Surah Al-Luqman, yang dinamakan berdasarkan sosok bijak yang memberikan nasihat fundamental kepada putranya, mengandung ajaran-ajaran tauhid, akhlak, dan panduan hidup yang sangat mendasar bagi seorang Muslim. Ayat-ayatnya menyajikan peta jalan menuju kehidupan yang diridhai, dimulai dari larangan syirik, penetapan keimanan, hingga pentingnya kesadaran akan hari pembalasan.
Di antara rangkaian nasihat Luqman yang abadi dan ajaran Ilahi tentang alam semesta, terselip sebuah ayat yang menggarisbawahi pilar terpenting kedua dalam etika Islam setelah tauhid, yakni pengabdian dan bakti kepada kedua orang tua. Ayat ke-14 dari surah ini bukanlah sekadar perintah normatif, melainkan sebuah justifikasi teologis dan biologis atas mengapa birrul walidain (berbakti kepada orang tua) merupakan kewajiban yang tak terhindarkan. Ayat ini secara spesifik berfokus pada penderitaan dan pengorbanan seorang ibu, menjadikannya landasan moral yang sangat kuat untuk menghargai peran sentralnya dalam eksistensi manusia.
Perintah berbakti ini selalu beriringan dengan perintah bersyukur kepada Allah, menciptakan keseimbangan spiritualitas vertikal (kepada Sang Pencipta) dan horizontal (kepada mereka yang menjadi sebab keberadaan kita). Memahami Surah Al-Luqman ayat 14 memerlukan penyelaman yang mendalam ke dalam makna linguistik, konteks medis dan spiritual dari frase "wahnun 'ala wahnin" (kelemahan di atas kelemahan), serta implikasi fiqih dari masa penyusuan selama dua tahun. Ayat ini tidak hanya berbicara tentang masa lalu—yaitu proses kelahiran—tetapi juga mengatur sikap dan interaksi kita di masa kini dan masa depan terhadap insan mulia yang telah melahirkan kita.
Ayat ini memuat empat pilar utama perintah yang sangat fundamental, yang saling terkait satu sama lain:
Gambar 1: Kelemahan Berlapis
Frasa "wahnan 'ala wahnin" (kelemahan di atas kelemahan) adalah deskripsi yang sangat puitis namun akurat tentang sembilan bulan kehamilan. Para mufassir telah mengupas tuntas dimensi-dimensi dari kelemahan berlapis ini, yang tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga psikologis dan spiritual.
Kelemahan pertama adalah kelemahan ibu itu sendiri. Seiring bertambahnya usia janin, beban fisik yang harus ditanggung oleh tubuh wanita meningkat secara eksponensial. Ini mencakup serangkaian penderitaan yang berkelanjutan:
Imam Al-Qurtubi menjelaskan bahwa kelemahan ini adalah kelemahan yang berlipat ganda, setiap hari membawa tantangan baru yang menumpuk di atas kelemahan hari sebelumnya. Ini menunjukkan perjuangan berkelanjutan yang dialami oleh seorang ibu demi kehidupan yang dikandungnya.
Selain aspek fisik, kehamilan juga membawa kelemahan pada sisi mental dan emosional. Perubahan hormon dapat memicu kecemasan, sensitivitas berlebihan, dan ketakutan akan kelahiran. Kecemasan ini adalah kelemahan mental yang melekat pada kelemahan fisik.
Ibu juga menanggung beban psikologis karena khawatir terhadap kesehatan janin. Rasa tanggung jawab yang besar ini, yang berpadu dengan ketidaknyamanan fisik, menciptakan kondisi rentan yang digambarkan Al-Qur'an sebagai "bertambah-tambah." Ini adalah periode di mana ibu berada pada kondisi psikis yang paling membutuhkan dukungan dan pengertian, sebuah perjuangan internal yang seringkali tersembunyi dari pandangan luar.
Kelemahan yang paling puncak adalah risiko saat persalinan. Sebelum kemajuan medis modern, melahirkan adalah salah satu penyebab utama kematian wanita. Bahkan di era modern, persalinan adalah peristiwa yang mempertaruhkan nyawa, di mana ibu berada di ambang batas antara hidup dan mati. Ayat ini mengingatkan anak bahwa eksistensinya datang dengan potensi hilangnya nyawa ibunya. Kesakitan melahirkan, yang dalam banyak hadis digambarkan sebagai jihad, adalah kelemahan paling besar yang ditanggungnya.
Pemahaman yang mendalam terhadap "wahnan 'ala wahnin" harus memunculkan rasa hormat yang tak terbatas. Kalimat ini berfungsi sebagai perangkat retoris Al-Qur'an untuk memastikan bahwa anak tidak akan pernah melupakan harga yang dibayar ibunya demi kehidupannya.
Elaborasi lebih lanjut mengenai manifestasi kelemahan tersebut harus mencakup detail medis kontemporer. Misalnya, bagaimana defisiensi kalsium, anemia, pre-eklampsia, dan diabetes gestasional semuanya merupakan contoh nyata dari kelemahan yang menumpuk. Bahkan ketika ibu sehat, proses fisiologis janin yang mengambil nutrisi dari tubuh ibu adalah bentuk kelemahan yang terencana oleh fitrah alamiah.
Aspek spiritual dari wahnun 'ala wahnin juga patut digali. Dalam kondisi fisik yang lemah, ibu tetap berjuang menjalankan ibadah, menjaga keimanan, dan berdoa bagi keselamatan janin. Kelemahan tubuh tidak melemahkan spiritualitasnya, namun justru menjadi ujian kesabaran yang meningkatkan derajatnya di sisi Allah SWT. Ini adalah kekuatan yang lahir dari kelemahan.
Para ulama tafsir kontemporer, seperti Syeikh Mutawalli Sha'rawi, menekankan bahwa 'wahnun' tidak hanya merujuk pada penderitaan fisik, tetapi juga kondisi mental dan psikologis yang kompleks. Ibu, sejak mengetahui kehamilan, memasuki periode perlindungan total yang seringkali membatasi aktivitas dan kebebasan pribadinya. Pembatasan ini adalah bentuk kelemahan sosial yang ditanggungnya demi kepentingan anak.
Setiap jam yang dilewati oleh seorang ibu hamil adalah akumulasi dari kelemahan tersebut. Jika dikalkulasikan, sembilan bulan kehamilan berarti ribuan jam perjuangan, yang merupakan masa terpanjang yang dialokasikan dalam Al-Qur'an untuk menggambarkan pengorbanan spesifik yang dilakukan oleh manusia. Ayat ini secara tegas membedakan peran ibu dari ayah dalam fase pembentukan awal kehidupan, memastikan bahwa pengorbanan ini diakui secara ilahiah.
Oleh karena itu, birrul walidain bukanlah pilihan, melainkan respons yang logis dan etis terhadap utang jasa yang nilainya tidak terhingga. Utang ini berawal dari kelemahan fisik dan psikologis yang dipertaruhkan oleh sang ibu.
Bagian kedua dari justifikasi pengabdian kepada ibu adalah periode menyusui: "wa fishaaluhu fi 'aamaini" (dan menyapihnya dalam dua tahun). Penyusuan adalah kelanjutan alami dari pengorbanan kehamilan, menuntut dedikasi, waktu, dan energi yang berkelanjutan dari ibu.
Penyebutan "dua tahun" (haulain) dalam ayat ini sangat penting. Ini adalah standar maksimum durasi menyusui penuh yang ideal menurut Al-Qur'an (diperkuat oleh Surah Al-Baqarah: 233). Durasi ini menunjukkan dua hal:
Penyapihan (fithaal) adalah akhir dari periode pengorbanan fisik yang sangat intensif ini. Penyapihan adalah proses transisi yang juga menuntut kesabaran dan kelembutan dari ibu.
Ayat ini memiliki implikasi fiqih yang luas, terutama terkait hak anak dan kewajiban orang tua setelah perceraian. Meskipun ayat ini berbicara tentang pengorbanan, ia juga menetapkan hukum:
Para ahli fiqih menafsirkan bahwa bahkan jika pasangan bercerai, tanggung jawab untuk menyediakan nutrisi terbaik bagi bayi tetap ada. Pengorbanan yang disorot oleh ayat 14 ini memastikan bahwa hak anak untuk mendapatkan nutrisi maksimal tidak dapat diabaikan hanya karena konflik orang tua.
Lebih dari sekadar nutrisi, masa dua tahun ini adalah periode pembentukan ikatan psikologis dan emosional yang mendalam antara ibu dan anak. Kehangatan sentuhan saat menyusui, kontak mata yang intens, dan rasa aman yang diberikan ibu membentuk dasar kepribadian anak. Pengorbanan ini, dalam pandangan Islam, adalah investasi spiritual yang dibalas dengan pahala yang besar dan kewajiban bakti yang abadi.
Proses menyusui selama dua tahun penuh menuntut energi sebanyak atau bahkan lebih dari kehamilan. Tubuh ibu harus terus memproduksi makanan bagi bayinya, seringkali menguras cadangan nutrisi tubuhnya sendiri. Ini merupakan 'wahn' (kelemahan) yang baru, yang ditambahkan setelah kelemahan kehamilan, sekali lagi menegaskan konsep 'wahnun 'ala wahnin' yang berkelanjutan.
Dalam konteks modern, meskipun ada pilihan susu formula, penekanan Al-Qur'an pada 'dua tahun' menegaskan bahwa tidak ada pengganti sempurna bagi ASI, baik dari segi nutrisi maupun ikatan batin. Mengakui pengorbanan ini berarti menghargai setiap tetes ASI yang diberikan oleh ibu, yang merupakan esensi dari tubuh dan kehidupannya sendiri.
Beberapa ulama bahkan berargumen bahwa penentuan dua tahun ini juga merupakan rahmat bagi ibu, karena memberi batas waktu pasti kapan pengorbanan fisik intensif ini dapat berakhir, meskipun tanggung jawab moral tentu berlanjut sepanjang hayat.
Setelah menjabarkan pengorbanan ibu, Allah SWT memberikan perintah inti dari ayat ini: "Anisykurlī wa liwālidayk, ilayyal mashīr." (Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu-bapakmu, hanya kepada-Kulah tempat kembalimu).
Hal yang paling mencolok dari perintah ini adalah bahwa syukur kepada Allah (syukur vertikal) diletakkan berdampingan dengan syukur kepada orang tua (syukur horizontal). Ini menunjukkan betapa tingginya kedudukan orang tua, khususnya ibu, dalam pandangan Islam. Menyandingkan perintah syukur kepada makhluk dengan syukur kepada Sang Khaliq adalah pengakuan ilahiah atas peran mereka sebagai perantara keberadaan kita.
Imam Ar-Razi dalam tafsirnya menjelaskan, Allah adalah Pemberi nikmat hakiki (Pencipta), sedangkan orang tua adalah Pemberi nikmat majazi (sebab). Syukur kepada Allah adalah pengakuan atas tauhid rububiyah (ketuhanan), sementara syukur kepada orang tua adalah pengakuan atas hak kemanusiaan yang tertinggi. Keduanya tidak dapat dipisahkan; seseorang yang tidak mampu berterima kasih kepada orang tuanya, mustahil dapat menyempurnakan syukurnya kepada Allah.
Syukur (Syukr) dalam konteks birrul walidain bukan hanya ucapan terima kasih lisan, tetapi juga praktik nyata yang mencakup tiga dimensi:
Perintah bersyukur ini diperkuat dengan pengingat: "ilayyal mashīr" (hanya kepada-Kulah tempat kembalimu). Pengingat akan Hari Kebangkitan ini berfungsi sebagai motivasi dan ancaman. Motivasi bagi mereka yang berbakti bahwa balasan mereka ada pada Allah, dan ancaman bagi mereka yang durhaka bahwa mereka akan mempertanggungjawabkan pengabaian hak orang tua di hadapan Pengadilan Allah.
Ayat 14 merupakan intervensi ilahiah di tengah nasihat Luqman. Setelah Luqman melarang putranya berbuat syirik (ayat 13), ayat 14 datang untuk memberikan pengecualian terhadap ketaatan kepada orang tua. Ketaatan kepada orang tua adalah mutlak, kecuali jika mereka memerintahkan syirik. Ini ditegaskan dalam lanjutan ayat 15: "Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu menaati keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik."
Ini menetapkan batasan etika: meskipun bakti harus total, bakti tidak boleh melampaui batas tauhid. Namun, meskipun terjadi konflik agama, perlakuan baik (saahib humaa fid dunya ma'ruufa) tetap wajib dilakukan. Ini menunjukkan bahwa perintah bersyukur dan berbakti adalah kewajiban yang bersifat permanen dan fundamental dalam Islam.
Gambar 2: Birrul Walidain
Surah Luqman ayat 14 tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan bagian dari rantai perintah ilahi yang berulang kali menekankan pentingnya orang tua. Hal ini menggarisbawahi konsistensi ajaran Islam mengenai hak-hak kemanusiaan dan etika keluarga.
Ayat yang paling paralel dengan Luqman 14 adalah Al-Ahqaf ayat 15. Ayat tersebut juga menyebutkan secara rinci pengorbanan ibu, namun menambahkan durasi minimum kehamilan dan penyusuan, yaitu 30 bulan. Luqman 14 fokus pada kelemahan yang bertambah-tambah dan masa penyapihan dua tahun, sementara Al-Ahqaf 15 melengkapi dengan menekankan bahwa masa kritis 30 bulan itu adalah total waktu pengorbanan terberat.
Mengapa pengulangan ini penting? Pengulangan ini memastikan bahwa pengorbanan spesifik ibu tidak akan pernah luput dari perhatian umat Islam. Al-Qur'an ingin memastikan bahwa anak memiliki pemahaman yang utuh tentang betapa besar biaya yang dikeluarkan demi kelangsungan hidupnya. Pengulangan ini berfungsi sebagai pengingat yang kuat dan konsisten.
Pentingnya ibu yang ditekankan dalam ayat 14 diperkuat secara dramatis dalam hadis-hadis Nabi Muhammad SAW. Hadis masyhur tentang seseorang yang bertanya, "Siapakah yang paling berhak mendapatkan bakti baikku?" dan Nabi menjawab, "Ibumu," sebanyak tiga kali sebelum menyebut ayah, adalah penafsiran praktis dari penekanan ayat 14 pada "wahnan 'ala wahnin."
Penekanan Sunnah ini menegaskan bahwa meskipun birrul walidain mencakup kedua orang tua, ibu memiliki hak kebaikan yang lebih besar karena menanggung tiga fase pengorbanan yang tidak ditanggung ayah: kehamilan, persalinan, dan sebagian besar beban penyusuan.
Kata 'wahn' tidak sekadar berarti 'lemah,' tetapi mengandung konotasi kerapuhan, kepayahan, dan hilangnya kekuatan secara mendalam. Linguis Arab menekankan bahwa bentuk 'wahnan 'ala wahnin' menunjukkan akumulasi kelemahan. Ini bukan kelemahan tunggal, melainkan kelemahan yang beranak pinak, yang saling menopang satu sama lain, menciptakan kondisi kronis yang sulit diatasi.
Makna ini melampaui deskripsi fisik menjadi gambaran kondisi totalitas ibu yang tubuhnya secara bertahap menyerahkan kekuatannya demi pertumbuhan makhluk lain. Ini adalah pengorbanan sukarela yang mendefinisikan cinta keibuan.
Integrasi antara ayat Luqman 14, Al-Ahqaf 15, dan hadis-hadis Nabi memberikan panduan yang holistik. Islam tidak hanya memerintahkan bakti; Islam memberikan alasan teologis, medis, dan etis yang kuat mengapa bakti ini harus dilakukan dengan standar yang sangat tinggi, terutama terhadap ibu.
Perintah bersyukur kepada orang tua dalam ayat ini juga berfungsi sebagai pendidikan sosial yang vital. Di tengah budaya yang mungkin cenderung mengabaikan atau meremehkan peran domestik, Al-Qur'an mengangkat pengorbanan ini ke tingkat ibadah dan kewajiban tertinggi, memastikan bahwa jasa mereka diakui dan dihargai sepanjang sejarah peradaban Muslim. Tanpa pengakuan ini, fondasi masyarakat yang adil dan beradab akan runtuh.
Prinsip-prinsip dalam Surah Al-Luqman ayat 14 bersifat abadi, namun penerapannya dalam masyarakat modern menghadapi tantangan unik. Bagaimana seorang Muslim dapat memenuhi kewajiban syukur yang sedemikian besar di tengah kesibukan hidup, jarak geografis, dan perbedaan generasi?
Jika kelemahan ibu saat mengandung adalah "wahnun 'ala wahnin," maka kelemahan orang tua saat usia senja juga merupakan bentuk kelemahan yang menuntut balasan setimpal. Kewajiban terbesar anak adalah merawat dan mendampingi orang tua ketika mereka mulai kehilangan kekuatan dan kemampuan mereka. Ini adalah kesempatan emas untuk membalas kelemahan yang pernah ditanggung ibu di masa lalu.
Dalam konteks modern, merawat tidak hanya berarti menyediakan kebutuhan materi (pangan, papan), tetapi juga menyediakan kebutuhan emosional dan spiritual. Banyak orang tua di era modern mengalami kesepian atau merasa ditinggalkan. Birrul walidain menuntut kehadiran fisik dan emosional anak. Ini mencakup kesabaran terhadap perubahan perilaku atau penyakit yang mungkin diderita orang tua di masa tua.
Salah satu tantangan terbesar adalah menyeimbangkan ketaatan kepada orang tua dengan tanggung jawab pribadi dan keputusan hidup (seperti karir, pernikahan, atau tempat tinggal). Ayat 14, bersama dengan ayat 15 (Al-Luqman), mengajarkan bahwa ketaatan harus diutamakan, selama itu tidak melanggar syariat Allah. Bahkan ketika terjadi perbedaan pendapat yang mendasar, anak wajib menjaga adab, berbicara dengan lembut, dan tidak pernah meninggikan suara atau memandang rendah pendapat orang tua.
Ketaatan ini juga meluas pada hal-hal yang mungkin dianggap sepele oleh anak—menjaga citra baik keluarga, memenuhi janji, dan mendoakan mereka secara konsisten, baik saat mereka masih hidup maupun setelah meninggal dunia.
Di era globalisasi, banyak anak yang hidup jauh dari orang tua. Implementasi birrul walidain harus menyesuaikan. Syukur dalam konteks ini dapat diwujudkan melalui komunikasi yang teratur, penggunaan teknologi untuk memastikan orang tua merasa dekat dan terinformasi, serta menjamin kebutuhan finansial dan kesehatan mereka terpenuhi meski dari jarak jauh. Mengunjungi mereka secara berkala, meskipun memerlukan pengorbanan waktu dan biaya besar, tetap dianggap sebagai prioritas tertinggi.
Ayat 14 juga mengajarkan siklus pengorbanan dan syukur. Anak yang berbakti akan mendidik anak-anaknya sendiri untuk berbakti, menciptakan rantai kebaikan (shilatur rahim) yang langgeng. Kehidupan seorang anak yang taat akan menjadi cermin dan pelajaran paling efektif bagi cucu-cucu orang tuanya, memastikan bahwa nilai-nilai pengakuan terhadap pengorbanan ibu terus berlanjut.
Para ulama menegaskan bahwa berbakti kepada orang tua adalah ibadah yang balasannya disegerakan di dunia, selain pahala yang menanti di akhirat. Sebuah hadis menyatakan bahwa rida Allah terletak pada rida orang tua. Hal ini mengokohkan bahwa birrul walidain, yang berakar pada pengakuan terhadap "wahnan 'ala wahnin," adalah kunci kebahagiaan dan kesuksesan seorang hamba.
Surah Al-Luqman ayat 14 adalah salah satu ayat paling mendalam dalam Al-Qur'an yang menjelaskan fondasi etika sosial dalam Islam. Ia mengambil pengorbanan biologis yang dilakukan oleh ibu—keadaan lemah yang bertambah-tambah saat mengandung dan perjuangan dua tahun menyusui—dan menjadikannya landasan bagi kewajiban spiritual tertinggi.
Perintah untuk bersyukur kepada Allah dan kepada orang tua adalah perintah yang setara dalam tatanan prioritas etika. Ini adalah panggilan untuk mengakui asal usul kita, menghargai penderitaan yang memunculkan kita, dan membalas kebaikan tersebut dengan perlakuan terbaik.
Penutup ayat, "ilayyal mashīr" (hanya kepada-Kulah tempat kembalimu), adalah pengingat yang kuat bahwa setiap tindakan bakti atau pengabaian terhadap orang tua akan dipertanggungjawabkan secara personal di hadapan Allah SWT. Pengorbanan ibu adalah bukti cinta tanpa syarat dari makhluk, sementara perintah berbakti adalah ujian cinta bersyarat kita kepada Sang Pencipta. Dengan menjalankan birrul walidain, seorang Muslim tidak hanya menghormati orang tuanya, tetapi juga menyempurnakan ibadahnya kepada Allah Yang Maha Kuasa.
Semoga kita termasuk golongan yang mampu mensyukuri nikmat Allah dan membalas jasa kedua orang tua dengan sebaik-baiknya amal, sehingga kelak kita kembali kepada-Nya dalam keadaan rida dan diridhai.
***
Pengorbanan ibu yang diuraikan dalam ayat 14 tidak hanya memiliki dimensi fisik dan fiqih, tetapi juga spiritual yang sangat kaya. Dalam pandangan tasawuf dan akhlak, kelemahan yang dialami ibu adalah bentuk jihad internal. Setiap rasa sakit, setiap malam tanpa tidur, dan setiap kesulitan dalam masa kehamilan dan penyusuan dihitung sebagai pengorbanan yang membersihkan dosa dan meninggikan derajatnya.
Ketika seorang ibu menanggung "wahnan 'ala wahnin," ia berada dalam maqam (kedudukan) kesabaran yang tertinggi. Kesabaran (shabr) ini bukan hanya menahan rasa sakit, tetapi kesabaran dalam menghadapi takdir Allah. Pengorbanan ini adalah manifestasi langsung dari sifat welas asih (rahmah) yang ditanamkan Allah dalam diri seorang ibu, menjadikannya cerminan dari sifat-sifat ilahiah di dunia fana. Anak diperintahkan berbakti bukan hanya karena rasa sakit itu, tetapi karena keagungan spiritual yang dihasilkan dari rasa sakit tersebut.
Selanjutnya, peran ibu sebagai madrasah pertama bagi anak. Selama 30 bulan kritis (kehamilan + penyusuan minimal), ibu adalah guru spiritual, sumber kasih sayang, dan pembentuk karakter. Syukur kepada ibu adalah pengakuan bahwa kualitas spiritual awal seorang anak sangat ditentukan oleh lingkungan kasih sayang dan pengorbanan yang disediakan oleh ibunya. Inilah yang membuat balasan terhadap ibu harus jauh lebih besar daripada kepada ayah, sebagaimana ditekankan dalam Sunnah.
Mendoakan orang tua adalah bentuk syukur paling murni yang dapat dilakukan seorang anak, terutama setelah mereka tiada. Ayat 14, dengan penutup "ilayyal mashīr," mengingatkan kita bahwa perjalanan orang tua menuju Allah mungkin memerlukan dukungan spiritual dari anak-anak mereka. Doa anak yang saleh adalah satu-satunya amal yang tidak terputus bagi orang tua di alam barzakh.
Doa "Rabbighfirli waliwalidayya warhamhuma kamaa rabbayaani saghiraa" (Ya Tuhanku, ampunilah aku dan kedua orang tuaku, dan sayangilah mereka sebagaimana mereka menyayangiku di waktu kecil) adalah manifestasi tertinggi dari pengakuan utang budi terhadap "wahnan 'ala wahnin" dan "fithaaluhu fi 'aamaini." Doa ini secara eksplisit menghubungkan kondisi lemah kita saat kecil dengan kewajiban kita untuk membalas kasih sayang mereka saat ini.
Kesalehan anak merupakan investasi jangka panjang bagi orang tua, bukti nyata bahwa pengorbanan yang mereka lakukan telah membuahkan hasil. Oleh karena itu, berbakti juga berarti memastikan diri kita menjadi anak yang saleh, yang perilakunya mendatangkan pahala bagi orang tua. Kebaikan yang dilakukan anak di dunia, mulai dari sedekah, ilmu yang bermanfaat, hingga doa, semuanya akan mengalir kepada orang tua, menjadi bukti bahwa rasa syukur yang diperintahkan dalam Luqman 14 telah tertunaikan secara sempurna.
Melalui kajian mendalam terhadap Surah Al-Luqman ayat 14, kita menyadari bahwa kewajiban berbakti kepada ibu-bapak adalah pintu gerbang menuju kebahagiaan hakiki. Ayat ini bukan sekadar narasi; ia adalah konstitusi moral yang menetapkan hak dan kewajiban tertinggi dalam hierarki hubungan antarmanusia.