Pengantar: Esensi Parang Nusantara
Di jantung budaya maritim Asia Tenggara, terutama kepulauan Nusantara, terhampar sebuah kisah panjang tentang sebuah alat dan senjata yang telah menyertai peradaban selama ribuan tahun: parang. Lebih dari sekadar bilah besi dengan gagang kayu, parang adalah manifestasi fisik dari keahlian pandai besi, simbol status, alat bertahan hidup, dan penjaga tradisi yang tak terhitung jumlahnya. Keberadaannya melampaui fungsi utilitas belaka, meresap jauh ke dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat, dari hutan rimba hingga meja makan, dari medan perang hingga upacara adat.
Parang, dalam spektrum yang luas, mencakup berbagai bilah tajam yang digunakan untuk memotong, mencincang, dan terkadang menusuk. Bilahnya umumnya lebih berat dan lebih tebal daripada pisau biasa, dirancang untuk kekuatan dan daya tahan, ideal untuk pekerjaan berat seperti membersihkan semak, membelah kayu, atau mengolah hasil pertanian. Namun, di Nusantara, definisi "parang" seringkali tumpang tindih dengan istilah lain seperti golok, klewang, mandau, dan berbagai nama lokal lainnya, masing-masing dengan karakteristik, sejarah, dan signifikansi budayanya sendiri. Artikel ini akan menyelami kedalaman dunia parang Nusantara, menggali sejarahnya yang kaya, variasi bentuk dan fungsinya, nilai filosofis yang melekat, hingga upaya pelestariannya di era modern.
Mengapa parang begitu penting? Karena ia adalah cerminan dari adaptasi manusia terhadap lingkungan, kecerdasan dalam memanfaatkan sumber daya alam, dan keuletan dalam membentuk identitas. Dari bilah yang sederhana hingga yang dihias rumit, setiap parang menceritakan kisah tentang tanah, orang-orang, dan zaman di mana ia ditempa. Ia adalah saksi bisu perjalanan sejarah, dari era kerajaan purba hingga perjuangan kemerdekaan, dari masa berburu dan meramu hingga era pertanian modern. Memahami parang berarti memahami sebagian besar dari jiwa Nusantara itu sendiri.
Dalam tulisan ini, kita akan mengungkap dimensi-dimensi parang yang seringkali tersembunyi di balik penampilannya yang garang. Kita akan menelusuri akar-akar historisnya, menjelajahi keragaman tipologinya di berbagai wilayah, menganalisis fungsi-fungsi multifasetnya sebagai alat dan senjata, menyelami filosofi serta simbolisme yang mengikatnya dengan alam dan spiritualitas, memahami proses pembuatannya yang artistik dan ilmiah, serta mengupas tantangan dan prospek pelestariannya di tengah arus globalisasi. Mari kita memulai perjalanan ini, membuka lembaran demi lembaran cerita parang, warisan tak ternilai dari bangsa yang besar.
Sejarah dan Evolusi Parang
Sejarah parang di Nusantara adalah cerminan dari evolusi peradaban dan interaksi manusia dengan lingkungannya. Akar-akarnya dapat ditarik kembali ribuan tahun lalu, jauh sebelum catatan sejarah tertulis ada. Pada awalnya, alat potong primitif dibuat dari batu, tulang, atau kayu keras. Namun, penemuan dan penguasaan teknik metalurgi—khususnya penempaan besi—sekitar 2.500 tahun yang lalu di Asia Tenggara, merevolusi pembuatan alat dan senjata.
Pada masa prasejarah, migrasi bangsa Austronesia membawa serta pengetahuan dan keterampilan dalam berlayar, pertanian, dan pembuatan alat. Seiring berjalannya waktu, teknologi ini berkembang, memungkinkan pembuatan bilah yang lebih tajam, lebih kuat, dan lebih tahan lama. Parang menjadi alat esensial untuk membuka lahan pertanian di hutan tropis yang lebat, berburu, membangun tempat tinggal, dan sebagai alat pertahanan diri dari ancaman alam maupun manusia.
Periode kerajaan-kerajaan kuno, seperti Sriwijaya, Majapahit, dan Mataram, menyaksikan puncak keemasan dalam seni metalurgi. Para empu atau pandai besi tidak hanya memproduksi senjata untuk perang, tetapi juga alat-alat pertanian dan ritual. Parang, dalam berbagai bentuknya, adalah bagian integral dari peralatan pasukan dan alat wajib bagi rakyat jelata. Pengaruh budaya dari India, Tiongkok, dan kemudian Timur Tengah melalui perdagangan dan penyebaran agama juga ikut membentuk estetika dan teknik pembuatan parang.
Misalnya, teknik pamor yang terkenal pada keris, kadang kala juga diterapkan pada beberapa jenis parang atau golok, menunjukkan adanya interaksi dan adopsi elemen artistik lintas jenis senjata. Bentuk-bentuk parang pun berevolusi sesuai kebutuhan lokal dan preferensi estetika regional. Wilayah-wilayah dengan hutan lebat mungkin mengembangkan parang dengan bilah yang lebih lebar dan berat untuk mencincang kayu, sementara wilayah dengan kebutuhan pertanian yang lebih spesifik mungkin menghasilkan bilah yang lebih ramping dan melengkung untuk memanen.
Selama era kolonial, parang tetap memegang peranan penting. Bagi para pejuang kemerdekaan, parang adalah senjata yang mudah diakses dan efektif dalam pertempuran jarak dekat melawan penjajah yang bersenjata modern. Ia menjadi simbol perlawanan rakyat, keberanian, dan kemandirian. Kisah-kisah heroik para pahlawan yang bertempur dengan parang telah menjadi legenda, mengukuhkan posisinya dalam narasi nasional.
Dalam konteks yang lebih damai, parang juga berfungsi sebagai alat tukar, simbol status sosial, dan bagian dari upacara adat. Kualitas material, keahlian tempa, dan hiasan pada gagang dan sarungnya bisa menunjukkan kekayaan dan kedudukan seseorang dalam masyarakat. Seiring berjalannya waktu, meskipun teknologi modern menyediakan alat-alat yang lebih canggih, parang tetap bertahan sebagai alat yang tak tergantikan di banyak komunitas pedesaan dan sebagai warisan budaya yang dijaga kelestariannya.
Evolusi parang tidak hanya tentang perubahan bentuk fisik, melainkan juga tentang bagaimana masyarakat berinteraksi dengannya, memberinya makna, dan menjadikannya bagian tak terpisahkan dari identitas mereka. Setiap goresan pada bilah, setiap lekukan pada gagang, adalah jejak waktu yang menceritakan adaptasi, inovasi, dan kesinambungan budaya.
Anatomi Parang: Bagian-bagian dan Fungsinya
Meskipun terdapat ribuan variasi parang di Nusantara, sebagian besar memiliki struktur dasar yang terdiri dari tiga komponen utama: bilah, gagang (hulu), dan sarung (kumpang). Setiap bagian memiliki fungsi spesifik dan seringkali diperlakukan dengan perhatian artistik serta filosofis yang mendalam.
Bilah (Mata Parang)
Bilah adalah jantung dari parang, bagian yang bertanggung jawab untuk memotong. Bentuk, ukuran, dan berat bilah sangat bervariasi tergantung pada tujuan penggunaan dan tradisi lokal. Beberapa karakteristik umum bilah meliputi:
- Mata/Sisi Tajam (Cutting Edge): Bagian bilah yang diasah untuk memotong. Tingkat ketajaman dan sudut asahan sangat penting dan seringkali disesuaikan dengan jenis material yang akan dipotong.
- Punggung (Spine): Sisi tebal bilah yang berlawanan dengan mata. Punggung yang tebal memberikan kekuatan dan bobot ekstra untuk pukulan yang lebih bertenaga, ideal untuk mencincang kayu.
- Ujung (Point/Tip): Bagian akhir bilah. Beberapa parang memiliki ujung runcing untuk fungsi menusuk, sementara yang lain memiliki ujung tumpul atau membulat, lebih aman untuk pekerjaan di hutan.
- Perut (Belly): Bagian bilah yang melebar atau melengkung. Perut yang lebar seringkali memberikan momentum lebih untuk memotong dan mengayun.
- Ricikan/Pamor (Pattern Welding): Pada parang tertentu, terutama yang berkualitas tinggi atau dianggap pusaka, bilah mungkin menunjukkan pola lipatan baja yang indah, mirip dengan pamor pada keris. Ini bukan hanya estetika tetapi juga dipercaya meningkatkan kekuatan dan fleksibilitas bilah.
- Tang (Puting): Bagian bilah yang memanjang ke dalam gagang. Ada dua jenis tang utama:
- Full Tang: Tang yang memanjang sepanjang gagang, memberikan kekuatan maksimum dan keseimbangan yang baik.
- Hidden Tang (Rancung): Tang yang lebih sempit dan hanya masuk sebagian ke dalam gagang. Lebih umum pada parang tradisional yang gagangnya terbuat dari tanduk atau kayu utuh.
Gagang (Hulu)
Gagang adalah pegangan parang. Material, bentuk, dan ukiran pada gagang seringkali mencerminkan budaya dan estetika daerah asalnya. Fungsi utamanya adalah memberikan pegangan yang nyaman dan aman, serta keseimbangan yang tepat pada parang.
- Material: Umumnya terbuat dari kayu keras (seperti jati, sonokeling, kemuning), tanduk hewan (kerbau, rusa), atau bahkan gading. Material ini dipilih karena kekuatan, daya tahan, dan keindahannya.
- Bentuk: Bentuk gagang sangat bervariasi. Ada yang sederhana dan ergonomis untuk penggunaan praktis, ada pula yang diukir rumit dengan motif flora, fauna (misalnya kepala burung atau naga), atau figur manusia, menunjukkan status sosial atau makna spiritual. Bentuk "parrot-beak" atau paruh burung sering ditemui di parang dari Kalimantan dan Sumatera.
- Cincin Penjepit (Ferrule/Pendongkok): Logam (kuningan, perak, atau baja) yang melingkari pangkal gagang, berfungsi untuk mengencangkan dan menguatkan sambungan antara bilah dan gagang, serta sebagai hiasan.
Sarung (Kumpang/Warangka)
Sarung berfungsi melindungi bilah dari kerusakan dan karat, serta melindungi pengguna dari ketajaman bilah. Selain itu, sarung juga merupakan bagian penting dari estetika parang.
- Material: Umumnya terbuat dari kayu yang sama atau serasi dengan gagang, seringkali dihias dengan ukiran, ukiran, atau dibungkus dengan rotan atau anyaman.
- Bentuk: Sarung dirancang agar sesuai dengan bentuk bilah parang. Beberapa memiliki bentuk sederhana, sementara yang lain diukir rumit dan dihias dengan motif tradisional.
- Penjepit (Kondominium/Ring): Untuk sarung yang terbuat dari dua keping kayu, seringkali diikat dengan cincin rotan atau logam untuk menjaga agar bilah tetap aman di dalamnya.
Setiap bagian parang bukan hanya fungsional tetapi juga membawa makna budaya dan artistik yang mendalam, menjadikan parang tidak hanya sebagai alat tetapi juga sebagai karya seni dan pusaka yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Varietas Parang di Seluruh Nusantara
Nusantara adalah melting pot budaya yang kaya, dan keragaman ini tercermin dalam berbagai jenis parang yang ditemukan di setiap pulau dan suku. Meskipun secara umum parang adalah bilah potong yang berat, setiap daerah memiliki interpretasi dan adaptasinya sendiri, menghasilkan bentuk, ukuran, dan nama yang unik.
Parang Candung (Kalimantan)
Parang Candung adalah salah satu jenis parang yang paling dikenal dari Kalimantan, khususnya suku Dayak. Bilahnya cenderung lurus atau sedikit melengkung ke depan, dengan ujung yang biasanya membulat atau sedikit miring. Candung dikenal karena bilahnya yang tebal dan berat, menjadikannya alat yang sangat efektif untuk mencincang kayu, membersihkan hutan, atau mengolah hasil pertanian. Gagangnya seringkali sederhana, terbuat dari kayu keras, tetapi kokoh untuk pegangan yang kuat. Candung adalah simbol kemandirian dan keberanian bagi masyarakat Dayak, alat yang tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari dan seringkali diwariskan turun-temurun.
Parang Latok (Sarawak/Kalimantan Barat)
Parang Latok berasal dari daerah Sarawak dan Kalimantan Barat, digunakan oleh suku Iban dan suku-suku Dayak lainnya. Ciri khasnya adalah bilah yang relatif lurus di bagian punggung dan melengkung tajam ke bawah di bagian mata, menciptakan profil seperti "gigi hiu" atau "paruh burung". Ujungnya seringkali sangat runcing. Bilah ini sangat efektif untuk memotong dan menguliti, menjadikannya alat berburu dan survival yang sangat baik. Gagangnya sering diukir dengan detail rumit, terkadang dihiasi dengan rambut manusia atau bulu burung sebagai tanda status atau keberanian.
Parang Nabur (Brunei/Kalimantan)
Parang Nabur memiliki bilah yang sangat khas: melengkung ke belakang di bagian punggung dan melengkung ke depan di bagian mata, sehingga membentuk bilah yang melebar di bagian tengah atau ujung, mirip dengan pedang Sabat Eropa. Bilah ini dirancang untuk memberikan daya potong yang optimal dalam gerakan mengayun. Secara historis, Nabur sering diasosiasikan dengan militer atau pejuang di Kesultanan Brunei dan daerah sekitarnya di Kalimantan. Gagangnya seringkali diukir dan sarungnya dihiasi dengan elegan, menunjukkan status pemiliknya.
Golok (Jawa, Sunda, Betawi, Sumatera)
Istilah "golok" seringkali digunakan secara bergantian dengan parang, tetapi umumnya mengacu pada bilah yang lebih pendek dan seringkali lebih berat daripada parang hutan yang panjang. Golok sangat beragam dan memiliki identitas regional yang kuat:
- Golok Ciomas (Banten): Terkenal dengan bilahnya yang lurus, berat, dan kekuatan mistis yang diyakini terkandung di dalamnya. Proses pembuatannya sangat sakral dan mengikuti ritual tertentu. Golok Ciomas adalah pusaka yang sangat dihormati.
- Golok Betawi (Jakarta): Cenderung memiliki bilah yang lebih pendek, lebih lebar, dan melengkung ke depan, dengan ujung yang seringkali tumpul. Ini adalah alat serbaguna untuk pekerjaan rumah tangga, pertanian, dan kadang-kadang pertahanan diri.
- Golok Sunda (Jawa Barat): Beragam dalam bentuk, seringkali memiliki bilah yang ramping namun kuat, dengan detail ukiran yang halus pada gagang dan sarungnya.
- Golok Sumatera: Mengambil banyak bentuk, dari yang mirip parang hutan hingga yang lebih kecil dan melengkung untuk pertanian.
Golok adalah alat yang sangat adaptif, mencerminkan kebutuhan sehari-hari masyarakat di mana ia dibuat, mulai dari membersihkan pekarangan hingga mengamankan diri.
Klewang (Sumatera, Kalimantan)
Klewang adalah jenis parang atau pedang berbilah panjang dan lebar, seringkali sedikit melengkung ke depan di ujungnya. Meskipun kadang disebut sebagai pedang, fungsinya juga mencakup pekerjaan memotong seperti parang. Klewang umumnya memiliki bilah tunggal, dengan satu sisi yang diasah. Populer di Sumatera (terutama Batak dan Minangkabau) dan Kalimantan, klewang sering digunakan dalam peperangan dan upacara adat. Ada varian klewang yang sangat panjang dan ramping, menyerupai pedang, sementara yang lain lebih pendek dan lebar seperti parang.
Mandau dan Parang Ilang (Dayak, Kalimantan)
Mandau adalah bilah tradisional suku Dayak di Kalimantan yang sangat ikonik. Meskipun sering diklasifikasikan sebagai parang, Mandau memiliki kekhasan yang membuatnya menonjol. Bilahnya memiliki bentuk yang unik, sedikit melengkung dan melebar di ujung, serta dihiasi dengan ukiran etsa yang rumit. Gagang Mandau biasanya terbuat dari tanduk rusa yang diukir dengan detail luar biasa dan dihias dengan bulu burung serta rambut manusia (sebelumnya dari kepala musuh yang dipenggal). Mandau bukan hanya senjata atau alat, melainkan juga simbol status, pusaka sakral, dan benda ritual yang diyakini memiliki kekuatan spiritual. Parang Ilang adalah istilah lain yang sering digunakan dan seringkali merujuk pada Mandau itu sendiri atau varian yang sangat mirip, dengan ciri khas bilah yang sedikit cekung di satu sisi dan cembung di sisi lain.
Parang Sabet dan Parang Jenawi
Istilah "Parang Sabet" seringkali merujuk pada parang yang didesain untuk menyabet atau mengayun dengan cepat, mungkin lebih ringan dan lebih melengkung daripada parang potong. Sementara "Parang Jenawi" adalah pedang yang lebih besar dan berat, seringkali lurus atau sedikit melengkung, digunakan dalam pertempuran. Keduanya berada di persimpangan antara parang dan pedang, menunjukkan fluiditas kategori senjata tradisional di Nusantara.
Keragaman parang di Nusantara adalah bukti kejeniusan lokal dalam beradaptasi dengan lingkungan dan kebutuhan. Setiap parang adalah cerminan dari identitas budaya, sejarah, dan nilai-nilai masyarakat yang menciptakannya, menjadikan mereka lebih dari sekadar bilah besi.
Parang sebagai Alat Serbaguna
Sebelum era industrialisasi, parang adalah alat multifungsi yang tak tergantikan dalam setiap rumah tangga dan komunitas di Nusantara. Dari hutan rimba hingga kebun belakang rumah, parang telah terbukti sebagai sahabat setia yang mempermudah kehidupan dan memungkinkan manusia untuk bertahan hidup di alam yang kadang keras.
Pertanian
Di negara agraris seperti Indonesia, parang adalah tulang punggung pertanian tradisional. Petani mengandalkan parang untuk berbagai tugas esensial:
- Membuka Lahan: Untuk membersihkan semak belukar, rerumputan liar, dan tumbuhan kecil guna mempersiapkan lahan tanam baru. Kekuatan dan berat bilah parang sangat ideal untuk pekerjaan ini.
- Membersihkan Gulma: Meskipun ada alat khusus, parang tetap efektif untuk membersihkan gulma yang tumbuh di sekitar tanaman pangan, terutama di area yang luas.
- Panen: Beberapa jenis tanaman, seperti tebu, pisang, atau kelapa, seringkali dipanen menggunakan parang karena bilahnya yang kuat mampu memotong batang yang tebal dan keras.
- Merawat Tanaman: Memangkas cabang pohon, membersihkan pelepah kering, atau membentuk tanaman agar tumbuh optimal.
Dengan bilahnya yang tajam dan kokoh, parang memungkinkan petani bekerja secara efisien di ladang, hutan, atau perkebunan, menjadikannya simbol kemandirian pangan.
Kehutanan dan Survival
Bagi mereka yang hidup di dekat hutan atau sering berinteraksi dengan alam liar, parang adalah alat survival yang esensial:
- Membuka Jalur: Di hutan tropis yang lebat, parang digunakan untuk membersihkan jalur, memotong ranting dan semak agar dapat dilalui.
- Membangun Tempat Tinggal (Shelter): Memotong ranting, bambu, atau pelepah daun untuk membangun pondok darurat atau shelter.
- Mengumpulkan Kayu Bakar: Parang sangat efektif untuk membelah kayu kecil menjadi ukuran yang lebih mudah dibakar, atau memotong ranting yang jatuh.
- Berburu dan Memancing: Untuk membersihkan hewan buruan, membuat perangkap, atau memotong tali pancing. Beberapa jenis parang yang lebih ringan juga digunakan untuk membersihkan ikan hasil tangkapan.
- Navigasi: Di tangan yang ahli, parang bisa digunakan untuk membuat tanda di pohon atau memotong liana yang menghalangi jalan.
Parang adalah ekstensi tangan bagi para pemburu, penjelajah, dan mereka yang hidup selaras dengan hutan, memfasilitasi kelangsungan hidup dalam kondisi yang menantang.
Rumah Tangga dan Sehari-hari
Di lingkungan rumah tangga pun, parang memiliki perannya sendiri, meskipun seringkali dalam bentuk golok yang lebih kecil atau parang yang lebih ringan:
- Memotong Bahan Makanan: Untuk memotong daging bertulang besar, membelah kelapa, atau mengupas buah-buahan berukuran besar.
- Tugas Pemeliharaan Rumah: Memotong tali, membersihkan pekarangan dari rumput liar, membelah kayu kecil untuk memasak, atau memperbaiki bagian rumah yang terbuat dari kayu.
- Kerajinan Tangan: Untuk membentuk kayu, bambu, atau rotan dalam pembuatan anyaman atau perabot rumah tangga sederhana.
Kehadiran parang di lingkungan rumah tangga menunjukkan betapa menyatunya alat ini dengan kehidupan sehari-hari masyarakat Nusantara, dari kebutuhan dasar hingga kreativitas lokal.
Dalam setiap fungsinya, parang menegaskan statusnya sebagai alat serbaguna yang tak lekang oleh waktu. Daya tahannya, efisiensinya, dan kemampuannya untuk beradaptasi dengan berbagai tugas menjadikannya salah satu alat paling penting dalam sejarah dan budaya Asia Tenggara.
Parang sebagai Senjata Tradisional
Di samping perannya sebagai alat, parang juga memiliki sejarah panjang dan signifikan sebagai senjata. Dari pertempuran antar suku hingga perjuangan kemerdekaan melawan kolonialisme, parang telah menjadi senjata pilihan bagi banyak pejuang Nusantara, disukai karena efektivitasnya dalam pertempuran jarak dekat, kemudahan akses, dan kekuatan psikologis yang dibawanya.
Pertempuran Sejarah dan Pertahanan Diri
Di masa lalu, ketika konflik antar suku atau kerajaan sering terjadi, parang adalah salah satu senjata utama. Bilahnya yang berat dan tajam sangat efektif untuk mencincang dan memotong dalam pertempuran jarak dekat. Fleksibilitasnya juga memungkinkan berbagai teknik serangan dan pertahanan. Dalam konteks pertahanan diri, parang seringkali menjadi satu-satunya perlindungan bagi individu atau keluarga dari ancaman binatang buas atau penyerang.
Selama era kolonial, ketika senjata api modern lebih sulit didapatkan oleh pribumi, parang menjadi senjata simbol perlawanan. Pejuang-pejuang kemerdekaan, seperti para gerilyawan, seringkali menggunakan parang dalam serangan mendadak atau pertempuran di hutan yang tidak memungkinkan penggunaan senjata api efektif. Keberanian para pejuang yang hanya bersenjatakan parang melawan senapan mesin musuh telah menjadi inspirasi dan legenda dalam sejarah nasional.
Teknik Penggunaan dalam Bela Diri
Penggunaan parang sebagai senjata tidak hanya mengandalkan kekuatan mentah, tetapi juga teknik dan strategi yang dikembangkan melalui berbagai seni bela diri tradisional Nusantara, seperti pencak silat. Beberapa aliran pencak silat memiliki jurus-jurus khusus yang dirancang untuk penggunaan parang (atau golok):
- Teknik Sabetan: Mengayunkan parang secara horizontal atau diagonal untuk menghasilkan luka potong yang parah. Kecepatan dan kekuatan ayunan adalah kunci.
- Teknik Cincang: Menggunakan berat bilah untuk memberikan pukulan hulu ledak yang menghancurkan, ideal untuk memotong tulang atau menghantam perisai.
- Teknik Tusukan: Meskipun sebagian besar parang tidak dirancang khusus untuk menusuk, beberapa varian dengan ujung runcing dapat digunakan untuk tujuan ini dalam situasi tertentu.
- Blok dan Tangkisan: Parang juga digunakan untuk menangkis serangan lawan, seringkali menggunakan punggung bilah yang tebal untuk menahan pukulan.
Pelatihan dengan parang melibatkan tidak hanya penguasaan gerakan fisik tetapi juga pemahaman tentang jarak, waktu, dan psikologi lawan. Beberapa aliran bahkan menekankan pentingnya "rasa" atau intuisi dalam menggunakan senjata, seolah-olah parang adalah perpanjangan dari tubuh penggunanya.
Filosofi Senjata
Sebagai senjata, parang juga memuat filosofi yang dalam. Ia bukan hanya alat pembunuh, melainkan juga simbol kekuatan yang harus digunakan dengan bijak dan bertanggung jawab. Dalam beberapa budaya, penggunaan parang dalam pertempuran dikaitkan dengan kehormatan dan keadilan. Ada keyakinan bahwa parang yang ditempa dengan niat baik akan membawa keberuntungan dan melindungi pemiliknya, sementara yang dibuat dengan niat jahat dapat membawa celaka.
Meskipun di era modern peran parang sebagai senjata telah bergeser ke konteks pertahanan diri atau seni bela diri, sejarahnya sebagai alat tempur tetap menjadi bagian integral dari identitasnya. Ia mengingatkan kita akan ketangguhan dan keberanian para leluhur yang menggunakannya untuk mempertahankan tanah, kehormatan, dan kehidupan mereka.
Filosofi, Simbolisme, dan Kepercayaan
Di luar fungsi praktisnya sebagai alat atau senjata, parang di Nusantara adalah benda yang sarat dengan filosofi, simbolisme, dan kepercayaan spiritual. Ia seringkali dianggap sebagai pusaka, warisan leluhur, atau bahkan memiliki jiwa dan kekuatan magis. Ini menjadikan parang jauh lebih dari sekadar benda mati; ia adalah bagian hidup dari budaya dan spiritualitas.
Simbol Status dan Identitas
Dalam banyak masyarakat tradisional, memiliki parang berkualitas tinggi atau yang diwariskan dari nenek moyang adalah tanda status dan martabat. Ukiran yang rumit pada gagang dan sarung, penggunaan material langka seperti tanduk rusa atau gading, atau bahkan riwayat kepemilikan parang tersebut, semuanya berkontribusi pada nilainya sebagai simbol status. Parang juga dapat menjadi penanda identitas suku atau daerah, dengan setiap jenis parang merepresentasikan ciri khas komunitas tertentu.
Pusaka dan Warisan Leluhur
Banyak parang tua diperlakukan sebagai pusaka, benda-benda yang diwariskan dari generasi ke generasi. Pusaka ini tidak hanya memiliki nilai materi atau sejarah, tetapi juga nilai spiritual yang mendalam. Dipercaya bahwa roh para leluhur atau kekuatan gaib tertentu mendiami pusaka tersebut, memberikan perlindungan atau keberuntungan bagi pemiliknya. Oleh karena itu, pusaka parang sering disimpan dengan hati-hati, dirawat dengan ritual khusus, dan hanya dikeluarkan pada momen-momen penting.
Ritual Pembuatan dan Penggunaan
Proses pembuatan parang, terutama yang dianggap pusaka atau memiliki makna khusus, seringkali disertai dengan ritual. Para pandai besi (empu) mungkin berpuasa, melakukan meditasi, atau membaca doa selama proses penempaan. Hal ini diyakini akan "mengisi" parang dengan kekuatan spiritual dan niat baik. Bahkan setelah selesai, ada ritual untuk membersihkan, merawat, atau "memberi makan" parang pada waktu-waktu tertentu, seperti pada malam Jumat Kliwon atau bulan Suro, agar kekuatannya tetap terjaga.
Dalam penggunaan, terutama di upacara adat, parang juga dapat memiliki peran ritualistik. Ia mungkin digunakan dalam tarian perang, upacara inisiasi, atau sebagai persembahan. Penggunaan parang dalam konteks ini bukan untuk kekerasan, melainkan sebagai representasi kekuatan, keberanian, atau simbol pengusiran roh jahat.
Mitos dan Legenda
Sejumlah mitos dan legenda mengelilingi parang di Nusantara. Ada cerita tentang parang yang dapat berbicara, parang yang dapat terbang, atau parang yang membuat pemiliknya kebal. Mitos-mitos ini tidak hanya menghibur tetapi juga berfungsi sebagai cara untuk menyampaikan nilai-nilai moral, sejarah, atau kepercayaan kosmologis kepada generasi berikutnya. Mereka memperkuat citra parang sebagai benda yang luar biasa, memiliki kekuatan di luar pemahaman biasa.
Parang sebagai Simbol Kekuatan dan Keberanian
Secara umum, parang melambangkan kekuatan, keberanian, kemandirian, dan kemampuan untuk menghadapi tantangan. Membawa parang sering diartikan sebagai kesiapan untuk bekerja keras, melindungi keluarga, dan membela diri. Dalam konteks budaya agraria, ia juga melambangkan koneksi manusia dengan alam, sebagai alat untuk mengolah dan mengambil berkah dari bumi.
Singkatnya, filosofi dan simbolisme parang adalah lapisan penting yang memperkaya pemahaman kita tentang alat ini. Ia menunjukkan bagaimana sebuah benda fisik dapat diinfus dengan makna yang mendalam, menjadikannya jembatan antara dunia material dan spiritual dalam masyarakat Nusantara.
Proses Pembuatan Parang Tradisional
Pembuatan parang secara tradisional adalah sebuah seni kuno yang menggabungkan pengetahuan metalurgi, keterampilan tangan yang luar biasa, dan terkadang ritual spiritual. Proses ini diwariskan dari generasi ke generasi, seringkali oleh seorang pandai besi atau "empu" yang dihormati dalam komunitasnya.
Pemilihan Bahan Baku
Langkah pertama adalah pemilihan bahan baku yang tepat. Untuk bilah, bahan utamanya adalah besi atau baja. Dahulu, pandai besi menggunakan bijih besi lokal atau besi yang didapat dari meteorit. Kini, baja pegas (spring steel) dari kendaraan tua atau rel kereta api sering menjadi pilihan populer karena komposisinya yang ideal untuk bilah tajam dan kuat. Untuk gagang dan sarung, kayu keras seperti kayu ulin, jati, sonokeling, atau kemuning sangat disukai. Tanduk hewan (kerbau, rusa) dan gading juga digunakan untuk gagang berkualitas tinggi, seringkali dengan ukiran rumit.
Proses Penempaan (Tempa Panas)
Inilah inti dari pembuatan bilah. Potongan baja dipanaskan dalam bara arang hingga mencapai suhu merah membara, lalu dipalu berulang kali oleh pandai besi. Proses ini disebut penempaan. Tujuannya adalah untuk membentuk bilah, menghilangkan kotoran (slag), menyatukan butiran logam, dan meningkatkan kepadatan serta kekuatan baja. Beberapa bilah, terutama yang berkualitas tinggi, mungkin melewati proses penempaan lipat (folding forge), di mana baja dilipat dan dipalu berkali-kali, mirip dengan pembuatan pedang Damaskus. Proses ini tidak hanya menciptakan pola pamor yang indah tetapi juga meningkatkan homogenitas dan kekuatan material.
Selama penempaan, bilah secara bertahap dibentuk menjadi profil yang diinginkan – lurus, melengkung, lebar, atau ramping – sesuai dengan jenis parang yang dibuat. Punggung bilah biasanya dibiarkan tebal untuk kekuatan, sementara bagian mata bilah dipersempit untuk memudahkan penajaman.
Pengerasan (Sepuh) dan Normalisasi
Setelah bilah terbentuk, langkah selanjutnya adalah pengerasan atau "sepuh". Bilah dipanaskan kembali hingga suhu kritis (sekitar 800-900°C, tergantung jenis baja) dan kemudian dicelupkan dengan cepat ke dalam media pendingin seperti air, minyak, atau lumpur. Pendinginan mendadak ini mengubah struktur mikro baja menjadi martensit, membuatnya sangat keras. Namun, terlalu keras berarti rapuh, sehingga bilah kemudian dinormalisasi atau di-temper (pelunakan). Proses tempering melibatkan pemanasan bilah ke suhu yang lebih rendah (sekitar 200-300°C) selama beberapa waktu, kemudian mendinginkannya perlahan. Ini mengurangi kerapuhan bilah sambil tetap mempertahankan kekerasannya, menciptakan keseimbangan antara ketajaman, kekuatan, dan fleksibilitas.
Penajaman dan Penghalusan
Setelah proses sepuh, bilah diasah secara bertahap menggunakan batu asah dengan tingkat kekasaran yang berbeda, dari kasar hingga sangat halus, untuk mendapatkan mata bilah yang sangat tajam. Proses ini membutuhkan ketelitian dan kesabaran untuk memastikan sudut asahan yang tepat. Bilah juga mungkin dipoles untuk menghilangkan bekas tempa dan memberikan tampilan yang lebih bersih dan estetis.
Pembuatan Gagang dan Sarung
Sementara bilah sedang dikerjakan, gagang dan sarung juga dipersiapkan. Kayu atau tanduk diukir dan dibentuk agar sesuai dengan tangan dan bilah parang. Untuk sarung, seringkali dua potong kayu diukir agar sesuai dengan profil bilah, lalu disatukan dan diikat dengan anyaman rotan atau logam. Gagang dipasang pada tang bilah, biasanya dengan pasak kayu atau resin, lalu dikencangkan dengan cincin penjepit (ferrule) dari logam. Ukiran pada gagang dan sarung adalah kesempatan bagi seniman untuk mengekspresikan kreativitas dan motif tradisional, seringkali dengan makna simbolis.
Finishing dan Ritual (Jika Ada)
Langkah terakhir adalah finishing, seperti mengoleskan minyak pelindung pada bilah untuk mencegah karat, atau memoles gagang dan sarung. Untuk parang pusaka, tahap ini bisa disertai dengan ritual khusus, seperti membersihkan parang dengan air bunga, memberikan persembahan, atau membaca doa, sebagai bentuk penghormatan dan pengisian spiritual.
Seluruh proses ini adalah sebuah perjalanan yang panjang dan penuh dedikasi, menghasilkan sebuah parang yang tidak hanya berfungsi sebagai alat, tetapi juga sebagai karya seni, simbol budaya, dan warisan yang hidup.
Perawatan dan Pemeliharaan Parang
Sebuah parang, tak peduli seberapa baik kualitas pembuatannya, tidak akan bertahan lama atau berfungsi optimal tanpa perawatan yang tepat. Pemeliharaan yang baik adalah kunci untuk menjaga ketajaman, mencegah karat, dan memperpanjang umur parang, terutama jika ia adalah pusaka atau alat yang sangat diandalkan. Perawatan ini mencakup beberapa aspek penting:
Membersihkan Setelah Penggunaan
Langkah pertama dan paling mendasar adalah membersihkan parang segera setelah digunakan. Ini sangat penting terutama jika parang digunakan untuk memotong bahan organik seperti kayu basah, tanah, atau daging, yang dapat meninggalkan residu korosif.
- Cuci Bilah: Gunakan air bersih (sabun lembut jika perlu) dan sikat atau spons untuk membersihkan semua kotoran dan residu dari bilah. Pastikan untuk membersihkan hingga ke celah-celah kecil.
- Keringkan Sempurna: Ini adalah langkah krusial. Setelah dicuci, bilah harus dikeringkan sepenuhnya. Gunakan kain bersih dan kering untuk menyeka bilah, lalu biarkan mengering di udara beberapa saat. Kelembaban adalah musuh utama bilah baja karena dapat menyebabkan karat.
- Bersihkan Gagang dan Sarung: Jika gagang atau sarung terbuat dari kayu, tanduk, atau material organik lainnya, bersihkan juga dari kotoran. Hindari merendam bagian ini dalam air untuk waktu lama karena dapat merusak material. Keringkan dengan baik.
Mengolesi Minyak Pelindung
Setelah bersih dan kering, bilah baja harus dilindungi dengan lapisan minyak tipis untuk mencegah oksidasi (karat). Minyak ini menciptakan penghalang antara logam dan udara/kelembaban.
- Jenis Minyak: Minyak mineral, minyak WD-40, minyak mesin ringan, atau minyak khusus senjata api sangat efektif. Di beberapa tradisi, minyak kelapa atau minyak khusus pusaka juga digunakan, meskipun mungkin kurang efektif dalam jangka panjang dibanding minyak mineral modern.
- Cara Mengoles: Tuangkan sedikit minyak pada kain bersih, lalu oleskan secara merata ke seluruh permukaan bilah, termasuk punggung dan ujung. Pastikan lapisan minyak tipis dan merata. Hindari mengoles terlalu banyak karena dapat menarik debu.
- Frekuensi: Oleskan minyak setiap kali setelah digunakan atau setidaknya sebulan sekali jika parang disimpan, terutama di lingkungan lembab.
Menajamkan Bilah dengan Benar
Ketajaman adalah fungsi utama parang. Menajamkan parang adalah keterampilan yang membutuhkan latihan.
- Peralatan: Gunakan batu asah (whetstone) dengan tingkat kekasaran yang berbeda (kasar, sedang, halus), atau asahan berlian.
- Sudut Asahan: Pertahankan sudut asahan asli bilah. Umumnya, parang memiliki sudut asahan yang lebih tumpul (sekitar 25-30 derajat per sisi) dibandingkan pisau dapur untuk daya tahan yang lebih baik saat mencincang.
- Teknik: Asah bilah dengan gerakan maju mundur atau melingkar pada batu asah yang sudah dibasahi (dengan air atau minyak, tergantung jenis batu). Mulai dari batu kasar, lalu beralih ke yang lebih halus. Pastikan kedua sisi bilah diasah secara merata.
- Burr (Gerinda Halus): Setelah mengasah, akan terbentuk "burr" atau gerinda halus di sepanjang mata bilah. Hilangkan burr ini dengan menyapu bilah perlahan pada batu asah yang halus atau stropping (menggesek pada kulit/kain).
Penyimpanan yang Aman dan Tepat
Cara menyimpan parang juga sangat penting untuk keamanan dan pemeliharaan.
- Dengan Sarung: Selalu simpan parang di dalam sarungnya untuk melindungi bilah dan mencegah cedera. Pastikan sarung dalam kondisi baik dan tidak ada kelembaban di dalamnya.
- Tempat Kering: Simpan parang di tempat yang kering, sejuk, dan tidak terkena perubahan suhu ekstrem. Hindari menyimpan di area yang sangat lembab.
- Posisi: Jika memungkinkan, simpan parang dalam posisi horizontal atau sedikit miring untuk mencegah kelembaban menumpuk di ujung sarung.
- Jauh dari Jangkauan Anak-anak: Demi keamanan, selalu simpan parang di tempat yang tidak dapat dijangkau oleh anak-anak.
Dengan melakukan perawatan rutin ini, sebuah parang dapat berfungsi dengan baik selama bertahun-tahun, bahkan berabad-abad, menjadi warisan yang terus dapat digunakan dan dihargai.
Parang dalam Konteks Modern
Meskipun alat-alat modern berbasis mesin telah mengambil alih banyak fungsi tradisional parang, warisan bilah tajam ini masih relevan dan terus menemukan tempatnya di era kontemporer. Parang telah bertransformasi dari sekadar alat dan senjata menjadi simbol budaya, alat survival modern, dan objek seni yang dihargai.
Kerajinan Tangan dan Cenderamata
Saat ini, banyak parang diproduksi sebagai kerajinan tangan yang indah, bukan hanya untuk fungsi praktis tetapi juga sebagai karya seni. Para pandai besi dan pengukir lokal terus menciptakan parang dengan desain tradisional yang rumit, terkadang dihias dengan material eksotis dan ukiran yang halus. Parang semacam ini sering menjadi cenderamata bagi wisatawan atau kolektor, yang menghargai keahlian dan nilai budaya yang terkandung di dalamnya. Ini juga membantu menjaga kelangsungan hidup tradisi pandai besi lokal dan ekonomi komunitas.
Alat Survival dan Bushcraft
Di kalangan penggemar aktivitas luar ruangan, survivalis, dan praktisi bushcraft (keterampilan hidup di alam liar), parang mengalami kebangkitan popularitas. Kemampuannya untuk mencincang, memotong, dan membersihkan di lingkungan hutan menjadikannya alat yang sangat efektif untuk membangun tempat tinggal, membuat api, mengumpulkan kayu bakar, atau membersihkan jalur. Banyak parang modern dirancang dengan ergonomi dan material yang diperbarui, namun tetap mempertahankan esensi dan efektivitas bilah tradisional.
Parang, atau sering disebut machete di Barat, menjadi pilihan utama para petualang yang membutuhkan alat serbaguna yang tangguh di lingkungan yang menantang, membuktikan bahwa desain kuno masih relevan di zaman modern.
Olahraga Bela Diri dan Demonstrasi Budaya
Dalam konteks seni bela diri tradisional seperti pencak silat, parang masih diajarkan dan digunakan dalam latihan dan demonstrasi. Penggunaan parang dalam pencak silat bukan hanya tentang teknik bertarung, tetapi juga tentang melestarikan warisan budaya, filosofi di balik penggunaan senjata, dan disiplin spiritual. Pertunjukan budaya seringkali menampilkan tarian dengan parang yang elegan dan memukau, menunjukkan keindahan dan kekuatan dari tradisi ini tanpa niat kekerasan.
Di beberapa daerah, ada juga kompetisi atau festival yang menampilkan keahlian dalam menggunakan parang, baik dalam bentuk seni bela diri maupun ketangkasan dalam memotong objek. Ini adalah cara untuk menjaga semangat dan keterampilan yang terkait dengan parang tetap hidup di generasi muda.
Koleksi dan Apresiasi Seni
Bagi kolektor, parang bukan hanya sekadar benda tajam, melainkan objek sejarah, seni, dan keahlian. Parang antik atau yang memiliki nilai historis tinggi seringkali menjadi incaran para kolektor. Keunikan bentuk, kualitas tempa, dan cerita di balik setiap bilah menambah nilai koleksinya. Museum dan institusi kebudayaan juga memainkan peran penting dalam mengumpulkan, mengkonservasi, dan memamerkan parang sebagai bagian dari warisan budaya nasional.
Tantangan dan Adaptasi
Meskipun relevansi parang di era modern, ada tantangan. Generasi muda mungkin kurang tertarik untuk mempelajari keterampilan pandai besi tradisional. Globalisasi membawa masuk alat-alat yang lebih murah dan diproduksi massal, yang dapat mengancam pasar untuk parang buatan tangan. Namun, melalui upaya promosi budaya, pendidikan, dan adaptasi produk untuk kebutuhan modern, parang terus berjuang untuk mempertahankan tempatnya.
Parang di era modern adalah bukti kekuatan tradisi yang mampu beradaptasi dan menemukan relevansi baru. Ia mengingatkan kita bahwa warisan leluhur tidak harus terkubur di masa lalu, melainkan dapat terus hidup dan berkembang dalam konteks yang baru, menjadikannya jembatan antara masa lalu dan masa depan.
Tantangan dan Pelestarian Warisan Parang
Sebagai salah satu warisan budaya tak benda yang penting, parang menghadapi berbagai tantangan di era modern. Globalisasi, perubahan gaya hidup, dan kemajuan teknologi telah menggeser banyak praktik tradisional. Namun, di tengah tantangan ini, ada pula upaya gigih untuk melestarikan dan merevitalisasi seni serta signifikansi parang bagi generasi mendatang.
Erosi Pengetahuan Tradisional
Salah satu tantangan terbesar adalah erosi pengetahuan tradisional. Proses pembuatan parang yang rumit, pemilihan material yang tepat, dan filosofi di balik setiap bilah seringkali hanya diwariskan secara lisan dari empu ke muridnya. Dengan berkurangnya minat generasi muda untuk menjadi pandai besi atau mempelajari seni ini, banyak pengetahuan dan keterampilan berharga yang terancam punah. Kurangnya dokumentasi tertulis juga memperburuk masalah ini, membuat transmisi pengetahuan menjadi rentan terhadap kehilangan.
Selain itu, pengetahuan tentang jenis-jenis parang spesifik dari setiap daerah, makna simbolisnya, dan ritual terkait juga mulai memudar di tengah masyarakat yang semakin modern dan terhubung dengan budaya global.
Produksi Massal vs. Kualitas Tangan
Pasar modern dipenuhi dengan alat-alat potong yang diproduksi secara massal, seringkali lebih murah dan mudah didapatkan. Parang buatan tangan tradisional, dengan proses pembuatan yang memakan waktu dan keahlian tinggi, tentu memiliki harga yang lebih tinggi. Ini menciptakan persaingan yang tidak seimbang dan dapat menekan para pandai besi tradisional. Akibatnya, kualitas bisa menurun karena tekanan untuk memproduksi lebih cepat dan murah, atau para pandai besi beralih profesi karena tidak lagi bisa menghidupi keluarga dari pekerjaan mereka.
Peredaran bilah imitasi atau parang yang dibuat tanpa memperhatikan standar tradisional juga merusak reputasi parang asli dan keahlian pandai besi tradisional.
Upaya Pelestarian oleh Komunitas dan Pemerintah
Meskipun menghadapi tantangan, ada banyak pihak yang berdedikasi untuk melestarikan warisan parang:
- Komunitas Pandai Besi: Di beberapa daerah, komunitas pandai besi tradisional membentuk paguyuban atau asosiasi untuk berbagi pengetahuan, menjaga standar kualitas, dan mempromosikan produk mereka. Mereka juga aktif mencari dan melatih generasi muda.
- Museum dan Lembaga Kebudayaan: Museum di seluruh Nusantara mengumpulkan, mendokumentasikan, dan memamerkan berbagai jenis parang, menjadikannya sumber belajar bagi publik dan peneliti. Lembaga kebudayaan seringkali mengadakan lokakarya dan pameran.
- Pemerintah Daerah: Beberapa pemerintah daerah memberikan dukungan finansial atau program pelatihan bagi pandai besi, serta mempromosikan parang sebagai produk unggulan daerah.
- Penelitian dan Dokumentasi: Para akademisi dan peneliti melakukan studi tentang sejarah, teknik, dan filosofi parang, menghasilkan publikasi yang membantu mendokumentasikan pengetahuan yang terancam punah.
Pendidikan dan Revitalisasi
Kunci pelestarian adalah pendidikan. Memperkenalkan parang dan nilai-nilainya kepada generasi muda, baik melalui kurikulum sekolah, kegiatan ekstrakurikuler, atau media sosial, sangat penting. Revitalisasi juga dapat dilakukan dengan mengadaptasi parang untuk kebutuhan modern (misalnya, sebagai alat survival bushcraft yang berkualitas tinggi) sambil tetap mempertahankan esensi tradisionalnya.
Dengan semangat kolaborasi antara seniman, komunitas, pemerintah, dan masyarakat umum, warisan parang Nusantara dapat terus hidup, tidak hanya sebagai peninggalan masa lalu, tetapi sebagai bagian yang dinamis dan relevan dari masa kini dan masa depan.
Kesimpulan: Parang, Jantung Budaya Nusantara
Dari bilah batu primitif hingga karya seni metalurgi yang rumit, perjalanan parang di Nusantara adalah sebuah epik tentang adaptasi, inovasi, dan identitas. Lebih dari sekadar sebilah logam yang tajam, parang telah menorehkan jejaknya dalam setiap aspek kehidupan masyarakat, menjadi alat fundamental untuk bertahan hidup, senjata pelindung diri, simbol kekuasaan dan status, serta medium ekspresi artistik dan spiritual yang mendalam.
Kita telah menyelami sejarahnya yang panjang, dari akar prasejarah yang membentang jauh ke masa lalu, melalui era kerajaan-kerajaan besar yang membentuk peradaban, hingga perjuangan heroik di masa kolonial. Setiap lekukan pada bilahnya, setiap ukiran pada gagangnya, dan setiap serat pada sarungnya, menceritakan kisah tentang perjuangan dan kemajuan. Anatomi parang yang terstruktur dengan presisi, dari bilah hingga sarungnya, menunjukkan perpaduan sempurna antara fungsi dan estetika, hasil dari pengalaman ribuan tahun.
Keragaman jenis parang di seluruh Nusantara—dari Parang Candung Kalimantan yang kokoh, Parang Latok yang khas, Golok Jawa yang melegenda, hingga Mandau Dayak yang sakral—menggambarkan kekayaan budaya dan keunikan setiap suku bangsa. Setiap varian adalah adaptasi genius terhadap lingkungan dan kebutuhan spesifik komunitasnya, menjadi cerminan nyata dari kejeniusan lokal.
Peran parang sebagai alat serbaguna telah menjadi fondasi peradaban agraria Nusantara, memungkinkan manusia mengolah hutan dan lahan, berburu, dan membangun tempat tinggal. Dalam fungsinya sebagai senjata, ia adalah simbol keberanian dan perlawanan, yang mewarnai sejarah pertempuran dan seni bela diri. Namun, yang paling esensial adalah nilai filosofis dan simbolisme yang melekat pada parang, mengangkatnya dari sekadar benda material menjadi pusaka hidup yang sarat makna, dihormati dalam ritual dan diwariskan sebagai penjaga tradisi.
Proses pembuatannya yang tradisional, melibatkan keahlian para empu dalam menempa, menyepuh, dan membentuk baja, adalah sebuah warisan tak ternilai. Perawatan yang cermat memastikan keberlanjutan fungsi dan nilai historisnya. Di era modern, meskipun menghadapi tantangan dari industrialisasi, parang tetap menemukan relevansinya sebagai kerajinan tangan, alat survival, bagian dari seni bela diri, dan objek koleksi yang dihargai.
Pelestarian warisan parang adalah tanggung jawab bersama. Ini bukan hanya tentang menjaga sebilah besi agar tidak berkarat, tetapi tentang menjaga agar semangat, pengetahuan, dan filosofi yang terkandung di dalamnya tetap hidup. Ini adalah tentang memastikan bahwa generasi mendatang dapat terus memahami dan menghargai "jantung" budaya Nusantara ini.
Parang adalah lebih dari sekadar alat; ia adalah narator bisu sejarah kita, penjaga tradisi kita, dan simbol ketahanan budaya kita. Ia adalah pengingat abadi akan hubungan mendalam antara manusia, alam, dan warisan yang kita ciptakan. Semoga kisah parang terus terukir, menginspirasi, dan memberdayakan kita untuk masa-masa yang akan datang.