Reasuransi Syariah, atau yang dikenal secara global sebagai Retakaful, merupakan komponen esensial dan tak terpisahkan dari ekosistem keuangan Islam yang komprehensif. Di Indonesia, negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, keberadaan Retakaful memiliki signifikansi ganda: sebagai instrumen mitigasi risiko yang sesuai syariah, sekaligus sebagai katalisator stabilitas dan pertumbuhan industri asuransi syariah (Takaful). Tanpa dukungan kapabilitas Retakaful yang kuat dan memadai, perusahaan Takaful dihadapkan pada keterbatasan dalam menerima risiko besar dan kompleks, yang pada akhirnya dapat menghambat penetrasi produk syariah di pasar domestik.
Konsep Retakaful berakar pada prinsip Ta’awun (tolong-menolong) dan Tabarru’ (sumbangan), yang menjauhi elemen-elemen yang dilarang dalam Syariah seperti gharar (ketidakjelasan), maisir (judi), dan riba (bunga). Fungsi utamanya sama dengan reasuransi konvensional, yaitu mendistribusikan risiko yang ditanggung oleh perusahaan asuransi (cedant) kepada entitas reasuransi. Namun, mekanisme operasional, pengelolaan dana, dan struktur keuangannya harus sepenuhnya patuh pada fatwa dan regulasi syariah yang berlaku.
Perkembangan Retakaful di Indonesia telah melalui serangkaian transformasi signifikan. Awalnya, sebagian besar risiko syariah yang melebihi kapasitas domestik dialihkan ke reasuransi konvensional luar negeri, menciptakan ketergantungan dan menimbulkan isu kesesuaian syariah. Kesadaran akan kebutuhan otonomi dan integritas syariah memicu penguatan lembaga Retakaful nasional, didukung oleh regulasi yang semakin matang dari otoritas terkait, terutama Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Saat ini, Retakaful dipandang bukan hanya sebagai pelengkap, melainkan sebagai mesin pertumbuhan yang memastikan bahwa risiko-risiko besar, termasuk infrastruktur dan proyek strategis, dapat ditangani secara internal dalam kerangka yang Islami.
Integritas syariah adalah kunci pembeda utama antara reasuransi konvensional dan Retakaful. Seluruh aspek operasional Retakaful, mulai dari akuntasi, investasi, hingga pembagian surplus, harus tunduk pada Dewan Pengawas Syariah (DPS) dan Fatwa Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI). Kepatuhan ini memberikan jaminan kehalalan produk dan layanan yang ditawarkan kepada peserta Takaful.
Reasuransi konvensional seringkali melibatkan transfer risiko murni berbasis jual-beli premi, di mana terdapat unsur ketidakjelasan yang dapat dikategorikan sebagai gharar. Dalam Retakaful, mekanisme ini diubah menjadi pembagian risiko (risk sharing) melalui skema dana Tabarru’.
Model operasional Retakaful dibangun di atas dua pilar utama syariah. Prinsip-prinsip ini memastikan bahwa inti dari transaksi adalah solidaritas sosial, bukan murni akumulasi keuntungan finansial spekulatif.
Prinsip Tabarru’ mewajibkan perusahaan Takaful untuk menyumbangkan sebagian kontribusi pesertanya ke dalam dana risiko (Dana Tabarru’ Retakaful). Sumbangan ini bersifat ikhlas dan tidak dapat ditarik kembali. Ketika terjadi klaim pada salah satu cedant, kerugian tersebut ditanggung bersama oleh seluruh peserta dana Retakaful melalui mekanisme Ta’awun (kerja sama atau tolong-menolong).
Seluruh surplus yang dihasilkan dari Dana Tabarru’ Retakaful setelah dikurangi klaim dan biaya operasional, pada dasarnya adalah hak milik peserta dana tersebut (yaitu perusahaan Takaful cedant), meskipun mekanisme distribusinya dapat bervariasi tergantung model operasional yang digunakan (misalnya, dikembalikan sebagai pengembalian surplus atau dialokasikan untuk cadangan teknis).
Ilustrasi 1: Konsep Dana Tabarru' (Pool) dalam Retakaful, yang mendasarkan pada prinsip bagi risiko (risk sharing) dan tolong-menolong (Ta'awun).
Indonesia menunjukkan komitmen kuat dalam mengembangkan industri keuangan syariah yang mandiri. Hal ini tercermin dalam regulasi yang secara spesifik mengatur Retakaful, memastikan praktik operasional sesuai dengan standar internasional sekaligus mengakomodasi kebutuhan unik pasar domestik.
OJK adalah regulator utama yang mengawasi seluruh entitas Retakaful di Indonesia. Pengawasan OJK mencakup aspek solvabilitas, tata kelola perusahaan yang baik (GCG), manajemen risiko, dan kepatuhan syariah. Regulasi OJK mengamanatkan bahwa perusahaan reasuransi syariah harus memiliki modal minimum yang memadai, serta memisahkan secara tegas antara dana pemegang saham (shareholder fund) dan dana peserta (tabarru' fund).
Salah satu langkah strategis OJK adalah mendorong pemisahan (spin-off) unit usaha syariah (UUS) dari perusahaan reasuransi konvensional menjadi entitas syariah penuh (full-fledged). Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan transparansi, memperkuat struktur permodalan syariah, dan mendorong inovasi produk yang murni syariah, sehingga tidak terjadi tumpang tindih risiko dan manajemen antara konvensional dan syariah.
Landasan hukum operasional Retakaful sangat bergantung pada fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI. Fatwa-fatwa ini menjadi pedoman utama dalam menentukan model akad yang sah, tata cara pengelolaan surplus dan defisit, serta instrumen investasi yang diperbolehkan. Tanpa adanya fatwa yang jelas, perusahaan Retakaful tidak dapat beroperasi sesuai prinsip syariah.
Penggunaan akad dalam Retakaful umumnya melibatkan kombinasi dari:
Meskipun regulasi mendorong pemisahan, proses spin-off menghadapi tantangan kompleks. Tantangan ini melibatkan alokasi modal yang besar, pengembangan infrastruktur teknologi informasi yang terpisah, dan terutama, pembangunan sumber daya manusia (SDM) yang tidak hanya ahli di bidang reasuransi tetapi juga memiliki pemahaman mendalam tentang fiqih muamalah dan akuntansi syariah. Keberhasilan pemisahan sangat krusial untuk mencapai kemandirian dan daya saing industri Retakaful nasional.
Mekanisme teknis Retakaful memerlukan pemisahan akuntansi dan pengelolaan dana yang jauh lebih ketat dibandingkan reasuransi konvensional. Struktur ini bertujuan untuk menjamin keadilan bagi peserta dan memastikan dana risiko tidak tercampur dengan dana operasional pemegang saham.
Setiap entitas Retakaful wajib memelihara dua akun terpisah secara akuntansi dan fisik:
1. Dana Tabarru’ Retakaful (DTR): Dana ini menerima kontribusi dari perusahaan Takaful cedant. DTR digunakan secara eksklusif untuk membayar klaim yang diajukan oleh Takaful cedant. Pengelolaan investasi DTR harus mematuhi prinsip syariah, dan setiap surplus yang dihasilkan DTR adalah hak milik peserta.
2. Dana Pemegang Saham (DPS): Dana ini digunakan untuk menutupi biaya operasional perusahaan Retakaful, modal awal, dan pembayaran bagi hasil kepada investor (jika menggunakan akad Mudharabah). DPS mendapatkan pendapatan dari Ujrah (fee manajemen) yang dibebankan kepada DTR berdasarkan akad Wakalah bil Ujrah.
Pemisahan ini vital. Jika DTR mengalami defisit (klaim melebihi kontribusi), DPS memiliki kewajiban moral dan regulasi untuk memberikan Qardh (pinjaman tanpa bunga) kepada DTR agar kewajiban klaim dapat terpenuhi. Pinjaman ini harus dikembalikan oleh DTR saat surplus telah tercapai di masa depan.
Penggunaan akad dalam Retakaful tidak tunggal, namun model utama yang lazim digunakan di Indonesia dan global adalah kombinasi dari Wakalah dan Mudharabah, meskipun variasi murni Wakalah juga ada.
1. Model Wakalah (Agency Model): Retakaful bertindak sebagai manajer investasi dan risiko DTR. Retakaful menerima ujrah (fee) yang telah ditentukan di awal sebagai kompensasi atas jasa manajemen dan administrasi. Seluruh risiko dan hasil surplus/defisit ditanggung oleh DTR. Model ini cenderung lebih transparan dan mudah dipahami, serta menempatkan risiko operasional pada pemegang saham (DPS) dan risiko teknis pada peserta (DTR).
2. Model Mudharabah (Profit Sharing Model): Model ini lebih menekankan aspek bagi hasil. Surplus atau keuntungan investasi DTR dibagi antara Retakaful (sebagai pengelola) dan peserta (sebagai pemilik dana) berdasarkan nisbah (rasio bagi hasil) yang disepakati. Model Mudharabah memerlukan kesepakatan yang sangat jelas mengenai nisbah dan cara perhitungan keuntungan untuk menghindari gharar.
Sama seperti reasuransi konvensional, Retakaful wajib membentuk cadangan teknis yang memadai untuk menutupi potensi klaim di masa depan. Perbedaannya terletak pada sumber daya dan cara pengelolaan dana cadangan tersebut. Cadangan teknis Retakaful harus dialokasikan dari DTR, diinvestasikan pada instrumen syariah, dan dihitung berdasarkan prinsip aktuaria yang sesuai dengan prinsip Ta’awun.
Manajemen risiko dalam Retakaful juga mencakup risiko syariah, yaitu risiko kegagalan mematuhi prinsip dan aturan syariah. Pengelolaan risiko ini memerlukan audit kepatuhan syariah yang rutin dilakukan oleh DPS dan auditor independen syariah.
Produk Retakaful di Indonesia mencerminkan kebutuhan industri Takaful domestik, yang terbagi menjadi Takaful Jiwa (Life Takaful) dan Takaful Umum (General Takaful). Peningkatan kapasitas Retakaful nasional sangat penting untuk menampung risiko-risiko mega proyek yang selama ini harus dialihkan ke luar negeri, yang berpotensi mengurangi devisa dan integritas syariah.
Retakaful Jiwa berfungsi menampung sebagian risiko jangka panjang yang ditanggung oleh Takaful Keluarga. Produk ini krusial mengingat sifat jangka panjang dari polis Takaful Jiwa dan kebutuhan akan likuiditas yang stabil. Umumnya, akad yang digunakan adalah Proportional Retakaful, seperti Quota Share atau Surplus Retakaful, memastikan pembagian risiko dan kontribusi dilakukan secara proporsional sesuai kesepakatan.
Inovasi dalam Retakaful Jiwa harus fokus pada produk berbasis unit link syariah (PAYDI Syariah) yang kompleks, di mana risiko mortalitas (kematian) harus ditangani secara terpisah dan sesuai prinsip syariah. Retakaful berperan memastikan bahwa perhitungan cadangan dan potensi defisit dana Tabarru’ dapat dimitigasi secara efektif, mencegah kebangkrutan atau ketidakstabilan perusahaan Takaful cedant.
Pengembangan produk Retakaful Jiwa yang lebih canggih dan kompetitif juga mencakup pengembangan solusi untuk risiko-risiko kesehatan jangka panjang, termasuk penyakit kritis dan pensiun syariah. Struktur ini memerlukan pemahaman mendalam tentang demografi dan aktuaria Islam, sebuah bidang yang masih memerlukan investasi besar dalam hal penelitian dan pengembangan sumber daya manusia.
Sektor Retakaful Umum menampung risiko-risiko properti, maritim, rekayasa (engineering), dan berbagai risiko kerugian lainnya. Karena risiko umum cenderung lebih volatil dan memiliki nilai klaim yang besar (misalnya, bencana alam atau kebakaran industri), kapasitas Retakaful nasional sangat diuji.
Indonesia, sebagai negara kepulauan yang rentan terhadap bencana alam, membutuhkan solusi Retakaful yang spesifik terhadap risiko katastrofi (catastrophe risk). Pengembangan Retakaful Bencana Syariah (Syariah Catastrophe Retakaful) adalah prioritas. Instrumen ini dapat memanfaatkan Sukuk berbasis risiko (Catastrophe Sukuk) sebagai mekanisme transfer risiko pasar modal yang sesuai syariah. Dengan demikian, risiko bencana dapat didistribusikan lebih luas tanpa melanggar prinsip gharar dan riba.
Kapasitas domestik saat ini, meskipun terus meningkat, masih belum sepenuhnya mampu menampung risiko infrastruktur berskala besar, seperti pembangunan jalan tol, pembangkit listrik, atau fasilitas minyak dan gas. Oleh karena itu, perusahaan Retakaful nasional perlu membangun kemitraan strategis dengan operator Retakaful global (seperti di Malaysia atau Timur Tengah) yang telah mapan, tetapi harus dengan perjanjian yang memastikan seluruh proses alokasi risiko tetap patuh syariah (retrocession syariah).
Ketika risiko yang ditanggung oleh Retakaful nasional melebihi batas retensinya, kelebihan risiko tersebut harus dialihkan kembali ke pasar global, yang disebut Retrocession. Dalam konteks syariah, idealnya Retrocession dilakukan kepada perusahaan Retakaful global lainnya. Namun, jika opsi Retakaful global tidak memadai atau terlalu mahal, pengalihan risiko ke reasuransi konvensional (Non-Syariah Retrocession) dapat terjadi sebagai langkah terakhir, asalkan:
Meskipun Indonesia memiliki potensi pasar yang sangat besar, industri Retakaful menghadapi tantangan multidimensi, mulai dari kapasitas teknis hingga literasi pasar. Mengatasi tantangan ini akan membuka pintu bagi Retakaful untuk menjadi pemain regional yang signifikan.
Tantangan utama yang dihadapi oleh perusahaan Retakaful nasional adalah keterbatasan modal untuk menahan risiko besar. Sektor reasuransi memerlukan modal yang jauh lebih besar daripada asuransi primer karena sifat risiko yang ditampung, terutama risiko katastrofi. Kebutuhan modal ini diperparah oleh proses spin-off yang menuntut entitas syariah baru untuk segera memenuhi standar solvabilitas yang tinggi.
Kapasitas teknis juga menjadi penghalang. Indonesia masih membutuhkan aktuari syariah yang tersertifikasi dan berpengalaman dalam menghitung risiko berbasis Tabarru’. Kurangnya ahli aktuaria syariah menyebabkan ketergantungan pada model-model konvensional yang dimodifikasi, yang terkadang kurang optimal dalam mengakomodasi filosofi risk sharing.
Untuk mengatasi masalah permodalan, diperlukan strategi terobosan seperti:
Literasi keuangan syariah di kalangan masyarakat dan bahkan di kalangan praktisi asuransi konvensional masih perlu ditingkatkan. Banyak perusahaan Takaful cedant belum sepenuhnya memahami manfaat dan mekanisme teknis dari penggunaan Retakaful domestik secara eksklusif, yang kadang membuat mereka cenderung kembali ke reasuransi konvensional yang dianggap memiliki kapasitas lebih besar.
Di era digital, Retakaful juga harus berinvestasi besar-besaran dalam infrastruktur teknologi. Pengelolaan kontrak Retakaful (treaty) yang kompleks dan data klaim yang masif membutuhkan sistem berbasis kecerdasan buatan (AI) dan Big Data Analytics. Pemanfaatan teknologi Blockchain juga menjanjikan untuk meningkatkan transparansi dan kecepatan pemrosesan klaim dan Retrocession syariah, meminimalkan risiko operasional.
Ilustrasi 2: Fondasi Regulasi Syariah (DSN-MUI dan OJK) sebagai penjamin stabilitas dan kepatuhan dalam industri Retakaful.
Peluang terbesar Retakaful adalah posisinya sebagai titik integrasi kunci dalam seluruh ekosistem keuangan Islam di Indonesia. Retakaful dapat bekerja sama erat dengan perbankan syariah (Bank Syariah) dan pasar modal syariah (Sukuk) untuk menciptakan produk mitigasi risiko yang unik.
Misalnya, Bank Syariah yang membiayai proyek infrastruktur besar dapat meminta jaminan Retakaful Syariah, yang kemudian mendanai risiko tersebut melalui penerbitan Sukuk Istisna’ (pembiayaan proyek). Sinergi ini memperkuat rantai nilai syariah, memastikan bahwa seluruh aspek pendanaan, manajemen risiko, dan pertanggungan dilakukan dalam kerangka yang Islami. Retakaful bukan hanya penyedia layanan, tetapi juga arsitek stabilitas sistem keuangan syariah secara keseluruhan.
Pengembangan ini juga harus melibatkan kolaborasi aktif antara akademisi, regulator, dan praktisi. Pembentukan pusat studi aktuaria syariah yang kuat dan berkelanjutan, didukung oleh pendanaan penelitian, akan menghasilkan SDM yang mampu menghadapi tantangan teknis kompleks, termasuk pemodelan risiko pandemik dan perubahan iklim, yang memerlukan solusi syariah yang adaptif dan inovatif.
Di luar peran mikro sebagai pengelola risiko bagi Takaful cedant, Retakaful memegang peran makro yang vital dalam menjamin ketahanan finansial Indonesia, terutama dalam menghadapi volatilitas ekonomi dan bencana alam.
Ketika risiko domestik dialihkan ke reasuransi asing (konvensional), terjadi arus devisa keluar yang signifikan. Dengan memperkuat kapasitas Retakaful nasional, Indonesia dapat menahan sebagian besar premi reasuransi di dalam negeri. Penguatan Retakaful domestik tidak hanya menghemat devisa, tetapi juga memungkinkan dana yang terkumpul (DTR) untuk diinvestasikan kembali di instrumen keuangan syariah domestik, mendorong pertumbuhan ekonomi nasional secara berkelanjutan.
Kemandirian dalam Retakaful adalah isu kedaulatan ekonomi. Dalam situasi krisis global, pasar reasuransi internasional mungkin menjadi restriktif atau mengenakan tarif premi yang sangat tinggi. Kapasitas Retakaful nasional yang kuat memberikan bantalan terhadap gejolak pasar global, menjamin bahwa proyek-proyek vital dan aset nasional tetap dapat diasuransikan tanpa hambatan geopolitik atau finansial yang signifikan.
Retakaful bertindak sebagai filter yang menyerap guncangan finansial dalam sektor Takaful. Jika sebuah perusahaan Takaful primer mengalami kerugian klaim yang besar akibat peristiwa tunggal, tanpa Retakaful, perusahaan tersebut berpotensi bangkrut, menciptakan ketidakpercayaan publik terhadap seluruh industri syariah. Retakaful mendistribusikan kerugian ini, mencegah risiko tunggal menjadi risiko sistemik.
Mekanisme Qardh (pinjaman tanpa bunga) dari DPS ke DTR, yang diamanatkan dalam regulasi syariah, merupakan fitur stabilitas unik. Pinjaman ini berfungsi sebagai jaring pengaman likuiditas internal. Dalam reasuransi konvensional, defisit teknis seringkali ditutup melalui rekayasa finansial yang mungkin melibatkan pinjaman berbasis bunga. Dalam Retakaful, pinjaman Qardh menjaga integritas syariah sambil menjamin kelangsungan operasional DTR, memastikan bahwa klaim peserta selalu dapat dibayar.
Indonesia memiliki agenda pembangunan infrastruktur yang ambisius. Proyek-proyek ini membutuhkan perlindungan asuransi dan reasuransi dalam jumlah besar. Retakaful Syariah dapat memimpin dalam menyediakan pertanggungan untuk proyek-proyek yang didanai secara syariah (melalui Sukuk infrastruktur atau pembiayaan syariah lainnya). Hal ini menciptakan siklus positif: pembiayaan syariah didukung oleh jaminan syariah, yang pada gilirannya mendorong pertumbuhan aset dan investasi sesuai syariah.
Keterlibatan Retakaful dalam pembiayaan pembangunan juga mencerminkan komitmen terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) yang selaras dengan Maqashid Syariah (tujuan-tujuan Syariah), seperti perlindungan harta (Hifdz al-Mal). Dengan menyediakan perlindungan risiko yang andal, Retakaful mendukung keberlanjutan proyek-proyek yang berkontribusi pada kesejahteraan sosial dan ekonomi masyarakat.
Untuk memahami posisi Retakaful Indonesia, penting untuk membandingkannya dengan model reasuransi konvensional dan melihat peluangnya di panggung Retakaful global.
Perbedaan terdalam terletak pada filosofi dan struktur kepemilikan dana. Dalam reasuransi konvensional, premi yang dibayarkan sepenuhnya menjadi milik perusahaan reasuransi, dan keuntungan utamanya berasal dari hasil investasi (biasanya pada instrumen berbasis bunga) dan keuntungan underwriting. Surplus adalah milik pemegang saham.
Sebaliknya, Retakaful berbasis Ta’awun (tolong-menolong). Kontribusi menjadi bagian dari Dana Tabarru’ (DTR) yang dimiliki secara kolektif oleh peserta (perusahaan Takaful cedant). Jika DTR menghasilkan surplus, surplus tersebut pada dasarnya adalah hak peserta dan dapat didistribusikan kembali (profit distribution), atau disimpan sebagai cadangan. Pengelola (DPS) hanya mendapatkan ujrah (fee) atas jasa manajemen. Fokusnya beralih dari maksimasi keuntungan pemegang saham menjadi pengelolaan risiko yang adil dan sesuai syariah bagi peserta.
Perbedaan lainnya adalah aspek audit. Retakaful tunduk pada dua jenis audit: audit keuangan standar dan audit kepatuhan syariah yang dilakukan oleh DPS, memastikan tidak ada penyimpangan dari Fatwa DSN-MUI dalam setiap transaksi dan investasi.
Saat ini, pasar Retakaful global didominasi oleh pemain dari Timur Tengah (GCC) dan Malaysia. Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi pemain utama ketiga, didorong oleh ukuran pasar Takaful domestik dan dukungan regulasi yang semakin kuat.
Agar dapat bersaing secara global, Retakaful Indonesia harus meningkatkan rating solvabilitas dan kapasitas risiko. Hal ini memungkinkan Retakaful nasional untuk tidak hanya melayani pasar domestik, tetapi juga berpartisipasi dalam Retrocession Takaful dari negara-negara Asia Tenggara dan Timur Tengah lainnya, menjadikan Indonesia sebagai hub (pusat) Retakaful regional.
Strategi untuk mencapai posisi global meliputi:
Masa depan Retakaful Indonesia sangat bergantung pada kemampuannya untuk berintegrasi penuh dengan konsep Inklusi Keuangan Syariah. Ini berarti mengembangkan produk mikro-Retakaful untuk menopang Takaful mikro, yang melayani sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dan masyarakat berpenghasilan rendah.
Inklusi Retakaful mikro akan memberikan perlindungan kepada masyarakat yang rentan terhadap guncangan ekonomi kecil, memastikan bahwa prinsip Ta’awun tidak hanya berlaku untuk risiko korporasi besar, tetapi juga menjangkau basis piramida ekonomi. Pengembangan ini memerlukan dukungan dari teknologi asuransi (Insurtech Syariah) untuk distribusi dan administrasi yang efisien.
Selain itu, peran Retakaful dalam mendukung pembangunan berkelanjutan harus diperkuat, termasuk dalam pembiayaan kembali risiko energi terbarukan dan proyek mitigasi perubahan iklim. Retakaful Syariah dapat menawarkan solusi unik yang menjamin keberlanjutan lingkungan sekaligus mematuhi prinsip etika Islam.
Reasuransi Syariah di Indonesia berdiri di persimpangan antara kepatuhan prinsip-prinsip Islam yang ketat dan kebutuhan pragmatis akan kapasitas finansial yang memadai untuk menopang perekonomian modern. Fondasi syariah yang kuat, didukung oleh kerangka regulasi OJK dan fatwa DSN-MUI, telah menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan.
Meskipun tantangan permodalan, SDM, dan literasi masih memerlukan perhatian serius, potensi Retakaful Indonesia sangat besar. Dengan strategi yang berfokus pada penguatan permodalan, peningkatan kapasitas teknis aktuaria syariah, dan integrasi yang erat dengan seluruh ekosistem keuangan Islam, Retakaful bukan hanya akan menjadi pilar penopang industri Takaful domestik, tetapi juga berpotensi menjadi salah satu pemain kunci yang disegani dalam pasar Retakaful global, mewujudkan kemandirian finansial yang sesuai dengan nilai-nilai Syariah Islam.
Pengembangan yang berkelanjutan dan sinergisitas antar lembaga keuangan syariah adalah kunci utama untuk memastikan bahwa industri Retakaful dapat terus bertumbuh, memberikan layanan perlindungan risiko yang komprehensif, adil, dan berkesinambungan bagi seluruh entitas ekonomi di Indonesia.