Ortografi: Memahami Sistem Ejaan Bahasa Indonesia

Ilustrasi Sistem Ejaan dan Bahasa Gambar ilustrasi yang menggambarkan interkoneksi antara menulis, berbicara, dan aturan bahasa. Sebuah pena menulis di buku terbuka, dengan beberapa simbol (huruf, tanda baca) mengambang di sekitarnya. Otak di latar belakang melambangkan kognisi bahasa, dan gelembung ucapan mewakili komunikasi. A . ? B ! ,"

Ilustrasi visual tentang pentingnya ortografi dalam penulisan dan komunikasi yang efektif.

Pendahuluan: Fondasi Komunikasi Tertulis

Dalam dunia komunikasi, tulisan memiliki peran fundamental sebagai jembatan informasi dan pemahaman antarmaupun lintas generasi. Namun, efektivitas tulisan tidak hanya bergantung pada gagasan yang disampaikan, melainkan juga pada cara gagasan tersebut direpresentasikan secara visual. Di sinilah peran ortografi menjadi krusial. Ortografi adalah sistem kaidah atau aturan yang mengatur cara menuliskan bahasa dengan benar, mencakup ejaan, penggunaan tanda baca, penulisan huruf, dan penataan kata.

Bagi sebuah bahasa, ortografi bukan sekadar kumpulan aturan teknis yang membosankan, melainkan fondasi yang memungkinkan terjadinya konsistensi, kejelasan, dan efisiensi dalam komunikasi tertulis. Tanpa ortografi yang baku dan dipatuhi, sebuah teks bisa menjadi ambigu, sulit dipahami, bahkan cenderung menimbulkan kesalahpahaman. Bayangkan jika setiap orang menuliskan kata sesuai kehendak pribadi, tanpa standar yang sama; tentu kekacauan komunikasilah yang akan terjadi.

Artikel ini akan mengupas tuntas seluk-beluk ortografi, khususnya dalam konteks bahasa Indonesia. Kita akan menelusuri definisi dan ruang lingkupnya, menyelami sejarah perkembangannya, membedah komponen-komponen utamanya—mulai dari penulisan huruf, kata, hingga penggunaan tanda baca—serta memahami mengapa ortografi yang benar sangat penting dalam menjaga kemurnian dan keberlanjutan bahasa kita. Mari kita mulai perjalanan ini untuk mengungkap kekuatan di balik setiap huruf dan tanda yang kita goreskan.

Definisi dan Ruang Lingkup Ortografi

Untuk memahami sepenuhnya arti penting ortografi, kita perlu mengawali dengan definisi yang jelas dan pemetaan ruang lingkupnya dalam ilmu bahasa.

Etimologi Kata "Ortografi"

Kata "ortografi" berasal dari bahasa Yunani Kuno: orthos yang berarti 'benar' atau 'lurus', dan graphein yang berarti 'menulis'. Secara harfiah, ortografi dapat diartikan sebagai "menulis dengan benar". Dalam konteks modern, istilah ini merujuk pada seperangkat konvensi untuk menuliskan sebuah bahasa, terutama mengenai ejaan.

Definisi Akademis dan Fungsi Utama

Dalam linguistik, ortografi adalah studi tentang sistem penulisan bahasa. Ini mencakup semua aspek yang berkaitan dengan representasi tertulis sebuah bahasa, dari simbol-simbol dasar (huruf atau aksara) hingga aturan-aturan yang mengatur bagaimana simbol-simbol tersebut digabungkan untuk membentuk kata, kalimat, dan teks yang koheren. Fungsi utama ortografi adalah:

  1. Standardisasi: Ortografi menciptakan standar bagi penulisan suatu bahasa, memastikan bahwa semua penutur dan penulis menggunakan sistem yang sama. Ini meminimalisir ambiguitas dan memfasilitasi komunikasi.
  2. Kejelasan dan Keterbacaan: Aturan ejaan dan tanda baca yang konsisten membantu pembaca memahami teks dengan lebih mudah dan cepat, mengurangi beban kognitif dalam menafsirkan makna.
  3. Preservasi Bahasa: Dengan adanya standar tertulis, bahasa dapat diarsipkan, dipelajari, dan diajarkan secara efektif, menjaga keberlangsungan dan stabilitasnya.
  4. Identitas Budaya: Sistem penulisan seringkali menjadi bagian integral dari identitas budaya suatu bangsa atau komunitas linguistik.

Perbedaan Ortografi dengan Tata Bahasa Lain

Meskipun ortografi sering dikaitkan erat dengan tata bahasa, penting untuk membedakannya dari cabang linguistik lain:

Singkatnya, ortografi adalah sistem tulang punggung visual sebuah bahasa, yang memastikan bahwa pesan yang disampaikan melalui tulisan dapat diterima dan dipahami sebagaimana mestinya oleh khalayak luas.

Sejarah Ortografi Bahasa Indonesia: Perjalanan Menuju Kesempurnaan

Perjalanan ortografi bahasa Indonesia adalah cerminan dari dinamika sejarah bangsa dan upaya terus-menerus untuk menyempurnakan alat komunikasi tertulisnya. Dari ejaan yang dipengaruhi kolonial hingga standar nasional yang kita gunakan hari ini, setiap tahap memiliki cerita dan kontribusinya sendiri.

Ejaan van Ophuijsen (1901)

Ejaan pertama yang distandardisasi untuk bahasa Melayu (yang kemudian menjadi dasar bahasa Indonesia) disusun oleh Charles A. van Ophuijsen, seorang ahli bahasa Belanda, dibantu oleh Engku Nawawi Soetan Ma'moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim. Ejaan ini diresmikan dalam kitab "Kitab Logat Melajoe" pada tahun 1901. Ciri-ciri utama Ejaan van Ophuijsen adalah:

Ejaan ini digunakan selama beberapa dekade dan menjadi dasar bagi banyak karya sastra awal Indonesia serta publikasi resmi pada masa kolonial.

Ejaan Soewandi atau Ejaan Republik (1947)

Setelah kemerdekaan Indonesia, semangat nasionalisme juga merambah ke bidang bahasa. Pada tahun 1947, Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan kala itu, Mr. Soewandi, menetapkan Ejaan Republik. Ejaan ini merupakan penyederhanaan dari Ejaan van Ophuijsen dan memiliki beberapa perubahan signifikan:

Ejaan Soewandi menjadi tonggak penting dalam upaya standarisasi bahasa Indonesia yang lebih mandiri dan sesuai dengan semangat kebangsaan.

Konsep Ejaan Melindo (1959)

Pada tahun 1959, Indonesia dan Malaysia berupaya menyusun ejaan bersama yang disebut Ejaan Melindo (Melayu-Indonesia). Namun, karena ketegangan politik antara kedua negara saat itu, ejaan ini tidak pernah diresmikan dan diterapkan.

Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD) (1972-2015)

Setelah bertahun-tahun pasca-Ejaan Soewandi, dirasakan perlunya penyempurnaan ejaan untuk mencapai keselarasan yang lebih baik dengan perkembangan bahasa dan untuk memfasilitasi kerjasama linguistik regional. Pada tahun 1972, Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD) diresmikan berdasarkan Keputusan Presiden No. 57 Tahun 1972. EYD memperkenalkan beberapa perubahan fundamental:

EYD menjadi ejaan standar yang sangat stabil dan digunakan secara luas selama lebih dari empat dekade, membentuk dasar penulisan bahasa Indonesia modern.

Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI) (2015-2022)

Pada tahun 2015, melalui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 50 Tahun 2015, EYD mengalami penyempurnaan lagi dan diganti namanya menjadi Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI). Perubahan dalam PUEBI tidak terlalu drastis dibandingkan perubahan dari Ejaan Soewandi ke EYD, tetapi ada beberapa penyesuaian penting:

PUEBI melanjutkan semangat standarisasi dan penyempurnaan ortografi bahasa Indonesia, menjadikannya lebih adaptif terhadap perkembangan bahasa dan komunikasi.

Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan Edisi V (EYD V) (2022-Sekarang)

Perjalanan penyempurnaan ortografi bahasa Indonesia berlanjut. Pada tahun 2022, melalui Keputusan Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 0424/I/BS.00.01/2022, PUEBI diganti dan disempurnakan lagi menjadi Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan Edisi V, atau yang populer disebut EYD V. Perubahan signifikan pada EYD V antara lain:

Sejarah ortografi bahasa Indonesia menunjukkan komitmen terus-menerus untuk menciptakan sistem penulisan yang baku, konsisten, dan adaptif, demi kemudahan dan kejelasan komunikasi bagi seluruh penutur bahasa Indonesia.

Komponen Utama Ortografi Bahasa Indonesia

Ortografi bahasa Indonesia terdiri dari beberapa komponen yang saling terkait dan membentuk sistem yang utuh. Pemahaman mendalam terhadap setiap komponen ini adalah kunci untuk menguasai ejaan yang benar. Berikut adalah pembahasan detail mengenai masing-masing komponen:

1. Penulisan Huruf

Aturan penulisan huruf mencakup penggunaan huruf kapital, huruf miring, dan huruf tebal.

1.1. Penggunaan Huruf Kapital

Huruf kapital (huruf besar) digunakan dalam beberapa konteks spesifik:

  1. Awal Kalimat: Setiap awal kalimat harus diawali dengan huruf kapital.
    Contoh: Belajar ortografi sangat penting.
  2. Petikan Langsung: Huruf pertama pada petikan langsung.
    Contoh: Ibu bertanya, "Kapan kamu pulang?"
  3. Nama Diri dan Geografi: Nama orang, nama julukan, nama bangsa, suku, bahasa, hari, bulan, tahun, agama, kitab suci, dan nama geografi (benua, negara, kota, sungai, gunung, dll.).
    Contoh: Joko Widodo, Bangsa Indonesia, Bahasa Jawa, Hari Rabu, Bulan Agustus, Tahun Masehi, Agama Islam, Kitab Al-Quran, Sungai Musi, Gunung Semeru.
  4. Gelar dan Jabatan: Gelar kehormatan, keturunan, keagamaan, akademik, dan nama jabatan atau pangkat yang diikuti nama orang, atau yang dipakai sebagai pengganti nama orang tertentu, nama instansi, atau nama tempat.
    Contoh: Presiden Republik Indonesia, Profesor Ahmad, Dokter Siti, Haji Abdullah, Gubernur Jawa Barat. Namun, jika tidak diikuti nama orang atau tidak merujuk pada orang/instansi tertentu, tidak menggunakan kapital (misalnya: seorang dokter, dia adalah gubernur).
  5. Nama Lembaga dan Dokumen: Nama resmi badan, lembaga pemerintahan dan ketatanegaraan, serta nama dokumen resmi.
    Contoh: Universitas Gadjah Mada, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.
  6. Judul: Judul buku, majalah, surat kabar, dan judul karangan (kecuali kata tugas seperti 'di', 'ke', 'dari', 'dan', 'yang', 'untuk' yang tidak berada di awal judul).
    Contoh: Dasar-Dasar Ortografi Bahasa Indonesia.
  7. Singkatan Gelar: Singkatan gelar, pangkat, dan sapaan yang diikuti nama diri.
    Contoh: S.E. (Sarjana Ekonomi), Dr. (Doktor), Tn. (Tuan).

1.2. Penggunaan Huruf Miring

Huruf miring (italik) digunakan untuk:

  1. Judul Buku, Majalah, Surat Kabar: Judul yang disebutkan dalam teks dan bukan bagian dari daftar pustaka.
    Contoh: Saya membaca buku Filosofi Teras.
  2. Penekanan atau Mengkhususkan: Menegaskan atau mengkhususkan huruf, bagian kata, kata, atau kelompok kata.
    Contoh: Huruf pertama kata abad adalah a.
  3. Istilah Asing atau Daerah: Kata atau ungkapan yang berasal dari bahasa daerah atau bahasa asing.
    Contoh: Politik devide et impera sangat merugikan. Fungsi tengkulak sering disalahpahami.
  4. Nama Ilmiah: Nama ilmiah atau nama latin dalam biologi.
    Contoh: Homo sapiens.
  5. Kutipan Nama: Nama orang, nama lembaga, atau nama organisasi yang dikutip secara utuh dalam suatu kalimat (sesuai EYD V).
    Contoh: Penelitian ini merujuk pada karya Soedjito tentang sosiolinguistik.

1.3. Penggunaan Huruf Tebal

Huruf tebal digunakan untuk:

  1. Penekanan Ekstra: Menegaskan bagian tulisan yang sudah ditulis miring.
    Contoh: Huruf abad berasal dari bahasa Arab.
  2. Judul dan Subjudul: Menuliskan judul bab, subbab, atau daftar isi dalam sebuah karangan, daftar pustaka, atau indeks.
    Contoh: Bab I: Pendahuluan.

2. Penulisan Kata

Aturan penulisan kata sangat penting untuk menghindari ambiguitas dan menjaga konsistensi. Ini mencakup kata dasar, kata berimbuhan, gabungan kata, kata depan, partikel, singkatan, akronim, angka, dan bilangan.

2.1. Kata Dasar

Kata dasar ditulis sebagai satu kesatuan.
Contoh: buku, meja, makan, pergi.

2.2. Kata Berimbuhan

Imbuhan (awalan, sisipan, akhiran) ditulis serangkai dengan kata dasarnya.
Contoh: menulis, berlari, pembaca, kebaikan, gerigi, sebuah.
Jika kata dasar diawali huruf kapital, imbuhan tetap ditulis serangkai, tetapi huruf kapitalnya tetap dipertahankan.
Contoh: di-Indonesia-kan.

Imbuhan yang digabung dengan bentuk terikat:
Bentuk terikat seperti antar-, pasca-, pra-, semi-, swakarya, tuna-, maha-, suka- ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya, kecuali jika diikuti kata berhuruf kapital, maka dipakai tanda hubung.
Contoh: antarkota, prasejarah, mahasiswa, swakelola.
Tetapi: non-Indonesia, anti-Amerika.

Jika bentuk terikat diikuti oleh frasa, penulisan dipisah.
Contoh: pasca sarjana hukum, non alkohol gratis.

2.3. Kata Ulang

Kata ulang ditulis dengan menggunakan tanda hubung (-).
Contoh: anak-anak, buku-buku, mondar-mandir.

Kata ulang sempurna (seluruh kata diulang), kata ulang sebagian (hanya sebagian kata yang diulang), dan kata ulang berimbuhan ditulis dengan tanda hubung.

2.4. Gabungan Kata

Gabungan kata yang membentuk istilah khusus (kata majemuk) umumnya ditulis terpisah.
Contoh: duta besar, rumah sakit, mata pelajaran.

Namun, ada gabungan kata yang sudah padu dan ditulis serangkai.
Contoh: kacamata, olahraga, puspawarna, paramasastra.

Jika gabungan kata mendapat awalan dan akhiran sekaligus, ditulis serangkai.
Contoh: memberitahukan, menyalahgunakan, dilipatgandakan.

Jika gabungan kata hanya mendapat awalan atau akhiran, ditulis terpisah.
Contoh: bertepuk tangan, menganak sungai, garis bawahi.

Perhatikan beberapa pengecualian yang tetap ditulis serangkai walaupun hanya berawalan/berakhiran:
dikuarantina (dari karantina, bukan kuarantina)

2.5. Kata Depan (Preposisi)

Kata depan di, ke, dan dari ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya, yang menunjukkan tempat, arah, atau asal.
Contoh: di rumah, ke sekolah, dari kota, di mana, ke mana.

Bedakan dengan awalan di- dan ke- yang ditulis serangkai dengan kata kerja atau bilangan.
Contoh: ditulis, dikirim, ketiga, keempat.

2.6. Partikel

Partikel -lah, -kah, dan -tah ditulis serangkai dengan kata yang mendahuluinya.
Contoh: bacalah, siapakah, apatah.

Partikel pun ditulis terpisah dari kata yang mendahuluinya.
Contoh: apapun, siapapun, jika pun, meskipun.
Pengecualian, partikel pun yang merupakan gabungan kata yang sudah padu dan bermakna 'juga' ditulis serangkai.
Contoh: adapun, bagaimanapun, biarpun, kalaupun, kendatipun, maupun, meskipun, sekalipun, sungguhpun, walaupun.

Partikel per yang berarti 'mulai', 'demi', atau 'tiap' ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya.
Contoh: per bulan, per hari, per kepala.

2.7. Singkatan dan Akronim

Singkatan:

  1. Singkatan nama orang, gelar, sapaan, jabatan, atau pangkat diikuti tanda titik.
    Contoh: A.S. (Abdul Salam), S.E. (Sarjana Ekonomi), Kol. (Kolonel).
  2. Singkatan nama resmi lembaga pemerintah dan ketatanegaraan, badan, atau organisasi, serta nama dokumen resmi yang terdiri atas huruf awal kapital ditulis tanpa tanda titik.
    Contoh: DPR, MPR, RI, PBB, PT.
  3. Singkatan umum yang terdiri atas tiga huruf atau lebih diikuti tanda titik.
    Contoh: dll. (dan lain-lain), dst. (dan seterusnya), ttd. (tertanda).
  4. Lambang kimia, satuan ukuran, takaran, timbangan, dan mata uang tidak diikuti tanda titik.
    Contoh: Cu, cm, kg, Rp.

Akronim:

  1. Akronim nama diri yang berupa gabungan huruf awal dari deret kata ditulis dengan huruf kapital.
    Contoh: LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), SIM (Surat Izin Mengemudi).
  2. Akronim nama diri yang berupa gabungan suku kata atau gabungan huruf dan suku kata dari deret kata ditulis dengan huruf awal kapital.
    Contoh: Bulog (Badan Urusan Logistik), Komnas HAM (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia).
  3. Akronim bukan nama diri yang berupa gabungan huruf, suku kata, ataupun gabungan huruf dan suku kata ditulis dengan huruf kecil.
    Contoh: pemilu (pemilihan umum), rapim (rapat pimpinan).

2.8. Angka dan Bilangan

Angka digunakan untuk menyatakan bilangan atau lambang bilangan.

  1. Bilangan dalam teks yang dapat dinyatakan dengan satu atau dua kata ditulis dengan huruf.
    Contoh: tiga buah buku, dua belas orang.
    Kecuali jika berurutan, ditulis dengan angka. Contoh: ada 5, 10, dan 15 peserta.
  2. Bilangan pada awal kalimat ditulis dengan huruf. Jika bilangan tersebut tidak dapat ditulis dengan satu atau dua kata, susunan kalimat diubah.
    Contoh: Lima belas siswa hadir. (Bukan: 15 siswa hadir.)
  3. Angka digunakan untuk menyatakan ukuran, berat, jarak, dan waktu.
    Contoh: 5 kg, 10 km, pukul 07.00.
  4. Angka juga digunakan untuk nomor jalan, rumah, kamar, dan pada penomoran bab atau pasal.
    Contoh: Jalan Diponegoro No. 10.
  5. Penulisan bilangan tingkat dapat menggunakan angka Romawi, angka Arab, atau huruf.
    Contoh: Abad XX, abad ke-20, abad kedua puluh.

3. Penulisan Unsur Serapan

Bahasa Indonesia kaya akan kosakata serapan dari berbagai bahasa asing (Sanskerta, Arab, Belanda, Inggris, dll.). Ortografi mengatur bagaimana unsur-unsur ini disesuaikan dengan sistem ejaan bahasa Indonesia.

Prinsip dasarnya adalah adaptasi ejaan dan lafal, bukan adopsi mentah-mentah. Beberapa contoh penyesuaian:

Prinsip umum dalam penulisan unsur serapan adalah diusahakan agar lafalnya tidak terlalu jauh dari lafal aslinya, dan ejaannya disesuaikan dengan sistem ejaan bahasa Indonesia.

4. Pemakaian Tanda Baca

Tanda baca adalah elemen krusial dalam ortografi yang berfungsi untuk memberikan jeda, intonasi, dan struktur pada kalimat, sehingga makna yang disampaikan menjadi jelas dan tidak ambigu.

4.1. Tanda Titik (.)

  1. Mengakhiri kalimat pernyataan.
    Contoh: Dia sedang membaca buku.
  2. Di belakang angka atau huruf dalam suatu bagan, ikhtisar, atau daftar (kecuali jika merupakan angka terakhir dalam deretan atau nomor halaman).
    Contoh: 1. Pendahuluan. 2. Pembahasan.
  3. Untuk memisahkan angka jam, menit, dan detik yang menunjukkan waktu atau jangka waktu.
    Contoh: pukul 08.30.15.
  4. Untuk memisahkan bilangan ribuan atau kelipatannya yang tidak menunjukkan jumlah.
    Contoh: Tahun 1972. (Beda dengan harga Rp1.000.000,00).

4.2. Tanda Koma (,)

  1. Memisahkan unsur-unsur dalam suatu perincian atau pembilangan yang lebih dari dua.
    Contoh: Saya membeli buku, pensil, dan penghapus.
  2. Memisahkan anak kalimat dari induk kalimat jika anak kalimat itu mendahului induk kalimat.
    Contoh: Jika hujan datang, saya tidak jadi pergi.
  3. Memisahkan petikan langsung dari bagian lain dalam kalimat.
    Contoh: Kata Ibu, "Berhati-hatilah."
  4. Di belakang kata seru (misalnya: oh, ya, wah) atau kata penghubung (misalnya: jadi, oleh karena itu) yang terletak di awal kalimat.
    Contoh: Wah, indahnya pemandangan ini! Oleh karena itu, kita harus menjaga kebersihan.
  5. Memisahkan nama orang dari gelar akademik.
    Contoh: Siti Aisyah, S.E.
  6. Memisahkan bagian-bagian alamat, tempat dan tanggal, serta nama dan alamat penerima surat.
    Contoh: Jakarta, 17 Agustus.

4.3. Tanda Titik Koma (;)

  1. Untuk memisahkan bagian-bagian kalimat yang sejenis dan setara.
    Contoh: Ibu membeli sayur; adik membeli buah; ayah membaca koran.
  2. Untuk memisahkan anak kalimat yang tidak setara yang dihubungkan dengan kata penghubung.
    Contoh: Pekerjaan itu belum selesai; ia tidak bisa pulang.
  3. Untuk mengakhiri pernyataan perincian yang berupa klausa atau frasa yang panjang.

4.4. Tanda Titik Dua (:)

  1. Pada akhir suatu pernyataan lengkap yang diikuti perincian atau penjelasan.
    Contoh: Kita memerlukan perabot rumah tangga: meja, kursi, dan lemari.
  2. Sesudah kata atau frasa yang memerlukan pemerian.
    Contoh: Ketua: Budi Santoso, Sekretaris: Anna Wijaya.
  3. Dalam teks drama sesudah nama pelaku.
    Contoh: Ibu: Jangan pergi!

4.5. Tanda Hubung (-)

  1. Menyambung suku kata yang terpisah oleh pergantian baris.
    Contoh: me-ngenai.
  2. Menyambung unsur kata ulang.
    Contoh: anak-anak, berulang-ulang.
  3. Menyambung huruf kapital dengan nonkapital pada kata ulang gabungan.
    Contoh: ber-KTP.
  4. Menyambung tanggal, bulan, dan tahun.
    Contoh: 17-8-1945.
  5. Merangkai unsur bahasa Indonesia dengan unsur bahasa asing.
    Contoh: di-backup, me-refresh.

4.6. Tanda Pisah (—)

Tanda pisah lebih panjang dari tanda hubung.

  1. Membatasi penyisipan kata atau kalimat yang memberi penjelasan di luar bangun kalimat.
    Contoh: Kemerdekaan bangsa itu—saya yakin akan tercapai—diperjuangkan oleh pahlawan.
  2. Menegaskan adanya keterangan aposisi atau keterangan lain.
  3. Di antara dua bilangan atau tanggal yang berarti 'sampai dengan' atau 'sampai ke'.
    Contoh: Tahun 1945—1949, Jakarta—Bandung.

4.7. Tanda Tanya (?)

  1. Mengakhiri kalimat tanya.
    Contoh: Kapan kamu datang?
  2. Dalam tanda kurung menyatakan keraguan atau kurangnya kepastian.
    Contoh: Dia lahir pada tahun 1980(?).

4.8. Tanda Seru (!)

Digunakan untuk mengakhiri kalimat perintah, seruan, atau pernyataan yang mengungkapkan emosi kuat.


Contoh: Cepatlah kemari! Aduh, sakitnya!

4.9. Tanda Kurung (())

  1. Mengapit keterangan atau penjelasan yang bukan bagian utama kalimat.
    Contoh: Indonesia (negara kepulauan) memiliki kekayaan alam melimpah.
  2. Mengapit keterangan atau penjelasan yang digunakan untuk melengkapi suatu pernyataan.
  3. Mengapit huruf atau kata yang kehadirannya dalam teks dapat dihilangkan.
  4. Mengapit huruf atau angka yang digunakan sebagai penanda perincian.

4.10. Tanda Kurung Siku ([])

  1. Mengapit huruf, kata, atau kelompok kata sebagai koreksi atau tambahan pada naskah orang lain.
    Contoh: Sang Sapurba men[d]engar bunyi itu.
  2. Mengapit keterangan dalam kalimat penjelas yang sudah bertanda kurung.
    Contoh: Pertemuan itu membahas masalah [penyusunan] anggaran (lihat Bab II).

4.11. Tanda Petik (" ")

  1. Mengapit petikan langsung yang berasal dari pembicaraan, naskah, atau bahan tertulis lain.
    Contoh: "Saya sangat setuju," kata Budi.
  2. Mengapit judul sajak, lagu, bab buku, atau subbab yang disebutkan dalam kalimat.
    Contoh: Lagu "Indonesia Raya" diciptakan oleh W.R. Supratman.
  3. Mengapit istilah atau kata yang mempunyai arti khusus atau kurang dikenal.
    Contoh: Ia sering menyebut dirinya "si Raja Minyak".

4.12. Tanda Petik Tunggal (' ')

  1. Mengapit petikan yang terdapat di dalam petikan lain.
    Contoh: "Kudengar kabar bahwa ia berseru, 'Merdeka!'", ujar Pak Guru.
  2. Mengapit makna, terjemahan, atau penjelasan kata atau ungkapan asing.
    Contoh: Peer Group 'kelompok sebaya'.

4.13. Tanda Elipsis (...)

  1. Menunjukkan bahwa dalam suatu kalimat atau naskah ada bagian yang dihilangkan.
    Contoh: Sebab-sebab kemerosotan moral akan dibahas pada bab selanjutnya...
  2. Untuk menulis ujaran yang tidak selesai dalam dialog.
    Contoh: "Menurut saya...," kata dia, "masalah ini belum selesai."

4.14. Tanda Garis Miring (/)

  1. Dalam nomor surat, nomor pada alamat, dan penanda masa satu tahun yang terbagi dalam dua tahun takwim.
    Contoh: No. 123/P/2023, Jalan Raya Cibubur/20.
  2. Sebagai pengganti kata dan, atau, atau serta.
    Contoh: mahasiswa/mahasiswi.

4.15. Tanda Apostrof (')

Menunjukkan penghilangan bagian kata atau angka.


Contoh: 'kan (akan), 80-an (tahun delapan puluhan).

Pentingnya Ortografi yang Benar: Lebih dari Sekadar Aturan

Setelah memahami berbagai komponen ortografi, menjadi jelas bahwa sistem ini memiliki dampak yang jauh lebih besar daripada sekadar kepatuhan pada aturan. Ortografi yang benar adalah pilar penting dalam komunikasi efektif dan integritas bahasa.

1. Kejelasan Komunikasi

Salah satu fungsi utama ortografi adalah memastikan kejelasan pesan. Kesalahan ejaan atau penggunaan tanda baca dapat mengubah makna kalimat, menyebabkan ambiguitas, atau bahkan salah tafsir. Misalnya:

Perbedaan satu tanda koma saja sudah dapat mengubah tujuan dan makna kalimat secara drastis. Demikian pula, kesalahan penulisan kata seperti "massa" (jumlah zat) dan "masa" (periode waktu) dapat menimbulkan kebingungan yang tidak perlu.

2. Kredibilitas Penulis dan Pesan

Dalam konteks profesional, akademis, atau bahkan personal, tulisan yang rapi dan benar secara ortografis mencerminkan kredibilitas dan profesionalisme penulis. Sebuah dokumen resmi, lamaran kerja, laporan penelitian, atau bahkan email bisnis yang penuh dengan kesalahan ejaan seringkali dianggap kurang serius dan dapat mengurangi kepercayaan pembaca terhadap kompetensi atau perhatian penulis. Sebaliknya, tulisan yang baku dan benar menunjukkan ketelitian, penghargaan terhadap bahasa, dan kemampuan berkomunikasi yang baik.

3. Mempertahankan Standar Bahasa

Ortografi adalah salah satu mekanisme utama untuk mempertahankan dan membakukan standar bahasa. Tanpa standar yang jelas, bahasa akan cenderung terpecah-pecah menjadi banyak variasi yang tidak konsisten, menyulitkan komunikasi antarwilayah atau antarkelompok. Badan pengembangan bahasa, seperti Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa di Indonesia, berperan penting dalam menetapkan dan menyosialisasikan standar ortografi untuk menjaga keseragaman dan kemurnian bahasa nasional.

4. Memfasilitasi Pembelajaran dan Pengajaran Bahasa

Bagi pelajar dan penutur bahasa kedua, ortografi yang konsisten adalah fondasi penting dalam proses pembelajaran. Aturan yang jelas memungkinkan mereka untuk mempelajari, memahami, dan mereproduksi bahasa dengan benar. Dalam pengajaran, ortografi menjadi panduan yang esensial untuk menyampaikan struktur dan kaidah bahasa secara sistematis.

5. Pengaruh Terhadap Pemahaman Pembaca

Ketika pembaca menemukan terlalu banyak kesalahan ejaan atau tanda baca, fokus mereka beralih dari konten pesan ke upaya menafsirkan apa yang dimaksud oleh penulis. Hal ini mengganggu alur membaca, mengurangi efektivitas penyampaian informasi, dan pada akhirnya menurunkan tingkat pemahaman pembaca. Tulisan yang ortografis membantu pembaca mencerna informasi dengan lancar dan fokus pada esensi pesan.

Tantangan dan Isu dalam Ortografi di Era Modern

Meskipun ortografi memiliki peran yang vital, penerapannya di era modern menghadapi berbagai tantangan. Perkembangan teknologi, media sosial, dan globalisasi telah membawa dinamika baru dalam penggunaan bahasa.

1. Pengaruh Media Sosial dan Komunikasi Informal

Media sosial dan aplikasi pesan instan telah mempopulerkan gaya komunikasi yang sangat informal, seringkali mengabaikan aturan ortografi. Penggunaan singkatan yang tidak standar, kapitalisasi yang inkonsisten, atau penghilangan tanda baca dianggap lumrah dalam konteks ini. Meskipun ini mungkin dapat diterima dalam komunikasi pribadi yang cepat, dampaknya adalah memudarnya kesadaran akan ejaan yang benar, terutama di kalangan generasi muda. Batasan antara gaya formal dan informal menjadi kabur, dan terkadang gaya informal ini terbawa ke dalam konteks yang seharusnya formal.

2. Standardisasi di Era Digital

Ejaan yang benar di internet dan platform digital juga menjadi isu. Pencarian informasi, penulisan konten web, atau bahkan interaksi dalam forum daring memerlukan konsistensi ortografis agar mudah ditemukan dan dipahami. Tantangan muncul ketika ada perbedaan ejaan antara satu sumber dengan sumber lain, atau ketika mesin pencari belum sepenuhnya canggih dalam menoleransi variasi ejaan.

3. Adaptasi Terhadap Kata Serapan Baru

Dengan derasnya arus informasi dan perkembangan ilmu pengetahuan, banyak kata baru dari bahasa asing masuk ke dalam perbendaharaan bahasa Indonesia. Proses adaptasi dan penyesuaian ejaan kata serapan ini memerlukan pedoman yang jelas dan sosialisasi yang efektif. Terkadang, terjadi pro dan kontra mengenai bentuk serapan yang paling tepat, menunjukkan bahwa ortografi adalah aspek bahasa yang terus berkembang.

4. Peran Lembaga Bahasa

Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (dulu Pusat Bahasa) memegang peranan sentral dalam menjaga dan mengembangkan ortografi bahasa Indonesia. Tugas mereka meliputi penyusunan pedoman, sosialisasi, dan penyuluhan. Namun, tantangan terbesar adalah bagaimana memastikan pedoman ini tidak hanya diketahui, tetapi juga dipahami dan diterapkan secara luas oleh masyarakat. Diperlukan pendekatan yang inovatif dan relevan dengan generasi digital untuk terus menyebarkan kesadaran akan pentingnya ortografi.

5. Pemahaman yang Keliru tentang "Fleksibilitas" Bahasa

Beberapa pihak mungkin berpendapat bahwa bahasa harus "fleksibel" dan tidak terlalu terikat aturan. Meskipun bahasa memang dinamis, ada perbedaan antara evolusi alami bahasa dan pelanggaran aturan yang disengaja. Ortografi memberikan kerangka kerja yang diperlukan untuk stabilitas, sementara tetap memungkinkan adaptasi secara teratur melalui proses penyempurnaan pedoman.

Kesimpulan: Menjaga Pilar Bahasa

Ortografi adalah jauh lebih dari sekadar seperangkat aturan tentang bagaimana kita menulis huruf dan tanda baca. Ia adalah fondasi yang kokoh yang menopang kejelasan, konsistensi, dan efektivitas komunikasi tertulis dalam suatu bahasa. Dalam konteks bahasa Indonesia, perjalanan ortografi dari Ejaan van Ophuijsen hingga EYD Edisi V menunjukkan komitmen bangsa ini untuk terus menyempurnakan alat komunikasinya, menjadikannya standar yang diakui dan digunakan secara luas.

Memahami dan menerapkan ortografi yang benar adalah tanggung jawab kolektif setiap penutur bahasa. Ini bukan hanya masalah kepatuhan, melainkan investasi dalam kejelasan pesan, kredibilitas pribadi, dan pelestarian kekayaan linguistik. Sebuah tulisan yang tertata rapi secara ortografis adalah cerminan dari pikiran yang jernih, perhatian terhadap detail, dan penghargaan terhadap pembaca.

Di era digital yang serbacara cepat ini, tantangan untuk mempertahankan standar ortografi memang besar, terutama dengan maraknya komunikasi informal. Namun, justru karena itulah pentingnya ortografi semakin relevan. Bahasa yang terstruktur dan jelas memungkinkan kita untuk menyampaikan ide-ide kompleks, mendokumentasikan pengetahuan, dan menjalin koneksi yang bermakna, lintas batas ruang dan waktu.

Oleh karena itu, marilah kita terus menumbuhkan kesadaran akan pentingnya ortografi, mengaplikasikannya dalam setiap tulisan kita, dan berkontribusi dalam menjaga bahasa Indonesia sebagai bahasa yang baku, lugas, dan berdaya guna. Dengan demikian, kita turut serta dalam memastikan bahwa bahasa Indonesia tidak hanya hidup, tetapi juga berkembang dan dihormati sebagai salah satu pilar identitas bangsa.

🏠 Kembali ke Homepage