Surat Al-Balad: Menelusuri Jalan Mendaki Kehidupan
Surat Al-Balad, yang berarti "Negeri" atau "Kota", adalah surah ke-90 dalam urutan mushaf Al-Qur'an. Terdiri dari 20 ayat, surah ini tergolong Makkiyah, yang berarti diturunkan di Mekah sebelum hijrahnya Nabi Muhammad SAW ke Madinah. Nama Al-Balad diambil dari ayat pertama yang menyebut kata "al-balad", merujuk pada kota Mekah yang mulia. Surah ini menyajikan sebuah perenungan mendalam tentang hakikat kehidupan manusia, perjuangan yang tak terhindarkan, serta jalan keselamatan yang terjal namun mulia. Membaca surat al balad latin beserta artinya memberikan kita pemahaman yang lebih mudah diakses mengenai pesan-pesan universal yang dikandungnya.
Secara keseluruhan, Surah Al-Balad mengajak manusia untuk menyadari bahwa hidup ini adalah arena perjuangan (kabad). Allah SWT bersumpah dengan kota Mekah, tempat di mana Nabi Muhammad SAW tinggal, dan dengan penciptaan manusia itu sendiri, untuk menegaskan realitas ini. Surah ini kemudian mengkritik kesombongan manusia yang merasa memiliki kekuasaan penuh atas hartanya dan melupakan pengawasan Allah. Puncaknya, surah ini menawarkan solusi: menempuh "jalan yang mendaki lagi sukar" ('aqabah), yaitu jalan kebaikan yang diwujudkan melalui tindakan nyata seperti memerdekakan budak, memberi makan fakir miskin dan anak yatim, serta menjadi bagian dari komunitas orang-orang yang beriman dan saling menasihati dalam kesabaran dan kasih sayang. Artikel ini akan mengupas tuntas setiap ayat, mulai dari bacaan Arab, tulisan surat al balad latin, terjemahan, hingga tafsir mendalam untuk setiap ayatnya.
Bacaan Lengkap Surat Al-Balad: Arab, Latin, dan Terjemahan
Berikut adalah bacaan lengkap Surah Al-Balad ayat 1-20 dalam tiga format untuk kemudahan pembacaan dan pemahaman.
١. لَآ اُقْسِمُ بِهٰذَا الْبَلَدِۙ
1. Lā uqsimu bihāżal-balad(i).
1. Aku benar-benar bersumpah dengan negeri ini (Mekah),
٢. وَاَنْتَ حِلٌّۢ بِهٰذَا الْبَلَدِۙ
2. Wa anta ḥillum bihāżal-balad(i).
2. dan engkau (Muhammad) bertempat di negeri (Mekah) ini,
٣. وَوَالِدٍ وَّمَا وَلَدَۙ
3. Wa wālidiw wa mā walad(a).
3. dan demi bapak dan anaknya.
٤. لَقَدْ خَلَقْنَا الْاِنْسَانَ فِيْ كَبَدٍۗ
4. Laqad khalaqnal-insāna fī kabad(in).
4. Sungguh, Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah.
٥. اَيَحْسَبُ اَنْ لَّنْ يَّقْدِرَ عَلَيْهِ اَحَدٌ ۘ
5. Ayaḥsabu allay yaqdira ‘alaihi aḥad(un).
5. Apakah dia (manusia) itu mengira bahwa tidak ada sesuatu pun yang berkuasa atasnya?
٦. يَقُوْلُ اَهْلَكْتُ مَالًا لُّبَدًاۗ
6. Yaqūlu ahlaktu mālal lubadā(n).
6. Dia mengatakan, "Aku telah menghabiskan harta yang banyak."
٧. اَيَحْسَبُ اَنْ لَّمْ يَرَهٗٓ اَحَدٌ ۗ
7. Ayaḥsabu allam yarahū aḥad(un).
7. Apakah dia mengira bahwa tidak ada sesuatu pun yang melihatnya?
٨. اَلَمْ نَجْعَلْ لَّهٗ عَيْنَيْنِۙ
8. Alam naj‘al lahū ‘ainain(i).
8. Bukankah Kami telah menjadikan untuknya sepasang mata,
٩. وَلِسَانًا وَّشَفَتَيْنِۙ
9. Wa lisānaw wa syafatain(i).
9. dan lidah dan sepasang bibir?
١٠. وَهَدَيْنٰهُ النَّجْدَيْنِۙ
10. Wa hadaināhun-najdain(i).
10. Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan (kebaikan dan keburukan),
١١. فَلَا اقْتَحَمَ الْعَقَبَةَ ۖ
11. Falaqtaḥamal-‘aqabah(ta).
11. tetapi dia tidak menempuh jalan yang mendaki dan sukar?
١٢. وَمَآ اَدْرٰىكَ مَا الْعَقَبَةُ ۗ
12. Wa mā adrāka mal-‘aqabah(tu).
12. Dan tahukah kamu apakah jalan yang mendaki dan sukar itu?
١٣. فَكُّ رَقَبَةٍۙ
13. Fakku raqabah(tin).
13. (Yaitu) melepaskan perbudakan (hamba sahaya),
١٤. اَوْ اِطْعَامٌ فِيْ يَوْمٍ ذِيْ مَسْغَبَةٍۙ
14. Au iṭ‘āmun fī yaumin żī masgabah(tin).
14. atau memberi makan pada hari terjadi kelaparan,
١٥. يَّتِيْمًا ذَا مَقْرَبَةٍۙ
15. Yatīman żā maqrabah(tin).
15. (kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat,
١٦. اَوْ مِسْكِيْنًا ذَا مَتْرَبَةٍۗ
16. Au miskīnan żā matrabah(tin).
16. atau orang miskin yang sangat fakir.
١٧. ثُمَّ كَانَ مِنَ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ وَتَوَاصَوْا بِالْمَرْحَمَةِۗ
17. Ṡumma kāna minal-lażīna āmanū wa tawāṣau biṣ-ṣabri wa tawāṣau bil-marḥamah(ti).
17. Selain itu, dia juga termasuk orang-orang yang beriman dan saling menasihati untuk bersabar dan saling menasihati untuk berkasih sayang.
١٨. اُولٰۤىِٕكَ اَصْحٰبُ الْمَيْمَنَةِۗ
18. Ulā'ika aṣḥābul-maimanah(ti).
18. Mereka (yang demikian itu) adalah golongan kanan.
١٩. وَالَّذِيْنَ كَفَرُوْا بِاٰيٰتِنَا هُمْ اَصْحٰبُ الْمَشْـَٔمَةِۗ
19. Wal-lażīna kafarū bi'āyātinā hum aṣḥābul-masy'amah(ti).
19. Dan orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, mereka itu adalah golongan kiri.
٢٠. عَلَيْهِمْ نَارٌ مُّؤْصَدَةٌ ࣖ
20. ‘Alaihim nārum mu'ṣadah(tun).
20. Mereka berada dalam neraka yang ditutup rapat.
Tafsir dan Penjelasan Mendalam Ayat per Ayat Surat Al-Balad
Untuk memahami pesan agung di balik surah ini, mari kita selami makna setiap ayatnya secara lebih rinci.
Ayat 1-4: Sumpah Allah dan Hakikat Kehidupan Manusia
Lā uqsimu bihāżal-balad(i), Wa anta ḥillum bihāżal-balad(i), Wa wālidiw wa mā walad(a), Laqad khalaqnal-insāna fī kabad(in).
Surah dibuka dengan tiga sumpah agung. Ayat pertama, "Aku benar-benar bersumpah dengan negeri ini (Mekah)". Partikel "Lā" di awal ayat seringkali diartikan sebagai penegasan yang kuat, bukan penafian. Jadi, maknanya menjadi "Sungguh, Aku bersumpah". Allah bersumpah dengan kota Mekah, sebuah tempat yang memiliki kedudukan istimewa. Kemuliaan Mekah tidak hanya karena adanya Ka'bah, tetapi juga, seperti yang dijelaskan di ayat kedua, karena keberadaan Nabi Muhammad SAW di sana. "Wa anta ḥillum bihāżal-balad(i)"—dan engkau (Muhammad) bertempat di negeri ini. Kehadiran Nabi Muhammad SAW menambah kemuliaan kota tersebut. Kata "ḥillun" juga bisa diartikan bahwa kelak kota ini akan dihalalkan bagi Nabi untuk diperangi (saat Fathu Makkah), suatu hal yang sebelumnya diharamkan.
Sumpah ketiga adalah "Wa wālidiw wa mā walad(a)"—dan demi bapak dan anaknya. Para ulama tafsir memiliki beragam pendapat mengenai siapa yang dimaksud. Ada yang menafsirkannya secara umum, yaitu demi setiap orang tua dan keturunannya, yang menunjukkan siklus kehidupan dan regenerasi manusia. Pendapat lain yang kuat adalah ini merujuk secara khusus kepada Nabi Adam AS sebagai bapak seluruh manusia dan anak cucunya. Sumpah ini menyoroti hubungan fundamental dalam eksistensi manusia.
Setelah tiga sumpah tersebut, Allah SWT menyampaikan isi sumpahnya pada ayat keempat, yang merupakan inti dari pembukaan ini: "Laqad khalaqnal-insāna fī kabad(in)"—Sungguh, Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah. Kata "kabad" memiliki arti yang sangat dalam. Ia mencakup segala bentuk kesulitan, perjuangan, kerja keras, dan kepayahan, baik fisik maupun mental. Sejak lahir, manusia sudah menghadapi kesulitan. Bayi berjuang untuk bernapas, anak-anak berjuang untuk belajar berjalan dan berbicara, orang dewasa berjuang mencari nafkah, mendidik anak, menghadapi penyakit, dan berbagai ujian lainnya, hingga akhirnya menghadapi sakaratul maut. Ayat ini adalah sebuah pernyataan realitas yang menohok: hidup bukanlah tempat untuk bersantai. Ia adalah medan perjuangan yang konstan.
Ayat 5-7: Kritikan Terhadap Kesombongan Manusia
Ayaḥsabu allay yaqdira ‘alaihi aḥad(un), Yaqūlu ahlaktu mālal lubadā(n), Ayaḥsabu allam yarahū aḥad(un).
Setelah menetapkan realitas kehidupan sebagai perjuangan, Allah SWT beralih mengkritik tipe manusia yang lalai dan sombong. Ayat kelima bertanya secara retoris, "Apakah dia (manusia) itu mengira bahwa tidak ada sesuatu pun yang berkuasa atasnya?". Ini adalah sindiran tajam kepada orang-orang yang karena kekuatan fisik, kekayaan, atau kedudukannya, merasa tak terkalahkan dan lupa bahwa ada kekuatan yang jauh lebih besar, yaitu kekuasaan Allah SWT.
Kesombongan ini diekspresikan lebih lanjut dalam ayat keenam: "Yaqūlu ahlaktu mālal lubadā(n)"—Dia mengatakan, "Aku telah menghabiskan harta yang banyak." Kata "ahlaktu" (aku telah membinasakan/menghabiskan) dan "lubadā" (yang bertumpuk-tumpuk/banyak sekali) menggambarkan bagaimana orang tersebut membanggakan pengeluarannya. Dia tidak mengatakan "anfaqtu" (aku telah menginfakkan) yang berkonotasi positif, tetapi "ahlaktu", seolah-olah harta itu hilang sia-sia untuk kesenangan, gengsi, atau permusuhan, bukan untuk jalan kebaikan. Ini adalah cerminan dari mentalitas materialistis yang mengukur nilai diri dari seberapa banyak harta yang bisa dihambur-hamburkan.
Lalu, Allah SWT mengingatkan dengan pertanyaan retoris kedua di ayat ketujuh: "Ayaḥsabu allam yarahū aḥad(un)"—Apakah dia mengira bahwa tidak ada sesuatu pun yang melihatnya? Ini adalah pengingat akan sifat Maha Melihat-nya Allah (Al-Bashir). Manusia mungkin bisa menyembunyikan perbuatannya dari sesama manusia, tetapi tidak ada satu pun yang tersembunyi dari pengawasan Allah. Setiap harta yang didapat, cara membelanjakannya, dan niat di baliknya, semuanya tercatat dan akan dimintai pertanggungjawaban.
Ayat 8-10: Pengingat Nikmat dan Petunjuk Allah
Alam naj‘al lahū ‘ainain(i), Wa lisānaw wa syafatain(i), Wa hadaināhun-najdain(i).
Untuk menyadarkan manusia dari kelalaiannya, Allah kemudian mengingatkan akan beberapa nikmat fundamental yang seringkali dianggap remeh. Ayat 8 dan 9 menyebutkan nikmat fisik: "Bukankah Kami telah menjadikan untuknya sepasang mata, dan lidah dan sepasang bibir?". Mata untuk melihat kebesaran ciptaan-Nya, lidah dan bibir untuk berbicara, makan, minum, dan berkomunikasi. Ini adalah perangkat luar biasa yang diberikan secara cuma-cuma, yang seharusnya digunakan untuk bersyukur dan berbuat kebaikan, bukan untuk kesombongan.
Nikmat terbesar disebutkan di ayat kesepuluh: "Wa hadaināhun-najdain(i)"—Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan. "An-Najdain" secara harfiah berarti dua dataran tinggi atau dua jalan yang menanjak. Para mufasir sepakat bahwa ini adalah metafora untuk dua jalan kehidupan: jalan kebaikan dan jalan keburukan. Allah tidak menciptakan manusia lalu membiarkannya tersesat. Melalui fitrah, akal, dan wahyu yang diturunkan kepada para rasul, Allah telah memberikan petunjuk yang jelas untuk membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Manusia diberi potensi dan kebebasan untuk memilih di antara dua jalan tersebut. Ini menegaskan bahwa manusia memiliki tanggung jawab penuh atas pilihan hidupnya.
Ayat 11-16: Jalan Mendaki yang Sukar (Al-'Aqabah)
Falaqtaḥamal-‘aqabah(ta), Wa mā adrāka mal-‘aqabah(tu), Fakku raqabah(tin), Au iṭ‘āmun fī yaumin żī masgabah(tin), Yatīman żā maqrabah(tin), Au miskīnan żā matrabah(tin).
Meskipun telah ditunjukkan dua jalan, ayat kesebelas menyatakan sebuah realita yang menyedihkan: "falaqtaḥamal-‘aqabah"—tetapi dia tidak menempuh jalan yang mendaki dan sukar itu. Manusia cenderung memilih jalan yang landai dan mudah, yaitu jalan menuruti hawa nafsu dan kesenangan sesaat. Kata "iqtahama" berarti menerjang atau menempuh dengan susah payah, menunjukkan bahwa jalan kebaikan memerlukan perjuangan, pengorbanan, dan kesungguhan. Ia bukanlah jalan yang mudah.
Untuk menekankan pentingnya jalan ini, Allah bertanya dalam ayat kedua belas, "Wa mā adrāka mal-‘aqabah(tu)"—Dan tahukah kamu apakah jalan yang mendaki dan sukar itu? Pertanyaan ini berfungsi untuk menarik perhatian pendengar dan mempersiapkan mereka untuk penjelasan yang akan datang. Ini menunjukkan betapa agungnya perbuatan-perbuatan yang akan disebutkan.
Kemudian, Allah merinci apa saja bentuk dari 'aqabah' tersebut. Ini bukanlah ritual ibadah individual semata, melainkan tindakan-tindakan yang memiliki dampak sosial yang kuat.
- Ayat 13: "Fakku raqabah(tin)"—(Yaitu) melepaskan perbudakan (hamba sahaya). Pada masa itu, memerdekakan seorang budak adalah salah satu amal yang paling mulia. Ini adalah tindakan membebaskan manusia dari penindasan dan mengembalikan martabat kemanusiaannya. Dalam konteks modern, ini bisa dimaknai sebagai upaya membebaskan orang dari segala bentuk penjajahan, eksploitasi, dan utang yang menjerat.
- Ayat 14-16: Memberi makan pada saat yang paling sulit. "Au iṭ‘āmun fī yaumin żī masgabah(tin)"—atau memberi makan pada hari terjadi kelaparan. Bantuan ini diberikan bukan di saat lapang, tetapi di saat krisis, di mana makanan menjadi langka dan sangat berharga. Ini menunjukkan tingkat kepedulian dan pengorbanan yang tinggi. Siapa yang harus diberi makan?
- "Yatīman żā maqrabah(tin)"—(kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat. Mengapa yatim kerabat didahulukan? Karena seringkali mereka justru yang paling terabaikan. Orang cenderung lebih mudah menolong orang jauh, namun lalai terhadap kerabat dekat yang membutuhkan. Islam menekankan pentingnya memulai kebaikan dari lingkaran terdekat.
- "Au miskīnan żā matrabah(tin)"—atau orang miskin yang sangat fakir. Kata "matrabah" berasal dari kata "turab" yang berarti tanah atau debu. Ini menggambarkan kondisi orang miskin yang saking fakirnya seolah-olah ia menempel di tanah, tidak memiliki apa-apa lagi. Menolong mereka yang berada di titik terendah dalam masyarakat adalah puncak dari kepedulian sosial.
Ayat 17-20: Syarat Pelengkap dan Konsekuensi Pilihan
Ṡumma kāna minal-lażīna āmanū wa tawāṣau biṣ-ṣabri wa tawāṣau bil-marḥamah(ti), Ulā'ika aṣḥābul-maimanah(ti), Wal-lażīna kafarū bi'āyātinā hum aṣḥābul-masy'amah(ti), ‘Alaihim nārum mu'ṣadah(tun).
Amal sosial yang agung seperti memerdekakan budak dan memberi makan orang miskin belumlah cukup. Ayat ketujuh belas menambahkan syarat fundamental yang menjadi landasan semua amal tersebut: "Ṡumma kāna minal-lażīna āmanū"—Selain itu, dia juga termasuk orang-orang yang beriman. Iman kepada Allah adalah fondasi yang membuat amal perbuatan menjadi bernilai di sisi-Nya. Tanpa iman, perbuatan baik hanya akan mendapat balasan di dunia tetapi tidak di akhirat.
Iman ini kemudian harus diwujudkan dalam sebuah komunitas yang solid. "...wa tawāṣau biṣ-ṣabri wa tawāṣau bil-marḥamah(ti)"—dan saling menasihati untuk bersabar dan saling menasihati untuk berkasih sayang. Menempuh jalan yang mendaki ('aqabah') sangatlah berat. Oleh karena itu, diperlukan sebuah komunitas yang saling mendukung. "Tawāṣau biṣ-ṣabr" berarti saling mengingatkan untuk tabah dan gigih dalam menjalankan ketaatan, menjauhi maksiat, dan menghadapi musibah. "Tawāṣau bil-marḥamah" berarti saling mendorong untuk menebar kasih sayang kepada seluruh makhluk. Kesabaran adalah kekuatan internal, sedangkan kasih sayang adalah ekspresi eksternal dari keimanan.
Mereka yang berhasil menggabungkan iman, amal sosial, serta membangun komunitas yang saling menasihati dalam kesabaran dan kasih sayang, akan mendapatkan ganjaran yang mulia. Ayat kedelapan belas menegaskan: "Ulā'ika aṣḥābul-maimanah(ti)"—Mereka (yang demikian itu) adalah golongan kanan. Golongan kanan adalah simbol keberuntungan, kebahagiaan, dan kemuliaan, yang akan menerima catatan amal mereka dengan tangan kanan dan masuk ke dalam surga.
Sebaliknya, ayat kesembilan belas menjelaskan nasib mereka yang memilih jalan sebaliknya: "Wal-lażīna kafarū bi'āyātinā hum aṣḥābul-masy'amah(ti)"—Dan orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, mereka itu adalah golongan kiri. Mereka adalah orang-orang yang mengingkari petunjuk Allah, sombong dengan hartanya, dan enggan menempuh jalan kebaikan. Golongan kiri adalah simbol kesialan, penderitaan, dan kehinaan, yang akan menerima catatan amal mereka dengan tangan kiri.
Surah ini ditutup dengan gambaran azab yang menanti golongan kiri di ayat kedua puluh: "‘Alaihim nārum mu'ṣadah(tun)"—Mereka berada dalam neraka yang ditutup rapat. Kata "mu'ṣadah" berarti terkunci rapat, tertutup dari segala arah tanpa ada celah sedikit pun untuk keluar atau untuk secercah harapan. Ini adalah gambaran keputusasaan dan siksaan abadi yang menjadi konsekuensi logis dari pilihan mereka untuk menolak petunjuk Allah di dunia.
Tema-Tema Utama dan Pelajaran dari Surat Al-Balad
Setelah menelaah setiap ayat, kita dapat merangkum beberapa tema utama dan pelajaran berharga yang terkandung dalam Surah Al-Balad.
1. Realitas Perjuangan dalam Kehidupan (Kabad)
Pesan sentral surah ini adalah bahwa kehidupan dunia adalah tempat berjuang dan bersusah payah. Tidak ada seorang pun yang luput dari "kabad". Memahami hal ini membantu kita untuk memiliki ekspektasi yang realistis terhadap kehidupan. Ia mengajarkan kita untuk tidak mudah putus asa saat menghadapi kesulitan, karena kesulitan adalah bagian tak terpisahkan dari eksistensi manusia. Justru dalam perjuangan inilah karakter, kesabaran, dan keimanan seseorang diuji dan dibentuk.
2. Keseimbangan Antara Ibadah Vertikal dan Kepedulian Sosial (Horizontal)
Surah Al-Balad secara eksplisit mendefinisikan "jalan mendaki" bukan dengan ibadah ritual seperti shalat atau puasa (meskipun itu wajib), tetapi dengan tindakan-tindakan kepedulian sosial yang konkret: membebaskan manusia dari penindasan dan memberi makan mereka yang kelaparan. Namun, semua itu harus dilandasi oleh iman kepada Allah (dimensi vertikal). Ini adalah pelajaran penting bahwa Islam adalah agama yang seimbang. Kesalehan individu harus tercermin dalam kesalehan sosial. Iman yang benar akan selalu melahirkan empati dan aksi nyata untuk membantu sesama.
3. Bahaya Kesombongan dan Materialisme
Surah ini memberikan peringatan keras terhadap kesombongan yang lahir dari kepemilikan harta dan kekuasaan. Manusia yang merasa bisa berbuat apa saja dan lupa bahwa Allah Maha Melihat dan Maha Kuasa sedang berjalan menuju kebinasaan. Kebanggaan dalam menghamburkan harta untuk hal-hal yang tidak bermanfaat adalah ciri kelalaian. Pelajarannya adalah bahwa harta dan kekuasaan adalah amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban. Seharusnya, ia digunakan sebagai sarana untuk menempuh "jalan mendaki", bukan sebagai alat untuk memuaskan ego.
4. Pentingnya Komunitas yang Saling Mendukung
Jalan kebaikan itu berat. Oleh karena itu, ia tidak bisa ditempuh sendirian. Ayat ke-17 menekankan pentingnya menjadi bagian dari komunitas orang beriman yang saling menasihati dalam kesabaran (kekuatan internal) dan kasih sayang (kepedulian eksternal). Ini mengajarkan kita untuk tidak menjadi Muslim yang individualistis. Kita perlu membangun dan menjaga lingkungan yang positif, di mana kita bisa saling mengingatkan, menguatkan, dan mendorong untuk terus berbuat baik di tengah badai ujian kehidupan.
5. Kebebasan Memilih dan Konsekuensinya
Allah telah menunjukkan "dua jalan" (An-Najdain). Manusia diberi kebebasan penuh untuk memilih. Pilihan untuk menempuh jalan yang mendaki ('aqabah') akan mengantarkan pada kebahagiaan abadi sebagai "golongan kanan". Sebaliknya, pilihan untuk mengikuti hawa nafsu dan mengingkari petunjuk Allah akan berakhir pada penderitaan kekal sebagai "golongan kiri". Surah ini menegaskan prinsip tanggung jawab individu atas setiap pilihan yang diambil dalam hidup.
Kesimpulannya, Surah Al-Balad adalah peta jalan kehidupan. Ia dimulai dengan menetapkan realitas perjuangan, lalu mengkritik penyakit hati yang sering menghalangi manusia, kemudian menawarkan solusi praktis berupa amal sosial yang dilandasi iman, dan diakhiri dengan gambaran konsekuensi dari setiap pilihan. Membaca dan merenungkan surat al balad latin dan maknanya adalah sebuah undangan untuk merefleksikan kembali arah hidup kita: sudahkah kita mulai menapaki jalan yang mendaki itu?