Di antara sekian banyak seruan yang ditujukan kepada manusia yang mengaku beriman—seruan yang dimulai dengan frasa ikonik "Ya ayyuhalladzina amanu"—terdapat sebuah perintah yang sangat padat namun mengandung kedalaman makna yang luar biasa, yakni Surah Al Ahzab ayat 70. Ayat ini bukan sekadar nasihat spiritual biasa; ia adalah formula lengkap dan terpadu untuk mencapai kesuksesan di dunia dan keselamatan di akhirat, sebuah peta jalan yang menghubungkan keadaan batin seseorang dengan ekspresi lisannya.
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar (sadida)." (QS. Al Ahzab [33]: 70)
Ayat ini menetapkan dua perintah fundamental yang berfungsi sebagai pasangan yang tak terpisahkan: pertama, membangun kondisi batin yang murni melalui Taqwa (kesadaran dan rasa takut kepada Allah), dan kedua, memanifestasikan kondisi batin itu melalui tindakan yang paling sering kita lakukan—berbicara—dengan standar Qaulan Sadida (perkataan yang lurus, tepat, dan benar).
Implikasi dari ayat ini jauh melampaui sekadar menghindari kebohongan. Ia menyentuh setiap aspek komunikasi manusia, mulai dari diskusi bisnis, nasihat kepada keluarga, kesaksian di pengadilan, hingga sekadar obrolan ringan. Seluruh bangunan kehidupan moral seorang Muslim, menurut ayat ini, berdiri di atas fondasi Taqwa dan pilar Qaulan Sadida. Tanpa pengawasan ketat terhadap lisan, benteng Taqwa akan mudah runtuh, dan sebaliknya, hati yang kosong dari Taqwa tidak akan mampu menghasilkan perkataan yang lurus.
Perintah pertama dalam ayat ini, "Ittaqullaha", menekankan kewajiban untuk bertakwa kepada Allah. Kata Taqwa sering diartikan sebagai "rasa takut," namun para ulama sepakat bahwa maknanya jauh lebih kaya: ia adalah kesadaran, perlindungan diri, kehati-hatian, dan menempatkan penghalang antara diri kita dan murka Allah SWT.
Taqwa adalah keadaan mental dan spiritual yang melibatkan kepekaan tertinggi terhadap kehadiran Ilahi. Imam Ali bin Abi Thalib pernah mendefinisikan Taqwa dalam empat pilar yang saling mendukung:
Ketika Taqwa telah tertanam kuat, ia menjadi filter otomatis bagi setiap kata yang akan keluar dari lisan. Orang yang bertakwa tidak akan terdorong untuk berghibah, menyebar fitnah, atau memanipulasi kebenaran, sebab ia sadar bahwa Allah Maha Mendengar dan Maha Mencatat setiap huruf yang ia ucapkan. Taqwa adalah kendali internal (self-control) yang diperlukan sebelum melangkah ke perintah kedua.
Taqwa: Pemurnian Hati dan Kesadaran Ilahi.
Salah satu hadis Nabi Muhammad ﷺ yang sangat terkenal menyatakan, "Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata baik atau diam." (HR. Bukhari dan Muslim). Hadis ini menegaskan bahwa keimanan (yang merupakan inti dari Taqwa) harus tercermin dalam kualitas lisan. Lidah adalah penerjemah paling jujur dari kondisi hati. Apabila hati dipenuhi kebencian, iri, atau kesombongan, maka lisan akan mengeluarkannya dalam bentuk perkataan yang kotor, manipulatif, atau menyakitkan.
Sebaliknya, jika hati dipenuhi Taqwa, maka setiap ucapan yang keluar akan melewati proses sensor yang ketat. Inilah mengapa perintah untuk bertakwa mendahului perintah untuk berucap yang lurus dalam Surah Al Ahzab 70. Taqwa adalah prasyarat spiritual yang memungkinkan Qaulan Sadida terwujud secara konsisten.
Perintah kedua, "wa qulu qaulan sadida," sering diterjemahkan sebagai "berkata yang benar" atau "berkata yang lurus." Kata kunci di sini adalah Sadida (سديدا).
Kata Sadida berasal dari akar kata Sadd (سد), yang secara harfiah berarti "menutup celah," "meluruskan," atau "tepat sasaran." Dalam konteks ucapan, Sadida mengandung beberapa lapisan makna yang jauh lebih dalam daripada sekadar berkata jujur:
Dengan demikian, Qaulan Sadida tidak hanya menuntut kejujuran faktual, tetapi juga kejujuran niat. Seseorang mungkin mengatakan fakta yang benar, namun jika ia menggunakannya untuk tujuan jahat atau dengan nada yang menghina, maka perkataannya kehilangan sifat Sadida.
Untuk memahami pentingnya Qaulan Sadida, kita perlu membandingkannya dengan lawan kata terberatnya dalam Al-Quran, yaitu Qaul al-Zuur (perkataan palsu, dusta yang disengaja, atau kesaksian palsu). Allah SWT menggambarkan Qaul al-Zuur sebagai dosa besar yang harus dijauhi oleh kaum beriman. Perintah untuk melaksanakan Qaulan Sadida adalah perintah aktif untuk mengisi ruang publik dan interaksi sosial dengan kebenaran yang konstruktif, sehingga tidak ada ruang bagi kebohongan merusak.
Ketika seseorang mempraktikkan Qaulan Sadida dalam setiap aspek kehidupannya—dari janji yang ditepati, kesaksian yang murni, kritik yang membangun, hingga penolakan yang sopan—ia secara tidak langsung telah membangun masyarakat yang didasarkan pada kepercayaan dan keadilan. Kualitas inilah yang sangat ditekankan dalam ajaran Islam, karena ucapan adalah mata uang utama dalam interaksi sosial.
Keindahan ayat Al Ahzab 70 ini tidak berhenti pada perintah ganda. Ayat ini dilanjutkan pada ayat 71 dengan janji agung yang menjadi motivasi tertinggi bagi kaum beriman:
"Niscaya Dia akan memperbaiki amal-amalmu dan mengampuni dosa-dosamu. Dan barangsiapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar." (QS. Al Ahzab [33]: 71)
Janji pertama adalah bahwa Allah akan memperbaiki (yushlih) amal-amal kita. Apa kaitan antara ucapan yang benar dan perbaikan seluruh amalan? Para ulama menjelaskan bahwa lisan adalah gerbang utama menuju perbuatan. Lisan yang lurus akan menghasilkan tindakan yang lurus, sedangkan lisan yang rusak akan merusak semua tindakan lainnya.
Sebab, banyak amalan baik yang dapat hangus hanya karena satu kalimat buruk: ghibah menghapus pahala puasa, sumpah palsu menghancurkan keberkahan rezeki, dan fitnah dapat merusak hubungan persaudaraan selama bertahun-tahun. Dengan menjaga lisan agar selalu Sadida, kita secara efektif melindungi semua investasi spiritual dan amalan baik yang telah kita lakukan.
Janji kedua adalah pengampunan dosa. Hal ini menunjukkan betapa besarnya nilai komitmen terhadap Taqwa dan Qaulan Sadida di sisi Allah. Dosa-dosa yang terkait dengan lisan (seperti ghibah, namimah/adu domba, dan perkataan sia-sia) adalah dosa yang paling umum dilakukan manusia. Dengan secara sadar menahan dan meluruskan lisan, seseorang telah menutup pintu bagi mayoritas dosa ringan, dan bahkan dosa-dosa besar yang berkaitan dengan hak-hak sesama (huququl ibad).
Pengampunan ini merupakan buah manis dari kesungguhan hati. Ketika kita bersusah payah mengontrol organ terkecil di tubuh kita (lidah) karena Taqwa, Allah membalasnya dengan karunia terbesar, yaitu penghapusan kesalahan masa lalu.
Qaulan Sadida: Ketepatan, Keadilan, dan Kelurusan Ucapan.
Al-Quran menggunakan berbagai istilah untuk mendeskripsikan jenis-jenis perkataan yang baik, seperti Qaulan Ma’rufa, Qaulan Karima, Qaulan Layyina, dan Qaulan Baligha. Penting untuk memahami mengapa Allah memilih kata Sadida dalam konteks perintah yang universal ini, yang diletakkan berdampingan dengan Taqwa.
Para mufasir cenderung melihat Qaulan Sadida sebagai kategori yang lebih luas dan fundamental, yang mencakup semua kualitas baik lainnya. Jika Sadida adalah pondasi (kejujuran dan ketepatan), maka jenis-jenis ucapan lain adalah bentuk aplikasinya dalam situasi tertentu:
Kesimpulannya, setiap ucapan yang mulia, lembut, atau pantas, haruslah terlebih dahulu menjadi Sadida (benar, lurus, dan tepat). Tanpa kelurusan, kelembutan bisa menjadi kemunafikan, dan kemuliaan bisa menjadi basa-basi yang kosong. Sadida adalah standarisasi etika kebenaran, sementara istilah-istilah lain adalah penyesuaian etika penyampaian.
Lisan memiliki daya rusak yang jauh lebih besar daripada senjata fisik. Rasulullah ﷺ pernah memperingatkan bahwa banyak manusia yang dilemparkan ke dalam api neraka karena hasil panen lisan mereka (ucapan buruk, ghibah, dusta). Jika lisan tidak dikontrol, ia menjadi alat utama bagi setan untuk memecah belah umat dan menjerumuskan individu.
Para salafus saleh sangat menyadari bahaya ini. Mereka memilih diam ketimbang berbicara, kecuali jika mereka yakin sepenuhnya bahwa ucapan mereka memenuhi kriteria Sadida. Mereka menganggap setiap kata sebagai investasi atau kerugian, dan hanya kata-kata yang mengandung kebaikan dunia dan akhirat yang layak untuk diucapkan.
Kontrol lisan yang ketat adalah salah satu ujian terbesar bagi keimanan. Ia membutuhkan disiplin diri yang luar biasa, disiplin yang hanya dapat muncul dari hati yang benar-benar takut kepada Allah (Taqwa). Oleh karena itu, bagi orang yang ingin mendapatkan ampunan dan perbaikan amalan yang dijanjikan dalam ayat 71, tidak ada jalan pintas selain berpegang teguh pada kedua pilar ini.
Di era modern, di mana komunikasi berjalan sangat cepat melalui media digital, penerapan Qaulan Sadida menjadi semakin vital, namun juga semakin sulit. Perkataan kini bukan hanya melalui mulut, tetapi melalui jari-jari yang mengetik status, komentar, atau pesan instan.
Prinsip Sadida berlaku penuh dalam ruang digital. Setiap teks, gambar, atau video yang kita bagikan adalah bagian dari "perkataan" kita, dan akan dipertanggungjawabkan:
Banyak sekali potensi rusaknya amalan dan jatuhnya ke dalam dosa yang terjadi hari ini karena kelalaian dalam media sosial. Seseorang mungkin menghabiskan malamnya dengan ibadah, namun di siang hari ia merusak pahala itu dengan menyebarkan ghibah atau kebohongan yang ia anggap remeh di internet. Pengawasan lisan di era digital ini menjadi medan jihad yang tak kalah pentingnya dengan jihad-jihad lainnya.
Qaulan Sadida juga sangat krusial dalam lingkup privat:
Seorang Muslim yang memegang teguh prinsip Sadida adalah pribadi yang dapat dipercaya, dihormati, dan memiliki integritas yang utuh, karena ia telah berhasil menyelaraskan batinnya (Taqwa) dengan ekspresi lahiriahnya (lisan).
Nabi Muhammad ﷺ adalah contoh paling sempurna dari pribadi yang mempraktikkan Taqwa dan Qaulan Sadida. Bahkan sebelum kenabian, beliau dikenal sebagai Al-Amin (yang terpercaya). Seluruh ucapan beliau adalah Sadida, tidak hanya benar secara fakta (karena beliau berbicara dengan wahyu), tetapi juga tepat, adil, dan paling efektif dalam menyampaikan makna.
Salah satu kisah yang paling menggambarkan nilai absolut dari Qaulan Sadida adalah kisah Ka’b bin Malik pada peristiwa Perang Tabuk. Ketika Rasulullah ﷺ kembali, Ka’b adalah salah satu dari tiga orang yang tertinggal tanpa alasan yang sah. Ketika ditanya oleh Nabi mengapa ia tidak ikut, banyak sahabat lain yang tertinggal memberikan alasan palsu atau berdalih dengan sumpah dusta, dan Nabi menerima alasan lahiriah mereka.
Namun, Ka’b bin Malik memilih untuk berkata lurus (Sadida). Ia berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku tidak memiliki alasan apapun. Aku berada dalam kondisi paling baik dan paling mampu untuk ikut, namun aku malas." Ucapan yang lurus ini menyebabkan ia dijauhi dan diboikot selama lima puluh hari oleh seluruh umat Muslim, sebuah ujian yang sangat berat.
Meskipun menderita karena isolasi sosial, ia tidak pernah mengubah perkataannya. Pada akhirnya, Allah SWT menurunkan wahyu yang membenarkan kejujuran Ka’b bin Malik dan kedua temannya, mengampuni mereka. Para mufasir menekankan bahwa kejujuran absolut (Sadida) Ka’b, yang didasari oleh Taqwa yang kuat, adalah kunci pengampunan Ilahi. Kisah ini mengajarkan bahwa Qaulan Sadida harus dipertahankan, bahkan ketika kebenaran itu membawa konsekuensi yang menyakitkan di dunia.
Nabi ﷺ sangat membenci kebohongan, bahkan dalam candaan. Beliau bersabda, "Celakalah bagi orang yang berbicara, lalu ia berdusta untuk membuat orang-orang tertawa, celakalah baginya, celakalah baginya." (HR. Tirmidzi). Ini menunjukkan standar Sadida yang sangat tinggi, di mana bahkan kebohongan yang tampaknya tidak berbahaya pun dilarang keras, karena ia merusak integritas lisan dan mengikis Taqwa di dalam hati.
Meskipun Sadida selalu mengandung makna Sidq (jujur), Sadida memiliki nuansa yang lebih kaya. Sidq berfokus pada kesesuaian antara ucapan dan fakta, sementara Sadida berfokus pada ketepatan, relevansi, dan konstruktivitas ucapan itu dalam bingkai kebenaran.
Bayangkan seorang Muslim yang berbicara kepada saudaranya, "Saya tahu kamu gagal dalam ujianmu karena kamu malas dan tidak kompeten." Secara faktual, ucapan itu mungkin benar (Sidq), tetapi apakah itu Sadida? Tidak.
Ucapan itu gagal menjadi Sadida karena:
Seandainya ia menerapkan Qaulan Sadida, ia akan berkata, "Kamu gagal, mari kita luruskan kesalahan dalam metode belajarmu. Saya ingin kamu berhasil." Ucapan ini jujur mengenai kegagalan, tetapi disampaikan dengan kelurusan niat (Taqwa) dan ketepatan konstruktif (Sadida).
Oleh karena itu, Qaulan Sadida adalah filter ganda: filter kebenaran (apakah faktanya benar?) dan filter moral (apakah niatnya benar, penyampaiannya adil, dan waktunya tepat?). Hanya ketika kedua filter ini lolos, seseorang benar-benar menjalankan perintah Allah dalam Al Ahzab 70.
Tuntutan terhadap Qaulan Sadida adalah tuntutan akan konsistensi seumur hidup. Ia bukan hanya kewajiban di mimbar atau di ruang pengadilan, tetapi dalam bisikan di dapur, dalam balasan pesan singkat, dan dalam doa pribadi. Konsistensi inilah yang mendemonstrasikan kekuatan Taqwa, dan konsistensi ini pula yang menghasilkan perbaikan amalan (Yushlih lakum A’malakum).
Manusia yang mampu mempertahankan Qaulan Sadida di tengah tekanan sosial untuk berbohong, memfitnah, atau bergosip adalah manusia yang telah mencapai tingkat kesuksesan spiritual yang tinggi, karena ia telah memenangkan pertempuran internal melawan nafsunya sendiri yang cenderung mengeluarkan ucapan buruk. Ini adalah kemenangan agung (fauzan azima) yang dijanjikan di akhir ayat 71.
Surah Al Ahzab ayat 70 dan 71 menyajikan sebuah korelasi yang indah dan logis: batin yang murni (Taqwa) harus dimanifestasikan melalui ekspresi luar yang murni (Qaulan Sadida). Kedua perintah ini saling menguatkan, menghasilkan janji perbaikan total atas kualitas hidup dan pengampunan total atas kesalahan di masa lalu.
Bagi orang beriman, ini adalah seruan untuk melakukan introspeksi mendalam terhadap dua hal yang paling berharga: hubungannya dengan Sang Pencipta, dan bagaimana ia berinteraksi dengan sesama manusia melalui lisan. Kebaikan yang dilakukan tanpa lisan yang lurus akan mudah hancur, sementara lisan yang lurus namun tanpa Taqwa hanya akan menjadi formalitas kosong.
Mari kita renungkan kembali setiap kata yang kita ucapkan dan setiap informasi yang kita sebarkan. Jadikanlah Taqwa sebagai motor penggerak, dan Qaulan Sadida sebagai panduan. Sebab, kemenangan sejati (fauzan azima) di hadapan Allah SWT di hari akhir, sangat bergantung pada bagaimana kita mengendalikan lisan kita berdasarkan kesadaran dan kebenaran yang lurus.
Dengan memegang teguh dua pilar ini—Taqwa di hati dan Qaulan Sadida di lisan—niscaya seorang Muslim akan mendapatkan hasil yang abadi: perbaikan amalan di dunia, pengampunan dosa, dan kebahagiaan hakiki di akhirat.