Hukum dan Kontroversi Adzan untuk Jenazah dalam Perspektif Fiqih Islam

Sketsa Minaret dan Kitab Suci Kalimat Suci

Seruan spiritual dan rujukan syariat dalam menghadapi kematian.

Kematian adalah gerbang akhir bagi setiap makhluk. Dalam Islam, ritual yang mengiringi jenazah, mulai dari memandikan hingga pemakaman, diatur secara rinci dan terperinci. Setiap langkah harus merujuk pada tuntunan Nabi Muhammad ﷺ agar menjadi ibadah yang sahih.

Salah satu praktik yang sering ditemukan di beberapa wilayah, khususnya di Indonesia dan sebagian Timur Tengah, adalah mengumandangkan adzan di kuburan atau saat jenazah baru diturunkan ke liang lahat. Praktik ini memicu perdebatan serius di kalangan ulama dari masa ke masa, karena munculnya kerancuan antara fungsi adzan yang hakiki (sebagai panggilan salat) dan ritual pemakaman yang bersifat *tawqifi* (harus berdasarkan dalil spesifik).

Artikel ini bertujuan untuk mengupas tuntas hukum adzan bagi jenazah, menelusuri argumen-argumen fiqih, meninjau kekuatan dalil-dalil yang digunakan, serta memaparkan pandangan dari berbagai mazhab dan ulama kontemporer terkait masalah yang sensitif ini.

I. Adzan: Fungsi Esensial dan Konsep Syar'i

Untuk memahami kontroversi adzan jenazah, kita harus terlebih dahulu mengakar pada definisi dan tujuan adzan yang sesungguhnya dalam syariat Islam. Adzan secara bahasa berarti pengumuman atau seruan. Dalam terminologi fiqih, adzan adalah seruan khusus dengan lafadz tertentu yang bertujuan untuk memberitahukan masuknya waktu salat fardu dan mengajak umat Islam untuk mendirikan salat berjamaah.

1. Adzan sebagai Syiar Utama

Adzan merupakan salah satu syiar Islam yang paling agung. Sejarahnya dimulai pada masa awal hijrah, ketika umat Islam mencari cara untuk memanggil kaum Muslimin berkumpul untuk salat. Lafadz Adzan ditetapkan secara baku dan tidak boleh diubah-ubah, mencakup penegasan tauhid (*Allahu Akbar*), pengakuan risalah Nabi Muhammad (*Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah*), dan ajakan menuju keselamatan (*Hayya ‘alas Shalah, Hayya ‘alal Falah*).

Tujuan utama adzan adalah temporal dan spasial: memberitahu masuknya waktu ibadah wajib dan menandai wilayah kekuasaan Islam. Oleh karena itu, adzan memiliki status ibadah yang terikat (muqayyad) oleh waktu, yaitu waktu salat lima waktu. Melakukan ibadah *muqayyad* di luar konteks waktu atau tempat yang disyariatkan memerlukan dalil khusus yang sangat kuat.

2. Kekhususan Adzan dalam Ibadah

Adzan memiliki kedudukan yang sangat spesifik. Bahkan dalam kasus-kasus khusus seperti salat Gerhana atau salat Id, adzan tidak dikumandangkan, melainkan diganti dengan seruan lain seperti *Ash-shalatu Jaami'ah*. Kekhususan ini menunjukkan bahwa syariat sangat ketat dalam menentukan kapan dan di mana adzan boleh dikumandangkan. Ritual selain salat yang menggunakan adzan—seperti adzan untuk bayi yang baru lahir—adalah praktik yang juga memiliki perdebatan fiqih tersendiri, namun sering dijadikan analogi (qiyas) untuk membenarkan adzan jenazah.

II. Tinjauan Praktik Adzan untuk Jenazah

Praktik adzan untuk jenazah umumnya terjadi dalam dua kondisi utama. Pertama, saat jenazah hendak dimasukkan ke liang lahat. Kedua, setelah jenazah berada di dalam kubur, sebagai bagian dari ritual *talqin* (pemberian petunjuk).

1. Asal Mula Praktik di Nusantara

Di banyak komunitas tradisional Muslim, praktik ini diyakini memiliki fungsi untuk ‘mengusir setan’ yang mungkin mengganggu jenazah saat proses tanya jawab kubur (Munkar dan Nakir), atau sebagai bentuk pengingat terakhir bagi jenazah sebelum dimulainya kehidupan barzakh. Keyakinan ini sering kali tidak didasarkan pada dalil hadits sahih, melainkan pada kebiasaan yang diwarisi dari guru-guru atau tradisi lokal yang bercampur dengan ajaran Islam.

2. Perbedaan antara Adzan dan Talqin

Penting untuk membedakan antara adzan dan *talqin*. Talqin adalah menuntun mayit—setelah dikuburkan—untuk mengucapkan atau mengingat kembali syahadat dan rukun-rukun iman, guna membantunya menjawab pertanyaan kubur. Talqin sendiri merupakan praktik yang disunnahkan oleh sebagian ulama (terutama Syafi'iyyah dan Hanabilah), meskipun tidak ada hadits sahih secara eksplisit mengenai talqin. Namun, *talqin* adalah ucapan nasihat, sementara adzan adalah seruan ibadah *muqayyad*.

Banyak ulama kontemporer sepakat bahwa meskipun niatnya baik—untuk mengingatkan jenazah atau mengusir setan—amal ibadah harus memiliki sandaran dalil yang jelas. Niat baik tidak bisa mengubah praktik yang tidak disyariatkan menjadi sunnah.

III. Dalil-Dalil yang Digunakan oleh Pihak Pro dan Kontra

Perdebatan mengenai adzan jenazah berpusat pada ketiadaan dalil eksplisit dari Al-Qur'an maupun Sunnah yang memerintahkan praktik ini. Pihak yang membolehkan umumnya menggunakan pendekatan analogi (qiyas) atau merujuk pada hadits-hadits dhaif (lemah) atau mursal (terputus).

1. Argumen Qiyas: Analogi Adzan untuk Bayi

Pendukung praktik adzan jenazah sering menggunakan analogi adzan yang dikumandangkan di telinga bayi yang baru lahir. Mereka berpendapat bahwa jika adzan disyariatkan saat awal kehidupan (kelahiran), maka logis jika adzan juga dikumandangkan di akhir kehidupan (kematian) sebagai penutup.

Bantahan Terhadap Qiyas:

  1. Hadits Bayi Sendiri Diperdebatkan: Meskipun praktik adzan untuk bayi populer, hadits-hadits yang mendukungnya (seperti hadits Abu Rafi’ atau Husain bin Ali) dikategorikan dhaif (lemah) oleh banyak ulama hadits terkemuka, seperti Imam Nawawi dan Imam Baihaqi, meskipun beberapa ulama Syafi'iyyah membolehkannya karena masuk kategori *fadhailul a'mal* (keutamaan amal).
  2. Perbedaan Konteks: Tujuan adzan bayi adalah 'melindungi' bayi dari gangguan setan sejak awal kehidupan (seperti yang ditafsirkan oleh sebagian ulama). Tujuan adzan jenazah diklaim sebagai 'pelindung' dari pertanyaan kubur atau setan. Qiyas ini dianggap tidak tepat karena membandingkan dua peristiwa ibadah yang seharusnya memiliki dalil *tawqifi* tersendiri.
  3. Prinsip Kematian: Kematian adalah masa di mana amal terputus. Jenazah tidak lagi terikat dengan kewajiban salat, sehingga seruan untuk salat (Adzan) kehilangan relevansinya.

2. Hadits-Hadits Mursal tentang Adzan di Kubur

Ada beberapa riwayat yang secara samar-samar menyebutkan bahwa adzan memiliki fungsi pengusir setan. Salah satunya adalah riwayat yang menyebutkan bahwa setan lari ketika mendengar adzan. Pihak pro menggunakan riwayat ini untuk menguatkan anggapan bahwa adzan di kubur berfungsi mengusir setan agar jenazah tidak terganggu dalam prosesi awal barzakh.

Kritik Hadits: Para kritikus, termasuk mayoritas ulama Salaf dan Khalaf, menegaskan bahwa hadits-hadits ini merujuk pada adzan yang dikumandangkan pada waktu salat fardu, bukan adzan yang disengaja di kuburan. Mengkhususkan adzan di kubur tanpa adanya dalil spesifik adalah bentuk *bid'ah idhofiyyah* (inovasi yang ditambahkan pada ibadah yang ada).

IV. Pandangan Mazhab Fiqih Klasik (Madzahib Al-Arba'ah)

Untuk mencapai bobot teologis yang memadai dalam artikel ini, perlu dikaji pandangan empat mazhab besar. Secara umum, tidak ada satu pun mazhab fiqih klasik (Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hanbali) yang secara eksplisit menganjurkan atau bahkan menyebut praktik mengumandangkan adzan di kuburan atau saat jenazah diturunkan.

Ilustrasi Prosesi Pemakaman Ritual Pemakaman

Ritual pemakaman dalam Islam tidak mencakup adzan sebagai bagian yang disyariatkan.

1. Mazhab Hanafi (Imam Abu Hanifah)

Mazhab Hanafi dikenal sangat ketat dalam memegang prinsip bahwa ibadah harus didasarkan pada dalil kuat. Dalam hal jenazah, Mazhab Hanafi berfokus pada kewajiban fardu kifayah (memandikan, mengkafani, menyalatkan, menguburkan) sesuai Sunnah. Mereka secara umum menolak praktik *talqin* (mengajarkan jenazah di kubur) karena dinilai tidak memiliki dasar yang jelas dari Nabi ﷺ, apalagi adzan.

Pandangan utama Hanafi adalah: Adzan hanya untuk panggilan salat wajib. Mempraktikkannya di luar konteks ini, tanpa dalil spesifik, adalah hal yang harus ditinggalkan karena berpotensi merusak kemurnian ibadah. Kitab-kitab fiqih Hanafi (seperti *Al-Hidayah* atau *Radd al-Muhtar*) sama sekali tidak menyinggung anjuran adzan di kubur.

2. Mazhab Maliki (Imam Malik bin Anas)

Mazhab Maliki sangat menjunjung tinggi tradisi penduduk Madinah (*Amal Ahl al-Madinah*) dan berhati-hati terhadap inovasi. Imam Malik dikenal menolak keras segala bentuk penambahan dalam ritual pemakaman. Mereka menganggap *talqin* sebagai praktik yang tidak disyariatkan, dan dengan demikian, adzan di kubur—yang merupakan langkah yang lebih jauh dari talqin—jelas tertolak. Praktik Maliki di Afrika Utara dan Andalusia secara tegas tidak mengenal adzan jenazah.

3. Mazhab Syafi'i (Imam Asy-Syafi'i)

Mazhab Syafi'i adalah mazhab yang paling banyak dianut di Indonesia dan sering menjadi rujukan bagi praktik lokal. Mazhab ini memandang bolehnya *talqin* (mengajarkan syahadat setelah jenazah dikuburkan) berdasarkan riwayat yang dianggap Hasan (baik) oleh sebagian ulama Syafi'iyyah, seperti Imam Nawawi dalam kitab *Al-Majmu'*. Mereka menganggapnya bermanfaat bagi mayit, meskipun riwayatnya tidak mencapai derajat sahih.

Pemisahan Talqin dan Adzan: Meskipun Syafi'iyyah membolehkan talqin, mereka tidak menyamakan talqin dengan adzan. Kitab-kitab fiqih Syafi'i standar (misalnya *Fathul Mu'in* atau *Nihayatul Muhtaj*) hanya membahas rukun-rukun fardhu kifayah dan talqin. Tidak ada keterangan resmi yang menganjurkan adzan di kubur. Praktik adzan jenazah yang ada di beberapa daerah bermazhab Syafi'i biasanya merupakan tambahan lokal yang didasarkan pada analogi *qiyas* yang lemah, bukan berdasarkan ijma ulama Syafi'i terdahulu.

4. Mazhab Hanbali (Imam Ahmad bin Hanbal)

Mazhab Hanbali juga membolehkan talqin, seperti Syafi'iyyah, dengan dalih riwayat dari Abu Umamah yang meskipun lemah, diamalkan oleh sejumlah tabi'in. Namun, seperti mazhab lainnya, tidak ada penetapan syariat untuk mengumandangkan adzan. Imam Ahmad bin Hanbal dikenal sangat ketat dalam menolak bid'ah dan cenderung hanya mengamalkan apa yang secara jelas diriwayatkan dari Nabi ﷺ dan para Sahabat. Adzan jenazah dianggap sebagai praktik baru yang tidak memiliki sandaran *ushul* (dasar) yang kuat.

V. Kajian Mendalam: Prinsip Bid'ah dan Tawqifi

Kontroversi adzan jenazah membawa kita pada pembahasan fundamental dalam *Ushul Fiqh* (prinsip-prinsip fiqih), yaitu perbedaan antara Sunnah dan Bid'ah, serta konsep ibadah yang bersifat *Tawqifi*.

1. Ibadah Bersifat Tawqifi

Ibadah *tawqifi* adalah ibadah yang tata cara, waktu, dan tempat pelaksanaannya sudah ditentukan secara baku oleh syariat. Ritual jenazah, termasuk penguburan, adalah ibadah yang sangat *tawqifi*. Dalam hal ini, prinsip dasarnya adalah: Segala sesuatu yang tidak dicontohkan oleh Nabi ﷺ dan tidak dilakukan oleh para sahabat, hukum asalnya adalah terlarang (bid'ah) dalam konteks ibadah.

Para ulama yang menolak adzan jenazah berargumen: Jika adzan di kubur adalah perkara yang baik dan dianjurkan, mengapa Nabi Muhammad ﷺ, yang sangat peduli pada umatnya, tidak pernah mengajarkannya? Dan mengapa para Sahabat yang paling taat dan mengerti syariat, tidak pernah melakukannya?

2. Bid'ah Idhafiyyah (Inovasi Tambahan)

Bid'ah dalam ritual pemakaman umumnya masuk kategori *Bid'ah Idhafiyyah*—menambahkan unsur baru pada ibadah yang sudah ada, seolah-olah unsur tambahan itu adalah bagian dari syariat. Menggunakan adzan (yang merupakan ibadah *muqayyad* untuk salat) dan memindahkannya ke konteks pemakaman tanpa dalil adalah contoh klasik dari inovasi ini.

Imam Asy-Syatibi (w. 790 H) dalam kitabnya *Al-I’tisham* menjelaskan bahwa bid'ah *idhafiyyah* adalah yang paling sulit dibedakan, karena ia mengambil bentuk ibadah yang disyariatkan, tetapi meletakkannya pada konteks yang tidak disyariatkan. Inilah yang terjadi pada adzan jenazah.

VI. Fatwa dan Pandangan Ulama Kontemporer

Pada abad modern, dengan semakin mudahnya komunikasi dan pertukaran ilmu, pandangan ulama cenderung lebih seragam dalam menolak praktik adzan jenazah karena ketiadaan dalil sahih. Lembaga-lembaga fatwa Islam besar di seluruh dunia menolak praktik ini.

1. Lajnah Daimah (Komite Tetap Saudi Arabia)

Lajnah Daimah lil Buhutsil Ilmiyyah wal Ifta’ (Komite Tetap untuk Penelitian Ilmiah dan Fatwa di Saudi Arabia), yang beranggotakan ulama-ulama besar seperti Syekh Abdul Aziz bin Baz dan Syekh Shalih Al-Fauzan, mengeluarkan fatwa yang sangat tegas: Adzan di kuburan adalah bid'ah yang harus ditinggalkan. Alasannya adalah karena tidak ada dasar syar'i, baik dari Nabi ﷺ maupun dari para Sahabat yang mulia. Adzan adalah syiar untuk salat, bukan untuk kematian.

2. Ulama Timur Tengah Lainnya

Syekh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, seorang ahli hadits terkemuka abad ini, juga secara eksplisit menolak adzan di kubur, bahkan ia menolak hadits adzan untuk bayi karena dianggap dhaif. Menurutnya, ritual yang tidak ada dalam Sunnah harus ditinggalkan, betapapun baik niat pelakunya.

3. Pandangan di Indonesia (NU dan Muhammadiyah)

Di Indonesia, di mana tradisi adzan jenazah masih kuat di sebagian masyarakat, perdebatan ini juga intens.

a. Perspektif Muhammadiyah

Muhammadiyah, melalui Majelis Tarjih dan Tajdid, secara konsisten berpegang pada prinsip purifikasi ibadah (*ittiba'*) dan menolak praktik-praktik yang tidak memiliki dalil sahih. Oleh karena itu, adzan di kuburan diklasifikasikan sebagai bid'ah yang tidak diperbolehkan. Mereka berpendapat bahwa fokus saat pemakaman seharusnya adalah doa, zikir, dan mengingat kematian, bukan seruan yang berkaitan dengan salat.

b. Perspektif Nahdlatul Ulama (NU)

Di kalangan Nahdlatul Ulama, ada variasi pendapat yang lebih luas, sering kali dipengaruhi oleh tradisi lokal yang kuat dan merujuk pada kaidah fiqih Syafi'i. Meskipun praktik ini dikenal dan dipertahankan oleh sebagian besar masyarakat NU, rujukan fiqih utama dalam kitab kuning yang baku tidak secara eksplisit menganjurkannya.

Beberapa ulama NU yang mempertahankan tradisi ini sering menggunakan dalil *qiyas* adzan bayi, atau menganggapnya sebagai *bid'ah hasanah* (inovasi yang baik) karena bertujuan untuk mengingatkan mayit akan kalimat tauhid, meskipun secara formal *hukum adzan* tetap terikat pada waktu salat.

Namun, dalam konteks akademik modern di lingkungan NU, kecenderungan untuk memisahkan antara adzan (yang murni seruan salat) dan *talqin* (yang didasarkan pada riwayat lemah namun didukung oleh sebagian Syafi’iyyah) mulai terlihat. Intinya, jika *talqin* saja masih diperdebatkan kesunnahannya, maka adzan sebagai seruan yang lebih spesifik seharusnya memiliki dalil yang lebih kuat.

VII. Analisis Logika Fiqih: Mengapa Adzan Tidak Relevan?

Jika kita meninjau dari sudut pandang logika fiqih (*maqashid asy-syari'ah*—tujuan syariat), adzan di kuburan menjadi tidak relevan dengan tujuan asalnya.

1. Hubungan Adzan dan Kewajiban Salat

Seluruh ulama sepakat bahwa tujuan primer adzan adalah untuk memberi tahu kaum Muslimin bahwa waktu salat telah tiba. Orang yang meninggal dunia telah gugur kewajiban salatnya. Mengumandangkan adzan di dekatnya adalah tindakan yang tidak memiliki tujuan praktis syar'i. Jika adzan diartikan sebagai "kalimat tauhid dan ajakan kebaikan," maka lebih utama dan lebih sesuai Sunnah untuk membaca Al-Qur'an, berzikir, atau mendoakan jenazah, yang kesemuanya memiliki dalil jelas.

2. Prinsip Kehati-hatian dalam Ibadah (Ihtiyat)

Dalam masalah ibadah, prinsip kehati-hatian (*ihtiyat*) mengajarkan bahwa lebih aman meninggalkan apa yang diragukan (bid'ah) dan berpegang teguh pada apa yang pasti (Sunnah). Ritual pemakaman yang diajarkan Nabi ﷺ sangatlah sederhana dan fokus: memandikan, mengkafani, menyalatkan (tanpa ruku/sujud), dan menguburkan. Menambahkan ritual vokal (adzan) yang tidak ada dalam riwayat sahih adalah bentuk risiko teologis.

VIII. Alternatif Sunnah Saat Penguburan

Daripada berfokus pada praktik yang diperdebatkan, umat Islam dianjurkan untuk mengikuti tuntunan Sunnah yang jelas saat menguburkan jenazah, yang justru lebih bermanfaat bagi mayit.

1. Berdoa Setelah Penguburan

Setelah jenazah dikuburkan dan diratakan tanahnya, adalah sunnah bagi yang hadir untuk berhenti sejenak dan mendoakannya. Diriwayatkan dari Utsman bin Affan, bahwa Nabi ﷺ setelah selesai menguburkan mayat, beliau berdiri sejenak dan bersabda: "Mintakanlah ampunan bagi saudara kalian ini, dan mintakanlah keteguhan baginya, karena sekarang dia sedang ditanya." (HR. Abu Dawud dan Hakim).

2. Membaca Ayat-Ayat Al-Qur’an yang Relevan

Sunnah menunjukkan bahwa bacaan Al-Qur’an (bukan adzan) memiliki keutamaan di dekat jenazah, terutama Surat Yasin (walaupun riwayatnya juga diperdebatkan), atau membaca ayat-ayat yang mengingatkan akan kematian dan akhirat. Membaca doa yang bersumber dari Al-Qur'an dan Sunnah saat menurunkan jenazah adalah amal yang disepakati kesunnahannya.

3. Talqin (Bagi yang Membolehkan)

Bagi mereka yang mengikuti Mazhab Syafi'i dan Hanbali yang membolehkan *talqin*, praktik ini dilakukan dengan menuntun jenazah untuk mengingat Allah, dan bukan dengan melafadzkan adzan. Lafadz talqin berbunyi semacam: "Wahai Fulan anak Fulanah, ingatlah perjanjian yang telah engkau ikrarkan di dunia..." diikuti dengan syahadat.

IX. Implikasi Sosial dan Edukasi

Dalam konteks masyarakat yang beragam, perbedaan pandangan ini sering memicu konflik. Pentingnya edukasi agama yang merujuk pada dalil yang kuat menjadi krusial.

1. Menghindari Fanatisme Fiqih

Masyarakat perlu diajak memahami bahwa masalah adzan jenazah adalah masalah *furu’iyyah* (cabang) yang masuk kategori bid'ah menurut mayoritas ulama, dan bukan masalah *ushul* (pokok) keimanan. Hal ini seharusnya tidak menjadi alasan perpecahan di antara umat. Prinsipnya, jika kita ingin beramal, amalkanlah yang disepakati kesunnahannya, seperti doa dan istighfar untuk mayit.

2. Konsolidasi Hukum di Lembaga Keagamaan

Lembaga-lembaga keagamaan harus memainkan peran aktif dalam memberikan penjelasan yang mudah dipahami oleh masyarakat awam. Konsolidasi fatwa nasional yang menjelaskan dengan bijak perbedaan antara tradisi yang telah mengakar dan tuntunan syariat yang murni sangat diperlukan untuk menjaga harmoni tanpa mengorbankan kemurnian ibadah.

Intinya, ketika dihadapkan pada dua opsi (melakukan amalan yang disyariatkan dengan dalil kuat, atau melakukan amalan tanpa dalil yang jelas), seorang Muslim yang berpegang teguh pada Sunnah akan memilih yang pertama, terutama dalam ritual yang sangat terikat seperti pemakaman.

X. Ringkasan Keseimbangan Hukum

Setelah meninjau secara mendalam dalil, analogi, dan pandangan mazhab, dapat disimpulkan bahwa hukum adzan untuk jenazah adalah sebagai berikut:

  1. Pendapat Mayoritas Ulama Salaf dan Khalaf: Hukumnya adalah Bid'ah Munkarah (inovasi yang diingkari) karena tidak ada dalil sahih yang mendukung, dan adzan secara syar'i terikat pada waktu salat fardu. Ini adalah pandangan yang dipegang oleh Mazhab Hanafi, Maliki, dan juga fatwa ulama kontemporer terkemuka dari berbagai madzhab.
  2. Pendapat yang Membolehkan (Berbasis Tradisi Lokal): Membolehkan dengan dasar *qiyas* yang lemah (analogi adzan bayi) atau mengkategorikannya sebagai *bid'ah hasanah* karena niatnya baik (menguatkan mayit dengan tauhid). Namun, pandangan ini secara ilmiah fiqih dianggap lemah dan bertentangan dengan prinsip *tawqifi*.

Oleh karena itu, tindakan yang paling aman dan sesuai dengan Sunnah Nabi ﷺ adalah meninggalkan praktik adzan di kuburan dan menggantinya dengan doa yang telah dicontohkan, istighfar, dan membaca ayat-ayat Al-Qur’an (tanpa mengkhususkan bacaan tertentu jika tidak ada dalil sahih).

Keagungan syariat Islam terletak pada kesempurnaannya. Ritual pemakaman yang diajarkan oleh Rasulullah ﷺ sudah memadai untuk keselamatan jenazah dan penghiburan bagi keluarga yang ditinggalkan. Mengumandangkan adzan pada saat yang tidak disyariatkan merupakan penambahan yang, meskipun diniatkan baik, dapat mengaburkan batas antara Sunnah dan Bid'ah, yang pada akhirnya dapat mengurangi pahala dari ibadah itu sendiri.

Umat Islam harus kembali merujuk pada sumber utama dan mengutamakan amalan-amalan yang disepakati kesahihannya, demi memastikan bahwa setiap langkah dalam prosesi pemakaman adalah bentuk ketaatan yang murni kepada Allah SWT dan Rasul-Nya.

***

XI. Tafsir Filosofis Adzan dan Konsekuensi Pemindahan Konteks

Ketika kita menganalisis adzan dari sudut pandang filosofis syariat, kita menemukan bahwa adzan berfungsi sebagai penanda transisi spiritual bagi komunitas hidup. Adzan memindahkan umat dari kesibukan dunia menuju fokus ibadah. Dalam konteks pemakaman, pemindahan adzan dari konteks hidup ke konteks mati ini menciptakan ketidakseimbangan teologis.

1. Adzan sebagai Penanda Keterikatan Duniawi

Adzan, secara eksplisit, adalah seruan untuk "Hayya ‘alas Shalah" (Mari menuju salat) dan "Hayya ‘alal Falah" (Mari menuju kemenangan). Salat dan kemenangan (falah) adalah amal yang hanya dapat dilakukan oleh mereka yang masih hidup dan terikat oleh kewajiban *taklif* (beban syariat) di dunia. Jenazah telah terbebas dari *taklif*. Dengan demikian, seruan ini kehilangan makna hakikinya bagi si mati, dan hanya menjadi isyarat kosong.

2. Konsekuensi Hukum Fiqih terhadap Pengkhususan

Dalam fiqih, dikenal kaidah: "Pengkhususan terhadap sesuatu yang tidak dikhususkan oleh syariat adalah bid'ah." Jika kita mengkhususkan adzan untuk kuburan, kita telah menetapkan waktu dan tempat ibadah baru yang tidak pernah ditetapkan oleh syariat. Ini adalah pelanggaran terhadap kaidah fundamental dalam penetapan hukum ibadah.

Para fuqaha (ahli fiqih) menekankan bahwa ritual kematian harus berfungsi sebagai pelajaran bagi yang masih hidup dan sebagai bentuk pertolongan terakhir yang disyariatkan bagi yang meninggal. Pertolongan terakhir yang disyariatkan adalah doa. Segala bentuk ritual yang mengklaim 'membantu' si mati melalui cara yang tidak dicontohkan, seperti adzan, patut dipertanyakan validitas syar'inya.

XII. Perbandingan dengan Tradisi Keagamaan Lain (Ibrah)

Penting untuk dicatat bahwa dalam sejarah Islam, terdapat kecenderungan di beberapa wilayah untuk menyerap atau menciptakan ritual yang menyerupai praktik dari agama-agama atau kepercayaan lokal sebelumnya, terutama terkait kematian. Hal ini sering terjadi di daerah-daerah yang baru mengenal Islam.

Beberapa ulama menduga bahwa praktik adzan di kuburan mungkin muncul sebagai pengganti atau paralel dari ritual "seruan terakhir" atau "pembacaan mantra pelindung" yang sudah ada dalam kepercayaan pra-Islam di kawasan tersebut. Meskipun ini hanya spekulasi historis, ia menjelaskan mengapa praktik ini berkembang subur di lingkungan yang jauh dari pusat-pusat ilmu hadits yang ketat.

1. Pentingnya Kembali ke Sumber Murni

Dalam menghadapi berbagai varian praktik budaya, umat harus selalu kembali kepada petunjuk Nabi ﷺ. Ajaran Nabi ﷺ adalah filter (*mi'yar*) yang membedakan mana yang murni ibadah dan mana yang tercampur budaya. Jika praktik tersebut tidak ditemukan dalam ajaran Nabi ﷺ yang telah mencakup seluruh kebutuhan umat hingga hari kiamat, maka ia tidak dapat dikategorikan sebagai ibadah sunnah.

XIII. Detail Fiqih tentang Kewajiban terhadap Mayit

Kewajiban Fardu Kifayah (yang gugur jika dilakukan oleh sebagian kaum Muslimin) terhadap jenazah telah disepakati oleh seluruh mazhab. Ini adalah inti dari ritual pemakaman:

  1. Memandikan (غسل)
  2. Mengkafani (تكفين)
  3. Menyalatkan (صلاة الجنازة)
  4. Menguburkan (دفن)

Tidak ada poin kelima yang menyebutkan "Mengadzankan." Para ulama menjelaskan bahwa menambah poin kelima sama artinya dengan mengklaim adanya kekurangan dalam syariat yang dibawa oleh Rasulullah ﷺ.

1. Posisi Salat Jenazah

Salat jenazah sendiri adalah ibadah yang sangat unik; ia tidak memiliki ruku’ dan sujud. Ini menunjukkan betapa ketatnya batasan ibadah yang disyariatkan dalam konteks kematian. Jika syariat menghilangkan ruku’ dan sujud (rukun salat) dalam salat jenazah, maka sangat tidak mungkin syariat mengizinkan penambahan adzan (syiar salat) di tempat penguburan, tanpa adanya dalil tegas.

XIV. Penutup dan Peringatan Syar'i

Meskipun terdapat kontroversi yang berlarut-larut, bagi Muslim yang ingin mengamalkan ibadah dengan tingkat kemurnian tertinggi (*tahqiqul 'ubudiyah*), maka meninggalkan praktik yang diragukan keabsahannya lebih diutamakan. Kaidah fiqih berbunyi:

الخروج من الخلاف مستحب (Keluar dari perselisihan adalah disukai/dianjurkan.)

Dengan meninggalkan adzan jenazah, seseorang telah keluar dari perselisihan mayoritas ulama dan secara konsisten mengikuti prinsip bahwa ibadah adalah *tawqifi*. Sebaliknya, jika seseorang tetap melakukannya, ia berada dalam risiko melakukan bid'ah yang tidak didukung oleh dalil kuat.

Prioritas seharusnya diberikan pada amalan-amalan yang jelas disyariatkan dan dianjurkan: memperbanyak doa, meminta ampunan, dan merenungkan hikmah kematian sebagai bekal bagi kehidupan di dunia. Dengan cara ini, perhatian umat Islam akan terfokus pada amalan yang pasti membawa manfaat bagi si mati dan menjadi ibrah bagi yang hidup.

Urusan jenazah adalah urusan akhir, yang menuntut keseriusan dan kesempurnaan dalam mengikuti Sunnah. Mari kita laksanakan hak mayit sesuai tuntunan Nabi ﷺ, tanpa menambah atau mengurangi sedikit pun.

🏠 Kembali ke Homepage