Gema Syahdu Sholawat Tarhim: Melodi Pembangun Jiwa di Waktu Fajar
Di keheningan pagi buta, saat sebagian besar insan masih terlelap dalam buaian mimpi, seringkali terdengar sebuah alunan syahdu dari menara-menara masjid. Lantunan itu bukanlah azan, tetapi sebuah seruan puitis yang penuh penghormatan, sebuah melodi yang mampu menembus relung kalbu dan membangkitkan kesadaran spiritual. Itulah Sholawat Tarhim, gema abadi yang telah menjadi penanda waktu Subuh yang tak terpisahkan bagi jutaan umat Muslim, khususnya di Nusantara. Suaranya yang khas, mendayu-dayu namun tegas, seolah menjadi jembatan antara lelapnya malam dan sadarnya fajar, mengajak jiwa-jiwa untuk bangkit menyambut panggilan Ilahi.
Bagi banyak orang, Sholawat Tarhim lebih dari sekadar lantunan. Ia adalah memori masa kecil, pengingat hangat akan suasana Ramadan, atau penanda spiritual yang menenangkan hati. Namun, di balik keindahannya yang melegenda, tersimpan sebuah sejarah panjang, makna yang mendalam, serta perdebatan teologis yang menarik untuk digali. Artikel ini akan membawa kita menyelami dunia Sholawat Tarhim secara komprehensif, dari asal-usulnya di tanah Mesir, sosok pelantunnya yang agung, analisis setiap baitnya, hingga bagaimana ia bisa mendarah daging dalam tradisi keagamaan di Indonesia.
Jejak Sejarah: Dari Tepi Nil ke Jantung Nusantara
Kisah Sholawat Tarhim bermula di Mesir, sebuah negeri yang dikenal sebagai salah satu pusat peradaban dan keilmuan Islam. Pencipta dan pelantun asli dari mahakarya ini adalah seorang tokoh legendaris dalam dunia qira'ah Al-Qur'an, yaitu Syekh Mahmoud Khalil Al-Hussary. Beliau bukanlah sekadar qari biasa; Syekh Al-Hussary adalah seorang maestro yang suaranya diakui sebagai salah satu yang terindah dan paling berpengaruh di seluruh dunia Islam. Lahir di sebuah desa bernama Shobra al-Namla di Tanta, Mesir, beliau telah menunjukkan bakat luar biasa dalam menghafal dan melantunkan Al-Qur'an sejak usia dini. Pada usia delapan tahun, beliau telah menjadi seorang hafiz.
Perjalanan keilmuannya berlanjut di Universitas Al-Azhar, Kairo, di mana beliau mendalami ilmu qira'ah, tafsir, dan hadis. Kemampuannya yang istimewa membuatnya diangkat menjadi qari resmi di Masjid Imam Husein di Kairo, sebuah posisi yang sangat terhormat. Popularitasnya meroket ketika ia mulai menjadi qari di Radio Mesir pada dekade 1940-an. Suaranya yang merdu dan penguasaannya yang sempurna terhadap tajwid dan maqamat (tangga nada musik Arab) memikat jutaan pendengar.
Sholawat Tarhim sendiri direkam pertama kali sebagai bagian dari program siaran Radio Kairo. Tujuannya adalah untuk mengisi jeda waktu sebelum azan Subuh dikumandangkan, berfungsi sebagai ibthal atau tahrim, yaitu sebuah seruan puitis untuk membangunkan umat Islam dan mempersiapkan mereka untuk shalat. Syekh Al-Hussary, dengan keahliannya, memilih teks sholawat yang sarat makna dan melantunkannya dengan Maqam Bayati, sebuah tangga nada yang memiliki karakter syahdu, reflektif, dan menyentuh perasaan. Pilihan ini terbukti sangat jenius, karena melodi Bayati yang lambat dan agung sangat cocok dengan suasana hening dan sakral di waktu fajar.
Lalu, bagaimana melodi dari Mesir ini bisa begitu populer di Indonesia? Jawabannya terletak pada kekuatan media radio dan hubungan budaya yang erat antara kedua negara. Pada era 1960-an, Radio Republik Indonesia (RRI) sering memutar rekaman-rekaman dari Radio Kairo, termasuk lantunan Al-Qur'an dan sholawat dari para qari Mesir. Rekaman Sholawat Tarhim karya Syekh Al-Hussary menjadi salah satu yang paling sering diputar. Selain itu, banyak pelajar Indonesia yang menimba ilmu di Al-Azhar, Kairo. Ketika mereka kembali ke tanah air, mereka membawa serta tradisi dan rekaman-rekaman ini, yang kemudian disebarkan melalui masjid-masjid dan mushala.
Kombinasi antara penyiaran radio yang masif dan penyebaran dari para alumni Timur Tengah membuat Sholawat Tarhim dengan cepat diadopsi oleh masyarakat Muslim Indonesia. Karakternya yang universal, liriknya yang memuji Nabi Muhammad SAW, dan melodinya yang indah membuatnya mudah diterima dan dicintai, melintasi batas-batas budaya dan bahasa.
Teks Lengkap, Transliterasi, dan Terjemahan
Untuk memahami kedalaman Sholawat Tarhim, kita perlu menelaah teksnya secara utuh. Berikut adalah lirik lengkap dalam bahasa Arab, transliterasi Latin untuk memudahkan pembacaan, serta terjemahan bebas dalam bahasa Indonesia.
الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَيْكَ
يَا إِمَامَ الْمُجَاهِدِيْنَ ۞ يَا رَسُوْلَ اللهْ
الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَيْكَ
يَا نَاصِرَ الْهُدَى ۞ يَا خَيْرَ خَلْقِ اللهْ
الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَيْكَ
يَا نَاصِرَ الْحَقِّ ۞ يَا رَسُوْلَ اللهْ
الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَيْكَ
يَا مَنْ أَسْرَى بِكَ الْمُهَيْمِنُ لَيْلًا
نِلْتَ مَا نِلْتَ وَالْأَنَامُ نِيَامُ
وَتَقَدَّمْتَ لِلصَّلَاةِ فَصَلَّى
كُلُّ مَنْ فِى السَّمَاءِ وَأَنْتَ الْإِمَامُ
وَعَلَى الْمُنْتَهَى رُفِعْتَ كَرِيْمًا
وَسَمِعْتَ نِدَاءً عَلَيْكَ السَّلَامُ
يَا كَرِيْمَ الْأَخْلَاقِ ۞ يَا رَسُوْلَ اللهْ
صَلَّى اللهُ عَلَيْكَ ۞ وَعَلَى آلِكَ وَأَصْحَابِكَ أَجْمَعِيْنَ
Ash-shalâtu was-salâmu ‘alâyk, Yâ imâmal mujâhidîn, Yâ Rasûlallâh.
Ash-shalâtu was-salâmu ‘alâyk, Yâ nâshiral hudâ, Yâ khayra khalqillâh.
Ash-shalâtu was-salâmu ‘alâyk, Yâ nâshiral haqqi, Yâ Rasûlallâh.
Ash-shalâtu was-salâmu ‘alâyk, Yâ man asrâ bikal muhayminu laylan, nilta mâ nilta wal-anâmu niyâmu.
Wa taqaddamta lish-shalâti fashallâ, kullu man fis-samâi wa antal imâmu.
Wa ilal muntahâ rufi’ta karîman, wa sami’ta nidâ-an ‘alaykas salâm.
Yâ karîmal akhlâq, Yâ Rasûlallâh.
Shallallâhu ‘alayka, wa ‘alâ âlika wa ashhâbika ajma’în.
Rahmat dan keselamatan semoga tercurah atasmu, wahai pemimpin para pejuang, wahai utusan Allah.
Rahmat dan keselamatan semoga tercurah atasmu, wahai pembawa petunjuk, wahai makhluk terbaik ciptaan Allah.
Rahmat dan keselamatan semoga tercurah atasmu, wahai penegak kebenaran, wahai utusan Allah.
Rahmat dan keselamatan semoga tercurah atasmu, wahai Engkau yang diperjalankan oleh Yang Maha Melindungi di waktu malam. Engkau memperoleh apa yang kau peroleh (berbagai anugerah), sementara seluruh manusia tengah tertidur lelap.
Dan Engkau maju untuk memimpin shalat, maka bershalatlah (di belakangmu) semua yang ada di langit, dan Engkaulah imamnya.
Dan menuju Sidratul Muntaha, Engkau diangkat dengan penuh kemuliaan, dan Engkau mendengar seruan (dari Allah): "Keselamatan atasmu".
Wahai yang paling mulia akhlaknya, wahai utusan Allah.
Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepadamu, juga kepada seluruh keluarga dan sahabatmu semuanya.
Analisis Mendalam Makna dan Kandungan Puitis
Sholawat Tarhim bukan sekadar rangkaian kata, melainkan sebuah narasi puitis yang merangkum esensi perjuangan, kemuliaan, dan kedudukan agung Nabi Muhammad SAW. Setiap baitnya mengandung lapisan makna yang kaya dan mendalam.
“Yâ imâmal mujâhidîn” (Wahai pemimpin para pejuang)
Gelar ini menyoroti sisi perjuangan Rasulullah SAW. Beliau bukan hanya seorang nabi yang menerima wahyu, tetapi juga seorang pemimpin yang berjuang tanpa lelah untuk menegakkan tauhid dan keadilan. Perjuangannya mencakup aspek spiritual, sosial, dan bahkan fisik dalam mempertahankan umat dari penindasan. Sebutan ini mengingatkan kita bahwa Islam ditegakkan melalui pengorbanan dan jihad dalam arti yang luas, yaitu kesungguhan dalam melawan kebatilan, baik di dalam diri maupun di luar.
“Yâ nâshiral hudâ, Yâ khayra khalqillâh” (Wahai pembawa petunjuk, wahai makhluk terbaik ciptaan Allah)
Bait ini menegaskan dua peran sentral Nabi. Pertama, sebagai "pembawa petunjuk" (nâshiral hudâ), beliau adalah medium melalui mana wahyu Al-Qur'an, petunjuk tertinggi bagi umat manusia, diturunkan. Kedua, sebagai "makhluk terbaik" (khayra khalqillâh), ini adalah pengakuan atas kesempurnaan akhlak, ketakwaan, dan kedudukan beliau yang tidak tertandingi di antara seluruh ciptaan Allah. Gelar ini merupakan bentuk penghormatan tertinggi, yang menggarisbawahi posisinya sebagai uswatun hasanah atau teladan terbaik.
“Yâ man asrâ bikal muhayminu laylan...” (Wahai Engkau yang diperjalankan oleh Yang Maha Melindungi di waktu malam...)
Bagian ini adalah inti dari Sholawat Tarhim, yang secara eksplisit merujuk pada peristiwa agung Isra' Mi'raj. Penggunaan kata "al-Muhaymin" (Yang Maha Melindungi/Memelihara) untuk menyebut Allah SWT memberikan nuansa kehangatan dan penjagaan ilahi sepanjang perjalanan spiritual yang luar biasa ini. Frasa "nilta mâ nilta wal-anâmu niyâmu" (Engkau memperoleh apa yang kau peroleh, sementara manusia tertidur) menekankan eksklusivitas dan keistimewaan anugerah yang diterima Nabi. Saat seluruh dunia terlelap, beliau diundang ke hadirat ilahi untuk menerima anugerah yang tak terbayangkan, termasuk perintah shalat lima waktu.
“Wa taqaddamta lish-shalâti fashallâ kullu man fis-samâi wa antal imâmu” (Dan Engkau maju untuk memimpin shalat, maka bershalatlah semua yang ada di langit, dan Engkaulah imamnya)
Bait ini menggambarkan salah satu momen paling simbolis dalam Isra' Mi'raj, yaitu ketika Nabi Muhammad SAW mengimami shalat para nabi dan rasul terdahulu. Ini adalah penegasan simbolis bahwa risalah yang beliau bawa adalah penyempurna dan penerus dari risalah-risalah ilahi sebelumnya. Beliau diakui sebagai pemimpin (imam) bagi seluruh nabi, menunjukkan universalitas dan finalitas kenabiannya.
“Wa ilal muntahâ rufi’ta karîman” (Dan menuju Sidratul Muntaha, Engkau diangkat dengan penuh kemuliaan)
Sidratul Muntaha adalah titik tertinggi di langit yang bisa dicapai oleh makhluk. Bahkan Malaikat Jibril pun tidak bisa melewatinya. Bait ini mengisahkan puncak perjalanan Mi'raj, di mana Nabi SAW diangkat dengan penuh kemuliaan ("karîman") untuk bertemu langsung dengan Allah SWT. Ini adalah kehormatan tertinggi yang hanya diberikan kepada beliau, menunjukkan kedekatan dan cinta Allah yang luar biasa kepadanya.
“Yâ karîmal akhlâq” (Wahai yang paling mulia akhlaknya)
Setelah menceritakan kemuliaan spiritual dan peristiwa agung, sholawat ini kembali untuk memuji esensi paling dasar dari kenabian: akhlak yang mulia. Allah SWT sendiri memuji akhlak Nabi dalam Al-Qur'an (QS. Al-Qalam: 4), "Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang luhur." Pujian ini mengingatkan kita bahwa keagungan sejati seorang pemimpin terletak pada karakternya. Akhlak mulia Rasulullah—kejujuran, kasih sayang, kesabaran, dan kerendahan hatinya—adalah daya tarik utama yang membuat ajaran Islam diterima oleh banyak orang.
Keunikan Musikalitas dan Atmosfer Spiritual
Kekuatan Sholawat Tarhim tidak hanya terletak pada liriknya, tetapi juga pada komposisi musik dan cara pelantunannya. Syekh Al-Hussary melantunkannya menggunakan Maqam Bayati, salah satu dari tujuh maqamat utama dalam musik Arab klasik. Maqam Bayati dikenal memiliki karakter yang introspektif, tenang, sedikit melankolis, namun agung. Tangga nada ini mampu membangkitkan perasaan rindu, khusyuk, dan kontemplasi.
Struktur melodinya bersifat repetitif pada frasa "Ash-shalâtu was-salâmu ‘alâyk", menciptakan efek seperti mantra yang menenangkan dan memfokuskan pikiran. Namun, di setiap bagian narasi, terutama saat mengisahkan Isra' Mi'raj, melodi tersebut berkembang dengan variasi yang indah, mengikuti alur emosi dari cerita. Vokal Syekh Al-Hussary sendiri adalah sebuah instrumen yang sempurna. Kekuatan napasnya yang panjang, kontrol vibrato (getaran suara) yang presisi, dan artikulasi makhraj huruf yang tanpa cela membuat setiap kata terdengar begitu jelas dan berbobot. Suaranya mampu menyampaikan rasa hormat, kerinduan, dan keagungan secara bersamaan.
Kombinasi antara lirik puitis, melodi Bayati yang syahdu, dan vokal prima Syekh Al-Hussary menciptakan sebuah atmosfer spiritual yang unik. Ketika dilantunkan di keheningan fajar, efeknya menjadi berlipat ganda. Ia berfungsi sebagai "alarm spiritual" yang tidak mengagetkan, melainkan membangunkan jiwa secara perlahan dan lembut, mempersiapkannya untuk berdialog dengan Sang Pencipta dalam shalat Subuh.
Peran di Indonesia dan Pandangan Ulama
Di Indonesia, Sholawat Tarhim telah melampaui fungsi aslinya sebagai pengisi siaran radio. Ia telah menjadi bagian integral dari ritual pra-Subuh di ribuan masjid dan mushala, dari Sabang sampai Merauke. Terutama selama bulan suci Ramadan, lantunan ini menjadi penanda waktu sahur yang paling dinantikan. Suaranya yang familiar menciptakan rasa kebersamaan komunal dan nostalgia yang mendalam bagi generasi yang tumbuh mendengarkannya.
Meskipun demikian, seperti banyak praktik keagamaan lainnya yang tidak secara eksplisit dilakukan pada zaman Nabi, praktik melantunkan Sholawat Tarhim sebelum azan menjadi subjek perdebatan di kalangan ulama. Sebagian kecil kalangan memandangnya sebagai suatu bentuk bid'ah (inovasi dalam ibadah) yang tidak memiliki dasar dari sunnah Nabi. Argumen mereka adalah bahwa Nabi dan para sahabat tidak pernah melakukan praktik seperti ini. Mereka khawatir hal ini akan dianggap sebagai bagian wajib dari ritual azan, padahal bukan.
Namun, mayoritas ulama, terutama dari kalangan tradisionalis seperti Nahdlatul Ulama (NU), memiliki pandangan yang berbeda. Mereka mengkategorikan Sholawat Tarhim sebagai bid'ah hasanah (inovasi yang baik). Argumentasi mereka didasarkan pada beberapa poin. Pertama, substansi dari sholawat ini adalah pujian kepada Nabi Muhammad SAW, yang merupakan amalan yang sangat dianjurkan dalam Islam. Kedua, tujuannya adalah mulia, yaitu untuk membangunkan orang untuk shalat Subuh dan mengingatkan mereka akan keagungan Nabi. Ketiga, ia tidak mengubah tata cara azan atau shalat itu sendiri, melainkan hanya berfungsi sebagai pengantar yang dilakukan sebelum waktu azan masuk. Praktik ini diqiyaskan (dianalogikan) dengan amalan para sahabat yang juga melakukan inovasi untuk kebaikan, seperti pengumpulan Al-Qur'an dalam satu mushaf.
Bagi pendukungnya, Sholawat Tarhim dipandang sebagai wujud kreativitas budaya Islam yang positif, sebuah cara yang indah untuk menyebarkan syiar dan kecintaan kepada Rasulullah SAW. Ia dianggap selaras dengan kaidah ushul fiqh: al-ashlu fil-asyya’ al-ibahah hatta yadulla ad-dalilu ‘ala at-tahrim (hukum asal segala sesuatu adalah boleh sampai ada dalil yang melarangnya). Selama isinya tidak bertentangan dengan akidah dan tujuannya baik, maka praktik semacam ini dapat diterima sebagai bagian dari kekayaan tradisi Islam.
Warisan Abadi Sebuah Lantunan
Sholawat Tarhim adalah sebuah fenomena. Ia adalah karya seni vokal tingkat tinggi, sebuah syair religius yang mendalam, dan sebuah penanda budaya yang melintasi generasi. Dari studio radio di Kairo, gema syahdunya telah melakukan perjalanan ribuan kilometer untuk menemukan rumah kedua di hati umat Muslim Indonesia. Ia menjadi bukti bagaimana sebuah karya yang tulus, diciptakan dengan keahlian dan keimanan, mampu memiliki daya tahan yang luar biasa.
Lebih dari sekadar melodi, Sholawat Tarhim adalah pengingat akan esensi ajaran Islam: cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Setiap fajar, saat lantunannya mengalun lembut membelah keheningan, ia tidak hanya membangunkan orang dari tidur fisiknya, tetapi juga berpotensi membangunkan kesadaran spiritual, mengingatkan kita pada sosok teladan yang agung, Nabi Muhammad SAW, sang pemimpin para pejuang, pembawa petunjuk, dan pemilik akhlak yang paling mulia. Warisannya akan terus bergema, dari menara ke menara, dari hati ke hati, sebagai melodi abadi yang menyambut datangnya cahaya.