Sketsa visual kontras antara kesenangan dunia yang berputar dan sifat abadi kehidupan akhirat.
وَمَا هَذِهِ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا لَهْوٌ وَلَعِبٌ ۚ وَإِنَّ الدَّارَ الْآخِرَةَ لَهِيَ الْحَيَوَانُ ۚ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ“Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan permainan. Dan sesungguhnya negeri akhirat itulah kehidupan yang kekal, kalau mereka mengetahui.”
(Surah Al-Ankabut: 64)
Surah Al-Ankabut (Laba-laba) memberikan pelajaran mendalam tentang kerapuhan ikatan duniawi dan kekuatan iman. Ayat 64 ini berdiri sebagai salah satu pernyataan paling tegas dalam Al-Qur'an yang mendefinisikan kembali nilai hakiki dari eksistensi manusia. Ia bukan hanya sebuah peringatan eskatologis, melainkan sebuah lensa filosofis yang memaksa manusia menilai kembali seluruh prioritas, ambisi, dan pengejaran mereka. Ayat ini membedah realitas yang sering kali menyesatkan, memisahkannya menjadi dua kategori yang bertolak belakang: kehidupan sementara yang penuh ilusi (*Dunya*) dan kehidupan sejati yang kekal (*Akhirah*).
Pernyataan bahwa dunia hanyalah senda gurau (*lahwun*) dan permainan (*la'ibun*) bukanlah penolakan total terhadap kehidupan itu sendiri, melainkan sebuah koreksi tajam terhadap cara manusia memandang dan memperlakukannya. Ketika manusia menjadikan yang fana sebagai tujuan akhir, mereka terjebak dalam lingkaran tanpa makna. Sebaliknya, ketika manusia memahami bahwa tujuan sejati terletak di seberang batas kefanaan, barulah mereka dapat menjalani hidup ini dengan penuh kebijaksanaan dan orientasi yang benar.
Ayat ini ditutup dengan kalimat yang penuh makna dan syarat: "kalau mereka mengetahui" (*lau kānū ya‘lamūn*). Pengetahuan di sini bukanlah sekadar informasi, melainkan kearifan yang mendalam (ma'rifah) yang mampu mengubah perilaku dan pandangan hidup. Orang yang benar-benar 'tahu' tidak akan menukar permata abadi dengan kerikil sesaat.
Untuk memahami kedalaman ayat ini, kita harus menyelami makna literal dan implikasi teologis dari tiga istilah kunci yang digunakan Allah SWT untuk mendefinisikan realitas yang berbeda:
Kata *Lahwun* secara harfiah merujuk pada segala sesuatu yang mengalihkan perhatian seseorang dari urusan yang lebih penting dan mendesak. Ia adalah hiburan yang membuat hati lalai dan pikiran lupa akan kewajiban primer. Dalam konteks dunia, *lahwun* mencakup semua kesenangan, hiasan, dan pengejaran materi yang, meskipun mungkin tidak secara inheren jahat, fungsinya telah berubah menjadi pengalih total dari tujuan spiritual dan akhirat.
Sifat *lahwun* adalah mengisi waktu luang atau menjauhkan dari keseriusan. Kekayaan bisa menjadi *lahwun* jika ia menyibukkan pemiliknya hingga melupakan shalat. Jabatan bisa menjadi *lahwun* jika ia menguras energi hingga tidak tersisa waktu untuk refleksi diri dan ibadah. Hubungan sosial, perjalanan, makanan, dan segala bentuk hedonisme menjadi *lahwun* ketika ia mendominasi kesadaran manusia dan membuatnya merasa puas di dunia, sehingga melupakan bahwa ada perjalanan yang jauh lebih panjang di depan.
Implikasi *lahwun* sangat halus. Dunia bukan hanya tempat ujian, tetapi juga medan yang dirancang untuk mengalihkan perhatian, sebuah ujian sejati bagi fokus dan determinasi seorang mukmin. Tantangannya adalah menggunakan dunia tanpa diperbudak olehnya, menjalani kesenangan tanpa melupakan tujuan utama penciptaan.
Jika *Lahwun* adalah pengalihan dari yang penting, *La’ibun* (permainan) menekankan sifat tidak substansial, tidak nyata, dan sementara dari aktivitas tersebut. Permainan adalah aktivitas yang dilakukan tanpa tujuan serius yang permanen; ia memiliki aturan, awal, dan akhir, tetapi dampaknya pada realitas hakiki adalah nol. Ketika permainan selesai, segala yang terjadi di dalamnya tidak lagi relevan.
Dunia diibaratkan permainan karena sifatnya yang sementara. Apa pun pencapaian materi—gelar tertinggi, harta melimpah, kekuasaan tak terbatas—semuanya akan berakhir begitu nyawa dicabut. Di mata keabadian, semua perjuangan duniawi itu layaknya anak kecil yang sibuk membangun istana pasir di tepi pantai; indah dan mengesankan saat ini, namun pasti akan dihanyutkan oleh gelombang pasang berikutnya.
Analogi permainan juga menunjukkan bahwa dunia adalah tempat berlatih dan menguji peran. Sebagaimana seorang aktor memainkan perannya, kita di dunia menjalankan tugas dan kewajiban kita, tetapi kita tidak boleh mengira peran itu adalah identitas kita yang sebenarnya, atau panggung itu adalah rumah kita yang abadi. Kita harus fokus pada kualitas akting kita (amal saleh), karena setelah tirai ditutup, hanya kualitas itu yang akan dinilai oleh Sutradara Agung.
Pentingnya memisahkan diri dari keterikatan emosional pada permainan ini adalah kunci. Seorang pemain yang terlalu larut dalam emosi permainan sering kali gagal memahami strategi jangka panjang. Demikian pula, mukmin yang terlalu larut dalam kegembiraan atau kesedihan duniawi sering kehilangan visi Akhirat mereka.
Ini adalah istilah yang paling kuat dan sentral dalam ayat ini. Allah tidak hanya menggunakan kata *al-hayah* (kehidupan), tetapi menggunakan bentuk yang dilebih-lebihkan, *Al-Hayawan*, yang dalam bahasa Arab menunjukkan bentuk superlatif dari kehidupan. Para ahli tafsir sepakat bahwa *Al-Hayawan* berarti 'Kehidupan yang Penuh dengan Kehidupan,' 'Kehidupan Sejati,' atau 'Kehidupan yang Abadi dan Substansial.'
Mengapa Akhirat disebut *Al-Hayawan*? Karena hanya di Akhiratlah kita menemukan kehidupan yang murni dari kekurangan, kematian, kelelahan, dan kehampaan. Kehidupan duniawi meskipun disebut 'hidup,' sejatinya hanyalah serangkaian menuju kematian, dibayangi oleh penderitaan, penyakit, dan kefanaan. Dunia adalah tempat dimana setiap kesenangan dicampuri oleh kegelisahan dan setiap kebahagiaan memiliki akhir.
Sebaliknya, *Al-Hayawan* di Akhirat adalah kehidupan yang sempurna, tanpa cacat. Di Surga, tidak ada kematian, tidak ada kesedihan, tidak ada kelelahan, tidak ada penyakit, dan tidak ada kebosanan. Ini adalah esensi kehidupan itu sendiri, di mana semua potensi spiritual, intelektual, dan emosional manusia mencapai puncak kesempurnaannya dalam kedekatan abadi dengan Sang Pencipta. Inilah yang sesungguhnya pantas disebut 'hidup'; sisanya hanyalah pra-kehidupan atau ilusi kehidupan.
Ayat 64 secara eksplisit menciptakan dualitas yang radikal. Dengan membandingkan *lahwun* dan *la’ibun* dengan *Al-Hayawan*, Al-Qur'an mengajarkan kita tentang perbandingan nilai yang tak terhingga.
Kesenangan duniawi bersifat palsu karena sifatnya yang menipu. Mereka menjanjikan kepuasan, tetapi sering kali meninggalkan kekosongan. Setiap pencapaian dunia hanya menghasilkan keinginan baru yang harus dipenuhi, menciptakan siklus nafsu yang tak pernah berakhir. Ini adalah ilusi fatamorgana; semakin dikejar, semakin jauh ia menghilang, dan pada akhirnya, hanya tersisa pasir dan panas.
Kebahagiaan Akhirat, yang menjadi substansi *Al-Hayawan*, bersifat sejati. Ia berasal dari kepuasan abadi yang diberikan oleh Allah. Kebahagiaan ini tidak hanya bersifat fisik (kenikmatan Surga) tetapi terutama bersifat spiritual (ridha Allah). Ketika ruh mencapai ketenangan dan ridha, ia mengalami ekstasi yang melampaui segala deskripsi duniawi. Kebahagiaan ini adalah stasion terakhir dari pencarian jiwa manusia.
Bukan hanya itu, kebahagiaan duniawi selalu tercemar oleh potensi kehilangan. Kita bahagia memiliki kesehatan, tetapi selalu ada kekhawatiran penyakit. Kita bahagia memiliki orang yang dicintai, tetapi selalu ada ketakutan perpisahan dan kematian. Ketidaksempurnaan ini adalah bagian intrinsik dari sifat *dunya* sebagai tempat ujian. Di Akhirat, kenikmatan adalah murni dan janji keabadian menghilangkan semua rasa takut dan khawatir.
Ini adalah perbedaan yang paling mudah dipahami namun paling sulit diinternalisasi oleh manusia. Durasi kehidupan dunia, meskipun terasa panjang bagi individu, sangatlah singkat dibandingkan dengan keabadian. Al-Qur'an sering kali menyamakan kehidupan dunia dengan satu sore atau satu pagi saja (misalnya dalam Surah An-Nazi'at: 46).
Jika kita membayangkan kehidupan dunia sebagai satu detik, maka Akhirat adalah deretan waktu tanpa akhir yang mengikutinya. Penderitaan terberat di dunia, jika dibandingkan dengan siksaan neraka yang abadi, menjadi tak berarti. Sebaliknya, kenikmatan terbesar di dunia, jika dibandingkan dengan kebahagiaan Surga yang abadi, terasa hambar. Perbandingan ini seharusnya menjadi penentu tunggal dalam pengambilan keputusan moral dan spiritual kita.
Pemahaman akan durasi ini mendefinisikan konsep pengorbanan. Mengorbankan kenikmatan sesaat di dunia (misalnya menahan diri dari dosa) demi kebahagiaan abadi di Akhirat adalah investasi paling rasional yang bisa dilakukan makhluk berakal. Orang yang gagal melihat kontras durasi ini adalah orang yang dikuasai oleh hawa nafsu sesaat.
Mengapa dunia disebut senda gurau dan permainan? Karena realitasnya rapuh. Ia hanyalah bayangan atau pantulan dari realitas yang lebih besar. Sebagaimana dijelaskan dalam Surah Al-Hadid: 20, dunia adalah perhiasan dan kebanggaan yang cepat berlalu, seperti tanaman yang tumbuh subur setelah hujan, kemudian mengering, menguning, dan hancur berkeping-keping.
Realitas substansial ada pada *Al-Hayawan*. Di sana, kehidupan tidak tunduk pada hukum entropi dan kehancuran. Segala sesuatu bersifat mutlak, permanen, dan memiliki bobot yang sebenarnya. Hanya di sana keadilan diwujudkan secara sempurna, dan hanya di sana potensi sejati ruh manusia terpenuhi sepenuhnya. Dunia adalah jembatan, bukan tujuan. Jembatan adalah ilusi rumah, ia hanya berfungsi untuk menyeberangkan.
Jika dunia hanyalah permainan, mengapa Allah menciptakannya? Para teolog menjelaskan bahwa ‘permainan’ ini adalah ujian yang diperlukan untuk memilah manusia yang berorientasi pada kebenaran dari mereka yang berorientasi pada kefanaan. Dunia dirancang agar terlihat menarik, sehingga ujian ini memiliki bobot yang signifikan.
Setan menggunakan ‘keindahan’ dunia sebagai alat penipuan (*ghurur*). Dunia menipu dalam tiga cara:
Ayat 64 menelanjangi semua tipuan ini. Begitu realitas Akhirat diletakkan sebagai *Al-Hayawan*, segala hiruk pikuk duniawi menjadi sunyi. Tipuan materi runtuh di hadapan kekekalan. Kekuatan duniawi menjadi ketiadaan di hadapan kekuasaan Allah yang abadi.
Kelalaian adalah penyakit hati yang paling berbahaya, yang merupakan produk langsung dari menganggap dunia sebagai tujuan. Ketika hati dipenuhi oleh urusan dunia, ia menjadi lalai terhadap tanda-tanda Allah (*ayat*) yang tersebar di alam semesta dan di dalam diri sendiri.
Ayat Al-Ankabut 64 berfungsi sebagai seruan keras untuk bangkit dari *ghaflah*. Ia mengingatkan bahwa waktu yang dihabiskan untuk *lahwun* dan *la’ibun* adalah waktu yang terbuang dari investasi untuk *Al-Hayawan*. Mengobati *ghaflah* memerlukan disiplin spiritual yang konsisten: dzikir, refleksi atas kematian, dan sering merenungkan janji dan ancaman Hari Kiamat. Hanya dengan memvisualisasikan *Al-Hayawan* secara sadar, hati bisa kembali ke porosnya yang benar.
Setiap muslim harus berjuang setiap hari melawan kecenderungan alami manusia untuk tenggelam dalam rutinitas dunia. Rutinitas menciptakan ilusi permanensi. Ketika seseorang merasa nyaman dan aman dalam rutinitasnya, ia mudah melupakan bahwa fondasi kenyamanan itu, yaitu kehidupan itu sendiri, sangatlah goyah dan dapat runtuh kapan saja. Itulah mengapa kesadaran akan kefanaan harus menjadi bagian integral dari ibadah kita.
Kalimat penutup ayat ini, "kalau mereka mengetahui," bukanlah sekadar retorika. Ia adalah sebuah teguran keras bagi mereka yang memiliki potensi akal tetapi memilih untuk tidak menggunakannya untuk memahami kebenaran esensial ini.
Orang yang 'tidak mengetahui' (yaitu, mereka yang hatinya lalai) secara otomatis memprioritaskan yang sementara di atas yang abadi. Mereka menggunakan waktu, energi, dan sumber daya mereka sepenuhnya untuk menyempurnakan 'permainan' dunia. Mereka takut akan kemiskinan di dunia, tetapi tidak takut akan kerugian abadi di Akhirat.
Sebaliknya, orang yang 'mengetahui' (orang beriman yang berakal) menunjukkan prioritas yang benar. Mereka bekerja di dunia, tetapi hati mereka terikat pada Akhirat. Dunia menjadi alat untuk mencapai *Al-Hayawan*. Jika ada pilihan antara keuntungan duniawi sesaat dan pahala Akhirat yang abadi, mereka memilih yang kedua tanpa ragu. Ini adalah inti dari konsep *zuhd* (askese spiritual), yang bukan berarti menolak dunia, tetapi menolaknya di dalam hati.
Pengejaran ilmu sejati, yaitu ilmu yang mendekatkan kepada Allah, menjadi prioritas utama bagi orang yang mengerti. Ilmu pengetahuan dunia dipandang penting sejauh ia mendukung ibadah dan kemaslahatan umat, tetapi ilmu tentang tauhid, fikih, dan moral adalah investasi yang paling berharga karena ia menentukan nasib di *Al-Hayawan*.
Memahami bahwa dunia hanyalah *lahwun* dan *la’ibun* tidak berarti kita harus menjadi biksu yang meninggalkan tanggung jawab. Islam mengajarkan keseimbangan. Kita harus hidup di dunia, mencari rezeki, menikah, dan memenuhi peran sosial kita, tetapi dengan kesadaran penuh bahwa semua itu adalah sarana, bukan tujuan.
Perumpamaan yang sering digunakan adalah seorang musafir. Musafir memanfaatkan tempat peristirahatan (dunia) untuk mengisi bekal, tetapi ia tidak pernah mendirikan rumah permanen di sana, karena fokusnya adalah destinasi. Musafir mengambil yang ia butuhkan untuk melanjutkan perjalanan tanpa terbebani oleh barang-barang yang tidak perlu (harta berlebihan, kesombongan, persaingan sia-sia).
Keseimbangan ini terlihat dalam cara seorang mukmin mencari kekayaan. Kekayaan yang dicari harus halal dan digunakan untuk menopang ibadah (misalnya, menunaikan haji, berinfak, membantu keluarga). Dengan demikian, bahkan kesenangan duniawi yang halal pun dapat diubah menjadi mata uang Akhirat. Dunia tidak ditinggalkan; ia ditransubstansikan menjadi ladang amal.
Agar keimanan terhadap *Al-Hayawan* (Kehidupan Sejati) menjadi motivasi yang kuat, kita perlu merenungkan kekhususan kehidupan akhirat sebagaimana digambarkan dalam sumber-sumber Islam.
Di Surga, Allah menjanjikan kenikmatan yang melampaui imajinasi manusia. Kenikmatan ini meliputi aspek fisik (sungai susu, madu, anggur yang tidak memabukkan, buah-buahan yang selalu tersedia) dan aspek psikologis (tidak ada rasa cemburu, benci, atau permusuhan). Namun, puncak dari *Al-Hayawan* bukanlah kenikmatan fisik.
Kenikmatan terbesar, yang merupakan inti dari kehidupan sejati, adalah kenikmatan ruhani: melihat wajah Allah (*Nadzratu Wajhillah*). Ini adalah pengalaman eksistensial yang melampaui segala bentuk kenikmatan Surga lainnya. Hanya dengan menyaksikan keindahan Ilahi secara langsung, jiwa manusia mencapai kepuasan absolut. Inilah yang membuktikan bahwa seluruh pengejaran spiritual di dunia (salat, puasa, dzikir) adalah upaya untuk mempersiapkan hati agar layak menerima karunia puncak ini.
Dunia kita dibatasi oleh ruang, waktu, dan perubahan. Setiap benda mengalami degradasi. Di Akhirat, hukum-hukum ini tidak berlaku. Kehidupan di sana adalah permanen. Tubuh tidak menua, kenikmatan tidak berkurang, dan waktu tidak membawa kehancuran. Inilah yang diartikan sebagai kehidupan yang ‘kekal’ (*khulud*).
Konsep *Al-Hayawan* menuntut kita untuk berpikir di luar batas-batas materi. Bagaimana mungkin kenikmatan tidak menimbulkan kebosanan? Karena Allah, dalam kebijaksanaan-Nya, menciptakan kenikmatan Surga yang bersifat terus-menerus diperbarui dan semakin mendalam. Ini adalah kehidupan di mana kreativitas, kebahagiaan, dan pengetahuan tidak terbatas, mencerminkan sifat tak terbatas dari Yang Menciptakan.
Orang-orang yang dikritik oleh ayat 64 adalah mereka yang telah mencapai titik kepuasan diri di dunia dan merasa tidak membutuhkan yang lain. Mereka menyangka bahwa apa yang mereka capai adalah pencapaian terbesar, padahal itu hanyalah fatamorgana.
Kesombongan seringkali tumbuh dari anggapan bahwa harta dan kekuasaan adalah bukti nilai sejati seseorang, bukan alat ujian. Ketika seseorang melihat dunia sebagai tujuan, ia mulai memandang rendah orang lain yang kurang beruntung secara materi dan menganggap dirinya telah mencapai puncak eksistensi.
Al-Ankabut 64 mengajarkan bahwa semua kebanggaan duniawi ini akan terhapus total ketika realitas *Al-Hayawan* datang. Di hadapan keabadian, kekayaan Firaun sama tidak berharganya dengan sehelai jerami. Oleh karena itu, kesombongan material adalah bukti paling jelas bahwa seseorang gagal memahami hakikat *lahwun* dan *la’ibun*.
Kisah Qarun dalam Al-Qur'an adalah contoh klasik dari orang yang menganggap bahwa harta bendanya adalah hasil dari pengetahuan dan usahanya semata, melupakan Pemberi rezeki. Ketika bumi menelannya bersama hartanya, semua ‘nilai’ duniawi itu lenyap seketika. Pemahaman terhadap ayat 64 melindungi kita dari mentalitas Qarun ini.
Semua yang ada di dunia—anak, pasangan, harta, kesehatan—adalah ujian (*fitnah*). Tujuannya adalah untuk melihat apakah kita akan menggunakannya untuk beribadah atau membiarkannya menjadi penghalang. Orang yang 'tidak mengetahui' mengubah ujian ini menjadi perangkap.
Mereka mencintai anak-anak mereka sedemikian rupa sehingga melupakan kewajiban mendidik mereka secara Islami; mereka mencintai harta mereka sedemikian rupa sehingga menolak bersedekah; mereka mencintai pekerjaan mereka sedemikian rupa sehingga melalaikan hak-hak Allah. Mereka melihat ujian sebagai hak milik, bukan sebagai amanah yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan realitas *Al-Hayawan*.
Mengapa Allah perlu berfirman, "Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan permainan"? Bukankah ini sudah jelas? Jawabannya terletak pada betapa kuatnya tirai dunia menjerat akal manusia.
Akal manusia, tanpa bimbingan wahyu, cenderung hanya dapat memproses apa yang dapat dilihat, disentuh, dan diukur dalam dimensi ruang dan waktu. Dunia fisik yang fana ini sangat memikat karena ia terasa nyata secara langsung.
Akhirat, di sisi lain, bersifat ghaib (tidak terlihat). Hanya wahyu (Al-Qur'an dan Sunnah) yang dapat memberikan informasi yang kredibel dan detail tentang *Al-Hayawan*. Oleh karena itu, untuk dapat 'mengetahui' (sebagaimana disebutkan di akhir ayat), manusia harus sepenuhnya tunduk pada narasi transenden yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.
Jika kita hanya mengandalkan akal semata, kita mungkin mencapai kesimpulan bahwa hidup itu singkat dan absurd (nihilisme), atau sebaliknya, kita mungkin menyimpulkan bahwa kebahagiaan hanya dapat ditemukan dalam pemenuhan hasrat duniawi (hedonisme). Kedua kesimpulan ini adalah produk dari kegagalan melihat realitas *Al-Hayawan*. Wahyu menyediakan jembatan informasi yang mengisi kekosongan pemahaman akal.
Ilmu yang dimaksud dalam "kalau mereka mengetahui" bukan hanya pengumpulan data, tetapi ilmu yang menembus hati dan menghasilkan rasa takut (*khauf*) dan harapan (*raja’*). Ketika seseorang benar-benar 'mengetahui' bahwa Surga adalah realitas abadi dan Neraka adalah siksaan abadi, perilakunya harus berubah drastis.
Ilmu ini menciptakan motivasi yang tak tertandingi. Mengapa para sahabat Nabi bersedia berkorban segalanya? Karena mereka 'mengetahui.' Mereka melihat *lahwun* dan *la’ibun* dunia sebagai sesuatu yang remeh dibandingkan janji *Al-Hayawan*. Pengetahuan ini memberikan kekuatan kepada mereka untuk menghadapi kesulitan, kemiskinan, dan bahkan ancaman kematian dengan senyum, karena mereka yakin bahwa penderitaan duniawi mereka adalah harga kecil untuk kehidupan sejati yang akan datang.
Ayat 64 berada dalam Surah Al-Ankabut (Laba-laba). Metafora laba-laba dalam surah ini sangat relevan. Di ayat lain, Allah menjelaskan bahwa rumah yang paling rapuh adalah rumah laba-laba. Ayat 64 memperluas analogi ini kepada seluruh kehidupan dunia.
Rumah laba-laba (jaring) terlihat seperti tempat berlindung, tetapi ia rapuh, mudah hancur oleh angin atau sentuhan. Demikian pula, segala bentuk keamanan yang dibangun manusia di dunia (kekaisaran, rekening bank, reputasi) adalah rumah laba-laba. Mereka memberikan ilusi stabilitas, tetapi pada kenyataannya, mereka sangat rentan terhadap kehancuran mendadak.
Sifat *lahwun* dan *la’ibun* dunia mencerminkan kerapuhan ini. Kesenangan itu datang dan pergi, harta bisa dicuri atau hilang dalam krisis ekonomi, dan bahkan kesehatan dapat sirna dalam sekejap. Ini semua adalah bagian dari arsitektur rapuh dunia.
Mukmin sejati membangun 'rumah' mereka bukan di jaring duniawi yang rapuh, tetapi di atas fondasi yang kokoh: iman yang tak tergoyahkan dan amal saleh. Fondasi ini adalah persiapan untuk *Al-Hayawan*, kehidupan yang tidak akan pernah runtuh atau hancur.
Salah satu aspek paling menyakitkan dari kefanaan dunia adalah kematian. Kematian adalah akhir definitif dari permainan duniawi. Tiba-tiba, semua kekuasaan, kekayaan, dan ambisi menjadi nol. Kematian adalah bukti paling kuat dari kenyataan bahwa dunia hanyalah sandiwara. Orang yang 'mengetahui' mempersiapkan diri untuk pintu keluar ini setiap saat, menjadikannya motivasi untuk meningkatkan amal.
Orang yang 'tidak mengetahui' menjalani hidup seolah-olah kematian adalah konsep abstrak yang berlaku untuk orang lain. Mereka menimbun harta yang tidak akan mereka gunakan, dan merencanakan masa depan seolah-olah waktu adalah milik mereka sepenuhnya. Kematian bagi mereka adalah kejutan yang kejam, karena mengakhiri permainan yang mereka anggap nyata. Bagi mukmin, kematian adalah awal dari realitas, transisi menuju *Al-Hayawan*.
Setelah memahami bahwa dunia adalah permainan dan senda gurau, tantangannya adalah bagaimana mengubah aktivitas sehari-hari yang *lahwun* menjadi amal yang bernilai *Al-Hayawan*.
Inti dari transformasi ini terletak pada niat. Sebuah kegiatan yang mubah (diizinkan) atau bahkan duniawi dapat diangkat nilainya menjadi ibadah hanya dengan mengubah niatnya.
Dengan memurnikan niat, kita menolak sifat dasar dunia sebagai *lahwun* (pengalih perhatian). Sebaliknya, setiap hembusan napas dan setiap langkah di dunia ini diorientasikan kembali menuju realitas abadi. Inilah cara hidup yang dicontohkan oleh para Nabi dan orang-orang saleh—mereka adalah yang paling sukses di dunia, namun hati mereka paling terlepas darinya.
Niat yang benar menjamin bahwa meskipun hasil duniawi dari usaha kita mungkin rapuh (seperti jaring laba-laba), pahala spiritualnya (yang disimpan untuk *Al-Hayawan*) akan tetap utuh dan kekal.
Konsep *zuhd* (penjauhan diri dari dunia) harus dipahami secara kontekstual. Ia tidak berarti kemiskinan secara fisik, tetapi kemiskinan spiritual terhadap materi. *Zuhd* yang benar adalah sikap batin yang menempatkan Akhirat di atas segala-galanya, memungkinkan seseorang untuk menggunakan dunia secara efektif tanpa menjadi tawanan darinya.
Seorang mukmin yang produktif dan kaya, yang menggunakan kekayaannya untuk menyebarkan kebaikan dan mendukung kebenaran, adalah contoh *zuhd* yang ideal. Ia tidak menimbun; ia mengalirkan. Harta di tangannya hanyalah alat, bukan tujuan. Dia mengerti bahwa dunia adalah gudang bekal, dan dia harus mengisi gudang itu dengan bahan bakar spiritual (amal saleh) untuk perjalanan yang jauh menuju *Al-Hayawan*.
Jika kita tidak memiliki *zuhd* di hati, maka seberapa pun sedikitnya harta kita, kita akan tetap diperbudak olehnya, menjadikannya sebagai *lahwun* yang mengalihkan kita dari Allah SWT.
Kehidupan dunia sering kali terasa tidak adil. Orang baik menderita, sementara pelaku kejahatan sering kali menikmati kemewahan dan kekuasaan. Jika dunia ini adalah tujuan akhir, maka kehidupan adalah tragedi yang tidak adil. Namun, pemahaman terhadap Al-Ankabut 64 menyelesaikan paradoks ini.
Jika dunia hanyalah permainan dan sandiwara, maka ketidakadilan yang kita saksikan adalah bagian dari babak yang belum selesai. Hukuman dan ganjaran duniawi sering kali hanya berupa peringatan atau pengujian. Keadilan sejati dan mutlak hanya akan diwujudkan di *Al-Hayawan*.
Ayat ini memberikan penghiburan yang mendalam bagi mereka yang tertindas. Penderitaan mereka di dunia tidak sia-sia; ia dihitung sebagai pahala yang akan membuka gerbang menuju *Al-Hayawan*. Sebaliknya, kenikmatan yang diperoleh secara zalim oleh orang-orang fasik di dunia ini akan segera berakhir, dan hukuman mereka akan dimulai dalam kehidupan sejati. Ini adalah keadilan Ilahi yang menempatkan segala sesuatu pada timbangan abadi.
Keyakinan ini membebaskan mukmin dari keputusasaan ketika menghadapi kezaliman, karena mereka tahu bahwa meskipun keadilan tidak terwujud di panggung sandiwara ini, keadilan pasti menanti di hadapan Realitas Sejati.
Janji Surga dan ancaman Neraka adalah elemen utama yang membentuk *Al-Hayawan*. Mereka adalah konsekuensi yang benar-benar nyata dari cara kita menjalani *lahwun* dan *la’ibun* di dunia.
Neraka adalah ketiadaan *Al-Hayawan*. Ia adalah kehidupan yang penuh dengan kematian yang berulang-ulang, penderitaan tanpa akhir, dan keputusasaan abadi. Sebaliknya, Surga adalah perwujudan *Al-Hayawan*, kehidupan yang dipenuhi dengan keberlimpahan, kedamaian, dan ridha Ilahi.
Bagi orang yang 'mengetahui,' kedua realitas ini memiliki daya tarik dan daya tolak yang sedemikian kuat sehingga ia tidak akan pernah berani mengambil risiko untuk menukarkan potensi kenikmatan Surga dengan kesenangan haram di dunia, sekecil apa pun itu. Kesadaran eskatologis ini adalah benteng terkuat melawan godaan dunia.
Ayat mulia dari Surah Al-Ankabut, ayat 64, adalah blueprint spiritual bagi manusia. Ia tidak melarang kita menikmati karunia Allah di dunia, tetapi ia melarang kita mencintai karunia tersebut melebihi Sang Pemberi Karunia.
Dunia adalah panggung sandiwara yang disiapkan dengan indah, tetapi ia pasti akan berakhir. Tujuan kita bukanlah untuk memenangkan penghargaan di panggung yang fana ini, tetapi untuk memastikan bahwa peran kita (amal saleh) cukup baik untuk mendapatkan tiket menuju *Al-Hayawan*, Kehidupan Sejati.
Marilah kita terus merenungkan kontras fundamental ini: dunia adalah *lahwun wa la’ibun* (senda gurau dan permainan), sedangkan Akhirat adalah *Al-Hayawan* (Kehidupan yang Abadi dan Sejati). Jika kita memahami ini, kita telah mencapai ilmu tertinggi yang dapat mengubah setiap aspek keberadaan kita, mengarahkan setiap niat, setiap langkah, dan setiap keputusan menuju ridha Allah SWT, menuju Kehidupan yang Tidak Pernah Berakhir.
Orang yang sadar akan hakikat ini tidak akan pernah menyia-nyiakan waktu. Ia akan fokus pada investasi abadi, memahami bahwa setiap detik yang dihabiskan dalam ketaatan adalah penanaman benih yang buahnya akan dipetik dalam keabadian. Kesenangan duniawi akan datang dan pergi, tetapi buah dari ketaatan akan kekal.
Pemahaman yang mendalam ini, *Al-Ya’lamūn*, adalah cahaya yang menerangi jalan di tengah kegelapan ilusi dunia. Inilah fondasi seluruh etika dan moralitas Islam, bahwa apa yang kita lakukan di sini, di panggung yang rapuh ini, menentukan nasib kita di realitas yang substansial dan abadi.
Kita harus senantiasa bertanya pada diri sendiri: Apakah aktivitas kita saat ini adalah *lahwun* yang mengalihkan, ataukah itu adalah bekal yang mempersiapkan kita untuk *Al-Hayawan*? Jawabannya menentukan seluruh arah hidup kita.
Sifat kefanaan dunia bukanlah kutukan, melainkan pengingat ilahi. Setiap kali kita kehilangan seseorang yang dicintai, setiap kali kita menghadapi kegagalan bisnis, setiap kali kesehatan merosot, alam semesta secara lembut atau keras mengingatkan kita pada kerangka Surah Al-Ankabut 64. Semua ini adalah manifestasi konkret bahwa kita hidup dalam sebuah 'permainan' yang memiliki batas waktu yang ketat.
Para sufi dan ahli hikmah selalu menekankan pentingnya ‘merasa asing’ di dunia. Merasa asing di sini bukan berarti menyendiri, tetapi memiliki keterikatan batin yang minimal terhadap hasil duniawi. Mereka tahu bahwa keterikatan yang kuat hanya akan membawa rasa sakit yang besar ketika perpisahan (kematian) tiba. Keterasingan spiritual ini membebaskan hati untuk sepenuhnya fokus pada Allah, satu-satunya Realitas yang Kekal.
Bagaimana cara menumbuhkan perasaan asing ini? Dengan merenungkan secara rutin siklus alam. Lihatlah bagaimana daun yang hijau berubah menjadi kering, bagaimana bangunan megah menjadi reruntuhan, dan bagaimana sejarah menelan peradaban. Semua ini adalah demonstrasi bahwa dunia adalah mesin penghancur (*fana’*) yang terus bekerja. Ketika hati menerima kefanaan sebagai hukum alam, ia secara otomatis melepaskan genggaman eratnya pada harta dan posisi.
Inilah yang dimaksud dengan kehidupan yang penuh senda gurau. Senda gurau seringkali melibatkan tawa yang pada akhirnya hilang tanpa meninggalkan bekas. Demikian pula, hiruk pikuk kesenangan duniawi adalah tawa yang cepat senyap. Jika kita menghabiskan waktu seumur hidup untuk mengejar tawa yang cepat senyap, kita telah menyia-nyiakan peluang untuk meraih sukacita abadi yang ditawarkan oleh *Al-Hayawan*.
Kita harus melihat aspek permainan (*la’ibun*) dalam konteks pelatihan. Jika dunia adalah sekolah, maka kesulitan dan cobaan adalah kurikulumnya. Allah tidak menjanjikan kemudahan di sekolah ini, tetapi Dia menjanjikan pahala abadi bagi mereka yang lulus ujian. Ketahanan spiritual (*sabr*) adalah mata pelajaran utama.
Jika kita tidak mengalami kehilangan, kita tidak akan pernah memahami arti sejati dari kepemilikan. Jika kita tidak mengalami kesulitan, kita tidak akan menghargai kemudahan. Ujian di dunia berfungsi untuk memurnikan jiwa, mengikis kesombongan, dan memaksa manusia untuk kembali kepada sumber kekuatan sejati: Allah SWT.
Ayat 64 menempatkan penderitaan dalam perspektif. Rasa sakit di dunia adalah sementara, dan pahalanya adalah permanen. Perasaan ini memberikan kekuatan batin yang luar biasa, mengubah tragedi menjadi peluang spiritual. Seorang mukmin tidak bertanya, "Mengapa ini terjadi padaku?" melainkan, "Bagaimana ini dapat membawaku lebih dekat kepada *Al-Hayawan*?"
Permainan dunia, dengan segala risiko dan aturan mainnya, adalah satu-satunya jalur yang tersedia untuk membuktikan ketaatan kita. Tanpa ujian, tidak ada kebenaran iman. Tanpa *lahwun* dan *la’ibun* yang memikat, tidak ada nilai dalam memilih *Al-Hayawan*.
Melupakan bahwa Akhirat adalah *Al-Hayawan* memiliki konsekuensi yang menghancurkan, tidak hanya di akhirat tetapi juga di dunia. Orang yang kehilangan visi abadi akan hidup dalam kecemasan yang konstan.
Kecemasan ini timbul karena dua alasan utama:
Sebaliknya, orang yang meletakkan hati pada *Al-Hayawan* merasa tenang. Mereka melakukan yang terbaik di dunia, tetapi mereka berserah diri pada hasil karena mereka tahu bahwa kekayaan sejati mereka sudah tersimpan di tempat yang aman, di sisi Allah. Mereka memiliki kedamaian batin (*sakinah*) yang tidak dapat digoyahkan oleh gejolak duniawi, karena mereka hidup dengan perspektif keabadian.
Kata kerja ‘mengetahui’ dalam Al-Qur’an seringkali menyiratkan pengetahuan yang disertai tindakan. Sebagaimana dijelaskan oleh banyak mufassir, tidak cukup bagi seseorang untuk secara lisan mengakui bahwa Akhirat lebih baik. Pengetahuan ini harus memanifestasikan dirinya dalam tindakan nyata, yaitu meninggalkan yang haram dan bergegas melakukan yang wajib dan sunnah.
Jika seseorang benar-benar tahu bahwa rokok itu mematikan, ia akan berhenti merokok. Jika seseorang benar-benar tahu bahwa Surga itu abadi, ia akan berhenti berbuat dosa. Kegagalan untuk bertindak sesuai dengan klaim pengetahuan adalah bukti bahwa pengetahuan itu belum menembus lapisan kesadaran batin, atau ia masih dikuasai oleh pengalihan *lahwun*.
Oleh karena itu, setiap muslim diperintahkan untuk terus memperbarui pengetahuan dan keimanannya, agar keyakinan terhadap *Al-Hayawan* menjadi landasan yang kuat. Pembacaan Al-Qur’an, dzikir, dan majelis ilmu bukanlah kegiatan tambahan; mereka adalah nutrisi wajib yang menjaga hati agar tidak kembali terperosok ke dalam *ghaflah* dan ilusi dunia sebagai tujuan akhir.
Jika kita meninjau kembali sejarah para Nabi dan orang-orang saleh, kita melihat pola yang konsisten: semakin dalam pengetahuan mereka tentang janji Akhirat, semakin ringan beban dan kesulitan duniawi di mata mereka. Kisah-kisah pengorbanan mereka—dari Nabi Ibrahim yang siap mengorbankan putranya, hingga para sahabat yang berjuang mati-matian di medan perang—semuanya adalah buah dari pengetahuan yang mendalam dan berakar pada *Al-Hayawan*.
Bagaimana konsep *lahwun, la’ibun,* dan *Al-Hayawan* terintegrasi dalam ibadah harian kita?
Semua pilar Islam ini dirancang untuk melawan godaan alamiah manusia untuk menjadikan dunia sebagai rumah. Mereka adalah alat yang membantu kita mempertahankan perspektif bahwa "sesungguhnya negeri Akhirat itulah kehidupan yang kekal, kalau mereka mengetahui."
Ayat 64 dari Surah Al-Ankabut adalah salah satu kunci untuk memahami peta jalan kehidupan yang benar. Ia adalah penentu arah, kompas spiritual, yang jika diabaikan, akan membawa manusia pada kesesatan di padang pasir kehidupan yang penuh ilusi. Tugas kita bukanlah membangun istana pasir yang indah, melainkan mengumpulkan bekal yang cukup untuk memasuki istana abadi yang telah disiapkan Allah bagi hamba-hamba-Nya yang beriman dan bertakwa.
Maka, mari kita jadikan setiap tarikan napas sebagai kesadaran yang menolak sifat *lahwun* dan *la’ibun* dunia, dan setiap amal sebagai jembatan yang kokoh menuju *Al-Hayawan*. Inilah rahasia ketenangan di tengah badai kehidupan dunia: mengetahui di mana letak realitas sejati, dan berinvestasi di sana dengan segenap jiwa dan raga.
Kehidupan sejati adalah di Akhirat, dan hanya melalui pengetahuan yang benar serta tindakan yang konsisten, kita dapat berharap menjadi bagian dari mereka yang memetik buah dari *Al-Hayawan*.
Marilah kita terus merenungkan ayat ini, menjadikannya standar baku untuk mengukur setiap ambisi dan setiap pilihan, memastikan bahwa kita tidak tertipu oleh sandiwara yang cepat berakhir.
Sebab, di hadapan keabadian, semua hal di dunia ini benar-benar hanyalah senda gurau dan permainan belaka.
Semoga Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang mengetahui (*ya’lamūn*).
***