Mengupas Tuntas Sholawat Nariyah

Ilustrasi Kaligrafi Islam Bentuk geometris Islami yang melambangkan cahaya, kedamaian, dan spiritualitas, cocok dengan tema sholawat. Ilustrasi geometris Islami yang melambangkan cahaya dan harapan dari sholawat.

Di antara samudra luas khazanah spiritual Islam, terdapat permata-permata doa dan pujian yang terus bersinar melintasi zaman. Salah satu yang paling masyhur dan diamalkan secara luas oleh umat Muslim di berbagai belahan dunia, khususnya di Nusantara, adalah Sholawat Nariyah. Sholawat ini dikenal dengan nama lain seperti Sholawat Tafrijiyah (Pembuka Kesulitan) atau Sholawat Qurthubiyah, merujuk pada ulama besar yang mempopulerkannya. Keindahan susunan katanya, kedalaman maknanya, serta keyakinan akan fadhilahnya yang luar biasa menjadikan sholawat ini sebagai wirid andalan bagi banyak orang yang mendambakan pertolongan Allah SWT melalui wasilah kecintaan kepada Baginda Nabi Muhammad SAW.

Sholawat Nariyah bukan sekadar rangkaian kata. Ia adalah ekspresi cinta yang mendalam, sebuah pengakuan atas keagungan dan kedudukan Rasulullah SAW sebagai pembawa rahmat bagi seluruh alam. Setiap frasa di dalamnya mengandung doa dan harapan yang universal, menyentuh berbagai aspek kehidupan manusia, mulai dari terurainya simpul-simpul masalah, hilangnya kesedihan, terpenuhinya hajat, hingga tercapainya akhir hidup yang baik (husnul khatimah). Inilah yang membuatnya relevan dan terus diamalkan, menjadi penyejuk jiwa di kala gundah dan sumber kekuatan di saat lemah.

Teks Sholawat Nariyah: Lafaz, Transliterasi, dan Terjemahan

Untuk dapat meresapi keagungan Sholawat Nariyah, langkah pertama adalah memahami lafaznya secara utuh. Berikut adalah bacaan lengkap Sholawat Nariyah dalam tulisan Arab, disertai dengan transliterasi untuk mempermudah pembacaan dan terjemahan agar kita dapat menyelami maknanya.

اَللّٰهُمَّ صَلِّ صَلَاةً كَامِلَةً وَسَلِّمْ سَلَامًا تَامًّا عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الَّذِيْ تَنْحَلُّ بِهِ الْعُقَدُ وَتَنْفَرِجُ بِهِ الْكُرَبُ وَتُقْضٰى بِهِ الْحَوَائِجُ وَتُنَالُ بِهِ الرَّغَائِبُ وَحُسْنُ الْخَوَاتِمِ وَيُسْتَسْقَى الْغَمَامُ بِوَجْهِهِ الْكَرِيْمِ وَعَلٰى اٰلِهِ وَصَحْبِهِ فِيْ كُلِّ لَمْحَةٍ وَنَفَسٍ بِعَدَدِ كُلِّ مَعْلُوْمٍ لَكَ

Transliterasi Latin dari bacaan di atas adalah sebagai berikut:

"Allâhumma shalli shalâtan kâmilatan wa sallim salâman tâmman 'alâ sayyidinâ Muḫammadinil-ladzî tanḫallu bihil-'uqadu wa tanfariju bihil-kurabu wa tuqdlâ bihil-ḫawâiju wa tunâlu bihir-raghâ’ibu wa ḫusnul-khawâtimi wa yustasqal-ghamâmu biwajhihil-karîmi wa 'alâ âlihî wa shaḫbihî fî kulli lamḫatin wa nafasin bi'adadi kulli ma'lûmilak."

Adapun terjemahan atau arti dari Sholawat Nariyah adalah:

"Ya Allah, limpahkanlah shalawat yang sempurna dan curahkanlah salam kesejahteraan yang penuh kepada junjungan kami Nabi Muhammad, yang dengan berkahnya semua kesulitan dapat terurai, semua kesusahan dapat dilenyapkan, semua hajat dapat terpenuhi, dan semua keinginan dan akhir yang baik dapat diraih, serta berkat wajahnya yang mulia, hujanpun turun, dan semoga terlimpahkan kepada keluarganya serta para sahabatnya, di setiap kedipan mata dan hembusan nafas, sebanyak bilangan semua yang diketahui oleh-Mu."

Menyelami Sejarah dan Asal-Usul Nama "Nariyah"

Setiap amalan agung seringkali memiliki jejak sejarah yang menarik untuk ditelusuri. Sholawat ini diyakini disusun oleh seorang wali besar dari Maroko yang bernama Syaikh Ahmad al-Tazi, yang hidup pada abad ke-14. Beliau adalah seorang sufi dan ulama yang dikenal karena kecintaannya yang luar biasa kepada Rasulullah SAW. Namun, nama yang paling melekat pada sholawat ini adalah "Nariyah", yang secara harfiah berarti "api". Lantas, mengapa disebut demikian?

Kisah yang paling populer dan sering dikutip oleh para ulama adalah pengalaman spiritual dari penyusunnya sendiri. Diceritakan bahwa Syaikh Ahmad al-Tazi sangat ingin melihat Rasulullah SAW dalam mimpinya atau bahkan dalam keadaan terjaga (yaqazhah). Untuk mencapai maqam spiritual yang tinggi ini, beliau beristikharah dan memohon petunjuk kepada Allah. Dalam petunjuknya, beliau diilhami untuk membaca sebuah sighat (bentuk) sholawat tertentu sebanyak 4.444 kali secara rutin dan istiqamah. Beliau pun mengamalkannya dengan penuh keyakinan dan kesungguhan hati.

Berkat keistiqamahannya, Allah SWT mengabulkan permohonannya. Beliau mendapatkan anugerah mulia berupa pertemuan dengan Rasulullah SAW. Dalam pertemuan tersebut, Rasulullah SAW memberikan apresiasi dan pengakuan atas sholawat yang diamalkannya. Dari sinilah, sholawat ini mulai dikenal luas. Nama "Nariyah" (api) disematkan karena fadhilahnya yang diyakini sangat cepat dalam mengabulkan hajat, secepat sambaran api yang membakar. Jika seseorang memiliki keinginan atau masalah yang mendesak, membaca sholawat ini dengan jumlah tertentu diyakini akan memberikan solusi atau jawaban yang cepat, laksana api yang segera menyala dan memberikan efek.

Selain Syaikh Ahmad al-Tazi, ulama besar lain yang turut mempopulerkan sholawat ini adalah Imam Al-Qurthubi dari Andalusia (Spanyol). Dalam beberapa kitabnya, beliau menjelaskan tentang keutamaan sholawat ini, sehingga sholawat ini juga kerap disebut Sholawat Qurthubiyah. Beliau menegaskan bahwa barangsiapa yang membacanya secara rutin, Allah akan melepaskannya dari berbagai kesulitan dan kesedihan, membukakan pintu-pintu kebaikan, dan melindunginya dari marabahaya.

Makna Mendalam di Balik Setiap Lafaz Sholawat Nariyah

Keagungan Sholawat Nariyah tidak hanya terletak pada sejarah atau fadhilahnya, tetapi juga pada kedalaman makna yang terkandung dalam setiap frasa. Mari kita bedah satu per satu untuk memahami kekayaan spiritual yang ditawarkannya.

1. Permohonan Sholawat dan Salam yang Sempurna

"Allâhumma shalli shalâtan kâmilatan wa sallim salâman tâmman..." (Ya Allah, limpahkanlah shalawat yang sempurna dan curahkanlah salam kesejahteraan yang penuh...).

Kalimat pembuka ini adalah inti dari sebuah sholawat. Kita memohon kepada Allah, Sang Pemilik segala rahmat dan kesejahteraan, untuk melimpahkannya kepada Nabi Muhammad SAW. Kata "kâmilah" (sempurna) dan "tâmman" (penuh/lengkap) menunjukkan sebuah permohonan yang tidak setengah-setengah. Kita meminta rahmat dan salam terbaik, tertinggi, dan terlengkap yang layak dianugerahkan kepada makhluk paling mulia. Ini adalah bentuk adab dan pengagungan tertinggi seorang hamba kepada Nabinya.

2. Kedudukan Nabi Muhammad SAW sebagai Wasilah

"...'alâ sayyidinâ Muḫammadinil-ladzî..." (...kepada junjungan kami Nabi Muhammad, yang dengan berkahnya...).

Frasa ini menetapkan posisi Nabi Muhammad SAW sebagai "Sayyid" (junjungan, tuan, pemimpin). Kemudian, kata "alladzî" (yang) menjadi penghubung kepada serangkaian keutamaan agung yang Allah titipkan padanya. Konsep ini dalam teologi Islam dikenal sebagai tawassul, yaitu menjadikan kecintaan dan kedudukan mulia Nabi Muhammad SAW sebagai perantara untuk berdoa kepada Allah. Ini bukanlah meminta kepada Nabi, melainkan memohon kepada Allah dengan menyebut kemuliaan hamba yang paling dicintai-Nya.

3. Terurainya Segala Simpul Masalah

"...tanḫallu bihil-'uqad..." (...semua kesulitan dapat terurai...).

"Al-'Uqad" secara harfiah berarti "ikatan-ikatan" atau "simpul-simpul". Dalam konteks kehidupan, ini adalah metafora untuk segala macam masalah yang rumit dan sulit dipecahkan. Bisa berupa masalah finansial yang melilit, konflik keluarga yang tak kunjung usai, penyakit yang sulit disembuhkan, atau kebuntuan dalam mencari jalan keluar. Dengan berkah sholawat ini, kita berharap Allah membuka jalan dan menguraikan segala kerumitan tersebut.

4. Lenyapnya Segala Kesusahan

"...wa tanfariju bihil-kurab..." (...semua kesusahan dapat dilenyapkan...).

"Al-Kurab" adalah bentuk jamak dari "kurbah", yang berarti kesedihan, kegundahan, dan duka yang mendalam. Ini lebih merujuk pada beban emosional dan psikologis. Ketika hati terasa sesak, cemas, dan diliputi kesedihan, sholawat menjadi penawarnya. Dengan mengingat dan memuji Nabi SAW, sang pembawa kabar gembira, hati diharapkan menjadi lapang dan terang kembali.

5. Terpenuhinya Segala Hajat

"...wa tuqdlâ bihil-ḫawâij..." (...semua hajat dapat terpenuhi...).

"Al-Hawâij" adalah segala kebutuhan dan keinginan yang kita panjatkan kepada Allah. Baik kebutuhan duniawi seperti rezeki yang halal, pekerjaan yang baik, dan jodoh yang saleh/salehah, maupun kebutuhan ukhrawi seperti ampunan dosa dan surga. Frasa ini adalah doa agar segala harapan dan cita-cita kita diijabah oleh Allah SWT.

6. Tercapainya Segala Keinginan dan Husnul Khatimah

"...wa tunâlu bihir-raghâ’ibu wa ḫusnul-khawâtim..." (...dan semua keinginan dan akhir yang baik dapat diraih...).

"Ar-Raghâ’ib" adalah cita-cita luhur dan aspirasi tinggi. Sementara "Husnul Khawatim" adalah puncak dari segala harapan seorang Muslim: sebuah akhir hidup yang baik, meninggal dalam keadaan iman dan Islam. Doa ini mencakup spektrum harapan dari awal hingga akhir, dari cita-cita dunia hingga keselamatan di akhirat.

7. Wajah Mulia sebagai Sebab Turunnya Hujan

"...wa yustasqal-ghamâmu biwajhihil-karîm..." (...serta berkat wajahnya yang mulia, hujanpun turun...).

Frasa ini memiliki makna historis dan metaforis. Secara historis, terdapat riwayat di mana para sahabat meminta Nabi SAW untuk berdoa memohon hujan saat kekeringan melanda, dan Allah pun menurunkan hujan. Secara metaforis, "hujan" (al-ghamam) adalah lambang rahmat, berkah, dan rezeki yang melimpah. Wajah Nabi yang mulia adalah simbol dari sumber rahmat Allah yang tercurah kepada alam semesta.

8. Doa untuk Keluarga dan Sahabat

"...wa 'alâ âlihî wa shaḫbihî..." (...dan semoga terlimpahkan kepada keluarganya serta para sahabatnya...).

Sebuah sholawat tidak akan lengkap tanpa menyertakan keluarga (Ahlul Bait) dan para sahabat Nabi yang mulia. Ini adalah bentuk penghormatan dan pengakuan atas jasa dan perjuangan mereka dalam menyebarkan ajaran Islam. Kita mendoakan mereka sebagaimana kita mendoakan Nabi, karena kecintaan kepada Nabi juga berarti mencintai orang-orang yang dicintainya.

9. Dalam Setiap Waktu dan Tak Terhingga

"...fî kulli lamḫatin wa nafasin bi'adadi kulli ma'lûmilak." (...di setiap kedipan mata dan hembusan nafas, sebanyak bilangan semua yang diketahui oleh-Mu).

Ini adalah penutup yang luar biasa agung. "Lamhah" adalah kedipan mata, dan "nafas" adalah hembusan nafas, keduanya adalah satuan waktu terkecil yang terus-menerus terjadi. Ini berarti kita memohon sholawat dan salam tanpa henti, setiap saat. Puncaknya adalah "bi'adadi kulli ma'lûmilak" (sebanyak bilangan semua yang diketahui oleh-Mu). Ilmu Allah tidak terbatas, maka jumlah sholawat yang kita mohonkan pun menjadi tidak terbatas. Ini adalah ekspresi kerinduan dan pengagungan yang melampaui batas kemampuan hitungan manusia.

Fadhilah dan Keutamaan Mengamalkan Sholawat Nariyah

Para ulama dan auliya telah banyak menjelaskan tentang fadhilah atau keutamaan dari mengamalkan Sholawat Nariyah. Keyakinan akan fadhilah ini bukan tanpa dasar, melainkan bersumber dari pengalaman spiritual dan pemahaman mendalam atas kandungan doa di dalamnya. Berikut adalah beberapa keutamaan yang diyakini akan didapatkan oleh pengamalnya:

Tata Cara dan Adab Mengamalkan Sholawat Nariyah

Mengamalkan Sholawat Nariyah dapat dilakukan dengan berbagai cara, tergantung pada niat dan kemampuan masing-masing. Tidak ada aturan baku yang kaku, namun para ulama telah memberikan beberapa panduan yang bisa diikuti untuk mendapatkan hasil yang lebih optimal.

1. Amalan Harian (Istiqamah)

Untuk amalan sehari-hari, Sholawat Nariyah dapat dibaca setelah selesai shalat fardhu. Jumlahnya bisa bervariasi, misalnya 3 kali, 7 kali, atau 11 kali setiap selesai shalat. Kunci dari amalan harian adalah istiqamah (konsisten). Meskipun jumlahnya sedikit, jika dilakukan secara rutin setiap hari, insya Allah berkahnya akan terasa dalam kehidupan.

2. Amalan untuk Hajat Khusus (4.444 Kali)

Ini adalah metode yang paling terkenal untuk memohon terkabulnya hajat yang sangat penting dan mendesak. Praktiknya adalah membaca Sholawat Nariyah sebanyak 4.444 kali. Angka ini bukanlah angka sembarangan, melainkan angka yang diyakini oleh para ulama ahli hikmah sebagai "kunci" ijabah untuk amalan ini. Tata caranya adalah sebagai berikut:

Perspektif Ulama tentang Sholawat Nariyah

Mayoritas ulama dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jama'ah, terutama yang berafiliasi dengan mazhab Syafi'i dan tradisi tasawuf, memandang Sholawat Nariyah sebagai amalan yang baik dan dianjurkan. Mereka memahami frasa-frasa di dalamnya sebagai bentuk tawassul yang dibolehkan, yaitu memohon kepada Allah dengan perantara kemuliaan Nabi Muhammad SAW. Ini didasarkan pada keyakinan bahwa Nabi SAW adalah Rahmatan lil 'Alamin (rahmat bagi seluruh alam), dan berkahnya tidak terputus bahkan setelah beliau wafat.

Syaikh Yusuf an-Nabhani, seorang ulama besar dari Lebanon, dalam kitabnya "Afdhalus Shalawat 'ala Sayyidis Sadat", juga mencantumkan sholawat ini dan menjelaskan sebagian keutamaannya. Beliau menyebutkan bahwa sholawat ini adalah salah satu "perbendaharaan 'Arsy" yang sangat berharga.

Meskipun demikian, ada sebagian kecil kelompok yang mempermasalahkan beberapa redaksi dalam sholawat ini karena dianggap berlebihan. Namun, para ulama Ahlus Sunnah telah memberikan penjelasan yang komprehensif bahwa penggunaan kata "bihi" (dengannya/sebabnya) dalam sholawat ini harus dipahami dalam konteks majaz (kiasan) dan sababiyah (sebab-akibat), di mana hakikat yang mengabulkan, melapangkan, dan menunaikan segalanya tetaplah Allah SWT semata. Nabi Muhammad SAW hanyalah wasilah atau sebab yang Allah muliakan.

Penutup: Permata Spiritual untuk Kehidupan

Sholawat Nariyah adalah warisan spiritual yang tak ternilai harganya. Ia adalah jembatan cinta antara seorang hamba dengan Nabinya, sekaligus pintu untuk mengetuk rahmat dan pertolongan Allah SWT. Lebih dari sekadar amalan untuk meminta hajat, ia adalah media untuk menumbuhkan rasa mahabbah (cinta) yang mendalam kepada Rasulullah SAW, meneladani akhlaknya, dan merindukan syafaatnya.

Dalam setiap putaran tasbih yang melantunkan Sholawat Nariyah, terdapat harapan agar simpul masalah terurai, kesedihan sirna, dan cita-cita tercapai. Namun, harapan tertinggi adalah agar lisan dan hati kita senantiasa basah dengan pujian kepada sang kekasih Allah, sehingga kita layak diakui sebagai umatnya dan berkumpul bersamanya di surga kelak. Mengamalkannya dengan istiqamah dan penuh keyakinan adalah cara kita memelihara permata spiritual ini agar cahayanya senantiasa menerangi jalan hidup kita di dunia dan di akhirat.

🏠 Kembali ke Homepage