Surah Al-Muddassir (Orang yang Berselimut) merupakan salah satu wahyu yang diturunkan pada periode Makkah awal. Para ulama sepakat bahwa surah ini memiliki kedudukan istimewa dalam sejarah kenabian Muhammad ﷺ, seringkali disebut sebagai surah kedua atau ketiga yang diwahyukan setelah jeda singkat (Fatrul Wahyi) pasca Surah Al-'Alaq.
Penelitian sejarah Islam menunjukkan bahwa setelah pengalaman spiritual dan wahyu pertama di Gua Hira (Surah Al-'Alaq ayat 1-5), Nabi Muhammad ﷺ mengalami masa tenang atau 'jeda wahyu' yang menimbulkan kegelisahan mendalam. Dalam kondisi psikologis dan spiritual inilah, datanglah perintah-perintah yang sangat spesifik dan mendesak yang terkandung dalam tujuh ayat pertama Surah Al-Muddassir. Ayat-ayat ini bukan sekadar pesan; ia adalah proklamasi, perintah tegas dari Allah SWT yang mengubah status Nabi dari seorang hamba yang menerima wahyu menjadi seorang Rasul yang wajib melaksanakan misi penyebaran ajaran. Tujuh ayat ini menjadi fondasi bagi seluruh tugas dakwah, memuat etika pribadi, spiritualitas, dan strategi publik.
Kata kunci dalam surah ini adalah *al-inzar* (peringatan) dan *at-taharah* (kesucian). Jika Surah Al-'Alaq fokus pada perintah belajar dan membaca (ilmu), Surah Al-Muddassir fokus pada perintah bertindak dan berdakwah (amal). Masing-masing dari tujuh ayat pertama ini membawa beban teologis dan praktis yang harus diuraikan secara mendalam, mengingat betapa besarnya dampak perintah-perintah ini terhadap pribadi Nabi Muhammad ﷺ dan umat Islam hingga akhir zaman. Tugas yang diberikan di sini adalah tugas yang revolusioner, menuntut perubahan total dari gaya hidup pribadi menjadi gaya hidup publik yang dipimpin oleh wahyu Ilahi.
Penting untuk dipahami bahwa struktur tujuh ayat ini sangat kohesif, membentuk sebuah tangga perintah. Dimulai dari keadaan personal (keluar dari selimut), bergerak ke tugas spiritual dan sosial (peringatan), diikuti dengan pemurnian diri dan etika (pakaian dan perbuatan), dan diakhiri dengan prinsip fundamental kesabaran dan keikhlasan. Analisis terperinci terhadap setiap kata kunci menjadi prasyarat mutlak untuk memahami kedalaman surah yang luar biasa ini.
Kata kunci dalam ayat pertama adalah *al-muddassir* (الْمُدَّثِّرُ). Secara harfiah, kata ini berasal dari akar kata *d-th-r* (دثر) yang berarti menutupi, menyelimuti, atau bersembunyi di bawah selimut. Dalam konteks ayat ini, sapaan "Wahai orang yang berselimut" mengandung makna yang sangat mendalam dan penuh kasih sayang. Ini merujuk pada keadaan Nabi Muhammad ﷺ yang, setelah menerima wahyu pertamanya, merasa kedinginan atau ketakutan, dan karenanya ia menutupi dirinya dengan selimut (kisah yang masyhur menyebutkan beliau meminta Khadijah untuk menyelimutinya).
Panggilan ini berfungsi sebagai "panggilan bangun". Allah SWT tidak memanggilnya dengan nama kenabian atau gelar kebesaran, tetapi dengan menggambarkan kondisinya saat itu. Ini menunjukkan kedekatan dan pemahaman Ilahi terhadap kondisi manusiawi Nabi. Namun, sapaan ini bukan hanya deskriptif; ia adalah teguran lembut yang menuntut tindakan. Pesannya jelas: tugas besar telah menanti, dan masa untuk beristirahat atau bersembunyi telah berakhir. Misi kenabian tidak mengizinkan isolasi diri dalam kenyamanan pribadi.
Ayat 1 secara teologis menandai transisi dari pengalaman spiritual privat ke tugas publik. Menjadi Nabi bukan lagi urusan personal yang disembunyikan. Keadaan berselimut melambangkan keterbatasan, kehangatan, dan perlindungan diri. Perintah untuk melepaskan diri dari keadaan ini adalah perintah untuk menghadapi dunia luar yang dingin dan keras, yang dipenuhi dengan penolakan dan tantangan. Perintah ini mempersiapkan Nabi untuk ayat selanjutnya, yang menuntut aksi.
Para mufasir menekankan bahwa *al-muddassir* juga bisa diinterpretasikan secara metaforis: orang yang menyelimuti dirinya dengan urusan duniawi, atau orang yang diselimuti oleh kekhawatiran dan kegelisahan. Dalam hal ini, Allah memerintahkan Nabi – dan secara umum, setiap mukmin yang merasa terbebani oleh tanggung jawab – untuk melepaskan beban tersebut dan bangkit demi tugas suci yang lebih besar. Ini adalah seruan untuk menghilangkan rasa takut dan menggantinya dengan keberanian yang didasari tauhid.
Ayat kedua adalah inti dari misi kenabian. Kata kerja *Qum* (قُمْ) adalah perintah tegas dalam bentuk imperatif: "Bangun!" Ini langsung menyambung dari ayat pertama, menghilangkan sisa-sisa kenyamanan berselimut. Kebangkitan ini bersifat fisik, mental, dan spiritual. Setelah bangkit, perintah yang menyusul adalah *fa-andzir* (فَأَنذِرْ), yang berarti "maka berilah peringatan." Penggunaan konjungsi *fa* (maka/lalu) menunjukkan bahwa aksi peringatan harus segera dilakukan setelah kebangkitan; tidak ada jeda antara persiapan pribadi dan pelaksanaan tugas publik.
Peringatan (*Inzar*) dalam terminologi Al-Qur'an memiliki makna yang lebih spesifik daripada sekadar menasihati. *Inzar* adalah peringatan tentang konsekuensi buruk (azab neraka, hukuman Allah) bagi mereka yang melanggar dan menolak kebenaran. Peringatan ini bersifat keras dan tegas, berbeda dengan *tabsyir* (kabar gembira), yang datang belakangan. Di awal misi, Nabi harus fokus pada penegasan realitas akhirat dan pertanggungjawaban di hadapan Tuhan, yang merupakan fondasi moral bagi masyarakat yang saat itu tenggelam dalam kesyirikan dan penyimpangan etika.
Siapa yang harus diperingatkan? Awalnya, peringatan ini ditujukan kepada kaumnya, penduduk Makkah, yang menyembah berhala dan menolak ajaran monoteisme (tauhid). Substansi peringatan mencakup:
Analisis mendalam mengenai kata *Inzar* menunjukkan bahwa ia mengandung unsur kepedulian yang mendalam. Seorang yang memberi peringatan adalah seseorang yang melihat bahaya dan merasa bertanggung jawab untuk memberitahu orang lain, bahkan jika mereka tidak mau mendengarkan. Ini bukan sekadar menyampaikan informasi, melainkan upaya keras untuk menyelamatkan umat manusia dari kehancuran spiritual dan fisik di dunia maupun di akhirat. Seluruh misi kenabian, yang memakan waktu 23 tahun, berakar pada satu perintah tunggal ini: *Qum fa-andzir*.
Setelah perintah aksi (peringatan), datanglah perintah spiritual fundamental: *Wa rabbaka fa-kabbir* (وَرَبَّكَ فَكَبِّرْ). Kata *kabbir* (agungkanlah/besarkanlah) berasal dari kata *kabir* (besar) dan merupakan bentuk *taf'il* yang menunjukkan intensitas. Ini berarti mengagungkan Allah SWT (*Rabb*) dengan segala upaya dan secara mutlak.
Perintah ini memiliki dua dimensi utama:
Ayat 3 berfungsi sebagai penopang spiritual bagi Ayat 2. Mengapa Nabi harus memberi peringatan? Karena Allah Maha Besar, dan hanya Dia yang berhak untuk ditaati dan dipatuhi. Ketika Nabi menghadapi penolakan dan bahaya dari kaumnya, kekuatan batinnya harus bersumber dari keyakinan mutlak pada kebesaran Tuhannya. Pengagungan ini menetralkan rasa takut terhadap kekuatan musuh-musuh duniawi. Jika Allah Maha Besar, maka apapun kesulitan yang dihadapi Nabi akan terasa kecil. Ayat ini menegaskan bahwa misi Nabi adalah untuk meninggikan kalimat Allah, bukan untuk mencari kemuliaan pribadi atau keuntungan duniawi.
Dalam konteks dakwah, pengagungan Tuhan (Takbir) menjadi landasan etis. Nabi diperintahkan untuk memulai dakwahnya dengan memperkenalkan Allah sebagai entitas yang Maha Besar, yang mana segala keagungan duniawi yang dipuja oleh Quraisy (berhala, harta, nenek moyang) menjadi remeh di hadapan-Nya. Ini adalah strategi yang meletakkan dasar ideologis yang kokoh: kebesaran Allah harus didirikan di dalam hati sebelum perintah-perintah lain dapat diterima.
Ayat ini mungkin terlihat sederhana, tetapi ia membawa bobot spiritual dan hukum yang luar biasa. *Wa thiyabaka fa-thahhir* (وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ) memerintahkan penyucian pakaian (*thiyab*). Secara literal, ini menekankan pentingnya kebersihan fisik bagi seorang Da'i (penyeru). Dalam masyarakat Arab, pakaian yang bersih adalah tanda kehormatan, tetapi dalam konteks kenabian, ini ditingkatkan menjadi kebersihan ritualistik (terhindar dari najis) dan kebersihan umum. Seorang utusan Tuhan harus tampil rapi dan suci, mencerminkan kemuliaan pesan yang dibawanya. Ini adalah dasar dari hukum Fiqih tentang *taharah* (kesucian).
Namun, mayoritas mufasir melihat ayat ini memiliki makna metaforis yang jauh lebih dalam, terutama dalam konteks Surah Makkiyah awal:
Jika Ayat 3 berbicara tentang kebesaran Tuhan, Ayat 4 berbicara tentang kesucian utusan-Nya. Perintah ini menciptakan koneksi yang tak terpisahkan antara pesan dan pembawa pesan. Nabi Muhammad ﷺ, sebagai pembawa wahyu, harus bebas dari kecacatan moral atau tuduhan korupsi. Pakaian yang bersih menjadi simbol integritas yang tidak ternoda. Dalam perbandingan kontras dengan para dukun atau penyair pada masa itu yang seringkali kotor dan berantakan, Nabi harus menampilkan kesucian total.
Implementasi perintah ini menegaskan prinsip bahwa kesucian adalah prasyarat keberhasilan dakwah. Kehormatan pribadi, kejujuran (As-Shiddiq), dan amanah (Al-Amin) adalah 'pakaian' Nabi. Ayat ini menetapkan standar tertinggi bahwa integritas moral tidak dapat dikompromikan ketika seseorang bertindak atas nama Tuhan.
Kata kunci di sini adalah *al-rujz* (الرُّجْزَ) dan *fa-hjur* (فَاهْجُرْ). Kata *Rujz* memiliki interpretasi yang kaya dan luas, yang mencakup segala bentuk kotoran atau hal yang menjijikkan, baik fisik maupun spiritual.
Kata *fa-hjur* (maka tinggalkanlah/jauhilah) adalah perintah untuk menjauhi secara fisik dan mental. Dalam konteks berhala, ini berarti bukan hanya tidak menyembahnya, tetapi juga tidak berpartisipasi dalam perayaan atau ritual yang merayakannya. Perintah ini membangun garis demarkasi yang jelas antara jalan tauhid dan jalan kesyirikan. Setelah diperintahkan untuk mengagungkan Tuhan (Ayat 3) dan menyucikan diri (Ayat 4), Nabi kini diperintahkan untuk secara aktif membersihkan lingkungannya dari kejahatan ideologis yang paling besar.
Ayat 5 menekankan pentingnya pemurnian lingkungan ideologis dan spiritual. Seorang Da'i tidak bisa efektif jika ia masih terlibat atau bersikap ambigu terhadap praktek-praktek yang ia kritik. Pemisahan diri dari *rujz* adalah tindakan yang radikal, menempatkan Nabi dalam posisi antagonis terhadap struktur sosial dan agama Makkah. Ini adalah perintah untuk membangun identitas baru, yang sepenuhnya terpisah dari kegelapan jahiliyah yang melingkupi beliau.
Ayat 6 menyentuh aspek terpenting dari keikhlasan dalam beramal dan berdakwah. *Wa lā tamnun tastakthir* (وَلَا تَمْنُن تَسْتَكْثِرُ) berisi larangan terhadap dua hal yang terkait:
Dalam konteks dakwah, ayat ini sangat krusial. Seorang Da'i yang sejati harus memisahkan motivasi spiritual dari keuntungan duniawi. Jika Nabi berdakwah dengan mengharapkan harta, kekuasaan, atau popularitas, integritas misinya akan runtuh. Dengan melarang *mann* dan *istiktsar*, Allah menjamin bahwa motif Nabi adalah yang paling murni, meletakkan dasar bagi transparansi dan keikhlasan mutlak yang harus menjadi ciri khas kepemimpinan Ilahi.
Para mufasir juga menafsirkan ayat ini dalam konteks tugas yang diemban Nabi. Setelah diperintahkan untuk bangkit, memperingatkan, dan membersihkan diri, Ayat 6 memastikan bahwa semua langkah ini diambil tanpa pamrih. Nabi telah memberikan segalanya—waktu, keamanan, kenyamanan—demi Allah, dan ia dilarang menghitung-hitung pengorbanannya atau menuntut balasan dari kaumnya. Ayat ini adalah penegasan terhadap ayat-ayat lain yang menyatakan bahwa para nabi tidak meminta upah atas dakwah mereka (*in ajriyya illa 'ala Allah* – upahku hanyalah dari Allah).
Perintah ini juga bisa diartikan sebagai peringatan terhadap rasa sombong spiritual. Nabi harus tetap rendah hati, meskipun beliau adalah penerima wahyu. Ia harus menganggap pengorbanannya sebagai kewajiban yang kecil di hadapan kebesaran Allah, sehingga tidak pernah merasa telah berbuat "terlalu banyak" dan berhak atas kompensasi. Keikhlasan adalah benteng terakhir yang melindungi Da'i dari kehancuran motivasi.
Ayat ketujuh, *Wa li-Rabbika fa-ṣbir* (وَلِرَبِّكَ فَاصْبِرْ), menjadi puncak dan penutup dari tujuh perintah awal. Setelah semua perintah aksi, pemurnian, dan penetapan niat, Allah memerintahkan kesabaran (*sabr*). Kesabaran yang diperintahkan di sini secara eksplisit dikaitkan dengan *Rabb* (Tuhan). Ini bukan kesabaran biasa, melainkan kesabaran yang didasari oleh tujuan ketuhanan, yaitu untuk mencapai keridhaan Allah.
Ayat ini mengakui secara implisit bahwa tugas yang baru saja diperintahkan (memperingatkan masyarakat, mengagungkan Tuhan di tengah paganisme, meninggalkan *rujz*) akan mendatangkan kesulitan, penolakan, ejekan, dan siksaan yang tak terhindarkan. Kesabaran menjadi senjata utama dan prasyarat keberhasilan. Kesabaran yang dituntut meliputi:
Ayat 7 menyatukan seluruh rangkaian perintah. Mengapa harus bersabar? Karena engkau telah bangkit (1), memberi peringatan (2), mengagungkan Rabbmu (3), menyucikan diri (4), meninggalkan kekejian (5), dan beramal tanpa pamrih (6). Semua ini akan memicu reaksi keras dari musuh, oleh karena itu, kesabaran adalah keharusan mutlak. Fokus pada ‘untuk Tuhanmu’ (*li-Rabbika*) menegaskan bahwa sumber motivasi dan harapan balasan hanyalah dari Allah SWT. Ini menutup pintu bagi keputusasaan dan kekalahan mental.
Surah Al-Muddassir ayat 1-7 dengan demikian berfungsi sebagai Piagam Kenabian, sebuah manual operasional yang menyiapkan Rasulullah ﷺ untuk peran monumental yang akan ia emban. Ia adalah instruksi yang seimbang antara tuntutan spiritual internal (kesucian, keikhlasan) dan tuntutan publik eksternal (peringatan, keberanian), semuanya disatukan di bawah payung kesabaran dan pengagungan Allah.
Ketujuh ayat ini, meskipun ringkas, menyediakan kerangka kerja lengkap bagi setiap individu yang ingin menapaki jalan dakwah dan perbaikan diri. Mereka adalah prinsip-prinsip universal yang melampaui konteks Makkah abad ke-7.
Perintah pertama dan kedua adalah panggilan untuk kebangkitan total. Ini menuntut aktivisme yang bertanggung jawab. Seorang Muslim tidak boleh pasif atau nyaman ketika kebenaran sedang diserang atau ketika masyarakat tenggelam dalam kebatilan. Kebangkitan fisik harus diikuti dengan kebangkitan mental, yang diarahkan untuk menyampaikan pesan kebenaran (peringatan). Prioritas utama adalah menyampaikan konsekuensi dari kesyirikan dan dosa, membangun kesadaran akan Akhirat sebelum membangun hukum duniawi.
Dalam konteks modern, hal ini berarti bahwa kaum Muslimin harus meninggalkan zona kenyamanan digital atau pribadi mereka dan berani menyuarakan kebenaran, meskipun hal itu tidak populer. Tugas *inzar* adalah tugas yang terus-menerus dilakukan oleh ulama, pemimpin, dan setiap individu yang memiliki ilmu.
Tiga ayat berikutnya fokus pada integritas. *Takbir* menempatkan Allah sebagai pusat, memastikan bahwa kekuasaan, kekayaan, atau ideologi manusia tidak pernah mengambil alih tempat ketuhanan. Ini adalah benteng ideologis.
Kemudian, *Taharah* (kesucian pakaian/diri) dan menjauhi *Rujz* (kekejian/berhala) memastikan integritas moral Da'i. Pesan kebenaran harus keluar dari mulut dan perbuatan orang yang benar-benar bersih. Tidak ada standar ganda. Kesucian ini meliputi:
Dua prinsip terakhir ini menjamin keberlanjutan misi. Larangan mencari balasan lebih banyak (*Mann*) adalah filter niat. Jika niat tercemar, seluruh amal akan sia-sia. Keikhlasan adalah oksigen spiritual bagi seorang Da'i.
Akhirnya, *Sabr* (kesabaran) adalah kunci ketahanan. Misi yang didasarkan pada kebenaran seringkali berjalan lambat dan penuh rintangan. Tanpa kesabaran yang murni hanya demi Allah, seorang Da'i akan mudah menyerah, berkompromi, atau menjadi frustrasi. Kesabaran ini memastikan bahwa upaya dakwah tidak bersifat musiman atau emosional, melainkan kokoh dan berkesinambungan hingga tujuan Ilahi tercapai.
Ketika merenungkan kedalaman konteks ayat 1-7 Surah Al-Muddassir, kita menyadari bahwa perintah ini bukan sekadar urutan logis, melainkan arsitektur spiritual yang sempurna. Mereka membentuk identitas seorang Rasul dan umat yang mengikutinya. Mereka memindahkan titik fokus dari ego pribadi (*berselimut*) ke misi universal (*peringatan*). Transisi ini membutuhkan pembersihan ideologis (Takbir, Rujz), pembersihan etika (Thiyab), dan perlindungan motivasi (Mann), yang semuanya dipertahankan oleh daya tahan (Sabr).
Surah ini, diturunkan pada masa paling genting dalam sejarah Islam, menetapkan bahwa sebelum membangun negara, sebelum memenangkan peperangan, dan sebelum menetapkan hukum, yang harus dibangun terlebih dahulu adalah individu yang murni, berani, dan berorientasi total kepada Allah SWT. Inilah warisan abadi dari tujuh ayat pertama Surah Al-Muddassir bagi setiap generasi Muslim.
***
Istilah *Al-Muddassir* adalah bentuk *mutada'i* yang berasal dari *tadassara*, sebuah bentuk verba reflektif yang menyiratkan tindakan menutupi diri secara total. Dalam literatur Arab, penggunaan bentuk ini sering kali menunjukkan tindakan yang dilakukan sebagai respons terhadap keadaan luar, yaitu rasa takut atau kedinginan yang amat sangat. Sebagaimana diriwayatkan, setelah pengalaman wahyu pertama yang mengguncang jiwanya, Nabi Muhammad ﷺ berada dalam keadaan trauma spiritual yang membuat beliau mencari perlindungan fisik. Panggilan Allah ini, menggunakan istilah yang menggambarkan kondisi paling rentannya, adalah cara untuk membangunkan beliau dari keadaan pasif menuju keadaan aktif.
Kontras antara *Al-Muddassir* dan *Al-Muzzammil* (Surah berikutnya) juga perlu diperhatikan. Meskipun keduanya merujuk pada "orang yang berselimut," *Al-Muzzammil* (dari kata *tazammala*) sering dihubungkan dengan selimut luar, sementara *Al-Muddassir* (dari kata *tadassara*) menunjukkan penyelimutan yang lebih menyeluruh, bahkan mungkin diartikan sebagai "orang yang tertutup rapat oleh beban wahyu atau kekhawatiran." Perintah untuk melepaskan penutup ini adalah perintah untuk secara fisik dan psikologis menerima peran kenabian, meninggalkan masa tenang untuk memasuki medan peperangan ideologi.
Pentingnya struktur gramatikal dalam *Qum fa-andzir* tidak dapat dilebih-lebihkan. *Qum* adalah perintah mutlak. Ia bukan hanya berarti berdiri, tetapi juga berarti bangkit, memulai, atau mendirikan diri. Ini menandakan transisi dari keadaan berbaring (istirahati) ke keadaan siap berjuang (aksi). *Fa* (maka/lalu) adalah konjungsi yang menunjukkan akibat langsung dan mendesak. Tindakan *Inzar* (peringatan) harus mengikuti kebangkitan tanpa penundaan.
Dalam membandingkan *Inzar* dengan *Tabsyir* (kabar gembira), para ulama linguistik menekankan bahwa *Inzar* adalah prioritas di Makkah. Masyarakat Makkah yang pagan belum memiliki kerangka berpikir tentang kebenaran yang baru. Mereka pertama-tama harus dibebaskan dari kesombongan duniawi dan kesyirikan mereka melalui peringatan tentang api neraka (*jahannam*) dan azab Allah. Hanya setelah ketakutan (*khauf*) ini tertanam, barulah kabar gembira (*raja'*) mengenai surga dan rahmat Allah disampaikan. Ayat ini menetapkan strategi psikologis dakwah: koreksi fundamental harus dimulai dengan peringatan keras.
Pilihan kata *Rabbaka* (Tuhanmu) alih-alih *Allah* di sini signifikan. *Rabb* tidak hanya berarti Tuhan, tetapi juga Pemelihara, Penguasa, dan Pendidik. Ketika Allah memerintahkan Nabi untuk mengagungkan *Rabb*-nya, ini berarti mengagungkan Dia yang telah memelihara Nabi, yang telah mendidiknya melalui wahyu, dan yang memiliki otoritas mutlak atas segala sesuatu. Perintah *fa-kabbir* (agungkanlah secara intens) menegaskan bahwa pengagungan ini harus menjadi puncak dari setiap tindakan.
Secara praktis, Takbir ini menuntut kesadaran bahwa segala kebesaran yang dikagumi oleh masyarakat Quraisy (seperti berhala Latta, Uzza, Manat, atau kekuatan suku) adalah fana dan palsu. Satu-satunya entitas yang layak diresapi keagungannya dalam hati adalah Allah. Ini adalah perintah untuk reorientasi total, menempatkan nilai-nilai Ilahi di atas nilai-nilai jahiliyah, dan memproklamasikan kebesaran Allah di tengah lingkungan yang didominasi oleh kekafiran.
Jika kita memperluas penafsiran metaforis dari *thiyab* (pakaian) sebagai amal dan moral, perintah ini sangat relevan untuk kepemimpinan. Seorang pemimpin agama harus memiliki catatan moral yang bersih. Dalam tafsir, *thahhir* (sucikanlah) juga mencakup penyucian dari sifat-sifat buruk seperti pengkhianatan, kesombongan, dan kerakusan. Penyucian ini harus bersifat proaktif dan berkelanjutan. Pakaian kenabian adalah sifat-sifat terpuji yang tidak ternoda; jika 'pakaian' ini kotor oleh cacat moral, otoritas dakwah akan hilang.
Ulama fiqih juga mengambil pelajaran dari ayat ini mengenai kebersihan spiritual. Kesucian fisik (*taharah hasiyah*) adalah pintu gerbang menuju kesucian spiritual (*taharah maknawiyah*). Seorang yang mengagungkan Tuhannya (Ayat 3) harus menunjukkan rasa hormat itu melalui kebersihan luar dan dalam, sebab Allah adalah Dzat yang Maha Suci, dan utusan-Nya harus merefleksikan kemuliaan itu.
Penggunaan kata *Al-Rujz* dan *Fa-hjur* bersama-sama adalah sebuah instruksi radikal. *Rujz* tidak hanya merujuk pada berhala, tetapi juga pada kondisi psikologis dan spiritual yang ditimbulkannya—yaitu ketidakpercayaan, kebodohan, dan kezaliman yang melingkari masyarakat jahiliyah. Perintah *Fa-hjur* (tinggalkanlah/jauhilah) adalah instruksi untuk memisahkan diri secara total. Dalam hal ini, Nabi tidak hanya dilarang menyembah berhala, tetapi juga dilarang untuk bergaul secara intim dengan lingkungan yang mendukung berhala, terutama jika pergaulan tersebut dapat mengancam kesucian dakwah.
Para mufasir modern sering menafsirkan *Rujz* sebagai segala bentuk ideologi atau sistem yang bertentangan dengan tauhid, termasuk materialisme ekstrem, hedonisme, dan ateisme. Perintah untuk menjauhi ini berarti membangun filter ideologis yang kuat, mempertahankan garis batas antara kebenaran dan kebatilan, bahkan ketika kebatilan tersebut menjadi arus utama masyarakat.
Ayat keenam ini adalah perintah yang paling sulit untuk dilaksanakan secara manusiawi, karena ia menyentuh naluri dasar manusia untuk mengharapkan balasan. Larangan *Mann* dan *Istiktsar* memiliki implikasi hukum yang ketat dalam Islam, menjadikannya terlarang untuk mengungkit-ungkit sedekah. Dalam konteks kenabian, ini memastikan bahwa seluruh proyek Islam tidak memiliki cacat komersial atau personal.
Ayat ini mengajarkan bahwa pengorbanan harus dilihat sebagai investasi yang hanya menghasilkan keuntungan di Akhirat. Setiap tindakan dakwah, setiap pengorbanan pribadi, harus dianggap kecil dan sepele di hadapan kemurahan Allah SWT, sehingga tidak ada ruang bagi kesombongan batin atau tuntutan kepada manusia. Prinsip ini berfungsi sebagai garansi bagi keikhlasan (Ikhlas) Nabi, yang menjadi penjamin keaslian pesan yang beliau sampaikan.
Penguatan kata *Rabbika* (untuk Tuhanmu) sebelum *Fa-Ṣbir* (maka bersabarlah) adalah kunci teologis. Itu bukan sekadar bersabar karena keadaan tidak nyaman, melainkan bersabar *karena* Allah dan *demi* mencapai tujuan yang ditetapkan-Nya. Kesabaran ini harus aktif, bukan pasif; ia adalah ketabahan dalam menghadapi penderitaan demi menjaga tegaknya tauhid.
Kesabaran yang diperintahkan di sini adalah fondasi dari seluruh bangunan ajaran Islam. Tanpa ketabahan, misi Nabi yang menghadapi penolakan dan penganiayaan selama 13 tahun di Makkah akan mustahil. Ayat ini menyimpulkan bahwa meskipun misi ini menakutkan dan melelahkan, hasilnya — keridhaan Allah — jauh melampaui segala kesulitan yang dihadapi. Ini adalah janji bahwa ketekunan yang didasari tauhid pasti akan menghasilkan kemenangan, baik di dunia maupun di Akhirat.