valid untuk meninggalkan Tauhid. Syirik adalah solusi palsu terhadap ujian hidup, sejelas kelemahan jaring laba-laba.
2. Kisah Para Nabi sebagai Bukti
Setelah menceritakan kisahnya, Surah Al-Ankabut melanjutkan dengan kisah Nabi Nuh, Hud, Saleh, Luth, dan Syuaib. Kesamaan fundamental di antara semua kisah ini adalah seruan dasar yang sama: tinggalkan peribadatan kepada selain Allah dan hanya sembah Dia. Ayat 17 adalah ringkasan sempurna dari seruan universal para nabi tersebut, yang menargetkan akar syirik—ketergantungan palsu atas rezeki.
3. Menghadapi Ancaman dan Hijrah
Kisah Ibrahim a.s. dalam surah ini berlanjut hingga ancaman pembakaran dan hijrahnya. Kemampuan Ibrahim untuk menghadapi ancaman fisik yang luar biasa (dibakar) dan ancaman sosial (diusir) didasarkan pada keyakinan teguh yang dirumuskan dalam Ayat 17: hanya Allah yang memiliki kuasa atas hidup, mati, dan rezeki. Ketika seorang mukmin menyadari bahwa rezeki dan keselamatan tidak dikuasai oleh penguasa zalim atau patung, ia menjadi berani dan siap berkorban demi mempertahankan Tauhidnya.
Dengan demikian, Ayat 17 berfungsi sebagai fondasi teologis yang membenarkan semua tindakan pengorbanan dan ketegasan yang ditunjukkan oleh Nabi Ibrahim a.s. dan, secara paralel, yang dituntut dari umat Islam yang menghadapi tantangan dan fitnah di Mekah saat itu, maupun fitnah-fitnah duniawi di zaman sekarang.
X. Elaborasi Lanjut: Dampak Psikologis dan Sosiologis Tauhid Rezeki
Pemahaman yang mendalam terhadap Al-Ankabut Ayat 17 tidak hanya mengubah perspektif teologis, tetapi juga memiliki dampak transformatif pada psikologi individu dan struktur sosial masyarakat.
1. Kebebasan dari Kecemasan (Anxiety)
Salah satu berhala modern yang paling kuat adalah kecemasan. Ketidakpastian ekonomi global, tekanan karier, dan ketakutan akan masa depan seringkali membuat manusia modern hidup dalam ketakutan yang terus-menerus. Ketakutan ini muncul karena hati manusia ditempatkan pada 'berhala' yang tidak stabil: pasar saham, kesehatan yang fana, atau status sosial yang berubah-ubah.
Ayat 17 menawarkan penawar radikal: Rezeki tidak dikuasai oleh entitas fana tersebut. Ketika kita diperintahkan untuk mencari rezeki *di sisi Allah*, ini menciptakan rasa aman yang tak tergoyahkan. Kecemasan berkurang karena keyakinan bahwa *usaha* adalah tanggung jawab manusia, tetapi *hasil* dan *kepemilikan* adalah hak prerogatif Allah. Ini membebaskan jiwa dari beban kepemilikan yang sesungguhnya berada di luar kendali kita.
2. Menghilangkan Penghambaan Sesama Manusia
Di dalam masyarakat yang tidak memahami hakikat rezeki (Ayat 17), terjadi praktik penghambaan antar manusia. Seseorang mungkin merasa harus menjilat, menyuap, atau mengorbankan prinsip moral hanya agar 'berhala' (atasan, koneksi politik, atau mafia) memberinya rezeki.
Ketika seorang mukmin yakin bahwa rezekinya datang dari Allah semata—dan ‘berhala’ itu tidak memiliki kuasa sehelai pun—maka ia menjadi manusia yang bermartabat. Ia akan berkata jujur, bertindak adil, dan tidak takut kehilangan pekerjaan karena kebenaran. Tauhid rezeki adalah fondasi kebebasan sosial dan penghapusan tirani ekonomi.
3. Etika Kerja dan Integritas
Jika rezeki mutlak berasal dari Allah, maka etika kerja haruslah sesuai dengan kehendak-Nya. Ayat ini mendorong integritas. Mengapa harus curang, menipu, atau korupsi? Karena orang tersebut percaya bahwa keberhasilannya berasal dari tipuannya (*ifkan*), bukan dari izin Allah.
Sebaliknya, seseorang yang mengamalkan Ayat 17 bekerja keras (ibtigha’), tetapi dengan cara yang paling bersih, karena ia percaya bahwa Allah akan memberkahi usahanya terlepas dari keburukan yang dilakukan orang lain. Kebersihan dalam mencari rezeki adalah manifestasi keimanan kepada Rububiyah Allah.
XI. Penerapan Konsep Syukur dalam Rezeki
Pilar syukur (وَٱشْكُرُوا لَهُۥٓ) adalah penutup yang sempurna karena ia memastikan keberlanjutan tauhid dalam konteks rezeki yang telah diterima. Syukur bukan sekadar ucapan lisan, tetapi sebuah ekosistem spiritual yang mencakup tiga aspek:
1. Syukur Hati (Pengakuan)
Mengakui secara mendalam bahwa segala rezeki, besar maupun kecil, adalah anugerah murni. Jika seseorang mendapatkan promosi, ia mengakui itu adalah karunia Allah, meskipun ia telah berusaha keras. Pengakuan ini mematikan benih kesombongan (firaunisme) yang bisa mengubah diri menjadi 'berhala' bagi dirinya sendiri.
2. Syukur Lisan (Pujian)
Mengucapkan *Alhamdulillah* secara sadar, bukan hanya sebagai kebiasaan. Pujian lisan ini berfungsi sebagai pengingat konstan tentang sumber utama rezeki.
3. Syukur Perbuatan (Pemanfaatan Rezeki)
Ini adalah bentuk syukur yang paling penting. Rezeki harus digunakan sesuai dengan kehendak Pemberinya.
- Jika rezekinya adalah harta, syukur perbuatannya adalah menunaikan zakat dan bersedekah.
- Jika rezekinya adalah ilmu, syukur perbuatannya adalah mengajarkan dan mengamalkannya.
- Jika rezekinya adalah kekuasaan, syukur perbuatannya adalah berbuat adil dan melindungi yang lemah.
Jika seseorang menggunakan rezekinya untuk bermaksiat, ia telah melakukan kekufuran terhadap nikmat (kufurun ni'mah), suatu bentuk penyangkalan implisit terhadap kebaikan Pemberi Rezeki.
XII. Keunikan Al-Ankabut Ayat 17 Dibandingkan Ayat Tauhid Lainnya
Meskipun Al-Qur'an dipenuhi dengan ayat-ayat tauhid, Ayat 17 Al-Ankabut memiliki keunikan karena ia secara spesifik menghubungkan penolakan terhadap syirik dengan aspek yang paling praktis dan mendesak dalam kehidupan manusia: rezeki. Banyak ayat lain fokus pada Penciptaan langit dan bumi, sementara Ayat 17 memusatkan perhatian pada kebutuhan sehari-hari.
Ayat ini mengajarkan bahwa akidah yang benar harus diterjemahkan langsung ke dalam praktik ekonomi dan psikologis sehari-hari. Konflik Nabi Ibrahim a.s. dengan kaumnya (yang mencari rezeki melalui praktik penyembahan bintang yang mereka yakini menguasai takdir pertanian mereka) adalah konflik antara akidah ilahiah dan pragmatisme materialistik yang sesat.
Ayat ini meruntuhkan dikotomi antara ‘agama’ dan ‘dunia’. Mencari rezeki adalah ibadah, asalkan pencarian itu diarahkan *Indallah* (di sisi Allah), yang mensyaratkan ibadah murni (wa’buduuh) dan syukur (wasykuruu lah). Inilah konsep integral dalam Islam.
Dalam konteks akhir zaman, di mana godaan materi mencapai puncaknya, Ayat 17 Al-Ankabut adalah mercusuar. Ia mengingatkan bahwa krisis moral, krisis keuangan, dan krisis lingkungan semuanya bermuara pada satu kegagalan mendasar: kegagalan mengakui bahwa semua kekayaan dan sumber daya adalah milik Allah, dan pencarian solusi melalui ketergantungan pada sistem buatan manusia yang korup adalah bentuk modern dari ‘menciptakan kebohongan’ (*takhluquuna ifkan*).
Kita harus terus menerus meninjau kembali objek ketergantungan kita, menanyakan pada diri sendiri: "Apakah saya mengharapkan rezeki, keamanan, dan kebahagiaan dari 'berhala' yang tidak berdaya, ataukah saya mengarahkan seluruh harapan saya kepada Allah, Sang Pemberi Rezeki Yang Maha Kuasa?"
Kesempurnaan tauhid menuntut pelepasan dari belenggu materialisme dan ketakutan finansial. Keyakinan akan Rezeki Ilahi adalah pembebasan sejati, sebagaimana Nabi Ibrahim a.s. dibebaskan dari ketakutan akan api dan ancaman kaumnya. Rezeki bukan hanya kebutuhan fisik; rezeki terbesar adalah hidayah, keberanian, dan ketenangan hati yang hanya diperoleh melalui ketaatan murni kepada Yang Maha Esa.
XII. Penutup: Panggilan Abadi Tauhid
Surah Al-Ankabut Ayat 17 adalah salah satu ayat paling fundamental dalam menegakkan tiang tauhid. Ia tidak hanya memberikan perintah ibadah, tetapi juga menyajikan justifikasi rasional yang tak terbantahkan. Ia mengajarkan bahwa penyembahan berhala—baik yang kuno berupa patung maupun yang modern berupa obsesi duniawi—adalah kebohongan (ifkan) yang diciptakan sendiri oleh manusia, karena objek-objek tersebut secara inheren tidak memiliki kekuasaan atas rezeki.
Tiga perintah utama ayat ini—mencari rezeki dari Allah, menyembah-Nya, dan bersyukur kepada-Nya—adalah peta jalan menuju kehidupan yang bebas dari syirik dan penuh berkah. Kehidupan ini adalah persiapan untuk pengembalian yang pasti, “Hanya kepada-Nyalah kamu akan dikembalikan.”
Pesan Nabi Ibrahim a.s. yang diabadikan dalam ayat ini tetap relevan: rezeki adalah milik Allah, dan hanya dengan mengakui monopoli-Nya atas pemberian ini, kita dapat mencapai kebebasan spiritual, integritas moral, dan ketenangan abadi.