Lantunan Rindu dari Bumi Borneo: Membedah Sholawat Guru Sekumpul
Sebuah penjelajahan makna, keutamaan, dan warisan spiritual.
Di jantung Kalimantan, dari sebuah kota kecil bernama Martapura, mengalun sebuah gema spiritual yang getarannya melintasi pulau, bahkan benua. Gema itu adalah lantunan sholawat yang dipopulerkan oleh seorang ulama kharismatik, Al-'Alimul 'Allamah Al-'Arif Billah Asy-Syekh Muhammad Zaini bin Abdul Ghani, yang lebih akrab disapa Abah Guru Sekumpul. Sholawat Guru Sekumpul bukanlah sekadar rangkaian puji-pujian, melainkan sebuah jembatan hati yang menghubungkan jutaan jiwa dengan Sang Kekasih Agung, Baginda Nabi Muhammad SAW. Ini adalah warisan tak ternilai, sebuah metode penanaman cinta yang begitu dalam, sederhana, namun luar biasa dahsyat dampaknya.
Ketika berbicara tentang "Sholawat Guru Sekumpul," kita tidak merujuk pada satu buah sholawat ciptaan beliau semata. Istilah ini lebih mengacu pada sebuah "mazhab" atau gaya dalam bersholawat. Gaya ini mencakup pilihan sholawat-sholawat tertentu dari kitab-kitab para ulama terdahulu, cara melantunkannya yang khas dengan iringan tabuhan terbang (rebana) yang syahdu, serta penjiwaan mendalam yang beliau ajarkan kepada para murid dan jamaahnya. Lantunan sholawat di Majelis Raudhatul Anwar, Sekumpul, memiliki karakter yang unik: temponya seringkali lambat, nadanya menyentuh kalbu, dan fokus utamanya adalah untuk menumbuhkan rasa rindu (mahabbah) yang membara kepada Rasulullah SAW. Artikel ini akan membawa kita menyelami samudra makna di balik sholawat-sholawat yang beliau populerkan, memahami keutamaannya, dan merasakan denyut spiritual yang terus hidup hingga hari ini.
Mengenal Sosok di Balik Lantunan Syahdu: Abah Guru Sekumpul
Untuk memahami kedalaman sholawatnya, kita perlu terlebih dahulu mengenal sumber mata airnya, yaitu Abah Guru Sekumpul. Beliau adalah seorang waliyullah, seorang ulama besar yang keilmuan dan karamahnya diakui secara luas. Dilahirkan dalam keluarga yang taat beragama, nasab beliau bersambung hingga ke Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari (Datu Kelampayan), ulama besar Kalimantan. Sejak kecil, kecerdasan dan kecintaan beliau pada ilmu sudah terlihat. Beliau tidak hanya menguasai ilmu-ilmu syariat seperti fiqih, tauhid, dan tasawuf, tetapi juga dianugerahi pemahaman spiritual (ma'rifat) yang mendalam.
Dakwah beliau berpusat pada satu poros utama: Mahabbatun Nabi, cinta kepada Nabi Muhammad SAW. Bagi beliau, cinta kepada Nabi adalah kunci segala kebaikan, pintu menuju cinta kepada Allah SWT, dan jalan untuk meraih syafaat di akhirat kelak. Metode dakwah beliau sangat menyentuh dan merangkul semua kalangan. Beliau tidak banyak berteori, tetapi lebih banyak memberi contoh nyata melalui akhlak mulia, kedermawanan, dan tentu saja, melalui lantunan dzikir dan sholawat. Majelis beliau di Sekumpul menjadi lautan manusia, tempat para pendosa menemukan oase taubat, tempat para pencari menemukan ketenangan, dan tempat para pecinta menumpahkan kerinduan mereka kepada Rasulullah. Beliau mengajarkan bahwa sholawat adalah nutrisi bagi ruh, obat bagi hati yang gundah, dan cara termudah untuk senantiasa terhubung dengan Sang Nabi. Warisan terbesar beliau bukanlah bangunan fisik, melainkan gelombang cinta kepada Rasulullah yang ia tanamkan di hati jutaan umat, yang terus bergetar melalui lantunan sholawat yang khas itu.
Lirik, Terjemahan, dan Makna Mendalam Sholawat Populer
Berikut adalah beberapa sholawat yang sangat identik dengan Majelis Sekumpul, beserta lirik, terjemahan, dan perenungan maknanya yang lebih dalam.
1. Ya Sayyidi Ya Rasulullah (Khosyi'in Qolbi)
Ini mungkin adalah "lagu kebangsaan" para pecinta Guru Sekumpul. Sholawat ini memiliki kekuatan magis untuk membawa pendengarnya ke dalam suasana khusyuk, rindu, dan penyesalan. Nadanya yang mendayu-dayu seolah menjadi representasi rintihan seorang hamba yang merindukan junjungannya.
يَا سَيِّدِي يَا رَسُوْلَ الله
يَا مَنْ لَهُ الْجَاهُ عِنْدَ الله
إِنَّ الْمُسِيْئِيْنَ قَدْ جَاءُوْك
بِالذَّنْبِ يَسْتَغْفِرُوْنَ اللهYâ Sayyidî Yâ Rosûlallâh
Yâ man lahul jâhu ‘indallâh
Innal musî-îna qod jâ-ûk
Bidz-dzanbi yastaghfirûnallâhWahai tuanku, wahai utusan Allah
Wahai yang memiliki kedudukan mulia di sisi Allah
Sungguh, kami para pendosa telah datang kepadamu
Dengan membawa dosa, kami memohon ampunan Allah
Tafsir dan Makna Mendalam: Sholawat ini adalah sebuah pengakuan total akan kelemahan diri di hadapan kemuliaan Rasulullah SAW. Bait pertama, "Yâ Sayyidî Yâ Rosûlallâh" (Wahai tuanku, wahai utusan Allah), adalah adab tertinggi. Kita memposisikan diri sebagai hamba, sebagai pengikut, di hadapan seorang Tuan yang agung. Ini bukan sekadar panggilan, melainkan sebuah deklarasi ketundukan dan cinta.
Bait kedua, "Yâ man lahul jâhu ‘indallâh" (Wahai yang memiliki kedudukan mulia di sisi Allah), adalah pengakuan kita atas wasilah (perantara). Kita meyakini bahwa Rasulullah SAW memiliki kedudukan yang tiada tanding di sisi Allah. Oleh karena itu, kita datang melalui "pintu" yang paling dicintai oleh Allah. Ini adalah bentuk tawasul yang diajarkan, yaitu menjadikan kecintaan kepada Nabi sebagai jalan untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.
Puncak dari sholawat ini ada pada dua bait terakhir: "Innal musî-îna qod jâ-ûk, Bidz-dzanbi yastaghfirûnallâh" (Sungguh, kami para pendosa telah datang kepadamu, dengan membawa dosa, kami memohon ampunan Allah). Di sinilah letak kerendahan hati yang paripurna. Kita tidak datang dengan membawa amal, kehebatan, atau kesucian. Kita datang dengan modal satu-satunya yang kita miliki: tumpukan dosa dan penyesalan. Kita "mengadu" kepada Rasulullah, seolah-olah berkata, "Wahai Rasulullah, lihatlah keadaan umatmu yang berlumur dosa ini. Kami malu menghadap Allah secara langsung. Maka, dengan perantaraan kedudukanmu yang mulia, bantulah kami memohonkan ampunan kepada-Nya." Inilah esensi dari syafaat. Sholawat ini mengajarkan kita untuk jujur pada diri sendiri tentang kondisi kita sebagai pendosa, dan pada saat yang sama, menaruh harapan besar pada luasnya kasih sayang Allah melalui pintu kecintaan kepada Nabi-Nya.
2. Nurul Musthofa
Qasidah ini adalah pujian yang melukiskan keindahan dan cahaya kenabian. Lantunannya di Majelis Sekumpul seringkali penuh semangat, membangkitkan kebahagiaan dan kebanggaan menjadi umat Nabi Muhammad SAW.
نُوْرُ الْمُصْطَفَى نُوْرُ الْمُصْطَفَى
مَلَأَ الْأَكْوَان مَلَأَ الْأَكْوَان
حَبِيْبِي مُحَمَّد مُحَمَّد
مُحَمَّد خَيْرِ الْمُرْسَلِيْنNûrul Mushthofâ, Nûrul Mushthofâ
Mala-al akwân, mala-al akwân
Habîbî Muhammad Muhammad
Muhammad khoiril mursalînCahaya Sang Manusia Pilihan (Nabi Muhammad)
Memenuhi seluruh alam semesta
Kekasihku Muhammad, Muhammad
Muhammad sebaik-baik para utusan
Tafsir dan Makna Mendalam: Frasa "Nûrul Mushthofâ" (Cahaya Sang Manusia Pilihan) adalah konsep sentral dalam tasawuf. Para ulama menjelaskan bahwa Nur Muhammad adalah ciptaan pertama Allah, sebuah cahaya spiritual yang menjadi asal-muasal dari segala ciptaan lainnya. Ketika kita melantunkan bait ini, kita sedang mengakui bahwa keberadaan alam semesta ini adalah manifestasi dari cahaya kenabian tersebut. Kehadiran Rasulullah SAW di dunia bukan hanya sebagai pembawa risalah, tetapi sebagai sumber cahaya rahmat yang menyinari seluruh jagat raya, baik yang terlihat maupun yang tidak. Pengulangan kata "Mala-al akwân" (memenuhi seluruh alam semesta) menegaskan betapa universal dan meratanya rahmat dan cahaya tersebut.
Selanjutnya, bait "Habîbî Muhammad" (Kekasihku Muhammad) adalah ekspresi cinta yang personal dan intim. Kita tidak hanya menyebutnya sebagai "Nabi" atau "Rasul" yang merupakan sebuah jabatan, tetapi sebagai "Habîbî," kekasih hati. Ini mengubah hubungan dari sekadar pengikut menjadi seorang pecinta. Panggilan ini menumbuhkan ikatan emosional yang kuat. Diakhiri dengan "khoiril mursalîn" (sebaik-baik para utusan), kita menegaskan kembali keyakinan akidah Ahlussunnah wal Jama'ah bahwa beliau adalah pemimpin para nabi dan rasul, makhluk yang paling sempurna dan paling mulia. Sholawat ini, secara keseluruhan, adalah sebuah deklarasi cinta kosmik, mengakui peran sentral Nabi Muhammad SAW dalam penciptaan dan sebagai sumber rahmat bagi semesta, sambil membangun hubungan cinta yang personal dengan beliau.
3. Ya Ahlal Baitin Nabi
Guru Sekumpul sangat menekankan pentingnya mencintai keluarga Nabi (Ahlul Bait). Sholawat ini adalah wujud nyata dari ajaran tersebut, sebuah doa dan salam yang ditujukan khusus kepada para dzurriyah (keturunan) Rasulullah SAW.
يَا أَهْلَ بَيْتِ النَّبِي
يَا أَهْلَ الصَّفَا وَالْمُنَاجَاه
جِئْنَاكُمْ قَدْ عَجَزْنَا
وَفِي حِمَاكُمْ حَمَيْنَاهYâ ahlal baitin-Nabî
Yâ ahlash-shofâ wal munâjâh
Ji’nâkum qod ‘ajaznâ
Wa fî himâkum hamainâhWahai keluarga rumah Nabi
Wahai ahli kesucian dan munajat (dialog batin dengan Tuhan)
Kami datang kepada kalian dalam keadaan kami yang lemah
Dan dalam lindungan kalianlah kami berlindung
Tafsir dan Makna Mendalam: Sholawat ini merupakan bentuk adab dan penghormatan kepada Ahlul Bait. Bait pertama, "Yâ ahlal baitin-Nabî", adalah sapaan langsung yang penuh takzim. Mengapa mencintai mereka begitu penting? Karena mereka adalah "bagian" dari Rasulullah. Mencintai mereka adalah cabang dari mencintai beliau. Darah suci beliau mengalir di tubuh mereka, dan mereka adalah pewaris sanad keilmuan dan spiritual dari datuk mereka.
Bait kedua, "Yâ ahlash-shofâ wal munâjâh", memuji sifat-sifat luhur mereka. "Ahlash-shofâ" berarti orang-orang yang hatinya suci, bersih dari penyakit hati. "Wal munâjâh" berarti mereka adalah orang-orang yang ahli dalam berdialog mesra dengan Allah di keheningan malam. Ini adalah pengakuan bahwa mereka bukan hanya mulia karena nasab, tetapi juga karena kualitas spiritual pribadi mereka yang luhur.
Dua bait terakhir, "Ji’nâkum qod ‘ajaznâ, Wa fî himâkum hamainâh", mirip dengan sholawat "Ya Sayyidi" tetapi ditujukan kepada Ahlul Bait. Kita datang dengan pengakuan akan kelemahan, kebodohan, dan ketidakberdayaan kita. Lalu kita memohon untuk berada di bawah naungan dan perlindungan mereka. "Himâkum" berarti pagar, benteng, atau area perlindungan. Kita berharap dengan mencintai dan mendekat kepada mereka, kita akan terlindungi dari fitnah dunia, kesesatan, dan murka Allah. Kita bertawasul dengan kemuliaan mereka, berharap keberkahan mereka akan melimpah kepada kita yang mencintainya. Ini adalah implementasi dari hadits Tsaqalain, di mana Rasulullah meninggalkan dua pusaka berharga: Al-Qur'an dan Ahlul Bait beliau.
4. Sholatullah Salamullah (Thola'al Badru 'Alaina)
Meskipun ini adalah qasidah yang sangat tua dan terkenal sejak peristiwa hijrah Nabi, lantunan versi Sekumpul memiliki ciri khas tersendiri. Dinyanyikan dengan irama terbang yang khas dan tempo yang menenangkan, sholawat ini terasa begitu hidup dan sarat makna sejarah.
صَلَاةُ الله سَلَامُ الله
عَلَى طه رَسُولِ الله
صَلَاةُ الله سَلَامُ الله
عَلَى يس حَبِيبِ الله
طَلَعَ الْبَدْرُ عَلَيْنَا
مِنْ ثَنِيَاتِ الْوَدَاع
وَجَبَ الشُّكْرُ عَلَيْنَا
مَا دَعَا لِلهِ دَاعSholâtullâh salâmullâh
‘Alâ Thôhâ Rosûlillâh
Sholâtullâh salâmullâh
‘Alâ Yâsîn Habîbillâh
Thola’al badru ‘alainâ
Min tsaniyyâtil wadâ’
Wajabas-syukru ‘alainâ
Mâ da’â lillâhi dâ’Rahmat Allah, keselamatan Allah
Semoga tercurah atas Thoha (gelar Nabi), utusan Allah
Rahmat Allah, keselamatan Allah
Semoga tercurah atas Yasin (gelar Nabi), kekasih Allah
Telah terbit bulan purnama di atas kita
Dari celah-celah bukit Wada'
Wajiblah kita bersyukur
Selama masih ada penyeru yang menyeru kepada Allah
Tafsir dan Makna Mendalam: Bagian awal sholawat ini adalah doa inti, memohonkan rahmat (sholawat) dan keselamatan (salam) kepada Nabi Muhammad dengan menyebut gelar-gelar mulia beliau, Thoha dan Yasin. Ini adalah bentuk pengagungan yang terus-menerus. Namun, kekuatan magis dari sholawat ini terletak pada bait-bait selanjutnya yang bernuansa historis.
"Thola’al badru ‘alainâ" (Telah terbit bulan purnama di atas kita) adalah sebuah metafora yang luar biasa indah. Para sahabat Anshar di Madinah menyamakan kedatangan Nabi Muhammad SAW dengan terbitnya bulan purnama di tengah kegelapan malam. Beliau datang membawa cahaya iman yang menerangi kegelapan jahiliyah, kebodohan, dan kemusyrikan. Ketika kita melantunkan bait ini, kita diajak untuk merasakan kembali kebahagiaan dan kegembiraan yang dirasakan oleh penduduk Madinah saat itu. Kita membayangkan betapa bersyukurnya mereka menyambut kedatangan sang pembawa risalah. "Bulan purnama" itu bukan hanya untuk mereka, tetapi juga untuk kita. Cahaya petunjuk beliau terus bersinar hingga akhir zaman.
"Wajabas-syukru ‘alainâ" (Wajiblah kita bersyukur) adalah konsekuensi logis dari kedatangan cahaya tersebut. Nikmat terbesar yang Allah berikan kepada alam semesta adalah diutusnya Nabi Muhammad SAW. Maka, syukur atas nikmat ini adalah sebuah kewajiban mutlak. Bagaimana cara kita bersyukur? Dengan mengikuti ajarannya, meneladani akhlaknya, dan tentu saja, dengan memperbanyak sholawat kepadanya. Bait terakhir, "Mâ da’â lillâhi dâ’" (Selama masih ada penyeru yang menyeru kepada Allah), menegaskan bahwa kewajiban bersyukur ini bersifat abadi, akan terus ada selama dakwah Islam masih bergema di muka bumi. Sholawat ini adalah medium untuk napak tilas sejarah, merasakan euforia iman para sahabat, dan memperbaharui komitmen syukur kita atas nikmat diutusnya Sang Purnama Petunjuk.
Keutamaan dan Manfaat Spiritual Mengamalkan Sholawat
Mengapa Abah Guru Sekumpul begitu menekankan amalan bersholawat? Karena di dalamnya terkandung fadhilah (keutamaan) dan manfaat yang tak terhingga, baik di dunia maupun di akhirat. Beliau mengajarkan bahwa sholawat bukan sekadar amalan sampingan, melainkan amalan inti yang menjadi ruh dari segala ibadah.
1. Meningkatkan Mahabbah (Kecintaan) Kepada Rasulullah SAW
Ini adalah tujuan utama. Sebagaimana pepatah mengatakan, "tak kenal maka tak sayang," dan "sering disebut maka akan teringat." Dengan terus-menerus melantunkan pujian dan salam kepada Nabi, nama dan sifat-sifat mulia beliau akan senantiasa terpatri dalam hati dan pikiran. Getaran sholawat akan mengikis kekerasan hati, menyiraminya dengan embun kerinduan. Semakin sering kita bersholawat, semakin kita akan merasakan ikatan batin yang kuat, seolah-olah beliau hadir di sisi kita. Rasa cinta inilah yang akan menjadi bahan bakar untuk meneladani sunnah-sunnahnya, bukan karena paksaan, tetapi karena dorongan cinta yang tulus.
2. Mendatangkan Ketenangan Jiwa (Sakinah)
Lantunan sholawat, terutama dengan gaya Sekumpul yang syahdu dan repetitif, memiliki efek meditatif yang luar biasa. Iramanya yang teratur, liriknya yang penuh makna, dan suasana khusyuk saat melantunkannya akan membawa jiwa ke dalam frekuensi ketenangan. Di tengah hiruk pikuk dunia yang penuh dengan kecemasan, stres, dan ketidakpastian, sholawat adalah oase spiritual. Ia menjadi terapi bagi hati yang gelisah, penawar bagi jiwa yang lelah, dan pengingat bahwa kita memiliki sandaran agung yang kasih sayangnya tak pernah putus. Banyak jamaah merasakan beban hidup mereka terasa ringan setelah larut dalam majelis sholawat.
3. Menjadi Wasilah Terkabulnya Hajat dan Doa
Rasulullah SAW adalah kekasih Allah. Sebuah adab dalam berdoa adalah memulainya dengan pujian kepada Allah dan sholawat kepada Nabi-Nya, dan menutupnya dengan hal yang sama. Doa yang diapit oleh dua sholawat lebih besar kemungkinannya untuk diijabah. Dengan bersholawat, kita seolah-olah "menitipkan" doa kita melalui perantara yang paling dicintai oleh Allah. Guru Sekumpul sering menasihatkan, jika memiliki hajat atau kesulitan, maka perbanyaklah membaca sholawat. Karena dengan satu kali sholawat saja Allah membalasnya dengan sepuluh rahmat, maka rahmat yang melimpah itulah yang akan melapangkan segala urusan dan mengabulkan segala keinginan yang baik.
4. Kunci Meraih Syafaat di Hari Kiamat
Inilah harapan terbesar setiap Muslim. Di hari di mana tidak ada pertolongan selain pertolongan dari Allah, syafaat agung (Syafa'atul 'Uzhma) dari Rasulullah SAW adalah satu-satunya harapan. Beliau sendiri bersabda bahwa orang yang paling berhak mendapatkan syafaatnya adalah orang yang paling banyak bersholawat kepadanya. Sholawat yang kita lantunkan di dunia ini ibarat "tabungan" syafaat kita di akhirat. Setiap lantunan adalah investasi untuk hari yang paling menentukan. Dengan istiqamah bersholawat, kita sedang membangun jembatan emas yang akan menghubungkan kita dengan pertolongan beliau di saat kita paling membutuhkannya.
Karakteristik Unik Lantunan Sholawat Majelis Sekumpul
Apa yang membuat lantunan sholawat dari Sekumpul begitu berbeda dan mudah dikenali? Ada beberapa elemen khas yang membentuk "DNA" spiritualnya.
Irama Terbang yang Menghanyutkan: Peran grup terbang (rebana) di Majelis Sekumpul, seperti Ahbabul Musthofa, sangat vital. Pukulan terbang mereka tidak hingar bingar, melainkan teratur, dalam, dan seolah memiliki "ruh". Ritmenya lambat dan konstan, menciptakan denyut jantung spiritual yang membuat para jamaah mudah larut dalam kekhusyukan. Suara terbang ini bukan sekadar musik pengiring, melainkan bagian dari dzikir itu sendiri, yang menuntun hati untuk fokus dan tenggelam dalam makna sholawat.
Vokal yang Penuh Penjiwaan: Suara Abah Guru Sekumpul saat bersholawat sangat khas. Terdengar lembut, terkadang serak menahan tangis, dan penuh dengan ekspresi kerinduan. Beliau tidak sekadar menyanyi, tetapi beliau "bermunajat" melalui sholawat. Para munshid (pelantun sholawat) penerus beliau pun mewarisi gaya ini. Fokusnya bukan pada keindahan vokal semata, tetapi pada penyampaian rasa (dzauq) dari hati ke hati.
Suasana Khusyuk dan Emosional: Majelis Sekumpul adalah tempat di mana menangis karena rindu kepada Nabi adalah hal yang lumrah. Suasana yang terbangun adalah suasana penghambaan total. Ribuan, bahkan jutaan jamaah, larut dalam satu frekuensi yang sama. Tidak ada ego, yang ada hanya getaran cinta kolektif. Suasana inilah yang menjadi magnet, di mana orang merasa jiwanya "dicuci" dan diisi ulang dengan energi spiritual yang positif.
Kesederhanaan dan Pengulangan: Sholawat yang dipilih seringkali memiliki lirik yang sederhana dan mudah dihafal. Pengulangan (repetisi) bait-bait tertentu dilakukan berkali-kali. Tujuannya adalah agar makna sholawat itu meresap jauh ke dalam alam bawah sadar, bukan hanya dihafal di lisan, tetapi terukir di dalam jiwa, hingga menjadi dzikir otomatis bagi hati.
Warisan yang Terus Mengalun
Meskipun Abah Guru Sekumpul telah berpulang ke rahmatullah, warisan spiritualnya tidak pernah padam. Justru, lantunan sholawat yang beliau ajarkan kini semakin menggema, melintasi batas-batas geografis Martapura. Rekaman-rekaman pengajian dan majelis sholawat beliau tersebar luas, menjadi teman perjalanan, pengantar tidur, dan penyejuk hati bagi jutaan orang di seluruh dunia. Para murid beliau melanjutkan estafet dakwah mahabbah ini, mendirikan majelis-majelis serupa di berbagai tempat.
Sholawat Guru Sekumpul adalah bukti nyata bahwa dakwah yang lahir dari hati yang tulus dan penuh cinta akan abadi. Ia bukan sekadar tradisi, melainkan sebuah jalan spiritual (thariqah) yang hidup, sebuah metode efektif untuk menanamkan benih cinta kepada Sang Nabi di era modern yang penuh tantangan. Dengan mengamalkan dan melestarikannya, kita tidak hanya meraih keutamaan-keutamaan yang terkandung di dalamnya, tetapi juga turut serta menjaga api cinta kepada Rasulullah SAW agar terus menyala terang, dari generasi ke generasi, sebagai cahaya penuntun menuju keridhaan Ilahi.