Menyelami Samudra Makna Sholawat Sunan Kalijaga
Di jantung kebudayaan Jawa yang kaya dan berlapis, nama Sunan Kalijaga bergema sebagai sosok wali yang agung, seorang penyebar Islam yang ulung sekaligus budayawan yang jenius. Beliau tidak hanya mengajarkan syariat, tetapi juga merangkul kearifan lokal, menjadikannya jembatan untuk menyampaikan pesan-pesan ilahiah. Salah satu warisan spiritualnya yang paling abadi dan meresap dalam sanubari masyarakat adalah rangkaian gubahan puitis yang dikenal sebagai sholawat Sunan Kalijaga. Ini bukanlah sekadar lantunan pujian kepada Nabi Muhammad SAW dalam format konvensional, melainkan sebuah karya sastra-sufistik yang mendalam, terbungkus dalam keindahan bahasa Jawa kuno, dan sarat dengan filosofi hidup serta permohonan perlindungan kepada Sang Maha Kuasa.
Sholawat ini sering kali berbentuk kidung atau tembang, sebuah format yang sangat akrab di telinga masyarakat Jawa. Melalui media ini, ajaran tauhid, akhlak, dan tasawuf dapat tersampaikan dengan cara yang halus, indah, dan mudah diterima tanpa harus menyingkirkan tradisi yang telah mengakar. Kidung-kidung ini menjadi bukti nyata kejeniusan Sunan Kalijaga dalam melakukan dakwah bil-hikmah, yaitu dakwah dengan kebijaksanaan, memadukan substansi Islam yang murni dengan estetika budaya setempat. Hingga kini, lantunan sholawat atau kidung-kidung ini masih sering didendangkan, menjadi doa pengantar tidur, penolak bala, sekaligus media kontemplasi untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.
Jejak Historis dan Sosok Sunan Kalijaga
Untuk memahami kedalaman makna sholawat Sunan Kalijaga, kita perlu terlebih dahulu mengenal sosok penggubahnya. Sunan Kalijaga, yang memiliki nama asli Raden Said, adalah salah satu anggota Wali Songo yang paling berpengaruh. Kisah hidupnya yang legendaris, dari seorang perampok budiman bernama Lokajaya hingga menjadi seorang waliullah, memberikan latar belakang yang kuat terhadap karya-karyanya. Perjalanan spiritualnya yang intens, termasuk pertapaannya yang masyhur di tepi sungai (kali), memberinya pemahaman mendalam tentang hakikat kehidupan, manusia, dan Tuhan.
Beliau hidup di era transisi, di mana pengaruh Hindu-Buddha masih sangat kuat di tanah Jawa. Alih-alih memberangus budaya yang ada, Sunan Kalijaga memilih jalan akulturasi. Beliau melihat seni dan budaya bukan sebagai penghalang, melainkan sebagai kendaraan yang paling efektif untuk berdakwah. Wayang kulit, gamelan, tembang macapat, hingga seni ukir dan arsitektur, semuanya diadaptasi dan diisi dengan napas Islam. Dalam pertunjukan wayang, misalnya, beliau menyisipkan filsafat tauhid melalui lakon-lakon seperti Dewa Ruci atau Jimat Kalimasada (Kalimat Syahadat). Di sela-sela pertunjukan inilah, kidung-kidung sarat makna spiritual dilantunkan, yang kemudian dikenal luas sebagai bagian dari warisan sholawat beliau.
Metode ini terbukti sangat berhasil. Islam yang beliau ajarkan terasa ramah, damai, dan tidak tercerabut dari akar budaya masyarakat. Pesan-pesan yang terkandung dalam sholawatnya, yang sering kali berbicara tentang perlindungan dari kejahatan, keselarasan dengan alam, dan kepasrahan total kepada Tuhan, sangat relevan dengan kosmologi dan cara pandang masyarakat Jawa saat itu. Oleh karena itu, sholawat ini bukan hanya produk keagamaan, tetapi juga sebuah monumen budaya yang merekam proses Islamisasi di Jawa dengan cara yang paling elegan.
Membedah Kidung "Rumekso Ing Wengi": Jantung Sholawat Sunan Kalijaga
Salah satu karya yang paling identik dan sering disebut sebagai sholawat Sunan Kalijaga adalah Kidung "Rumekso Ing Wengi" (Menjaga di Waktu Malam). Kidung ini merupakan sebuah doa perlindungan yang komprehensif, memohon penjagaan dari segala marabahaya, baik yang terlihat maupun yang tak kasat mata. Setiap baitnya mengandung lapisan makna yang sangat dalam, memadukan konsep perlindungan dalam Islam dengan terminologi dan simbolisme Jawa. Mari kita bedah beberapa bait penting dari kidung ini.
Ana kidung rumekso ing wengi, teguh hayu luputa ing lara, luputa bilahi kabeh, jin setan datan purun, paneluhan tan ana wani, miwah panggawe ala, gunaning wong luput, geni atemahan tirta, maling adoh tan ana ngarah ing mami, guna duduk pan sirno.
Bait pembuka ini secara gamblang menyatakan fungsi kidung tersebut: sebagai penjaga di waktu malam. "Teguh hayu" berarti kokoh dalam keselamatan, sementara "luputa ing lara, luputa bilahi kabeh" adalah permohonan agar terhindar dari segala penyakit dan mara bahaya. Kekuatan doa ini dipercaya mampu membuat jin dan setan tidak berani mendekat ("jin setan datan purun"). Bahkan segala bentuk sihir, santet, atau teluh ("paneluhan") dan perbuatan jahat lainnya tidak akan mempan. Kalimat "geni atemahan tirta" (api menjadi air) adalah kiasan yang indah, menggambarkan bagaimana amarah dan niat jahat yang membara akan padam dan menjadi sejuk ketika berhadapan dengan kekuatan doa ini. Bait ini ditutup dengan penegasan bahwa pencuri akan menjauh dan segala bentuk guna-guna akan sirna.
Analisis Filosofis dan Teologis
Secara teologis, bait ini adalah manifestasi dari konsep tawakal dan permohonan perlindungan (isti'adzah) kepada Allah SWT. Sunan Kalijaga tidak menyebut "Allah" secara langsung, namun esensi dari permohonan ini ditujukan kepada kekuatan Yang Maha Gaib dan Maha Kuasa. Penggunaan istilah "kidung" itu sendiri adalah sebuah kearifan. Di telinga masyarakat Jawa, kata ini lebih akrab dan menenangkan daripada kata "doa" yang mungkin terdengar formal. Beliau membungkus doa Islami dengan pakaian budaya Jawa.
Lebih jauh, kidung ini juga menyentuh aspek psikologis. Melantunkan kidung ini sebelum tidur memberikan ketenangan batin dan rasa aman. Ketakutan terhadap kegelapan, mahluk gaib, atau niat jahat manusia diredam oleh keyakinan akan adanya perlindungan Ilahi yang diaktifkan melalui lantunan kidung tersebut. Ini adalah bentuk terapi spiritual yang sangat praktis dan efektif.
Sakehing lara pan samya bali, sakehing ngama pan sami miruda, welas asih pandulune, sakehing braja luput, kadi kapuk tibaning wesi, sakehing wisa tawa, sato galak lulut, kayu aeng lemah sangar, songing landhak guwaning mong lemah miring, myang pakiponing merak.
Bait selanjutnya memperluas cakupan perlindungan. "Sakehing lara pan samya bali" (segala penyakit akan kembali pulang) adalah doa untuk kesembuhan dan kesehatan. "Sakehing ngama pan sami miruda" (segala hama akan menyingkir) relevan bagi masyarakat agraris, menunjukkan bahwa doa ini juga mencakup perlindungan atas mata pencaharian. Bagian "welas asih pandulune" (pandangannya penuh welas asih) menyiratkan bahwa kekuatan kidung ini tidak hanya menolak, tetapi juga mengubah. Pandangan yang tadinya penuh benci bisa berubah menjadi welas asih.
Kekuatan perlindungannya digambarkan dengan sangat puitis: serangan tajam ("braja") akan menjadi tak berarti, "kadi kapuk tibaning wesi" (seperti kapas yang jatuh di atas besi). Segala racun menjadi tawar ("sakehing wisa tawa"). Bahkan binatang buas menjadi jinak ("sato galak lulut"). Perlindungan ini juga mencakup dimensi alam. Tempat-tempat yang dianggap angker seperti pohon besar ("kayu aeng"), tanah sangar, liang landak, goa harimau, hingga tempat-tempat terpencil lainnya, semuanya menjadi aman. Ini menunjukkan sebuah konsep keselarasan, di mana manusia yang berlindung kepada Tuhan akan dihormati dan dilindungi oleh segenap isi alam.
Puncak Spiritualitas: Penyebutan Asma Allah dan Para Nabi
Di bagian-bagian selanjutnya, kidung ini secara eksplisit menunjukkan identitas Islamnya, meskipun tetap dalam balutan bahasa yang khas. Sunan Kalijaga mulai memasukkan nama-nama agung yang menjadi pilar dalam keyakinan Islam.
Lamun ana wong kadhendha, amaca kidung iki, ing dalem becik ngapura, lan wong gelem kang nyatroni, satrune pan sirna, tan ana wani nyedhaki, apan sarira ayu, ingayoman dening Hyang Widdhi, Hyang Suksma Adiluwih, kang ngreksa ing uripku, lan panunggalane, rasulullah panutan jati...
Di sini, kidung ini dipercaya bisa membantu orang yang terkena masalah hukum atau denda ("wong kadhendha"). Bahkan musuh yang membenci ("wong gelem kang nyatroni") akan sirna niat jahatnya. Mengapa? Karena orang yang melantunkannya berada dalam naungan Tuhan: "ingayoman dening Hyang Widdhi, Hyang Suksma Adiluwih" (dinaungi oleh Tuhan Yang Maha Esa, Jiwa Agung Yang Maha Luhur). Ini adalah penggunaan terminologi Jawa untuk merujuk pada Allah SWT. Kemudian, kidung ini menegaskan sandaran utamanya adalah "rasulullah panutan jati," yaitu Rasulullah sebagai panutan sejati.
Kidung ini kemudian menyebutkan para nabi lain dengan atribut kekuatan mereka masing-masing, yang diyakini menjadi berkah bagi pembacanya. Ada Nabi Adam, Sis, Yakub, Yusuf, Daud dengan suara merdunya, Sulaiman yang menaklukkan seluruh mahluk, Ibrahim sang kekasih Tuhan, hingga Nabi Musa yang memiliki kekuatan tongkatnya. Puncaknya adalah penyebutan Nabi Muhammad, "Nabi kita kang linuhung," sebagai nabi yang paling agung. Rangkaian penyebutan ini bukan sekadar daftar nama, melainkan sebuah tawasul, yaitu mengambil berkah dari para utusan Allah sebagai perantara untuk mendekatkan doa kepada-Nya. Ini adalah praktik yang lazim dalam tradisi Ahlus Sunnah wal Jama'ah.
Sholawat Sebagai Media Dakwah Kultural
Kejeniusan Sunan Kalijaga terletak pada kemampuannya untuk "menerjemahkan" konsep-konsep Islam yang luhur ke dalam bahasa budaya yang dipahami masyarakatnya. Sholawat dalam bentuk kidung adalah contoh sempurna dari strategi ini.
1. Menggunakan Wadah yang Familiar
Masyarakat Jawa pra-Islam telah akrab dengan mantra, kidung, dan tembang sebagai bagian dari ritual spiritual dan kehidupan sehari-hari. Mereka percaya bahwa kata-kata yang dirangkai secara puitis dan dilantunkan dengan irama tertentu memiliki kekuatan magis atau spiritual. Sunan Kalijaga tidak menghapus tradisi ini. Sebaliknya, beliau mengadopsi "wadah"-nya, yaitu format kidung dan tembang, namun mengganti "isinya" dengan substansi tauhid, doa, dan pujian kepada Allah serta Rasul-Nya. Dengan demikian, masyarakat tidak merasa asing; mereka merasa ajaran baru ini adalah penyempurnaan dari apa yang telah mereka kenal.
2. Bahasa yang Merangkul
Bahasa yang digunakan dalam Kidung Rumekso Ing Wengi adalah bahasa Jawa Kuno yang puitis dan penuh metafora. Pilihan kata seperti "Hyang Widdhi" atau "Hyang Suksma" untuk menyebut Tuhan adalah jembatan linguistik yang cerdas. Kata-kata ini sudah ada dalam perbendaharaan spiritual masyarakat, namun oleh Sunan Kalijaga, maknanya dikontekstualisasikan ulang ke dalam kerangka tauhid Islam. Ini adalah pendekatan yang inklusif, bukan konfrontatif. Beliau tidak memaksa penggunaan terminologi Arab murni sejak awal, melainkan secara bertahap memperkenalkan konsep Islam melalui istilah yang sudah familiar.
3. Integrasi dengan Kesenian
Sholawat ini tidak hidup dalam ruang hampa. Ia menjadi bagian tak terpisahkan dari pertunjukan wayang kulit dan alunan gamelan. Ketika seorang dalang melantunkan bait-bait kidung ini di tengah cerita, pesan spiritualnya meresap secara subliminal ke dalam benak penonton. Suasana mistis yang dibangun oleh alunan gamelan dan bayang-bayang wayang semakin memperkuat daya magis dan spiritual dari kidung tersebut. Dengan cara ini, dakwah tidak lagi terasa seperti ceramah yang menggurui, melainkan sebuah pengalaman estetis dan spiritual yang menyeluruh.
4. Fungsi Ganda: Doa dan Pendidikan Karakter
Selain sebagai doa perlindungan, sholawat Sunan Kalijaga juga berfungsi sebagai media pendidikan karakter. Kidung ini mengajarkan untuk selalu waspada ("eling lan waspada"), berserah diri kepada Tuhan, memiliki welas asih, dan tidak memiliki niat jahat kepada sesama. Nilai-nilai ini disampaikan melalui simbol-simbol dan kiasan yang indah, sehingga lebih mudah dicerna dan diingat daripada nasihat langsung. Anak-anak yang diajarkan untuk melantunkan kidung ini sebelum tidur secara tidak langsung menanamkan nilai-nilai luhur tersebut ke dalam alam bawah sadar mereka.
Relevansi Sholawat Sunan Kalijaga di Era Modern
Meskipun digubah berabad-abad yang lalu, sholawat atau kidung warisan Sunan Kalijaga tetap relevan hingga saat ini. Di tengah hiruk pikuk dunia modern yang sering kali menimbulkan kecemasan, kegelisahan, dan perasaan tidak aman, lantunan kidung ini menawarkan oase ketenangan.
Banyak orang, terutama di kalangan masyarakat Jawa tradisional, masih mengamalkan kidung ini sebagai doa harian. Mereka meyakini kekuatan spiritualnya untuk melindungi diri dan keluarga dari berbagai marabahaya, baik fisik maupun gaib. Di era di mana penyakit non-medis atau gangguan psikologis semakin marak, kidung ini menjadi semacam benteng spiritual, sebuah bentuk ruqyah mandiri yang berakar pada kearifan lokal.
Dari perspektif budaya, melestarikan dan mengkaji sholawat Sunan Kalijaga adalah cara untuk menjaga warisan adiluhung nusantara. Ia adalah bukti otentik tentang bagaimana Islam dan budaya lokal dapat berdialog dan bersinergi secara harmonis. Mempelajarinya berarti mempelajari sejarah intelektual dan spiritual nenek moyang kita, serta menghargai metode dakwah yang damai dan bijaksana.
Lebih dari itu, pesan universal yang terkandung di dalamnya—tentang kepasrahan kepada Tuhan, pentingnya welas asih, dan kekuatan doa—akan selalu relevan sepanjang masa. Ia mengingatkan kita bahwa di balik segala kemajuan teknologi dan rasionalitas, manusia tetaplah mahluk spiritual yang membutuhkan sandaran kepada kekuatan yang lebih besar dari dirinya sendiri. Sholawat Sunan Kalijaga adalah jembatan yang menghubungkan kebutuhan spiritual universal itu dengan ekspresi budaya yang unik dan memesona. Ia adalah lantunan doa dari masa lalu, yang gema kebijaksanaannya terus bergetar hingga ke masa depan, mengajak kita untuk selalu menjaga diri dalam naungan-Nya, di tengah terang maupun di pekatnya malam.