Perjanjian Primordial: Tafsir Mendalam Surah Al-A'raf Ayat 172

Ilustrasi Mīthāq (Perjanjian) ألستُ بربّكم

Alt Text: Ilustrasi Perjanjian Primordial yang menampilkan Lingkaran Cahaya dan tulisan Arab 'Alastu bi Rabbikum' yang dikelilingi oleh banyak titik mewakili jiwa manusia.

Pengantar: Ayat Kunci Fondasi Tauhid

Surah Al-A'raf ayat 172 adalah salah satu ayat paling fundamental dalam Al-Qur'an yang membahas hakikat eksistensi manusia, tauhid, dan tanggung jawab moral. Ayat ini merujuk pada sebuah peristiwa pra-eksistensial yang terjadi di masa lalu yang tak terjangkau oleh ingatan duniawi kita, dikenal sebagai Yawm Alast atau Hari Perjanjian Primordial (Mīthāq).

Ayat ini berfungsi sebagai fondasi teologis yang menjelaskan mengapa manusia secara inheren memiliki kecenderungan kepada Yang Esa (tauhid), bahkan sebelum menerima wahyu melalui para nabi. Peristiwa ini, dengan segala kompleksitas tafsirnya, merupakan penegasan bahwa setiap jiwa telah bersaksi dan mengakui Rububiyah (Ketuhanan) Allah sebelum ditempatkan di bumi.

وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنۢ بَنِىٓ ءَادَمَ مِن ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ ۖ قَالُوا۟ بَلَىٰ ۛ شَهِدْنَآ ۛ أَن تَقُولُوا۟ يَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَٰذَا غَٰفِلِينَ
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi (tulang belakang) anak cucu Adam keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi." (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)."

I. Analisis Linguistik dan Terminologi Kunci

Untuk memahami kedalaman ayat 172, kita harus menyelami makna setiap kata kunci dan struktur kalimat dalam bahasa Arab. Kekayaan bahasa Al-Qur'an memungkinkan adanya berbagai lapisan makna yang sering kali luput jika hanya melihat terjemahan literal.

1. Makna أَخَذَ (Akhadha) dan مِن ظُهُورِهِمْ (Min Zhuhurihim)

Kata Akhadha berarti 'mengambil' atau 'mengikat perjanjian'. Dalam konteks ini, ia merujuk pada tindakan Ilahi yang aktif dan penuh otoritas. Frasa min zhuhurihim (dari sulbi mereka/tulang belakang mereka) memiliki interpretasi yang luas, yang menjadi kunci dalam perdebatan tafsir:

Ibnu Katsir dan banyak ulama tradisional cenderung pada pandangan bahwa pengambilan ini adalah nyata, di mana semua jiwa dikeluarkan dan dikumpulkan dalam bentuk tertentu di hadapan Allah.

2. Konsep ذُرِّيَّتَهُمْ (Dzurriyyatahum): Keturunan dan Benih Spiritual

Dzurriyyah secara harfiah berarti keturunan atau benih. Namun, dalam konteks Al-A'raf 172, ia mencakup semua keturunan Bani Adam, dari yang pertama hingga yang terakhir. Ayat ini memastikan bahwa perjanjian ini bukan hanya untuk sekelompok orang, tetapi merupakan hukum universal yang mencakup setiap individu yang akan pernah hidup.

3. Inti Perjanjian: وَأَشْهَدَهُمْ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمْ (Wa Asyhadahum ‘ala anfusihim)

Frasa ini berarti 'Dia menjadikan mereka bersaksi atas diri mereka sendiri.' Ini menunjukkan sifat kesaksian yang sangat personal dan mendalam. Kesaksian ini tidak bisa dipaksakan dari luar, melainkan harus muncul dari pengenalan (ma’rifah) batiniah setiap jiwa. Anfusihim (jiwa mereka) menekankan bahwa perjanjian ini melekat pada esensi jiwa, bukan hanya pada raga atau akal yang baru berkembang di dunia.

4. Pertanyaan Ilahi: أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ (Alastu bi Rabbikum)

Ini adalah pertanyaan retoris yang bermakna penegasan. Alastu (Bukankah Aku?) menuntut pengakuan yang mendalam. Kata Rabb (Tuhan, Pemelihara, Penguasa) adalah kunci. Pengakuan ini bukan sekadar pengakuan keberadaan Allah (Khaliq), tetapi pengakuan terhadap otoritas Ilahi, kekuasaan-Nya untuk memelihara, mengatur, dan berhak ditaati (Rububiyah).

5. Jawaban Universal: قَالُوا۟ بَلَىٰ ۛ شَهِدْنَآ (Qalu Bala Syahidna)

Jawaban Bala (Ya, tentu saja) adalah penegasan yang kuat dalam bahasa Arab. Ini adalah respons afirmatif yang tegas terhadap pertanyaan negatif. Syahidna (kami bersaksi) menguatkan respons, menegaskan bahwa pengakuan itu bukan hanya jawaban lisan, tetapi deklarasi spiritual yang disaksikan oleh jiwa itu sendiri. Ini adalah akta lahir tauhid.

II. Tafsir Klasik dan Modern Mengenai Yawm Alast

Para ulama tafsir telah berdiskusi panjang lebar mengenai sifat peristiwa yang dijelaskan dalam ayat 172. Apakah itu peristiwa fisik yang literal, ataukah itu metafora untuk penciptaan fitrah?

1. Tafsir Literal (Pandangan Jumhur Ulama Salaf)

Mayoritas ulama Salaf, termasuk Ibnu Abbas, Ubay bin Ka'b, dan Ibnu Katsir, memandang peristiwa ini sebagai kejadian faktual di Alam Al-Arwah (Dunia Ruh) atau di sebuah lembah bernama Na'man pada Hari Arafah, sebelum penciptaan fisik Adam sepenuhnya.

a. Penjelasan Faktual oleh Ibnu Katsir

Ibnu Katsir dalam tafsirnya merujuk pada hadis yang diriwayatkan dari Umar bin Khattab dan lainnya, yang menegaskan bahwa Allah mengeluarkan seluruh keturunan Adam, dari yang pertama hingga yang terakhir, dari sulbi Adam. Jiwa-jiwa ini ditampakkan dalam wujud semut kecil di hadapan Allah. Mereka berbicara dan bersaksi, dan kemudian dikembalikan ke sulbi Adam dan keturunannya hingga tiba saatnya mereka dilahirkan ke dunia.

Pandangan ini menekankan bahwa pengakuan tauhid telah terjadi dalam kesadaran spiritual penuh. Tujuannya adalah menghilangkan semua alasan (hujjah) bagi manusia di akhirat, menjamin bahwa tidak ada satu pun alasan untuk mengaku tidak tahu tentang kewajiban mengesakan Allah.

b. Implikasi dari Pandangan Literal

Jika peristiwa ini literal, maka:

  1. Setiap manusia memiliki memori spiritual yang terpendam mengenai tauhid.
  2. Keterasingan yang dirasakan oleh sebagian manusia adalah akibat dari penutup (ghafilin) duniawi yang menutupi memori primordial tersebut.
  3. Tugas para nabi dan rasul adalah membangkitkan kembali memori perjanjian ini, bukan mengajarkan sesuatu yang sama sekali baru.

2. Tafsir Metaforis (Pandangan Ulama Kontemporer dan Teolog Tertentu)

Sebagian ulama, terutama dari kalangan mutakallimin (teolog rasional) dan tafsir modern, cenderung menafsirkan ayat ini sebagai metafora yang kuat untuk Fitrah.

a. Penjelasan Konsep Fitrah

Menurut pandangan ini, yang dimaksud dengan "mengambil kesaksian dari sulbi" adalah penanaman bawaan, yaitu fitrah. Allah menciptakan manusia dengan naluri bawaan (insting) untuk mencari dan mengakui pencipta yang Maha Kuasa. Fitrah ini adalah perjanjian itu sendiri.

Hadis terkenal yang mendukung pandangan ini adalah: "Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kemudian kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi."

Oleh karena itu, kesaksian "Qalu Bala" bukan suara yang diucapkan oleh jiwa dalam wujud semut, melainkan suara hati nurani dan akal yang secara otomatis mengakui keesaan Allah ketika dihadapkan pada bukti-bukti penciptaan (ayatullah al-kawniyyah).

b. Penjelasan oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha

Para reformis seperti Muhammad Abduh cenderung menafsirkan ayat ini secara metaforis, melihatnya sebagai cara Al-Qur'an menjelaskan dasar rasional bagi pertanggungjawaban manusia. Karena manusia diciptakan dengan akal yang mampu mengamati alam semesta dan menyimpulkan adanya Tuhan Yang Maha Esa, maka mereka telah 'bersaksi atas diri mereka sendiri' melalui potensi akal dan fitrah tersebut.

3. Sintesis Tafsir (Menerima Kedua Aspek)

Banyak ulama kontemporer mencoba menyatukan kedua pandangan tersebut:

  1. Peristiwa di Alam Arwah (literal) adalah penanaman awal perjanjian.
  2. Manifestasi perjanjian di dunia adalah melalui Fitrah (metaforis).

Ayat 172 mencakup dimensi spiritual dan psikologis. Perjanjian itu terjadi, dan hasilnya diwujudkan dalam diri manusia sebagai Fitrah, sehingga manusia secara ontologis sudah berketuhanan (monoteis) sejak awal penciptaannya.

III. Tujuan Ilahi: Menghilangkan Hujjah (Alasan)

Bagian akhir dari ayat 172 secara eksplisit menyebutkan tujuan dari Perjanjian Primordial ini:

(Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)."

1. Prinsip Adam dan Hawa (Alasan Lengah)

Tujuan utama Mīthāq ini adalah menghilangkan alasan (hujjah) ketidaktahuan. Ayat ini menjamin keadilan mutlak Allah. Tidak ada jiwa yang bisa mengajukan pembelaan di Hari Kiamat dengan alasan bahwa mereka tidak pernah tahu atau lengah (ghafilin) terhadap keesaan Allah.

a. Konsekuensi Hukum

Dalam Syariah, prinsip ini sangat penting. Manusia tidak bertanggung jawab atas sesuatu yang tidak mereka ketahui atau yang tidak pernah disampaikan kepada mereka (kecuali jika mereka mampu menggunakan akal untuk mencapainya). Ayat 172 menunjukkan bahwa Allah telah menyampaikan kewajiban tauhid kepada semua manusia, bahkan sebelum mereka dilahirkan di dunia. Ini adalah komunikasi langsung dan universal dari Tuhan kepada jiwa.

b. Melawan Argumen Fatalisme

Jika seseorang berargumen bahwa ia terlahir di lingkungan yang salah (kafir) dan karena itu ia tidak tahu tentang tauhid, ayat ini menolaknya. Ayat ini menegaskan bahwa sumber tauhid bukan lingkungan eksternal, melainkan sumber internal yang telah terikat perjanjian. Lingkungan hanya berfungsi sebagai penghalang atau penguat terhadap fitrah itu.

2. Menolak Alasan Syirik Keturunan

Ayat 173 melengkapi ayat 172, memperkuat penolakan terhadap alasan:

Atau agar kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya nenek moyang kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sedang kami ini adalah anak-anak keturunan yang (hidup) sesudah mereka. Maka apakah Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang sesat dahulu?" (QS. Al-A'raf: 173)

Ayat 173 memastikan bahwa pertanggungjawaban bersifat individual. Pengakuan tauhid di Alam Arwah menjadikan setiap individu bertanggung jawab penuh atas pilihan spiritualnya di dunia, terlepas dari warisan budaya atau agama leluhurnya.

IV. Hubungan Mīthāq dengan Konsep Kebebasan Berkehendak (Iradah)

Perjanjian primordial ini memiliki implikasi mendalam terhadap perdebatan teologis mengenai kebebasan berkehendak (free will) dan takdir (qadar). Jika jiwa telah mengakui Allah, mengapa masih ada kemusyrikan dan kekafiran di dunia?

1. Fitrah dan Ikhtiyar (Pilihan)

Mīthāq membuktikan bahwa manusia diciptakan dengan potensi fitri untuk tauhid. Fitrah adalah hidayah awal yang ditanamkan, menjadikannya jalan paling mudah bagi jiwa. Namun, fitrah bukanlah takdir yang memaksa. Manusia tetap diberikan Ikhtiyar (pilihan). Kebebasan ini yang diuji di dunia.

a. Tugas Hidup sebagai Ujian Pengingat

Dunia adalah ladang ujian (dar al-ibtila). Ujian ini adalah proses apakah manusia akan membiarkan fitrahnya tumbuh subur ataukah akan menutupi dan membelenggunya dengan hawa nafsu, lingkungan buruk, dan bisikan setan. Perjanjian tersebut adalah referensi batin yang harus diikuti. Kekafiran adalah penolakan terhadap memori yang sudah ada, bukan ketidaktahuan.

2. Pengaruh Iblis dan Pelanggaran Janji

Kisah Adam dan Iblis, yang terjadi sebelum ayat 172, memberikan konteks penting. Iblis bersumpah untuk menyesatkan Bani Adam (keturunan Adam). Kegagalan menepati Mīthāq adalah keberhasilan Iblis. Ketika manusia melupakan perjanjian mereka dengan Allah, mereka membuka diri terhadap tipuan Iblis.

Perjanjian ini mengaitkan tanggung jawab moral secara langsung kepada individu. Seseorang yang berdosa atau kafir adalah karena ia memilih untuk melupakan (ghafilin) perjanjian itu, bukan karena Iblis memaksanya secara total.

V. Mīthāq dan Epistemologi Islam

Ayat 172 juga menjadi landasan bagi epistemologi (teori pengetahuan) dalam Islam, menjelaskan bagaimana manusia memperoleh dan memvalidasi pengetahuan tentang Tuhan.

1. Sumber Pengetahuan Tauhid

Dalam Islam, pengetahuan tauhid dapat diperoleh melalui tiga jalur utama, yang semuanya terkait dengan Mīthāq:

Maka, jika wahyu diibaratkan peta, akal adalah kompas, dan Mīthāq adalah destinasi yang sudah disetujui sejak awal perjalanan.

2. Konsep Tadhakkur (Mengingat Kembali)

Istilah yang sering digunakan Al-Qur'an untuk proses penerimaan wahyu adalah Tadhakkur (mengingat kembali). Ini menegaskan bahwa ajaran Islam, khususnya tauhid, bukanlah materi baru yang asing, melainkan pengaktifan kembali memori primal yang telah tersimpan dalam jiwa sejak Hari Alast. Setiap dakwah yang sukses adalah dakwah yang berhasil menyentuh dan membangkitkan fitrah ini.

VI. Perluasan Konsep: Dimensi Alam Arwah dan Implikasi Spiritual

Pembahasan mengenai Mīthāq seringkali menyeret kita ke wilayah metafisika, yaitu Alam Al-Arwah (Dunia Roh).

1. Hakikat Penciptaan Ruh

Ayat ini memberi petunjuk bahwa ruh diciptakan, dikumpulkan, dan berinteraksi dalam kapasitas kesadaran tertentu jauh sebelum penciptaan raga. Meskipun rincian tentang Alam Arwah tidak dijelaskan secara rinci dalam teks-teks utama, Surah Al-A'raf 172 memberikan bukti paling kuat akan adanya eksistensi pra-duniawi ini.

Dalam tradisi sufi, Mīthāq memiliki makna yang lebih mendalam, sering dikaitkan dengan Ma'rifah Billah (Pengenalan terhadap Allah). Mereka meyakini bahwa tingkat kedekatan dan keintiman ruh dengan Allah di Alam Arwah menentukan kualitas spiritual seseorang di dunia. Jiwa yang paling tulus dalam menjawab 'Bala' adalah jiwa yang paling siap menerima nur ilahi (cahaya) di dunia.

2. Hubungan dengan Shalat dan Ibadah

Ibadah dalam Islam, khususnya shalat, dapat dipandang sebagai aktualisasi perjanjian Mīthāq. Ketika seorang Muslim mengucapkan Allahu Akbar (Allah Maha Besar) dan bersujud, ia sedang memperbarui dan menegaskan kembali janji spiritualnya: "Betul, Engkau adalah Rabb kami."

Setiap Rukun Islam dan Rukun Iman berfungsi sebagai mekanisme pengingat (Dhikr) yang sistematis untuk mencegah jiwa jatuh ke dalam keadaan ghafilin (kelalaian) terhadap janji primordialnya.

a. Doa sebagai Pengembalian pada Asal

Ketika seseorang dalam keadaan terdesak dan secara naluriah memohon pertolongan kepada kekuatan yang lebih tinggi, tindakan tersebut adalah kilatan fitrah yang bersinar, sebuah pengembalian insting kepada perjanjian kuno, jauh sebelum dia dipengaruhi oleh idolatri atau ateisme.

VII. Perbandingan Teologis: Mīthāq dalam Konteks Kitab Samawi Lain

Konsep perjanjian antara Tuhan dan manusia juga terdapat dalam tradisi agama-agama Ibrahim lainnya, meskipun dengan fokus yang berbeda. Perjanjian Primordial (Mīthāq) dalam Islam memiliki karakteristik unik.

1. Perbedaan dari Perjanjian Nuh dan Abraham

Dalam Yudaisme dan Kekristenan, perjanjian (covenant) sering kali bersifat Historis dan Spesifik (misalnya, Perjanjian Nuh setelah Banjir, Perjanjian Abraham tentang keturunan, Perjanjian Musa di Sinai). Perjanjian-perjanjian ini adalah peristiwa yang terjadi dalam ruang dan waktu duniawi, melibatkan individu atau kelompok tertentu.

Sebaliknya, Mīthāq dalam Surah Al-A'raf 172 bersifat Pra-Historis dan Universal. Ia mengikat setiap individu manusia secara kolektif dan individual, mendahului semua perjanjian historis lainnya. Ini adalah perjanjian keberadaan, bukan perjanjian hukum yang bersifat temporal.

2. Implikasi bagi Non-Muslim

Karena Mīthāq bersifat universal, ia memberikan dasar teologis mengapa setiap manusia bertanggung jawab atas tauhid, bahkan mereka yang tidak pernah menerima wahyu Al-Qur'an secara langsung. Mereka yang hidup di daerah terpencil atau sebelum datangnya Islam tetap memiliki hujjah (alasan) yang tertanam dalam diri mereka melalui fitrah. Ini menempatkan Mīthāq sebagai hukum moral dan teologis yang paling dasar.

VIII. Analisis Mendalam Frasa 'Ghafilin' (Lengah/Melupakan)

Kata kunci dalam tujuan ayat 172 adalah Ghafilin (غَٰفِلِينَ), yang secara harfiah berarti orang-orang yang lalai, lengah, atau melupakan. Ini bukan sekadar tidak tahu, tetapi sengaja membiarkan diri berada dalam keadaan tidak peduli terhadap suatu kebenaran yang seharusnya sudah diketahui.

1. Kelalaian Spiritual

Kelalaian yang dimaksud dalam ayat ini adalah kelalaian terhadap eksistensi Allah sebagai Rabb dan janji untuk mengesakan-Nya. Kelalaian ini adalah penyakit spiritual terbesar. Ia memunculkan:

Oleh karena itu, seluruh praktik Islam, dari dzikir, puasa, hingga haji, adalah terapi anti-kelalaian. Mereka adalah usaha untuk menyentuh kembali inti fitrah dan janji 'Bala' yang tersimpan di bawah lapisan kesibukan duniawi.

2. Dampak Kelalaian terhadap Kematian

Momen kematian sering digambarkan dalam literatur Islam sebagai momen di mana Hujjah kembali terungkap. Ketika tabir duniawi diangkat, jiwa akan ingat secara sempurna tentang Mīthāq. Ayat ini memperingatkan bahwa penyesalan di hari kiamat adalah karena manusia memilih untuk hidup dalam kelalaian, bukan karena ketiadaan informasi.

Jika mereka telah ingat, mereka tidak akan bisa berkata, "Kami lengah." Ingatan ini menjadi bukti yang tidak terbantahkan atas keadilan Ilahi.

IX. Kajian Lanjutan dan Hadis Pendukung Mīthāq

Meskipun Surah Al-A'raf 172 adalah sumber utama tentang perjanjian primordial, terdapat beberapa hadis dan ayat lain yang memperkuat konsep ini.

1. Hadis tentang Fitrah (Bawaan Tauhid)

Hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah r.a. merupakan penjelas terbaik tentang manifestasi Mīthāq di dunia fisik:

"Tidak ada bayi yang dilahirkan melainkan ia dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kemudian kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi."

Hadis ini secara eksplisit mengidentifikasi Fitrah sebagai kondisi bawaan yang merupakan tauhid murni, hasil langsung dari janji 'Bala' yang diucapkan di Alam Arwah. Anak menjadi musyrik bukan karena ia diciptakan demikian, melainkan karena ia dibelokkan dari janji awalnya.

2. Ayat-Ayat Al-Qur'an tentang Persaksian Alam Semesta

Ayat 172 dapat dipahami dalam konteks ayat-ayat lain yang berbicara tentang kesaksian alam semesta (ayatullah al-kawniyyah) terhadap keesaan Allah. Misalnya:

Kedua ayat ini menunjukkan bahwa Mīthāq tidak hanya disimpan di dalam memori spiritual, tetapi juga dipancarkan melalui setiap aspek ciptaan, baik internal (diri manusia) maupun eksternal (alam semesta).

3. Hadis Pengambilan Keturunan (Nasai')

Diriwayatkan bahwa Allah mengambil semua keturunan Adam, dari Adam hingga hari kiamat, dan menanyakan 'Bukankah Aku ini Tuhanmu?' Setelah mereka menjawab 'Bala,' mereka dipecah menjadi dua golongan: golongan kiri (penghuni neraka) dan golongan kanan (penghuni surga). Namun, pembagian ini didasarkan pada pengetahuan Allah tentang nasib mereka di masa depan, bukan paksaan. Mereka tetap memiliki kebebasan untuk memilih di dunia, namun kesaksian awal telah dicatat.

X. Implikasi Praktis dalam Kehidupan Sehari-hari

Memahami Mīthāq bukan sekadar pengetahuan teologis, melainkan panduan praktis untuk menjalani hidup sebagai hamba Allah.

1. Memperkuat Dasar Ibadah

Pengakuan bahwa kita telah membuat perjanjian pra-eksistensial harus meningkatkan kualitas ibadah. Ibadah menjadi pelunasan utang perjanjian. Ketika seorang hamba merasa berat dalam beribadah, ia perlu diingatkan bahwa ia hanya sedang melakukan apa yang telah ia setujui dalam kondisi spiritualnya yang paling murni.

2. Mengatasi Krisis Eksistensial

Banyak manusia modern mengalami kekosongan eksistensial. Ayat 172 memberikan jawaban definitif terhadap pertanyaan "Siapakah saya?" dan "Untuk apa saya di sini?". Manusia ada untuk menunaikan janji yang sudah diikrarkan: mengakui dan mengabdi kepada Rabb. Ini memberikan tujuan dan makna yang mendalam dan kokoh.

3. Dasar Keadilan Sosial

Karena setiap individu, tanpa terkecuali, telah bersaksi atas Rububiyah Allah, maka semua manusia memiliki martabat yang sama di hadapan Tuhan, dan mereka semua memiliki potensi yang sama untuk kembali kepada tauhid. Ini menjadi landasan bagi etika dakwah yang penuh kasih, karena kita berinteraksi dengan orang-orang yang pada dasarnya adalah 'saudara perjanjian' yang sedang tersesat.

XI. Tafsir Lanjutan dan Peringatan Keras Ayat 174

Al-Qur'an seringkali menghubungkan kisah masa lalu dengan pelajaran moral di masa kini. Ayat 174 (setelah 172 dan 173) memberikan ilustrasi tragis mengenai kegagalan manusia dalam memelihara Mīthāq.

1. Kisah Orang yang Dijadikan Perumpamaan

Ayat 174 berlanjut:

Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang kebenaran), kemudian dia melepaskan diri dari ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh setan (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat.

Mufassirun sepakat bahwa ayat ini berbicara tentang Bal'am bin Ba'ura, seorang ulama atau ahli ibadah di kalangan Bani Israil yang awalnya diberi pengetahuan agama yang benar, namun karena mengejar kepentingan duniawi dan kekuasaan, ia menjual ilmunya dan jatuh ke dalam godaan setan.

Kisah ini adalah peringatan langsung: Perjanjian Primordial (Mīthāq) dan pengetahuan yang didapat di dunia (ayatullah) tidak akan berguna jika tidak diikuti dengan keikhlasan dan istiqamah. Bal'am bin Ba'ura adalah representasi kegagalan spiritual total, di mana pengetahuan batin (Mīthāq) dan pengetahuan eksternal (wahyu) gagal mengubah perilaku, menjadikannya lebih buruk dari anjing yang menjulurkan lidah karena kehausan (perumpamaan di ayat 176).

2. Kontras dengan Perjanjian

Kontrasnya sangat tajam:

Ini menegaskan kembali bahwa tujuan Allah memberikan Mīthāq bukanlah untuk memastikan semua orang masuk surga, tetapi untuk memastikan bahwa semua orang memiliki kesadaran dasar tauhid. Pilihan untuk memelihara atau melanggar kesadaran itu sepenuhnya berada di tangan manusia.

XII. Tafsir Mendalam Struktur 'Min Zhuhurihim Zurriyyatahum'

Mari kita kembali fokus pada kompleksitas struktur bahasa Arab dalam ayat 172. Penggunaan preposisi dan penataan kata kerja memberikan dimensi kedalaman yang luar biasa terhadap Perjanjian ini.

1. Proses Pengambilan Berjenjang

Pengambilan "dari sulbi anak Adam" (min bani adama min zhuhurihim) dan kemudian "keturunan mereka" (dzurriyyatahum) menyiratkan proses yang berkelanjutan atau berjenjang, bukan hanya satu kali kejadian di zaman Adam.

Ibnu Taimiyyah, ketika membahas ayat ini, mengemukakan bahwa proses ini mungkin menunjukkan dua makna sekaligus:

Dengan demikian, Mīthāq bukan sekadar peristiwa sejarah, tetapi realitas yang terus-menerus terwujud dalam setiap generasi. Setiap anak yang lahir membawa serta kesaksian 'Bala' tersebut, yang hanya menunggu untuk diaktifkan.

2. Dimensi Kolektif dan Individual

Ayat ini menggunakan kata ganti jamak ("anak cucu Adam," "mereka menjawab," "mereka menjadi saksi"), menunjukkan dimensi kolektif dari perjanjian ini. Ini adalah perjanjian yang mengikat seluruh umat manusia (bani Adam).

Namun, perjanjian ini diuji dan dipertanggungjawabkan secara individual di Hari Kiamat. Setiap jiwa akan ditanya tentang perjanjiannya sendiri. Universalitas perjanjian ini berfungsi untuk menjamin persamaan pijakan awal (starting point) bagi semua manusia dalam perlombaan menuju kebenaran.

Perjanjian kolektif ini menghasilkan kewajiban individual. Inilah salah satu keindahan teologis dalam Al-A'raf 172, yang menyelaraskan keadilan universal Allah dengan pertanggungjawaban personal.

XIII. Penutup: Mengamalkan Perjanjian dalam Kesadaran Diri

Surah Al-A'raf ayat 172 adalah panggilan untuk introspeksi mendalam. Ayat ini memberitahu kita bahwa identitas terdalam kita adalah identitas seorang muwahhid (pengikut tauhid) yang telah bersumpah setia kepada Rabb.

Tugas kita di dunia adalah menjalani hidup dengan kesadaran penuh terhadap perjanjian tersebut. Setiap pencarian kebenaran, setiap rasa kagum terhadap keindahan alam, setiap desahan hati yang menginginkan kedamaian, adalah gema dari seruan "Alastu bi Rabbikum" dan jawaban "Bala" yang telah kita sampaikan.

Kelalaian (ghafilin) adalah musuh terbesar, karena ia merupakan penolakan terhadap akar terdalam diri kita. Memelihara perjanjian ini berarti menjalani hidup dengan kesadaran tauhid yang konstan, di mana setiap tindakan, pikiran, dan ucapan adalah manifestasi dari janji: 'Betul, Engkau adalah Tuhan kami, kami menjadi saksi.'

🏠 Kembali ke Homepage