Di antara sekian banyak ayat dalam Al-Qur'an yang menyentuh akar terdalam eksistensi manusia, Surah Al-A'rāf ayat 172 menempati posisi yang sangat fundamental. Ayat ini bukan hanya sekadar catatan sejarah, melainkan sebuah proklamasi kosmologis yang menjelaskan mengapa manusia secara inheren memiliki kecenderungan untuk mengenal dan mencari Tuhan. Ia mengungkap sebuah momen sakral, transenden, yang terjadi jauh sebelum kelahiran fisik, sebuah perjanjian yang diukir pada substansi ruhaniah setiap insan.
Artinya: "Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi (tulang belakang) anak cucu Adam keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap ruh mereka (seraya berfirman), 'Bukankah Aku ini Tuhanmu?' Mereka menjawab, 'Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.' (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan, 'Sesungguhnya kami lengah terhadap ini.'"
Ayat ini, yang dikenal sebagai Ayat Al-Mītsāq (Ayat Perjanjian), adalah inti dari konsep teologis mengenai Fitrah—sifat dasar suci yang tertanam dalam diri manusia. Untuk memahami kedalaman Al-A'rāf 172, kita harus menyelam ke dalam dimensi waktu yang berbeda, dimensi yang disebut sebagai Yawm Alast (Hari 'Bukankah Aku?'), sebuah era kosmik sebelum penciptaan alam semesta material sebagaimana yang kita kenal.
Konsep waktu dalam ayat ini bersifat meta-historis. Peristiwa pengambilan janji ini terjadi di alam Dhūrrīyah, alam keturunan, atau alam ruh. Ini adalah momen primer di mana seluruh potensi kemanusiaan, dalam bentuk ruh yang belum berwujud fisik, dikumpulkan di hadapan Kehadiran Ilahi. Peristiwa ini melampaui rentang waktu dan ruang yang dapat diukur oleh nalar material kita, menjadikannya fondasi spiritualitas universal.
Dinamika Pengambilan Janji: Proses pengambilan janji melibatkan beberapa tahapan teologis yang krusial:
Jawaban 'Balā' (بَلَىٰ) dalam bahasa Arab bukan hanya jawaban afirmatif sederhana (seperti 'Na'am'), tetapi merupakan penegasan yang kuat dan bersemangat terhadap sebuah pertanyaan negatif. Ini menunjukkan tidak adanya keraguan atau keengganan dalam pengakuan ruh terhadap Keesaan dan Kekuasaan Tuhan. Ini adalah sumpah yang diucapkan oleh esensi terdalam kita.
Imam Al-Ghazali dan banyak teolog lainnya menekankan bahwa Mītsāq ini adalah sumber dari kesadaran moral bawaan. Fitrah yang suci adalah gema abadi dari janji 'Balā' tersebut. Ketika manusia lahir ke dunia, pengetahuan eksplisit tentang janji itu mungkin terlupakan, tertutup oleh tabir materi dan duniawi, namun jejaknya tetap ada sebagai kecenderungan alami menuju kebenaran, keadilan, dan penyembahan kepada Yang Maha Kuasa.
Perjanjian ini adalah premis di mana kehendak bebas beroperasi. Jika manusia tidak pernah mengakui ketuhanan Allah, maka dorongan untuk beriman dan beribadah hanya akan menjadi paksaan tanpa dasar moral. Sebaliknya, karena manusia telah bersaksi, setiap pilihan antara kebaikan dan keburukan, antara iman dan kekafiran, adalah pengingat atau pengkhianatan terhadap sumpah purba tersebut.
Ayat Al-A'rāf 172 menetapkan bahwa pertanggungjawaban di Hari Kiamat tidak akan dapat dihindari. Allah telah menutup rapat celah untuk alasan atau pembenaran. Manusia tidak bisa berdalih, "Kami tidak tahu," atau "Kami lupa," sebab pengetahuan dasar tentang Tuhan telah ditanamkan sebelum mereka diutus ke dunia fana ini. Ini adalah arsitektur ilahi untuk menjustifikasi sistem pahala dan dosa.
Seluruh sejarah kenabian, dari Adam hingga Muhammad, adalah proses pengingatan kolektif. Para Nabi diutus bukan untuk memperkenalkan Tuhan yang sama sekali baru, tetapi untuk mengaktifkan kembali memori 'Balā' yang terpendam di dalam hati umat manusia. Tugas mereka adalah membersihkan debu kelupaan (ghaflah) yang menutupi cermin Fitrah.
Kedalaman Al-A'rāf 172 telah melahirkan berbagai interpretasi di kalangan mufassir (ahli tafsir). Inti perdebatan bukanlah apakah perjanjian itu terjadi, melainkan bagaimana mekanisme detail pelaksanaannya. Apakah ruh-ruh tersebut berbicara secara harfiah, atau apakah janji itu bersifat metaforis dan hanya diketahui melalui intuisi ilahi?
Mayoritas ulama klasik, termasuk Ibn Kathir dan Al-Tabari, cenderung mengambil makna harfiah. Mereka percaya bahwa Allah secara aktual mengeluarkan entitas-entitas kecil (ruh atau bentuk pra-materi) dari sulbi Adam, memberikan mereka kemampuan untuk memahami dan berbicara, dan kemudian mengambil sumpah. Ini adalah demonstrasi Qudrah (Kekuasaan) Allah yang melampaui hukum alam biasa. Menurut pandangan ini, sumpah 'Balā' adalah peristiwa yang benar-benar terjadi dalam sejarah non-linear.
Imam Al-Tabari menjelaskan bahwa tujuan utama pengeluaran keturunan dari sulbi Adam dan pengambilan kesaksian adalah untuk ihqaq al-hujjah—menegakkan bukti. Tidak ada satupun alasan yang tersisa bagi manusia untuk mengelak dari tanggung jawab keimanan di Hari Akhir. Kesadaran akan Tuhan adalah warisan yang tak terpisahkan.
Beberapa ulama dan filosof, seperti sebagian Mu'tazilah dan beberapa teolog modern, menafsirkan ayat ini secara metaforis atau simbolis. Mereka berpendapat bahwa pengambilan janji ini bukanlah pidato harfiah di alam ruh, tetapi lebih merupakan penanaman fitrah yang sempurna. Seolah-olah Allah bertanya, "Bukankah penciptaanmu yang sempurna ini menunjukkan bahwa Aku adalah Tuhanmu?" dan penciptaan itu sendiri menjawab, "Ya!"
Namun, pandangan jumhur (mayoritas) menekankan bahwa jika ayat ini hanya merujuk pada bukti penciptaan, maka tidak perlu ada klausul penutup tentang mencegah alasan di Hari Kiamat. Klausul tersebut—"agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan, ‘Sesungguhnya kami lengah terhadap ini’"—mengisyaratkan adanya kesaksian yang disadari, meskipun kesadaran tersebut terkunci dalam alam bawah sadar spiritual kita di dunia.
Perjanjian ini adalah Mītsāq Ghairu Mashhūd (Perjanjian yang Tidak Disaksikan Secara Fisik). Kita tidak mengingatnya melalui memori otak, tetapi melalui hati dan jiwa. Inilah sebabnya mengapa ritual keagamaan dan ibadah (dzikir) berfungsi sebagai sarana untuk 'menarik kembali' memori purba tersebut ke permukaan kesadaran.
Jika Al-A'rāf 172 hanyalah kisah sejarah yang jauh, dampaknya terhadap kehidupan sehari-hari tidak akan signifikan. Kenyataannya, ayat ini adalah peta jalan bagi seluruh eksistensi, menjelaskan mengapa manusia bergumul dengan moralitas, kerinduan spiritual, dan konflik internal antara kebaikan dan keburukan.
Ayat ini menegaskan bahwa tidak ada manusia yang benar-benar ateis dalam arti murni. Setiap penolakan terhadap Tuhan adalah penolakan terhadap janji yang pernah diikrarkan. Ketika seseorang melakukan dosa atau kejahatan, ia tidak hanya melanggar hukum sosial, tetapi juga mengkhianati perjanjian spiritualnya. Sebaliknya, setiap tindakan kebaikan, altruisme, atau pencarian kebenaran adalah penegasan kembali janji 'Balā'.
Beban moral yang kita rasakan, rasa bersalah yang mendalam setelah melakukan kesalahan, adalah bisikan dari Fitrah, upaya ruh untuk mengingatkan tubuh dan pikiran akan sumpah yang telah dibuat di hadapan Sang Pencipta. Tanpa Mītsāq ini, perasaan bersalah hanya akan menjadi konstruksi sosial yang relatif.
Mengapa manusia sering merasa hampa meskipun memiliki segala kekayaan materi? Mengapa kita mencari makna di balik kesenangan sesaat? Para sufi menjelaskan bahwa kerinduan (syauq) yang tak terpuaskan dalam diri manusia adalah 'rasa sakit' dari perpisahan. Ruh kita, yang pernah hidup dalam kedekatan Ilahi di Yawm Alast, kini terperangkap dalam sangkar materi. Kerinduan ini adalah dorongan bawaan untuk kembali kepada asal-usulnya, untuk memenuhi janji yang tersimpan jauh di dalam lubuk hati.
Kesenian, musik, puisi, dan filsafat—semua adalah manifestasi dari upaya manusia untuk melampaui keterbatasan dunia fisik dan menyentuh kembali dimensi spiritual yang pernah mereka saksikan. Setiap keindahan yang kita saksikan di dunia ini hanyalah bayangan samar dari Keindahan Mutlak yang pernah kita akui sebagai Tuhan kita.
Al-A'rāf 172 juga menanggapi klaim kaum musyrik yang berdalih bahwa penyimpangan mereka diwariskan dari nenek moyang mereka. Ayat berikutnya (Al-A'rāf 173) secara eksplisit menolak alasan tersebut: "Atau agar kamu tidak mengatakan, 'Sesungguhnya nenek moyang kami telah mempersekutukan (Tuhan) lebih dahulu, sedang kami ini adalah keturunan yang (datang) sesudah mereka. Maka apakah Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang sesat dahulu?'"
Ayat 172 menetapkan tanggung jawab individual, memutus rantai pembenaran warisan kekafiran. Karena setiap individu telah mengadakan perjanjian secara langsung, penyimpangan orang tua tidak dapat menjadi alibi atas kekafiran pribadi. Masing-masing ruh telah menyaksikan secara langsung. Ini adalah penegasan luar biasa terhadap otonomi spiritual manusia.
Dalam tradisi mistik Islam, Mītsāq Alast adalah titik awal dari seluruh perjalanan spiritual (suluk). Ia menjelaskan sifat hubungan yang intim antara hamba dan Rabb-nya, sebuah hubungan yang mendahului penciptaan surga dan neraka. Para sufi melihat kehidupan dunia sebagai ujian untuk membuktikan kesetiaan pada janji yang telah diucapkan.
Bagi para sufi, Insan Kāmil adalah sosok yang berhasil 'mengingat' janji Alast secara sempurna, sehingga tindakannya di dunia mencerminkan kepatuhan yang pernah diikrarkan ruhnya. Tokoh-tokoh seperti Ibnu Arabi melihat Mītsāq sebagai landasan Wihdatul Wujud (Kesatuan Eksistensi), karena semua ruh berasal dari satu sumber dan mengakui satu Tuhan sebelum diferensiasi fisik terjadi.
Tugas sufi adalah 'memecahkan' tabir (hijab) kelupaan yang dibuat oleh hawa nafsu (nafs) dan keduniaan. Dengan dzikir, meditasi, dan penyucian jiwa (tazkiyat an-nafs), ruh dapat kembali mendengar gema 'Balā' yang ada di dalamnya. Ini bukan sekadar keyakinan intelektual, melainkan pengalaman kesadaran yang terbarukan.
Rabi’ah Al-Adawiyah dan sufi lainnya sering mengaitkan Mītsāq dengan cinta murni (mahabbah). Mereka mencintai Allah bukan karena takut akan neraka atau menginginkan surga, tetapi karena pengakuan primordial bahwa Dialah Tuhan. Cinta ini adalah perwujudan dari pengakuan 'Balā' yang tulus dan mendalam. Pengorbanan dalam jihad spiritual atau fisik adalah harga yang dibayar untuk membuktikan bahwa janji itu masih utuh, tidak terkikis oleh godaan dunia.
Kehidupan sufi yang penuh asketisme dan penolakan terhadap kenikmatan duniawi adalah upaya untuk membersihkan instrumen spiritual agar vibrasi janji 'Balā' dapat terdengar jelas. Dunia ini dipandang sebagai 'Darul Ghaflah' (Tempat Kelalaian), dan tujuan spiritual adalah mencapai 'Hadrat Al-Qudus' (Kehadiran Kesucian) di mana janji tersebut diucapkan.
Memahami Al-A'rāf 172 memerlukan analisis yang jauh melampaui tafsir tradisional. Ayat ini memiliki implikasi mendalam terhadap kosmologi, teodisi (penjelasan tentang keadilan Tuhan), dan eskatologi (ilmu tentang Hari Akhir). Mari kita perpanjang pembahasan ini untuk mencapai kedalaman yang diperlukan.
Salah satu masalah filosofis terbesar adalah bagaimana Tuhan yang Maha Adil dapat menghukum orang-orang yang tampaknya tidak pernah mendengar pesan-Nya (seperti yang hidup di Ahlul Fatrah, masa vakum kenabian). Ayat 172 menyediakan jawaban fundamental: tidak ada satu pun jiwa yang sepenuhnya bodoh tentang Tuhan. Pengetahuan dasar (Tauhid) telah ditanamkan sebelum kelahiran. Oleh karena itu, semua orang dimintai pertanggungjawaban atas bagaimana mereka merespons Fitrah mereka.
Keadilan Tuhan terwujud dalam pengambilan janji universal ini. Ini menjamin bahwa setiap penghuni Neraka akan tahu di lubuk hatinya bahwa mereka telah melanggar janji yang pernah mereka ikrarkan. Mereka tidak dapat menyalahkan lingkungan atau ketiadaan utusan, karena Utusan Internal (Fitrah) telah hadir sejak Yawm Alast.
Namun, keadilan Ilahi juga memperhitungkan sejauh mana lingkungan dan pendidikan memengaruhi Fitrah. Meskipun janji purba itu ada, Allah tetap mengirimkan para Nabi dan Kitab Suci sebagai pengingat eksternal (Al-Hujjah Al-Kharījīyyah) untuk memperkuat pengakuan internal (Al-Hujjah Ad-Dākhilīyyah). Ini menunjukkan rahmat ganda: janji awal dan pengingat yang berkelanjutan.
Para filosof dan teolog Islam membedakan antara Ruh (Esensi spiritual murni, yang berjanji di Alast), Nafs (Jiwa yang berinteraksi dengan dunia, yang memiliki dorongan baik dan buruk), dan Fitrah (Potensi suci bawaan yang menjadi jembatan antara Ruh dan Nafs).
Ayat Al-A'rāf 172 berbicara tentang Ruh yang bersaksi. Setelah Ruh masuk ke dalam jasad, ia berinteraksi dengan Nafs. Nafs yang dibiarkan tanpa kendali akan tunduk pada Hawa (nafsu) dan Ghaflah (kelalaian), yang merupakan hasil dari lupa terhadap janji 'Balā'. Iman (kepercayaan) dan Islam (penyerahan diri) adalah metode untuk mendisiplinkan Nafs agar selaras kembali dengan janji yang dibuat oleh Ruh.
Proses menjadi Mukmin (orang beriman) adalah proses Tadzkir (mengingat). Seluruh hidup adalah perjalanan untuk mengenang siapa kita sebenarnya dan siapa yang telah kita akui sebagai Tuhan kita. Setiap ayat Al-Qur'an, setiap hadis, dan setiap peristiwa kosmik berfungsi sebagai alat bantu memori untuk perjanjian purba ini. Semakin seseorang tenggelam dalam materi, semakin kuat tabir kelupaan yang melingkupinya.
Pilihan kata 'Balā' (بَلَىٰ) sangat penting. Dalam tata bahasa Arab, pertanyaan negatif yang dijawab dengan 'Balā' menegaskan maksud positif. Contoh: jika ditanya "Bukankah kamu lapar?" ('Alasta bi Jā'i'), menjawab 'Balā' berarti 'Ya, saya lapar.' Dalam konteks ayat: "Bukankah Aku Tuhanmu?" dijawab 'Balā' yang berarti "Ya, Engkau memang Tuhan kami." Ini bukan jawaban ragu-ragu, melainkan penegasan kuat yang meniadakan pertanyaan negatif tersebut.
Kekuatan linguistik ini menggarisbawahi kejelasan visi ruh pada saat itu. Tidak ada kebingungan atau ketidakpastian; pengenalan (Ma'rifah) terhadap Tuhan saat itu bersifat langsung dan absolut, sebuah pengalaman melihat yang tidak membutuhkan bukti tambahan.
Beberapa penafsir modern dan filsuf mencoba mengaitkan Mītsāq dengan konsep keberadaan sebelum kehidupan fisik. Jika semua keturunan Adam sudah 'dikeluarkan' dan 'bersaksi', ini mengimplikasikan adanya alam eksistensi yang sangat padat sebelum alam material kita. Alam ini disebut ‘Alam al-Arwāh (Alam Ruh). Ini adalah alam di mana hukum-hukum fisik tidak berlaku, dan komunikasi antara Pencipta dan ciptaan bersifat instan dan tanpa medium.
Alam Ruh ini bukan hanya masa lalu, tetapi juga dimensi yang tetap ada secara paralel dengan kehidupan duniawi. Mītsāq yang abadi terus memengaruhi nasib kita, karena setiap pilihan yang kita buat adalah respons terhadap 'Balā' yang bergema di alam spiritual kita. Dunia fisik, dengan segala hiruk pikuknya, hanyalah panggung tempat janji itu diuji dan ditegakkan.
Jika kita memperluas pandangan kosmologi ini, kita menyadari bahwa setiap makhluk, termasuk hewan, tumbuhan, dan benda mati, memiliki bentuk kesaksiannya sendiri (Tasbih), tetapi hanya manusia yang diminta untuk memberikan kesaksian dengan kesadaran penuh ('Ashhadahum 'Ala Anfusihim'). Inilah yang membedakan martabat dan tanggung jawab manusia dari seluruh ciptaan lainnya.
Di era modern, di mana materialisme dan sekularisme mendominasi, kelupaan terhadap Mītsāq menjadi semakin akut. Krisis spiritual dan mental yang melanda masyarakat kontemporer—kecemasan, depresi eksistensial, dan pencarian identitas tanpa akhir—dapat dilihat sebagai konsekuensi dari Ghaflah (kelalaian) terhadap janji Alast.
Manusia modern sering merasa 'terasing' di dunia, seolah-olah mereka adalah tamu tanpa peta. Pengasingan ini, dari perspektif Al-A'rāf 172, adalah rasa sakit karena telah memutuskan kontak dengan akar spiritual yang pernah mereka akui. Mereka telah melupakan rumah yang pernah mereka tinggali dan sumpah yang mereka ikrarkan di sana.
Penyembuhan dari krisis identitas ini memerlukan upaya sadar untuk 'menarik kembali' memori tersebut, bukan melalui terapi konvensional semata, tetapi melalui Riyādhah (latihan spiritual) yang konsisten: shalat yang khusyuk, puasa yang mendalam, dan dzikir yang berkelanjutan. Praktik-praktik ini bukan tujuan akhir, melainkan alat untuk merobek tabir kelupaan.
Ayat ini memiliki implikasi besar terhadap filosofi pendidikan Islam. Pendidikan sejati seharusnya bukan tentang mengisi wadah kosong, tetapi tentang menyalakan kembali cahaya yang sudah ada di dalam (Fitrah). Tugas pendidik adalah membantu anak-anak mengingat janji mereka, bukan memaksakan keyakinan dari luar.
Pengajaran Tauhid harus diperkenalkan sebagai pengakuan ulang terhadap kebenaran yang sudah dikenal oleh ruh mereka, bukan sebagai doktrin asing yang baru dipelajari. Ini memberikan dasar yang kuat bagi penerimaan etika dan moral, karena nilai-nilai tersebut berasal dari kesepakatan abadi, bukan sekadar konvensi sosial yang berubah-ubah.
Jika kita gagal mengintegrasikan Mītsāq dalam pendidikan, generasi mendatang akan terus mencari makna di tempat yang salah—dalam konsumsi, kekuasaan, atau ideologi yang fana. Mereka akan mencari ‘Rabb’ (Tuhan) mereka di entitas yang tidak kekal, karena suara 'Balā' di dalam diri mereka terlalu lemah untuk menuntun mereka kembali kepada Yang Kekal.
Bagaimana kita, sebagai manusia yang terikat waktu dan materi, dapat menghidupkan kembali Perjanjian Alast dalam kehidupan sehari-hari? Jawabannya terletak pada ibadah yang berfungsi sebagai pengulangan formal dari pengakuan 'Balā'.
Setiap gerakan dan ucapan dalam shalat adalah penegasan janji. Ketika kita mengucapkan Allahu Akbar, kita mengakui Keagungan yang sama yang kita saksikan di Yawm Alast. Ketika kita bersujud, kita menundukkan Nafs kita di hadapan Kebenaran yang Ruh kita saksikan. Shalat, dalam esensinya, adalah dialog berulang yang memastikan kita tidak lengah (Ghafilin) terhadap janji tersebut.
Kekhusyukan (khushu') dalam shalat adalah ketika Ruh dan Nafs menyelaraskan diri, ketika seseorang benar-benar merasakan kembali kehadiran Ilahi yang pernah disaksikannya sebelum kelahiran. Shalat yang tidak khusyuk adalah shalat yang dilakukan oleh Nafs yang lalai, bukan oleh Ruh yang mengingat.
Al-Qur'an sering disebut sebagai Kitabullah (Kitab Allah), namun dalam konteks ini, ia juga dapat dipahami sebagai Kitab Al-Mītsāq (Kitab Perjanjian). Setiap cerita tentang umat terdahulu, setiap perintah, dan setiap larangan adalah pengulangan dan penegasan kembali klausul-klausul perjanjian yang telah kita setujui. Membaca dan merenungkan Al-Qur'an adalah metode untuk menyingkapkan kembali tulisan-tulisan yang telah samar di dalam hati kita.
Keindahan sastra dan kedalaman makna Al-Qur'an adalah daya tarik yang dirancang untuk menarik hati manusia—bukan hanya akal—karena hati adalah wadah tempat janji 'Balā' itu disimpan. Ketika hati merespons kebenaran Al-Qur'an, itu adalah indikasi bahwa Mītsāq diaktifkan kembali.
Surah Al-A'rāf 172 adalah poros teologis yang menyatukan penciptaan, moralitas, kehendak bebas, dan eskatologi Islam. Ayat ini mengajarkan bahwa spiritualitas bukanlah sesuatu yang harus dipaksakan dari luar, melainkan penemuan kembali kebenaran yang telah lama terukir di dalam diri.
Kita adalah pewaris dari sumpah yang paling agung. Hidup di dunia ini adalah ujian untuk melihat apakah kita akan menjadi hamba yang setia pada janji 'Balā' tersebut, ataukah kita akan membiarkan Ghaflah menguasai kita, sehingga kita menjadi bagian dari orang-orang yang kelak di Hari Kiamat tidak dapat mengatakan apa-apa selain penyesalan.
Pengakuan "Balā" adalah jaminan abadi bahwa kita mengenal Tuhan kita. Perjuangan harian kita adalah untuk menjadikan pengakuan lisan yang purba itu menjadi realitas hidup yang nyata, di setiap tarikan napas, di setiap pilihan, dan di setiap langkah yang membawa kita kembali menuju Kehadiran-Nya.
Kedalaman Surah Al-A'rāf ayat 172 menjamin bahwa tidak ada satu pun kehidupan manusia yang sia-sia atau tidak berarti. Setiap manusia, dari orang suci hingga pendosa terbesar, membawa di dalam dirinya potensi luhur dari kesaksian yang pernah diucapkan. Potensi inilah yang menjadi sumber harapan, sumber taubat, dan sumber kerinduan abadi yang mendorong kita mencari kembali Sang Maha Pencipta. Mengingat Mītsāq adalah kunci untuk memahami diri sendiri, memahami takdir, dan memahami makna akhir dari keberadaan.
Mītsāq adalah tali yang menghubungkan Adam yang pertama dengan keturunannya yang terakhir. Ia adalah benang merah yang menyatukan umat manusia di bawah payung tauhid universal. Melalui janji ini, manusia dibebaskan dari keharusan untuk mencari-cari alasan di Hari Akhir. Sebab, buktinya tidak berada di luar sana, melainkan terpahat secara permanen, secara abadi, di dalam substansi ruhaniah kita sendiri. Ia adalah pengakuan yang tidak dapat ditarik kembali: "Betul, Engkau adalah Tuhan kami."
Pengulangan dan penegasan janji ini secara terus-menerus melalui ibadah, refleksi, dan tindakan etis adalah wujud nyata dari penghormatan terhadap hakikat kemanusiaan kita. Mītsāq bukan hanya teologi; ia adalah psikologi spiritual yang mendalam, menjelaskan mengapa manusia tidak pernah puas kecuali ketika ia menemukan kembali koneksi dengan sumber penciptaannya. Kelupaan adalah penyakit, dan pengingatan (dzikir) adalah obatnya. Seluruh ajaran Islam berfungsi sebagai terapi kolektif dan individual untuk melawan amnesia spiritual ini.
Ketika seseorang meninggal dunia, tabir material dilepaskan, dan ruh kembali ke alamnya. Saat itu, janji 'Balā' akan terdengar lagi dengan kejernihan penuh. Kehidupan di dunia hanyalah jeda singkat, sebuah ujian kesetiaan di tengah gangguan. Mereka yang hidup dengan kesadaran Mītsāq akan mengalami transisi yang damai, sementara mereka yang melupakannya akan menghadapi janji purba itu sebagai saksi yang memberatkan mereka sendiri.
Mītsāq ini adalah janji universal yang melampaui batas suku, ras, dan kebudayaan. Meskipun syariat (hukum) mungkin berbeda antar nabi, inti Tauhid, inti pengakuan Keesaan Tuhan, tetap sama bagi seluruh Dhūrrīyah Adam. Itu adalah warisan bersama yang menjembatani seluruh sejarah kemanusiaan.
Oleh karena itu, setiap kali seorang Muslim bersaksi dengan mengucapkan dua kalimat syahadat, ia tidak hanya mengadopsi keyakinan baru, tetapi ia sedang melakukan pengulangan sadar atas apa yang telah diucapkan ruhnya di hadapan Tuhan, pada saat yang tidak terhitung oleh jam duniawi. Syahadat adalah ritualisasi Mītsāq, membawa kesadaran kosmik ke dalam ruang dan waktu kita yang terbatas.
Kesadaran akan Al-A'rāf 172 harus menjadi pendorong bagi kita untuk memperdalam pengenalan kita terhadap Allah (Ma'rifatullah). Semakin kita belajar, semakin kita merenung, semakin jelas gema 'Balā' yang kita rasakan. Ini adalah perjalanan tanpa akhir dalam hidup, sebuah upaya terus-menerus untuk menyelaraskan kehendak kita dengan kehendak Ilahi yang kita akui sebagai Tuhan kita.
Tidak ada yang lebih fundamental bagi identitas spiritual seorang Mukmin selain memahami bahwa dia tidak lahir sebagai papan tulis kosong. Sebaliknya, dia lahir dengan 'sidik jari spiritual' dari perjanjian yang sudah dibuat. Tugasnya adalah merawat dan melindungi sidik jari itu dari penghapusan oleh kelalaian dan syahwat dunia.
Mītsāq juga menjelaskan fenomena moralitas universal. Mengapa orang dari budaya yang berbeda masih setuju bahwa membunuh tanpa alasan itu salah, atau bahwa membantu yang membutuhkan itu baik? Karena fondasi etika itu bukan diciptakan oleh manusia, melainkan diwarisi dari momen suci ketika seluruh umat manusia mengakui Keadilan dan Kebenaran Mutlak. Etika adalah manifestasi sosial dari sumpah spiritual.
Dengan demikian, Al-A'rāf 172 adalah ayat yang mengubah perspektif kita terhadap diri sendiri: kita bukanlah makhluk acak yang mencari arti, melainkan makhluk mulia yang sedang dalam perjalanan pulang untuk memenuhi janji suci yang telah lama ditunggu-tunggu. Kita adalah saksi abadi bagi Ketuhanan-Nya.
Perjanjian ini adalah bukti tak terbantahkan akan kasih sayang dan keadilan Tuhan. Ia memberikan setiap jiwa kesempatan yang sama untuk mengenal-Nya, jauh sebelum mereka dipengaruhi oleh lingkungan yang korup atau budaya yang menyimpang. Tanggung jawab, pada akhirnya, jatuh kembali kepada individu dan kepada seberapa gigih ia berjuang untuk mengingat apa yang pernah diketahuinya di alam yang lebih murni.
Ketekunan dalam ibadah dan kejujuran dalam berinteraksi dengan sesama adalah cara terbaik untuk membuktikan bahwa kita masih memegang teguh janji kita. Setiap amal saleh adalah cap persetujuan baru terhadap 'Balā', sementara setiap dosa adalah goresan pada memori suci tersebut. Kita harus berhati-hati agar di Hari Kiamat, ketika kesaksian itu dibuka, kita dapat berdiri tegak dan mengulangi, dengan keyakinan yang sama seperti di Yawm Alast, bahwa Dialah Tuhan kami.
Memahami Mītsāq adalah memahami arsitektur spiritual yang mendasari realitas. Ini adalah jawaban terhadap pertanyaan eksistensial 'Siapakah saya?' Jawabannya: 'Saya adalah hamba yang telah bersaksi, yang sekarang sedang diuji dalam kelupaan.' Dan tujuan hidup: 'Untuk mengingat.' Inilah intisari ajaran yang terkandung dalam satu ayat yang luar biasa, Surah Al-A'rāf 172.
Oleh karena itu, ayat ini mendorong kita untuk menjalani hidup dengan kesadaran yang konstan (muraqabah), menyadari bahwa Allah selalu hadir, sebagaimana Dia hadir ketika kita pertama kali bersaksi di hadapan-Nya. Kesadaran ini menuntut pembersihan hati dari segala bentuk idola, baik materi maupun ideologis, untuk menjaga kemurnian Fitrah agar tetap bersinar, mencerminkan kejernihan pengakuan yang pernah diucapkan: 'Balā, kami bersaksi.'
Jika semua manusia hidup dengan kesadaran penuh akan janji ini, konflik moral dan sosial akan berkurang drastis, karena semua akan tahu bahwa kita terikat oleh satu sumpah tunggal di bawah satu Tuhan. Mītsāq menciptakan persaudaraan kosmik; kita semua adalah ruh-ruh yang bertemu kembali setelah berjanji bersama di alam purba.
Kesimpulannya, Al-A'rāf 172 adalah ayat yang tidak hanya mendefinisikan hubungan kita dengan Tuhan, tetapi juga mendefinisikan kemanusiaan kita. Ia adalah sumber martabat kita dan sekaligus sumber tanggung jawab kita yang tak terhindarkan. Dan selamanya, gema dari masa sebelum masa akan terus mengingatkan kita: "Bukankah Aku Tuhanmu? Betul, kami bersaksi!"