Kajian Mendalam tentang Adzan Syiah: Sejarah, Fiqih, dan Kedalaman Makna Teologis

Adzan, seruan suci yang mengumandangkan ajakan menuju ibadah shalat, merupakan salah satu manifestasi ritual Islam yang paling fundamental dan universal. Namun, dalam perjalanan sejarah dan perkembangan mazhab-mazhab Islam, terdapat variasi struktural yang signifikan dalam teks Adzan. Perbedaan paling mencolok terlihat antara formulasi Adzan yang digunakan oleh mayoritas Muslim (Sunni) dan formulasi yang dipegang teguh oleh pengikut mazhab Syiah, khususnya Syiah Imamiyah Dua Belas (Itsna Asyariyah).

Perbedaan ini bukan sekadar penambahan kata, melainkan cerminan dari perbedaan fundamental dalam pandangan teologis mengenai kepemimpinan spiritual (Wilayah) dan esensi amal terbaik. Artikel ini akan mengupas tuntas struktur Adzan Syiah, menggali latar belakang historis yang melandasi perbedaan tersebut, serta meninjau implikasi fiqihnya menurut pandangan mazhab Ja’fari.

Menara Adzan Allahu Akbar Seruan Universal

I. Struktur Dasar Adzan dalam Pandangan Syiah

Adzan (seruan untuk Shalat) dan Iqamah (seruan berdiri untuk Shalat) dalam Islam memiliki struktur yang baku. Bagi Syiah Imamiyah, struktur Adzan yang wajib (komponen yang jika ditinggalkan membatalkan Adzan) serupa dengan Sunni, namun terdapat dua penambahan kunci yang menjadikannya unik, dan yang paling utama adalah frasa historis yang menjadi inti perbedaan Fiqih.

A. Komponen Wajib (Wujub) dalam Adzan Syiah

Fiqih Ja’fari, sebagaimana diajarkan oleh Imam-Imam Ahlulbait, menetapkan urutan Adzan sebagai berikut. Perlu dicatat bahwa jumlah pengulangan dalam Syiah (kebanyakan dua kali) berbeda dengan Sunni (di beberapa tempat empat kali, seperti takbir pertama, atau dua kali untuk yang lain). Namun, konsentrasi utama perbedaan terletak pada poin keempat:

  1. Allahu Akbar (Allah Maha Besar): 4 kali.
  2. Ashhadu an Laa Ilaaha Illallah (Saya bersaksi tiada Tuhan selain Allah): 2 kali.
  3. Ashhadu anna Muhammadan Rasulullah (Saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah): 2 kali.
  4. Hayya ‘alaṣ-Ṣalāh (Mari menunaikan shalat): 2 kali.
  5. Hayya ‘alaṣ-Falāḥ (Mari mencapai kemenangan): 2 kali.
  6. Hayya ‘ala Khayril ‘Amal (Mari menuju amal terbaik): 2 kali.
  7. Allahu Akbar (Allah Maha Besar): 2 kali.
  8. Laa Ilaaha Illallah (Tiada Tuhan selain Allah): 2 kali.

Frasa keenam, Hayya ‘ala Khayril ‘Amal, adalah elemen yang diyakini oleh Syiah sebagai bagian integral dan asli dari Adzan yang diamalkan pada masa Nabi Muhammad ﷺ. Syiah berargumen bahwa frasa ini kemudian dihapus dari Adzan standar oleh otoritas pasca-Nabi, khususnya pada masa Khilafah Umar bin Khattab, karena kekhawatiran bahwa frasa ini akan menyebabkan umat terlalu fokus pada shalat dan mengabaikan jihad atau urusan negara lainnya. Oleh karena itu, bagi Syiah, mengumandangkan frasa ini adalah mengembalikan otentisitas Adzan.

B. Syahadat Ketiga: Ashhadu anna ‘Aliyyan Waliyullah

Selain perbedaan struktural di atas, Adzan Syiah juga seringkali mencakup pengakuan terhadap Wilayah (kepemimpinan spiritual) Imam Ali bin Abi Thalib, yang disisipkan setelah syahadat kepada Rasulullah:

Ashhadu anna ‘Aliyyan Waliyullāh (Saya bersaksi bahwa Ali adalah Wakil/Pelindung Allah).

Dalam pandangan Fiqih Ja’fari, frasa ini (Syahadat Ketiga) bukanlah bagian wajib (wajib juz’i) dari Adzan. Statusnya adalah Mustahabb Mutlaq (dianjurkan secara mutlak) atau Qurbatan Ilallah (diniatkan mendekatkan diri kepada Allah), terutama dalam konteks tafkhim (memperbesar) status Wilayah. Ini adalah pembeda teologis yang menonjol dan berfungsi sebagai identifikasi Syiah. Jika seseorang Syiah meninggalkan frasa ini, Adzannya tetap sah. Namun, jika mereka meninggalkannya karena mengingkari Wilayah, maka keimanan mereka yang dipertanyakan, bukan Adzannya. Ini adalah poin halus yang sering disalahpahami oleh non-Syiah, yang menganggap frasa ini sebagai rukun Adzan yang setara dengan syahadat kepada Allah dan Rasul-Nya.

II. Akar Historis Perbedaan: Polemik ‘Hayya ‘ala Khayril ‘Amal’

Perdebatan mengenai Adzan Syiah berpusat pada sebuah diskursus sejarah yang mendalam mengenai otentisitas dan intervensi politik terhadap ritual keagamaan pasca wafatnya Nabi Muhammad ﷺ. Syiah berpendapat bahwa penghapusan frasa Hayya ‘ala Khayril ‘Amal adalah salah satu contoh modifikasi yang dilakukan pada masa Khilafah kedua.

A. Transmisi Hadis dan Sunnah yang Berbeda

Syiah merujuk pada beberapa riwayat yang bersumber dari Ahlulbait (Imam Ali, Imam Baqir, Imam Shadiq, dan keturunan mereka) yang menegaskan bahwa Hayya ‘ala Khayril ‘Amal adalah bagian tak terpisahkan dari Adzan pada masa Nabi ﷺ. Riwayat-riwayat ini, yang berada dalam jalur transmisi (isnad) yang diakui oleh Syiah, menunjukkan bahwa Bilal bin Rabah, muadzin utama Nabi, secara rutin mengumandangkan frasa ini. Menurut pandangan Syiah, Sunnah Nabi tidak boleh diubah, dan Adzan adalah salah satu sunnah qauliyyah (sunnah dalam bentuk ucapan) yang harus dipertahankan kemurniannya.

Penjelasan Mendalam tentang Penghapusan oleh Khalifah Kedua

Sumber-sumber Syiah, dan beberapa sumber sejarah Sunni tertentu (meskipun jarang dan ditafsirkan berbeda), mencatat bahwa Umar bin Khattab memerintahkan penghapusan frasa tersebut. Alasan yang paling sering dikemukakan adalah masalah prioritas. Umar dikhawatirkan bahwa penekanan pada "amal terbaik" (yang ditafsirkan sebagai shalat) akan membuat umat merasa cukup dengan shalat dan mengabaikan panggilan untuk jihad (perang suci) atau tugas-tugas sipil dan militer lainnya yang penting untuk membangun dan mempertahankan negara Islam yang baru. Dalam pandangan politik saat itu, kepentingan negara dan ekspansi militer dianggap mendesak.

"Ketika Umar menghapus ‘Hayya ‘ala Khayril ‘Amal’, ia melakukannya bukan karena menganggapnya Bid’ah (inovasi buruk) secara ritual, tetapi karena pertimbangan maslahah mursalah (kemaslahatan umum) politik dan militer. Bagi Syiah, konsep maslahah yang mengalahkan teks Sunnah yang jelas adalah tidak dapat diterima."

Diskursus ini menyoroti perbedaan mendasar dalam metodologi Fiqih: apakah Sunnah Nabi bersifat absolut dan tidak dapat diubah oleh keputusan politik pasca-wafat, atau apakah otoritas Khalifah memiliki hak untuk memodifikasi praktik demi kemaslahatan umat yang lebih besar.

B. Wilayah dan Syahadat Ketiga: Fondasi Teologis

Penambahan Ashhadu anna ‘Aliyyan Waliyullah berkaitan langsung dengan doktrin inti Syiah: Wilayah (Kepemimpinan spiritual dan politik yang ditunjuk oleh Tuhan). Syiah meyakini bahwa sebagaimana Allah memerintahkan penyebaran tauhid dan kenabian Muhammad, Dia juga menetapkan Ali bin Abi Thalib sebagai penerus dan pemimpin spiritual (Imam) segera setelah Nabi ﷺ.

Penyebutan Wilayah Ali dalam Adzan adalah bentuk I’lan al-Wilayah (Deklarasi Wilayah). Meskipun bukan rukun Adzan, bagi Syiah, Adzan menjadi kurang sempurna tanpa pengakuan Wilayah, karena Wilayah adalah pelengkap Risalah (kenabian) dan fondasi keberlanjutan Syariat Islam. Sebagaimana syahadat Tauhid tidak sempurna tanpa syahadat Risalah, Syiah memandang bahwa Risalah Muhammad tidak akan sempurna tanpa Wilayah Ali, merujuk pada ayat Ikmal ad-Din (Penyempurnaan Agama).

Frasa ini mulai populer dikumandangkan secara terbuka sebagai penanda identitas yang kuat setelah masa-masa penindasan, berfungsi sebagai pengakuan publik terhadap keyakinan Imamiyah dan pembedaan jelas dari mazhab lain yang tidak mengakui suksesi teokratis para Imam. Praktik ini berakar pada hadis-hadis yang mendorong penyebutan Wilayah di berbagai konteks ibadah dan pengakuan.

III. Analisis Fiqih Ja’fari: Hukum dan Validitas Adzan

Fiqih Syiah, yang sebagian besar diwakili oleh mazhab Ja’fari (diikuti oleh Syiah Imamiyah), memiliki rincian hukum yang sangat ketat mengenai struktur Adzan. Memahami hukum ini penting untuk mengikis kesalahpahaman bahwa Syiah ‘menambahkan’ rukun baru ke dalam ibadah.

A. Hukum ‘Hayya ‘ala Khayril ‘Amal’

Dalam Fiqih Ja’fari, Hayya ‘ala Khayril ‘Amal dianggap sebagai bagian tak terpisahkan (juz’) dari Adzan. Meninggalkannya dengan sengaja dapat membatalkan Adzan atau setidaknya mengurangi kesempurnaannya secara drastis, karena hal tersebut berarti mengingkari salah satu bagian dari ritual yang telah ditetapkan oleh Nabi ﷺ dan diamalkan oleh Ahlulbait. Para ulama Syiah menegaskan bahwa tidak ada perbedaan pendapat di antara ulama Ja’fari modern maupun klasik mengenai status wajibnya frasa ini sebagai bagian dari Adzan.

Makna dari 'Amal Terbaik' ini sering diperdebatkan. Apakah itu merujuk hanya pada shalat, atau memiliki makna yang lebih luas? Para fukaha Syiah cenderung menafsirkan 'Amal Terbaik' tidak hanya sebagai shalat itu sendiri, tetapi juga mencakup Wilayah (Kepemimpinan) dan jihad al-akbar (perjuangan diri melawan hawa nafsu), yang semuanya mencapai puncaknya dalam ibadah shalat yang dilaksanakan dengan kesadaran penuh akan Wilayah Imam yang benar.

B. Hukum ‘Ashhadu anna ‘Aliyyan Waliyullah’ (Tathlith)

Status hukum Syahadat Ketiga adalah area yang memerlukan penjelasan paling rinci dalam Fiqih Ja’fari. Para Marja’ Taqlid (otoritas keagamaan tertinggi Syiah) sepakat bahwa:

  1. Bukan Rukun: Frasa ini bukanlah rukun (elemen wajib) Adzan yang tanpanya Adzan menjadi batal.
  2. Mustahabb/Raja’an: Frasa ini dianjurkan (mustahabb) atau diucapkan dengan niat Raja’an (berharap mendekatkan diri kepada Allah, sebagai bentuk pengakuan teologis).
  3. Hukum Sisipan: Frasa ini tidak boleh diucapkan dengan niat bahwa ia adalah bagian dari Adzan yang ditetapkan oleh syariat (tasyri’). Mengucapkannya dengan niat Tasyri’ (menganggapnya wajib secara syar’i) adalah haram dan dapat dikategorikan sebagai bid’ah, meskipun secara umum pengucapan ini tetap dianjurkan sebagai ekspresi keimanan.

Perbedaan ini sangat penting. Ketika seorang muadzin Syiah mengumandangkan ‘Aliyyan Waliyullah’, ia melakukannya sebagai pengakuan teologis yang mendalam—sebuah syiar (simbol)—namun ia harus sadar bahwa secara Fiqih, validitas Adzan tidak bergantung pada frasa tersebut. Ini memisahkan fungsi syiar (identitas) dari fungsi wujub (kewajiban ritual). Ini adalah keseimbangan teoretis yang sangat sulit dipertahankan dalam praktik publik, yang seringkali menyebabkan Adzan Syiah diidentifikasi secara total dengan Syahadat Ketiga.

Penjelasan Kriteria Niat dalam Fiqih

Fiqih Ja’fari sangat menekankan pada konsep Niyyah (niat). Dalam kasus Adzan, niat muadzin harus murni. Jika ia berniat bahwa Syahadat Ketiga adalah wajib seperti Takbir atau Syahadatain, maka ia melakukan kesalahan fatal. Namun, jika niatnya adalah untuk tabarruk (mencari keberkahan), takhassis (pengkhususan identitas), atau tafkhim (memuliakan Wilayah), maka ia diperbolehkan dan bahkan dianjurkan, asalkan ia menyisipkannya tanpa mengganggu struktur wajib (al-ajza’ al-manshushah) dari Adzan yang sah.

Dua Tradisi Tekstual Tanpa Khayril 'Amal (Sunnah Standar) Dengan Khayril 'Amal (Fiqih Ja'fari)

IV. Analisis Komparatif Teologis dan Filologis

Untuk memahami kedalaman perbedaan Adzan ini, kita harus melihatnya melalui lensa teologis dan filologis yang lebih luas. Perbedaan kata dalam Adzan merefleksikan perbedaan pandangan kosmik mengenai sifat kepemimpinan ilahi setelah Nabi.

A. Wilayah dan Risalah: Interpretasi Kesatuan

Bagi Syiah, konsep Wilayah (Kepemimpinan Imam) tidak dapat dipisahkan dari Risalah (Kenabian Muhammad). Mereka memandang bahwa Nabi Muhammad ﷺ tidak hanya menyampaikan ajaran, tetapi juga menetapkan mekanisme untuk menjaga ajaran tersebut tetap murni melalui Ahlulbait. Dengan demikian, pengakuan Wilayah bukanlah menambahkan sesuatu yang baru ke dalam Islam, melainkan menegaskan penyempurnaan Islam yang sudah ada. Adzan, sebagai ritual yang berfungsi mengikat masyarakat pada sumber ajaran, harus mencerminkan kesatuan ini: Allah (Tauhid), Muhammad (Risalah), dan Ali (Wilayah/Imamah).

Penyisipan Aliyyan Waliyullah dalam Adzan adalah sebuah pernyataan bahwa kepatuhan kepada Allah dan Rasul-Nya harus melalui jalur kepemimpinan yang sah (para Imam). Tanpa pengakuan ini, Adzan dipandang kehilangan dimensi esensialnya, yaitu komitmen terhadap suksesi ilahi yang menjamin kebenaran ajaran. Oleh karena itu, bagi muadzin Syiah, meskipun secara Fiqih frasa ini mustahabb, secara teologis, frasa ini adalah pernyataan iman yang hampir wajib dikumandangkan.

B. Studi Filologis ‘Khayril ‘Amal’

Secara filologis, frasa Hayya ‘ala Khayril ‘Amal memiliki dampak psikologis yang mendalam. Kata ‘Amal’ (perbuatan) diiringi dengan ‘Khayr’ (terbaik). Ini menunjukkan bahwa panggilan Adzan bukan hanya sekadar ajakan untuk shalat (Hayya ‘alaṣ-Ṣalāh), tetapi ajakan menuju intisari dari semua perbuatan baik, yang dalam konteks Islam primordial, seringkali diinterpretasikan sebagai shalat yang dilaksanakan secara sempurna dan sadar. Riwayat Syiah dari Imam keenam, Ja'far ash-Shadiq, menafsirkan 'Khayril ‘Amal' sebagai Wilayah Imam, yang mana shalat tanpa Wilayah dianggap tidak mencapai derajat 'Amal Terbaik.

Interpretasi ini menghubungkan ritual praktis (shalat) dengan konsep teologis yang kompleks (Wilayah). Muadzin yang mengumandangkan frasa ini secara efektif sedang mengingatkan komunitas bahwa shalat mereka hanya akan menjadi 'Amal Terbaik' jika dilakukan di bawah naungan Wilayah Imam yang benar.

V. Perbedaan Regional dan Praktik Kontemporer

Meskipun Fiqih Ja’fari bersifat sentralistik melalui Marja’ Taqlid, praktik Adzan Syiah di berbagai negara dapat bervariasi tergantung pada konteks politik, sosial, dan sejarah lokal.

A. Praktik di Iran dan Irak

Di Iran, sebagai negara yang menjadikan mazhab Ja’fari sebagai agama resmi, Adzan Syiah dikumandangkan secara seragam, lengkap dengan Hayya ‘ala Khayril ‘Amal sebagai bagian wajib, dan Ashhadu anna ‘Aliyyan Waliyullah sebagai bagian yang dianjurkan (mustahabb), seringkali dibaca dengan nada yang berbeda atau jeda yang jelas untuk membedakannya dari rukun wajib lainnya.

Di Irak, khususnya di kota-kota suci Syiah seperti Najaf dan Karbala, Adzan dikumandangkan dengan struktur yang sama, namun tekanan pada Syahadat Ketiga mungkin lebih kuat sebagai respons terhadap sejarah panjang konflik sektarian, menjadikannya penanda identitas yang vital.

B. Syiah dalam Komunitas Minoritas

Dalam komunitas Syiah minoritas (misalnya di Asia Tenggara, Eropa, atau Amerika Utara), praktik Adzan seringkali lebih hati-hati. Muadzin mungkin mengurangi intensitas Syahadat Ketiga atau mengucapkannya dengan sangat pelan (hanya didengar oleh orang Syiah di masjid) untuk menghindari friksi dengan komunitas Sunni setempat. Namun, frasa Hayya ‘ala Khayril ‘Amal hampir selalu dipertahankan, karena ini adalah rukun Adzan menurut mazhab mereka, meskipun pengucapannya sering memicu pertanyaan dari non-Syiah.

Adaptasi praktik ini menunjukkan bahwa Adzan Syiah tidak hanya berfungsi sebagai panggilan ritual, tetapi juga sebagai alat komunikasi identitas dan negosiasi eksistensi dalam ruang publik yang beragam. Mereka harus menyeimbangkan tuntutan Fiqih internal (mempertahankan ‘Khayril ‘Amal’) dengan kebutuhan koeksistensi sosial (menyesuaikan intonasi Syahadat Ketiga).

VI. Perbandingan Rinci Struktur dan Pengulangan

Untuk melengkapi pemahaman, penting untuk membandingkan secara rinci bagaimana pengulangan dalam Adzan Syiah berbeda dari praktik Sunni umum (misalnya, mazhab Hanafi atau Syafi’i, yang mungkin bervariasi dalam takbir awal dan akhir).

Frasa Syiah (Ja’fari) Sunni (Umum)
Allahu Akbar4 kali4 kali
Ashhadu an Laa Ilaaha Illallah2 kali2 kali
Ashhadu anna Muhammadan Rasulullah2 kali2 kali
Ashhadu anna ‘Aliyyan Waliyullah 2 kali (Mustahabb) Tidak ada
Hayya ‘alaṣ-Ṣalāh2 kali2 kali
Hayya ‘alaṣ-Falāḥ2 kali2 kali
Hayya ‘ala Khayril ‘Amal 2 kali (Wajib Juz’i) Tidak ada
Allahu Akbar (Penutup)2 kali2 kali
Laa Ilaaha Illallah2 kali1 kali

Tabel di atas dengan jelas menunjukkan dua titik perbedaan inti (yang disorot), ditambah perbedaan minor dalam pengulangan Laa Ilaaha Illallah di akhir. Namun, kontroversi utama tetap pada klaim Syiah tentang pengembalian frasa yang dihilangkan secara historis (Khayril ‘Amal) dan penambahan identitas Wilayah (Aliyyan Waliyullah).

VII. Mendalami Konsep Amal Terbaik dan Implikasi Sosialnya

Konsep ‘Amal Terbaik’ (Khayril ‘Amal) dalam Adzan Syiah membawa implikasi yang melampaui sekadar panggilan shalat. Ia menjadi simbol perlawanan terhadap otoritas politik yang dianggap telah menyimpang dari ajaran Nabi. Ketika Syiah bersikeras mengumandangkan frasa ini, mereka tidak hanya menjalankan Fiqih mereka, tetapi juga menyatakan penolakan teologis terhadap kebijakan pemerintah yang mengutamakan perluasan teritorial atau kekuasaan duniawi (seperti yang mereka tafsirkan sebagai alasan Khalifah Umar menghapusnya) di atas spiritualitas murni yang diwakili oleh shalat.

A. Jihad Kecil vs. Jihad Besar

Dalam terminologi Islam, sering dikenal perbedaan antara Jihad Kecil (perang fisik) dan Jihad Besar (perjuangan melawan hawa nafsu dan kelemahan diri). Syiah cenderung menempatkan Shalat, terutama yang dilaksanakan dengan pemahaman Wilayah, sebagai inti dari Jihad Besar. Penghapusan Hayya ‘ala Khayril ‘Amal oleh otoritas politik saat itu ditafsirkan oleh Syiah sebagai upaya untuk menggeser fokus umat dari Jihad Besar menuju fokus yang lebih duniawi (Jihad Kecil dan ekspansi militer).

Dengan mengembalikan frasa ini, Syiah menegaskan bahwa prioritas tertinggi umat adalah penyucian diri dan pelaksanaan ibadah yang sempurna, yang merupakan 'amal terbaik' yang membawa pada kemenangan sejati, bukan hanya kemenangan di medan perang.

B. Adzan sebagai Penanda Kultural dan Identitas

Di wilayah-wilayah yang memiliki komunitas campuran Sunni-Syiah (seperti Lebanon, Teluk Persia, atau sebagian Pakistan), Adzan Syiah berfungsi sebagai penanda identitas budaya yang kuat. Suara muadzin yang mengucapkan Hayya ‘ala Khayril ‘Amal segera mengidentifikasi masjid tersebut sebagai masjid Syiah. Ini bukan hanya masalah ritual, tetapi juga demarkasi teritorial dan pengumuman afiliasi mazhab. Dalam lingkungan yang cenderung politis, pengumandangan Adzan Syiah adalah tindakan keberanian dan penegasan keyakinan.

Fenomena ini menegaskan bahwa ritual keagamaan, bahkan yang paling dasar sekalipun, tidak pernah terlepas dari konteks sosiopolitik. Adzan Syiah adalah kapsul waktu yang memuat ingatan sejarah konflik mengenai suksesi dan otoritas keagamaan pasca-Nabi, yang terus bergema di tengah masyarakat Islam modern.

VIII. Perspektif Fiqih Mengenai Iqamah Syiah

Selain Adzan, Iqamah (seruan kedua sebelum shalat dimulai) juga memiliki perbedaan yang wajib diperhatikan dalam Fiqih Ja’fari.

A. Struktur Iqamah Syiah

Iqamah Syiah mengikuti struktur Adzan, namun dengan jumlah pengulangan yang lebih sedikit (umumnya 1 kali untuk setiap frasa, kecuali takbir dan tahlil di akhir). Yang terpenting, Iqamah Syiah juga mempertahankan tiga elemen kunci yang membedakannya:

  1. Hayya ‘ala Khayril ‘Amal: Dimasukkan sebagai bagian wajib.
  2. Ashhadu anna ‘Aliyyan Waliyullah: Dimasukkan sebagai bagian mustahabb (dianjurkan).
  3. Qad Qāmatish-Shalāh (Shalat akan didirikan): Diucapkan 2 kali (serupa dengan Sunni).

B. Iqamah dan Niat

Dalam Fiqih Ja’fari, Adzan dan Iqamah secara kolektif disebut Azanain (dua Adzan). Hukumnya adalah mustahabb mu’akkad (sangat dianjurkan) sebelum shalat wajib. Namun, jika seseorang ingin shalatnya sempurna, ia harus mengumandangkan keduanya sesuai aturan mazhabnya, termasuk semua elemen wajib (Khayril ‘Amal) dan menghindari pengabaian terhadap unsur mustahabb (Aliyyan Waliyullah) jika memungkinkan.

Perbedaan penting lainnya adalah dalam Fiqih Ja’fari, tidak ada sisipan Aṣ-Ṣalātu Khayrun Min an-Nawm (Shalat lebih baik daripada tidur) dalam Adzan Subuh (dikenal sebagai Tatwīb). Syiah menganggap sisipan ini sebagai inovasi (bid’ah) yang ditambahkan setelah Nabi ﷺ, dan karenanya dilarang dalam Adzan Subuh Syiah, meskipun praktik ini umum dalam tradisi Sunni.

IX. Menghadapi Tuduhan Bid’ah dan Upaya Dialog

Perbedaan dalam Adzan seringkali menjadi sumber perselisihan dan tuduhan bid’ah (inovasi buruk dalam agama) yang dilemparkan terhadap Syiah. Namun, dari perspektif internal Syiah, praktik mereka justru merupakan upaya untuk menghindari bid’ah historis yang dilakukan oleh otoritas politik pasca-Nabi.

A. Pembelaan Syiah atas ‘Aliyyan Waliyullah’

Ketika dituduh melakukan bid’ah karena Ashhadu anna ‘Aliyyan Waliyullah, ulama Syiah menekankan kembali status frasa tersebut sebagai mustahabb atau syiar. Mereka berargumen bahwa penambahan kata yang dianjurkan (bukan rukun) yang bertujuan memuliakan pemimpin yang dihormati adalah hal yang lumrah dalam banyak ibadah. Mereka juga menunjuk pada fakta bahwa pernyataan Wilayah Ali adalah bentuk deklarasi keyakinan yang fundamental, bukan upaya untuk menggantikan syahadat tauhid atau risalah. Pengumuman ini bersifat tafkhim (pengagungan) dan ta’rif (pengenalan), bukan tasyri’ (penetapan hukum wajib).

B. Permasalahan Tatwīb (Adzan Subuh)

Sebaliknya, Syiah melontarkan kritik balik terhadap praktik Adzan Subuh Sunni (Tatwīb). Mereka berpendapat bahwa sisipan ‘Shalat lebih baik daripada tidur’ adalah bid’ah karena tidak ada riwayat yang sah dari Nabi ﷺ atau Ahlulbait yang mendukungnya. Sejarah menunjukkan bahwa frasa ini mulai dimasukkan ke dalam Adzan Subuh pada masa-masa tertentu setelah Nabi wafat. Dengan menolak Tatwīb, Syiah mengklaim bahwa mereka menjaga kemurnian Adzan Nabi yang otentik, di samping mengembalikan frasa ‘Hayya ‘ala Khayril ‘Amal’ yang diyakini terhapus.

Diskusi mengenai Adzan ini menunjukkan bahwa kontroversi antar-mazhab sering kali berakar pada perbedaan mengenai otoritas mana yang berhak menetapkan praktik keagamaan: apakah riwayat yang datang melalui Ahlulbait dan Imam, ataukah keputusan yang dibuat oleh otoritas politik Khilafah demi kemaslahatan umum.

X. Sintesis Makna: Adzan sebagai Pengikat Komunitas

Terlepas dari perbedaan struktural dan kontroversi historis, Adzan Syiah tetap menjalankan fungsi utamanya: memanggil umat menuju shalat dan mendekatkan diri kepada Allah. Namun, Adzan ini membawa beban sejarah, keyakinan teologis yang mendalam, dan identitas mazhab yang kokoh.

A. Kedalaman Wilayah dan Kepatuhan

Adzan Syiah adalah manifestasi audio dari fondasi Syiah itu sendiri: ketaatan yang sempurna harus menyertakan pengakuan terhadap seluruh sistem kepemimpinan ilahi. Frasa Ashhadu anna ‘Aliyyan Waliyullah mengikat pendengar pada jalur Ahlulbait, sementara Hayya ‘ala Khayril ‘Amal mengingatkan bahwa shalat adalah intisari dari semua perbuatan baik, sebuah shalat yang hanya bisa sempurna dengan kesadaran akan kepemimpinan yang benar.

Dalam konteks modern, Adzan Syiah terus menjadi simbol keberanian teologis. Ini adalah pengumuman terbuka bahwa, meskipun terpisah dari tradisi mayoritas, umat Syiah tetap berkomitmen pada apa yang mereka yakini sebagai warisan Nabi yang murni dan tidak termodifikasi, terutama yang berkaitan dengan panggilan paling mendasar dalam ritual Islam.

B. Pesan bagi Dialog Antar-Mazhab

Memahami Adzan Syiah secara mendalam memerlukan pemisahan antara apa yang wajib secara Fiqih (Khayril ‘Amal) dan apa yang dianjurkan secara teologis dan identitas (Aliyyan Waliyullah). Kesalahpahaman sering muncul ketika kedua kategori ini dicampuradukkan. Dialog antar-mazhab harus mengakui bahwa bagi Syiah, Adzan adalah ritual yang mencerminkan seluruh doktrin mereka mengenai keadilan ilahi, kenabian, dan kepemimpinan.

Pengumandangan Adzan Syiah, dengan penekanan pada ‘amal terbaik’ dan Wilayah, adalah pengingat konstan bahwa jalan menuju kesempurnaan agama adalah melalui ketundukan total pada rantai otoritas yang diyakini ditetapkan langsung oleh Allah dan Rasul-Nya. Adzan ini, meskipun berbeda dalam lafal, memiliki tujuan yang sama mulianya: mengajak seluruh umat manusia menuju kebesaran Allah dan keberhasilan spiritual di dunia dan akhirat.

Dengan demikian, Adzan Syiah bukan hanya rangkaian kata; ia adalah narasi sejarah, pernyataan doktrinal, dan panggilan abadi menuju inti spiritualitas Islam yang dipercaya murni dan tak tercemar.

***

XI. Ekspansi Detil Teologis: Fiqih Iqamah dan Syahadat Ketiga

Untuk mencapai kedalaman pembahasan yang komprehensif, penting untuk mengulas lebih jauh mengenai status tasyri’ (penetapan hukum) pada Syahadat Ketiga, terutama dalam konteks Iqamah, yang seringkali menjadi cermin dari Adzan.

A. Konsep Tasyri’ dan Niat dalam Syahadat Ketiga

Marja’ Syiah, seperti Ayatullah Sistani dan Khamenei, sangat berhati-hati dalam merumuskan hukum Syahadat Ketiga. Mereka menekankan bahwa jika seseorang mengumandangkan Ashhadu anna ‘Aliyyan Waliyullah dengan niat bahwa frasa ini adalah rukun yang diwajibkan oleh Nabi dalam Adzan, maka ia telah melakukan Tasyri’, yaitu memasukkan sesuatu ke dalam syariat yang bukan bagian darinya, dan ini adalah dosa besar (bid’ah yang haram). Namun, praktik umum Syiah adalah mengucapkannya dengan niat Qurbatan Ilallah (mendekatkan diri kepada Allah) atau Istihbāb Mutlaq (anjuran umum), yang mana hal ini sah.

Perbedaan antara niat tasyri’ dan istihbab mutlaq terletak pada pengakuan muadzin terhadap sumber hukumnya. Jika ia mengakui bahwa Wilayah Ali adalah esensi agama dan layak untuk diumumkan dalam setiap konteks yang memungkinkan (termasuk setelah menyebut Risalah), maka ia tidak berniat mengubah struktur Adzan, melainkan memanfaatkan Adzan sebagai platform tabligh (penyampaian). Fiqih Ja'fari dengan demikian memberikan ruang yang luas bagi ekspresi keyakinan tanpa harus merusak kerangka ritual wajib.

B. Perdebatan Mengenai Isnad Hadis ‘Khayril ‘Amal’

Satu hal yang jarang dibahas di kalangan non-Syiah adalah soliditas isnad (rantai transmisi hadis) yang Syiah gunakan untuk mendukung Hayya ‘ala Khayril ‘Amal. Ulama Syiah meyakini bahwa riwayat mengenai frasa ini tidak hanya berasal dari jalur Ahlulbait tetapi juga didukung oleh beberapa riwayat dari sahabat terkemuka di awal sejarah Islam. Riwayat-riwayat yang menyebutkan bahwa frasa tersebut ada di masa Nabi dan kemudian dihilangkan oleh Umar secara konsisten dipertahankan dalam literatur Syiah. Bahkan ada ulama Syiah yang berpendapat bahwa keberadaan frasa ini sudah mencapai derajat Tawātur Ma’nawī (transmisi massal yang meyakinkan secara makna) di kalangan Ahlulbait, meskipun lafal hadisnya mungkin bervariasi.

Penerimaan universal frasa ini di seluruh sekolah Fiqih Ja’fari menunjukkan bahwa dari perspektif Syiah, tidak ada keraguan sedikit pun mengenai statusnya sebagai rukun Adzan yang sah, sebuah Sunnah yang dihidupkan kembali setelah penindasan politik historis.

XII. Dampak Teologis 'Laa Ilaaha Illallah' Penutup

Perbedaan minor juga terletak pada frasa penutup: Laa Ilaaha Illallah. Dalam Syiah, frasa ini diucapkan dua kali, sementara dalam tradisi Sunni populer, sering diucapkan hanya sekali. Meskipun ini detail kecil, ia melengkapi keseluruhan struktur Adzan Syiah yang cenderung mempertahankan pengulangan genap (dua kali) untuk hampir semua frasa, kecuali Takbir pembuka (empat kali).

Pengulangan ganda pada penutup ini menekankan sekali lagi ketegasan Tauhid setelah seluruh rangkaian pengakuan (Risalah, Wilayah, Panggilan Shalat, dan Amal Terbaik) telah diucapkan. Ini adalah penutup yang kuat yang mengembalikan fokus akhir pada keesaan Allah, memastikan bahwa semua panggilan dan pengakuan sebelumnya dilakukan dalam kerangka Tauhid murni.

Secara keseluruhan, Adzan Syiah adalah monumen ritual yang berfungsi ganda: sebagai panggilan shalat dan sebagai manifesto teologis. Ia merangkum seluruh sejarah Syiah, dari penolakan terhadap intervensi politik dalam agama (diekspresikan melalui Hayya ‘ala Khayril ‘Amal) hingga penegasan identitas spiritual unik mereka (diekspresikan melalui Ashhadu anna ‘Aliyyan Waliyullah). Analisis mendalam menunjukkan bahwa perbedaan ini adalah warisan dari perdebatan historis yang berusia lebih dari seribu tahun mengenai siapa yang berhak menjadi penjaga dan penafsir otoritatif dari warisan kenabian setelah Rasulullah wafat.

***

XIII. Konteks Sosiologis: Adzan Syiah dan Ketahanan Komunitas

Di luar kerangka fiqih dan teologi, Adzan Syiah memainkan peran sosiologis yang krusial dalam memelihara ketahanan dan kekompakan komunitas. Selama berabad-abad, terutama di wilayah di mana Syiah menjadi minoritas atau mengalami penindasan, suara Adzan Syiah adalah afirmasi publik atas keyakinan yang berbeda.

A. Simbolisme Wilayah dalam Masa Sulit

Pengumuman Wilayah Ali dalam Adzan, meskipun mustahabb, menjadi sangat penting di masa-masa sulit. Di bawah rezim yang anti-Syiah, mengumandangkan Syahadat Ketiga dapat dianggap sebagai tindakan subversif. Oleh karena itu, bagi banyak Syiah, mendengar Adzan mereka secara penuh adalah indikator kebebasan beragama dan ketahanan spiritual. Ritual ini berfungsi sebagai pengikat emosional yang mengingatkan komunitas akan sejarah perjuangan para Imam mereka.

B. Peran Muadzin dalam Menjaga Sunnah Ahlulbait

Peran Muadzin di masjid Syiah tidak hanya sekadar pelaksana ritual; mereka adalah penjaga Sunnah Ahlulbait yang otentik. Muadzin Syiah harus mengumandangkan Hayya ‘ala Khayril ‘Amal dengan keyakinan penuh bahwa mereka sedang mengembalikan apa yang seharusnya tidak pernah dihapus. Mereka berfungsi sebagai penyampai kebenaran historis kepada generasi baru, memastikan bahwa ingatan kolektif komunitas tentang modifikasi historis dalam ritual tetap hidup.

Kepaduan dalam pengucapan Adzan Syiah di seluruh dunia, dari Qom hingga London, menunjukkan kekuatan struktur fiqih Ja’fari dalam mempertahankan uniformitas praktik, meskipun dipisahkan oleh jarak geografis dan perbedaan politik. Ini adalah bukti bahwa ritual, ketika diperkuat oleh doktrin teologis yang kuat, dapat melampaui batas-batas negara dan budaya.

Melalui Adzan mereka, umat Syiah terus mendeklarasikan kesetiaan tidak hanya kepada Allah dan Nabi-Nya, tetapi juga kepada garis suci para Imam, yang mereka yakini sebagai satu-satunya jalan menuju 'amal terbaik' dan keselamatan sejati.

***

XIV. Implikasi Praktis dan Kesimpulan Komprehensif

Kesimpulan dari kajian mendalam mengenai Adzan Syiah ini adalah bahwa variasi ritual ini berakar pada perbedaan fundamental dalam metodologi hukum, pandangan sejarah, dan doktrin teologis mengenai kepemimpinan Islam. Perbedaan ini bukan sekadar aksesoris, tetapi inti dari identitas Syiah.

Adzan Syiah, dengan penambahan Hayya ‘ala Khayril ‘Amal sebagai rukun wajib dan Ashhadu anna ‘Aliyyan Waliyullah sebagai syiar yang dianjurkan, menegaskan bahwa kepatuhan total kepada Allah memerlukan pengakuan terhadap Wilayah Ali dan keturunannya. Adzan ini menolak narasi historis yang menjustifikasi intervensi politik dalam Sunnah kenabian yang murni.

Pemahaman yang tepat atas Adzan Syiah menuntut pengakuan terhadap nuansa Fiqih Ja’fari: memisahkan antara elemen yang wajib (wujub) dan yang dianjurkan (mustahabb). Hanya dengan mengakui kompleksitas ini, kita dapat menghargai bagaimana sebuah ritual yang sederhana dapat membawa beban sejarah dan teologi yang begitu masif, dan bagaimana Adzan Syiah berfungsi sebagai penanda abadi dari tradisi yang mempertahankan otentisitasnya di tengah arus perubahan zaman dan otoritas politik.

Panggilan menuju shalat ini, yang melintasi waktu, adalah suara ketahanan, keimanan, dan komitmen yang tak tergoyahkan kepada Ahlulbait, sebuah seruan yang terus mengingatkan umat pada jalan menuju 'amal terbaik' yang telah ditetapkan sejak masa kenabian.

🏠 Kembali ke Homepage