Sistem perpajakan merupakan salah satu pilar utama dalam pembiayaan negara dan pembangunan nasional. Di Indonesia, sistem perpajakan terbagi menjadi pajak pusat dan pajak daerah, yang masing-masing memiliki peran krusial dalam menopang roda pemerintahan dan pelayanan publik. Dalam konteks otonomi daerah yang terus diperkuat, pemerintah daerah diberikan kewenangan yang lebih luas untuk menggali potensi pendapatan asli daerah (PAD) guna membiayai program-program pembangunan yang berorientasi pada kebutuhan lokal.
Salah satu inovasi penting dalam upaya penguatan kapasitas fiskal daerah adalah pengenalan konsep opsen. Istilah "opsen" mungkin terdengar baru bagi sebagian masyarakat, namun ia membawa implikasi besar terhadap bagaimana pendapatan daerah dikelola dan dialokasikan. Opsen bukan sekadar pungutan baru, melainkan sebuah mekanisme pembagian basis pajak yang bertujuan untuk meningkatkan kemandirian fiskal pemerintah kabupaten/kota, khususnya dalam konteks pajak kendaraan bermotor.
Artikel ini akan mengupas tuntas seluk-beluk opsen pajak di Indonesia. Mulai dari definisi yang komprehensif, latar belakang filosofis di balik penerapannya, dasar hukum yang menjadi landasan, jenis-jenis opsen yang telah diatur, hingga mekanisme penghitungan dan pemungutannya. Lebih jauh, kita akan menganalisis dampak implementasi opsen bagi pemerintah daerah, pemerintah provinsi, wajib pajak, serta perekonomian regional secara keseluruhan. Dengan pemahaman yang mendalam tentang opsen, diharapkan masyarakat dapat melihat bagaimana inovasi ini berkontribusi pada tata kelola keuangan daerah yang lebih baik dan pembangunan yang lebih merata.
Apa Itu Opsen? Definisi dan Karakteristik Utama
Untuk memahami opsen, kita perlu merujuk pada regulasi terbarunya, yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD). Dalam undang-undang ini, opsen didefinisikan sebagai pungutan tambahan pajak berdasarkan persentase tertentu dari pajak utama. Secara sederhana, opsen adalah semacam "pajak di atas pajak" atau "surcharge" yang dikenakan pada jenis pajak tertentu, dengan tujuan untuk dialokasikan kepada entitas pemerintahan yang berbeda dari pemungut pajak utamanya.
Sebelum UU HKPD berlaku, sebagian besar Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) adalah pendapatan murni pemerintah provinsi. Namun, dengan adanya opsen, sebagian dari pendapatan PKB dan BBNKB yang sebelumnya 100% menjadi milik provinsi, kini akan dibagi dengan pemerintah kabupaten/kota dalam bentuk opsen. Ini merupakan langkah signifikan dalam memperkuat kemandirian fiskal kabupaten/kota tanpa harus menciptakan jenis pajak baru yang berpotensi membebani masyarakat.
Karakteristik Kunci Opsen:
- Pungutan Tambahan: Opsen bukan merupakan jenis pajak yang berdiri sendiri, melainkan tambahan pada pajak yang sudah ada. Artinya, ia tidak dapat dipungut tanpa adanya pajak utama yang mendasarinya.
- Persentase dari Pajak Utama: Basis perhitungan opsen adalah persentase dari jumlah pajak utama yang terutang. Misalnya, opsen PKB dihitung sebagai persentase tertentu dari nilai PKB yang harus dibayarkan wajib pajak.
- Dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi: Meskipun opsen ditujukan untuk kabupaten/kota, mekanisme pemungutannya tetap dilakukan oleh pemerintah provinsi, bersamaan dengan pemungutan pajak utama (PKB dan BBNKB). Ini menjaga efisiensi administrasi dan menghindari birokrasi ganda.
- Pendapatan Kabupaten/Kota: Hasil pungutan opsen diserahkan kepada pemerintah kabupaten/kota di mana objek pajak tersebut terdaftar atau berada. Ini menjadi sumber pendapatan asli daerah (PAD) baru bagi kabupaten/kota.
- Basis Pajak Bersama (Shared Tax Base): Opsen memperkenalkan konsep basis pajak bersama antara provinsi dan kabupaten/kota. Pajak utama (PKB/BBNKB) tetap menjadi hak provinsi, namun sebagian kecil dari nilainya "diberikan" kepada kabupaten/kota melalui mekanisme opsen.
Pemahaman mengenai karakteristik ini sangat penting untuk membedakan opsen dari jenis pungutan lain seperti retribusi atau pajak daerah murni yang dikelola sepenuhnya oleh satu tingkat pemerintahan. Opsen dirancang untuk menciptakan keseimbangan fiskal yang lebih baik antara provinsi dan kabupaten/kota, mengakui bahwa dampak dari objek pajak tertentu, seperti kendaraan bermotor, juga dirasakan di tingkat kabupaten/kota.
Latar Belakang dan Filosofi Penerapan Opsen
Penerapan opsen bukanlah tanpa alasan, melainkan merupakan bagian dari evolusi panjang sistem keuangan daerah di Indonesia yang bertujuan untuk memperkuat desentralisasi fiskal. Sejak era otonomi daerah digulirkan, pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota, telah berjuang untuk mencapai kemandirian fiskal. Kemandirian fiskal merujuk pada kemampuan daerah untuk membiayai belanja daerahnya sendiri dari pendapatan asli daerah (PAD), tanpa terlalu bergantung pada dana transfer dari pemerintah pusat.
Tantangan Sistem Keuangan Daerah Sebelumnya
Sebelum UU HKPD, sistem keuangan daerah diatur oleh Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD). Meskipun UU PDRD telah memberikan kewenangan pajak yang cukup luas kepada daerah, masih terdapat beberapa tantangan:
- Kesenjangan Kapasitas Fiskal: Antara daerah yang kaya sumber daya dengan daerah yang kurang berkembang. Banyak kabupaten/kota yang PAD-nya sangat minim dan sangat bergantung pada transfer pusat (Dana Alokasi Umum/DAU, Dana Alokasi Khusus/DAK).
- Keterbatasan Objek Pajak: Kabupaten/kota memiliki objek pajak yang relatif terbatas dan kurang elastis terhadap pertumbuhan ekonomi, membuat mereka sulit meningkatkan PAD secara signifikan.
- Ketidaksesuaian Basis Pajak: Beberapa pajak provinsi, seperti PKB dan BBNKB, sebenarnya memiliki dampak yang kuat di tingkat kabupaten/kota (misalnya, penggunaan jalan, parkir, penegakan hukum lalu lintas), namun pendapatan dari pajak tersebut sepenuhnya menjadi milik provinsi.
- Potensi Tumpang Tindih: Upaya kabupaten/kota untuk mencari sumber pendapatan baru seringkali berisiko tumpang tindih dengan kewenangan provinsi atau pusat, atau bahkan menciptakan beban ganda bagi wajib pajak.
Kondisi ini memicu pemikiran bahwa perlu ada mekanisme baru yang dapat memberikan porsi pendapatan yang lebih adil kepada kabupaten/kota dari pajak-pajak yang secara substansi juga melibatkan wilayah mereka, tanpa harus sepenuhnya mengubah struktur pajak yang sudah ada. Di sinilah filosofi opsen menemukan relevansinya.
Filosofi Desentralisasi Fiskal Melalui Opsen
Filosofi utama di balik penerapan opsen adalah memperdalam dan memperkuat desentralisasi fiskal. Desentralisasi fiskal bertujuan untuk:
- Meningkatkan Otonomi Daerah: Dengan sumber pendapatan yang lebih besar dan mandiri, daerah diharapkan dapat lebih leluasa dalam merencanakan dan melaksanakan pembangunan sesuai prioritas lokal.
- Meningkatkan Akuntabilitas: Ketika masyarakat membayar pajak kepada pemerintah daerah, mereka akan lebih menuntut pertanggungjawaban atas penggunaan dana tersebut untuk pelayanan publik di daerahnya.
- Mendorong Efisiensi: Pemerintah daerah yang memiliki sumber daya fiskal sendiri cenderung lebih efisien dalam pengelolaannya karena harus mempertimbangkan penerimaan dan pengeluaran secara mandiri.
- Mendukung Pelayanan Publik Lokal: Pendapatan opsen dapat dialokasikan langsung untuk membiayai program-program yang secara spesifik dirasakan manfaatnya oleh masyarakat di tingkat kabupaten/kota, seperti perbaikan jalan lingkungan, fasilitas publik, atau subsidi transportasi lokal.
Dengan demikian, opsen bukan hanya sekadar instrumen pengumpul dana, melainkan sebuah kebijakan yang strategis untuk menyeimbangkan distribusi pendapatan fiskal antara provinsi dan kabupaten/kota, serta mendorong tata kelola pemerintahan yang lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat di tingkat lokal. Ini adalah bagian dari upaya pemerintah pusat untuk memberikan ruang fiskal yang lebih besar kepada pemerintah daerah agar mampu menjalankan fungsi-fungsi otonominya secara optimal.
Dasar Hukum Opsen: Bedah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang HKPD
Dasar hukum utama yang mengatur opsen adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD). Undang-undang ini merupakan revisi dan pengganti dari undang-undang sebelumnya, yaitu UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, serta beberapa ketentuan dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
UU HKPD ini didesain untuk menciptakan sistem hubungan keuangan yang lebih adil, transparan, dan akuntabel, serta memberikan ruang fiskal yang lebih besar bagi daerah. Opsen menjadi salah satu pilar penting dalam mencapai tujuan tersebut. Beberapa pasal krusial dalam UU HKPD yang mengatur tentang opsen meliputi:
Pasal-Pasal Penting Terkait Opsen dalam UU HKPD:
- Pasal 1 Angka 33: Mendefinisikan opsen sebagai "pungutan tambahan Pajak menurut persentase tertentu dari Pajak utama". Ini adalah definisi inti yang harus dipahami.
- Pasal 4: Menyebutkan jenis-jenis Pajak Daerah yang dapat dikenakan opsen, yaitu Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB). Ini secara spesifik membatasi objek opsen pada dua jenis pajak tersebut.
- Pasal 5: Mengatur bahwa opsen PKB dan opsen BBNKB merupakan pajak yang dipungut oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. Namun, pemungutan Pajak tersebut dilakukan oleh Pemerintah Provinsi bersamaan dengan pemungutan PKB dan BBNKB. Ini menggarisbawahi peran ganda provinsi sebagai pemungut untuk kemudian menyetorkan hasilnya ke kabupaten/kota.
- Pasal 6: Menjelaskan bahwa tarif opsen PKB ditetapkan paling tinggi 60% dari PKB terutang. Ini memberikan rentang bagi pemerintah kabupaten/kota untuk menetapkan tarif opsen sesuai dengan kondisi dan kebutuhan daerah masing-masing, namun dengan batas atas yang jelas.
- Pasal 7: Menjelaskan bahwa tarif opsen BBNKB ditetapkan paling tinggi 60% dari BBNKB terutang. Mirip dengan opsen PKB, ini juga memberikan fleksibilitas namun dengan batas maksimal.
- Pasal 8: Mengatur bahwa Peraturan Daerah (Perda) mengenai opsen ditetapkan oleh masing-masing pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya. Ini menegaskan bahwa meskipun UU mengatur batas tarif, penetapan tarif spesifik dan implementasinya diatur di tingkat daerah.
- Pasal 9: Menyatakan bahwa opsen PKB dan opsen BBNKB tidak dapat dikenakan terhadap objek Pajak yang telah dikenakan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor sebelum berlakunya Undang-Undang ini. Ini merupakan ketentuan transisi yang penting.
- Ketentuan Peralihan: UU HKPD juga mengatur transisi dari sistem lama ke sistem opsen. Dalam masa transisi, provinsi tetap memungut dan menyetorkan opsen kepada kabupaten/kota.
Peran UU HKPD sangat fundamental karena secara eksplisit melegitimasi opsen sebagai bagian dari struktur perpajakan daerah yang baru. Dengan adanya undang-undang ini, pemerintah daerah kabupaten/kota memiliki landasan hukum yang kuat untuk menerima bagian pendapatan dari PKB dan BBNKB, yang sebelumnya merupakan hak eksklusif provinsi. Ini menunjukkan komitmen pemerintah pusat untuk memberikan kewenangan fiskal yang lebih besar kepada daerah, sejalan dengan prinsip otonomi.
Selain UU HKPD, peraturan pelaksanaannya, seperti Peraturan Pemerintah atau Peraturan Menteri Keuangan, juga akan merinci lebih lanjut mengenai teknis implementasi opsen, termasuk mekanisme penyetoran, pelaporan, dan pengawasan. Pemerintah daerah kabupaten/kota juga diwajibkan untuk membuat Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur tarif opsen di wilayahnya, memastikan kepatuhan terhadap batas maksimum yang ditetapkan oleh UU HKPD.
Jenis-Jenis Opsen yang Diatur
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD), opsen saat ini hanya diterapkan pada dua jenis pajak provinsi, yaitu Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB). Kedua jenis opsen ini memiliki karakteristik dan mekanisme yang serupa, namun diterapkan pada basis pajak yang berbeda. Pemilihan PKB dan BBNKB sebagai objek opsen tidak lepas dari relevansinya dengan aktivitas di tingkat kabupaten/kota.
1. Opsen Pajak Kendaraan Bermotor (Opsen PKB)
Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) adalah pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor. Pajak ini merupakan sumber pendapatan yang signifikan bagi pemerintah provinsi. Dengan adanya opsen PKB, sebagian dari pendapatan PKB ini akan dialokasikan kepada pemerintah kabupaten/kota.
- Objek Opsen PKB: Kendaraan bermotor yang terdaftar di wilayah kabupaten/kota yang bersangkutan.
- Basis Perhitungan: Opsen PKB dihitung berdasarkan persentase tertentu dari jumlah PKB yang terutang oleh wajib pajak. Artinya, semakin besar PKB yang harus dibayarkan, semakin besar pula opsen PKB yang dikenakan.
- Tarif Opsen PKB: UU HKPD menetapkan tarif opsen PKB paling tinggi 60% dari PKB terutang. Dalam rentang ini, masing-masing pemerintah kabupaten/kota akan menetapkan tarif spesifik melalui Peraturan Daerah (Perda). Misalnya, jika tarif opsen PKB ditetapkan 20%, maka wajib pajak akan membayar PKB dan tambahan 20% dari nilai PKB tersebut sebagai opsen.
- Tujuan Alokasi Dana Opsen PKB: Dana yang terkumpul dari opsen PKB dapat digunakan oleh pemerintah kabupaten/kota untuk membiayai berbagai program pembangunan dan pelayanan publik yang relevan dengan keberadaan kendaraan bermotor di wilayahnya. Contohnya meliputi pemeliharaan dan pembangunan infrastruktur jalan kabupaten/kota, penanganan masalah lalu lintas, penyediaan fasilitas parkir, peningkatan transportasi publik lokal, atau bahkan program lingkungan terkait emisi kendaraan.
- Mekanisme Pembayaran: Wajib pajak akan membayar PKB beserta opsen PKB secara bersamaan di kantor Samsat (Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap), yang merupakan unit pelayanan terpadu antara Kepolisian, Dinas Pendapatan Daerah, dan Jasa Raharja. Ini memastikan kemudahan dan efisiensi bagi wajib pajak.
Penerapan opsen PKB mencerminkan pengakuan bahwa meskipun jalan-jalan utama dan wewenang pengaturan lalu lintas berada di bawah provinsi, sebagian besar penggunaan kendaraan bermotor terjadi di jalan-jalan kabupaten/kota, membebani infrastruktur lokal, dan memerlukan biaya pemeliharaan yang tidak sedikit.
2. Opsen Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (Opsen BBNKB)
Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) adalah pajak atas penyerahan hak milik kendaraan bermotor sebagai akibat perjanjian dua pihak atau perbuatan sepihak atau keadaan yang terjadi jual beli, tukar menukar, hibah, warisan, atau pemasukan ke dalam badan usaha. Sama halnya dengan PKB, BBNKB juga merupakan pajak yang sebelumnya sepenuhnya menjadi pendapatan provinsi.
- Objek Opsen BBNKB: Setiap transaksi penyerahan hak milik kendaraan bermotor yang dilakukan di wilayah kabupaten/kota yang bersangkutan.
- Basis Perhitungan: Opsen BBNKB dihitung berdasarkan persentase tertentu dari jumlah BBNKB yang terutang oleh wajib pajak.
- Tarif Opsen BBNKB: UU HKPD menetapkan tarif opsen BBNKB paling tinggi 60% dari BBNKB terutang. Seperti opsen PKB, tarif spesifik akan diatur dalam Perda kabupaten/kota.
- Tujuan Alokasi Dana Opsen BBNKB: Dana yang terkumpul dari opsen BBNKB dapat digunakan oleh pemerintah kabupaten/kota untuk berbagai keperluan, termasuk peningkatan kualitas pelayanan administrasi pendaftaran kendaraan, penertiban data kendaraan, atau program-program yang mendukung ketertiban umum di wilayahnya.
- Mekanisme Pembayaran: Pembayaran BBNKB beserta opsen BBNKB juga dilakukan secara terintegrasi di kantor Samsat, bersamaan dengan proses balik nama kendaraan.
Opsen BBNKB mengakui bahwa setiap transaksi kendaraan bermotor memiliki implikasi administrasi dan data di tingkat kabupaten/kota, yang juga memerlukan sumber daya untuk pengelolaannya. Dengan adanya opsen ini, kabupaten/kota mendapatkan bagian dari transaksi tersebut, yang dapat digunakan untuk memperkuat fungsi-fungsi administratif dan pelayanan terkait.
Penting untuk dicatat bahwa saat ini, UU HKPD hanya mengatur opsen untuk PKB dan BBNKB. Tidak ada pengaturan opsen untuk jenis pajak provinsi lainnya atau pajak pusat. Pembatasan ini menunjukkan fokus awal pemerintah pada objek pajak yang paling relevan dan memiliki potensi terbesar untuk meningkatkan pendapatan kabupaten/kota tanpa menciptakan kompleksitas yang berlebihan dalam sistem perpajakan secara keseluruhan.
Mekanisme Penghitungan, Pemungutan, dan Penyetoran Opsen
Meskipun opsen adalah pendapatan bagi pemerintah kabupaten/kota, mekanisme penghitungan, pemungutan, dan penyetorannya dirancang agar terintegrasi dengan sistem perpajakan provinsi yang sudah berjalan. Integrasi ini bertujuan untuk memastikan efisiensi administrasi, kemudahan bagi wajib pajak, dan menghindari duplikasi upaya.
1. Mekanisme Penghitungan Opsen
Perhitungan opsen sangat sederhana, yaitu persentase tertentu dari pajak utama yang terutang. Ini berarti bahwa opsen tidak dihitung secara terpisah dengan basis nilai objek pajak yang berbeda, melainkan mengikuti basis pajak dari PKB atau BBNKB.
- Rumus Umum:
Opsen = Tarif Opsen (%) x Pajak Utama (PKB atau BBNKB) - Penetapan Tarif:
- Tarif opsen ditetapkan oleh pemerintah kabupaten/kota melalui Peraturan Daerah (Perda).
- Batas maksimum tarif opsen adalah 60% dari PKB terutang untuk opsen PKB, dan 60% dari BBNKB terutang untuk opsen BBNKB, sebagaimana diatur dalam UU HKPD.
- Kabupaten/kota memiliki fleksibilitas untuk menetapkan tarif di bawah batas maksimum tersebut, sesuai dengan kebutuhan fiskal dan kondisi ekonomi lokalnya.
- Contoh Simulasi Perhitungan Opsen PKB:
Misalkan nilai PKB yang harus dibayarkan untuk sebuah kendaraan adalah Rp 2.000.000. Pemerintah Kabupaten/Kota telah menetapkan tarif opsen PKB sebesar 25%.
Maka, perhitungan opsen PKB adalah:
Opsen PKB = 25% x Rp 2.000.000 = Rp 500.000.
Total yang harus dibayarkan wajib pajak (PKB + Opsen PKB) = Rp 2.000.000 + Rp 500.000 = Rp 2.500.000.
Angka ini belum termasuk SWDKLLJ (Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan) dari Jasa Raharja dan biaya administrasi lainnya. - Contoh Simulasi Perhitungan Opsen BBNKB:
Misalkan nilai BBNKB yang harus dibayarkan untuk sebuah transaksi balik nama kendaraan adalah Rp 1.500.000. Pemerintah Kabupaten/Kota telah menetapkan tarif opsen BBNKB sebesar 30%.
Maka, perhitungan opsen BBNKB adalah:
Opsen BBNKB = 30% x Rp 1.500.000 = Rp 450.000.
Total yang harus dibayarkan wajib pajak (BBNKB + Opsen BBNKB) = Rp 1.500.000 + Rp 450.000 = Rp 1.950.000.
Sama seperti PKB, angka ini juga belum termasuk biaya lain yang mungkin timbul.
Dari contoh di atas, terlihat bahwa opsen akan meningkatkan jumlah total yang harus dibayarkan oleh wajib pajak. Oleh karena itu, sosialisasi yang masif dan transparan tentang tujuan dan manfaat opsen sangat penting untuk mengurangi potensi resistensi dari masyarakat.
2. Mekanisme Pemungutan Opsen
Pemungutan opsen dilakukan oleh pemerintah provinsi bersamaan dengan pemungutan PKB dan BBNKB. Ini berarti wajib pajak tidak perlu melakukan pembayaran terpisah ke dua entitas yang berbeda.
- Lokasi Pemungutan: Pemungutan PKB, BBNKB, dan opsennya dilakukan di Samsat (Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap). Samsat adalah titik layanan terpadu yang mempermudah masyarakat dalam mengurus administrasi kendaraan bermotor, termasuk pembayaran pajak.
- Integrasi Sistem: Sistem informasi dan teknologi yang digunakan di Samsat harus diperbarui untuk mengakomodasi perhitungan dan pencatatan opsen. Ini termasuk pencetakan tanda bukti pembayaran yang mencantumkan rincian PKB/BBNKB dan opsen secara terpisah.
- Peran Provinsi: Pemerintah provinsi, melalui Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) atau unit kerja terkait, tetap menjadi operator utama dalam pemungutan pajak-pajak ini. Ini memanfaatkan infrastruktur dan sumber daya yang sudah ada, sehingga tidak memerlukan investasi besar untuk membangun sistem pemungutan baru di tingkat kabupaten/kota.
Integrasi pemungutan ini adalah kunci efisiensi. Jika wajib pajak harus membayar opsen secara terpisah ke kantor kabupaten/kota, hal itu akan menciptakan beban administrasi yang berat bagi wajib pajak dan pemerintah daerah. Dengan sistem satu pintu di Samsat, proses tetap efisien dan mudah diakses.
3. Mekanisme Penyetoran dan Pembagian Opsen
Setelah dipungut oleh pemerintah provinsi, dana opsen tidak berhenti di kas provinsi. Sebagaimana tujuan utamanya, dana ini harus disetorkan kepada pemerintah kabupaten/kota yang berhak.
- Penyetoran dari Provinsi ke Kabupaten/Kota: Pemerintah provinsi wajib menyetorkan hasil pungutan opsen kepada pemerintah kabupaten/kota secara berkala. Frekuensi penyetoran ini biasanya diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah atau kesepakatan antar daerah, misalnya bulanan atau triwulanan.
- Basis Penyetoran: Penyetoran dilakukan berdasarkan data objek pajak yang terdaftar di wilayah kabupaten/kota bersangkutan. Ini memastikan bahwa kabupaten/kota menerima haknya sesuai dengan jumlah kendaraan bermotor yang terdaftar di wilayah administrasinya.
- Pelaporan dan Akuntabilitas: Pemerintah provinsi harus menyusun laporan berkala mengenai jumlah opsen yang berhasil dipungut dan disetorkan kepada setiap kabupaten/kota. Laporan ini penting untuk transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan daerah. Kabupaten/kota juga perlu mencatat penerimaan opsen ini dalam APBD mereka dan mempertanggungjawabkan penggunaannya.
- Penggunaan Dana oleh Kabupaten/Kota: Setelah dana opsen diterima, pemerintah kabupaten/kota memiliki kewenangan untuk mengalokasikannya dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) mereka. Penggunaan dana ini harus sesuai dengan prioritas pembangunan lokal dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta dapat diaudit.
Mekanisme ini menunjukkan bahwa opsen adalah jembatan fiskal yang menghubungkan pendapatan provinsi dengan kebutuhan belanja kabupaten/kota, dengan pemerintah provinsi bertindak sebagai "agen" pemungut dan penyetor. Ini merupakan inovasi yang memungkinkan daerah kabupaten/kota untuk memiliki kapasitas fiskal yang lebih kuat tanpa menciptakan kompleksitas administrasi yang berlebihan.
Dampak Implementasi Opsen
Implementasi opsen, sebagaimana setiap kebijakan publik, membawa dampak yang luas bagi berbagai pihak, mulai dari pemerintah daerah di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, wajib pajak, hingga perekonomian regional secara keseluruhan. Memahami dampak-dampak ini penting untuk mengevaluasi efektivitas kebijakan dan mengidentifikasi area perbaikan.
1. Dampak Bagi Pemerintah Daerah (Kabupaten/Kota)
Bagi pemerintah kabupaten/kota, opsen adalah berita baik dan sekaligus tantangan baru. Ini merupakan sumber pendapatan asli daerah (PAD) yang potensial untuk memperkuat kemandirian fiskal mereka.
- Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD): Ini adalah dampak paling langsung dan tujuan utama opsen. Dengan adanya opsen, kabupaten/kota akan menerima bagian dari PKB dan BBNKB yang sebelumnya hanya dinikmati provinsi. Peningkatan PAD ini dapat mengurangi ketergantungan pada transfer pusat.
- Peningkatan Kapasitas Fiskal: Sumber daya fiskal yang lebih besar memungkinkan kabupaten/kota untuk membiayai lebih banyak program pembangunan dan pelayanan publik yang sesuai dengan kebutuhan spesifik masyarakat di wilayahnya.
- Fleksibilitas dalam Pembiayaan Program Lokal: Dana opsen dapat dialokasikan untuk proyek-proyek yang mungkin sulit dibiayai hanya dari DAU atau DAK, seperti perbaikan jalan lingkungan, penerangan jalan umum, pengelolaan sampah, atau dukungan untuk transportasi publik lokal.
- Tantangan Pengelolaan Dana: Peningkatan pendapatan juga berarti peningkatan tanggung jawab. Kabupaten/kota harus memiliki kapasitas administrasi dan tata kelola yang baik untuk mengelola, mengalokasikan, dan mempertanggungjawabkan dana opsen secara transparan dan akuntabel. Pencegahan korupsi dan penyalahgunaan dana menjadi sangat krusial.
- Penyusunan Peraturan Daerah (Perda): Kabupaten/kota perlu segera menyusun dan mengesahkan Perda tentang opsen untuk menetapkan tarif yang berlaku di wilayahnya. Proses ini membutuhkan kajian mendalam tentang potensi pendapatan dan dampak terhadap masyarakat.
2. Dampak Bagi Pemerintah Provinsi
Meskipun opsen adalah pendapatan untuk kabupaten/kota, pemerintah provinsi tetap memiliki peran sentral dan merasakan dampaknya.
- Peran Baru sebagai Pemungut dan Penyetor: Provinsi menjadi pihak yang memungut opsen bersamaan dengan PKB dan BBNKB, kemudian menyetorkannya ke kabupaten/kota. Ini menuntut sistem administrasi yang efisien dan akuntabel untuk penyaluran dana.
- Tidak Mengurangi PAD Provinsi: Penting untuk dicatat bahwa opsen bukan berarti mengurangi penerimaan PKB dan BBNKB milik provinsi. Sebaliknya, opsen adalah pungutan tambahan yang dibebankan kepada wajib pajak dan dialokasikan ke kabupaten/kota. Artinya, provinsi tetap menerima porsi PKB/BBNKB-nya secara penuh.
- Koordinasi Antar Tingkat Pemerintahan: Implementasi opsen membutuhkan koordinasi yang kuat antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Provinsi harus memastikan penyaluran dana yang tepat waktu, sedangkan kabupaten/kota perlu berkoordinasi dalam penetapan tarif dan pelaporan.
- Potensi Peningkatan Beban Administratif: Meskipun sistemnya terintegrasi, ada tambahan pekerjaan administratif bagi provinsi dalam hal pencatatan, pelaporan, dan penyetoran dana opsen ke banyak kabupaten/kota.
3. Dampak Bagi Wajib Pajak
Wajib pajak adalah pihak yang secara langsung merasakan dampak perubahan ini melalui pembayaran pajak.
- Peningkatan Beban Pajak Nominal: Dengan adanya opsen, jumlah total yang harus dibayarkan oleh wajib pajak untuk kendaraan bermotornya akan meningkat. Ini adalah dampak yang paling terlihat dan mungkin menimbulkan resistensi jika tidak diiringi sosialisasi yang baik.
- Harapan Peningkatan Kualitas Layanan Publik Lokal: Meskipun beban pajak meningkat, wajib pajak diharapkan dapat merasakan manfaatnya dalam bentuk peningkatan kualitas pelayanan publik dan pembangunan infrastruktur di lingkungan tempat tinggal atau beraktivitas mereka.
- Kemudahan Administrasi Tetap Terjaga: Karena pemungutan opsen terintegrasi di Samsat, wajib pajak tidak perlu menghadapi kerumitan tambahan dalam proses pembayaran.
- Perlunya Transparansi Penggunaan Dana: Wajib pajak akan lebih menuntut transparansi mengenai bagaimana dana opsen ini digunakan oleh pemerintah kabupaten/kota, terutama jika terjadi peningkatan signifikan pada beban pajak mereka.
4. Dampak Bagi Perekonomian Regional
Opsen juga dapat memiliki implikasi yang lebih luas terhadap perekonomian di tingkat regional.
- Stimulasi Ekonomi Lokal: Peningkatan kapasitas fiskal kabupaten/kota dapat mendorong investasi dalam infrastruktur lokal dan program pembangunan yang pada gilirannya dapat menstimulasi pertumbuhan ekonomi daerah.
- Dampak pada Daya Beli dan Investasi: Kenaikan beban pajak, meskipun relatif kecil, dapat sedikit memengaruhi daya beli masyarakat dan potensi investasi dalam kepemilikan kendaraan. Namun, dampak ini diperkirakan tidak signifikan dibandingkan dengan manfaat fiskal yang diperoleh.
- Peningkatan Efisiensi Penggunaan Anggaran: Dengan dana yang lebih terdistribusi ke tingkat lokal, diharapkan alokasi anggaran dapat lebih tepat sasaran dan efisien karena lebih dekat dengan kebutuhan masyarakat.
- Peningkatan Tata Kelola Fiskal: Adanya sumber pendapatan baru ini mendorong pemerintah daerah untuk meningkatkan kapasitas dalam perencanaan, penganggaran, dan evaluasi program, yang pada akhirnya memperbaiki tata kelola fiskal daerah secara keseluruhan.
Secara keseluruhan, implementasi opsen merupakan langkah progresif dalam desentralisasi fiskal Indonesia. Meskipun ada tantangan, terutama terkait sosialisasi dan pengelolaan dana, potensi manfaatnya dalam memperkuat kemandirian daerah dan meningkatkan pelayanan publik lokal sangat besar.
Perbandingan Opsen dengan Instrumen Keuangan Daerah Lain
Untuk memahami opsen secara utuh, penting untuk membandingkannya dengan instrumen keuangan daerah lainnya. Hal ini akan memperjelas posisi opsen dalam struktur pendapatan daerah dan karakteristik uniknya yang membedakan dari pajak daerah murni, retribusi daerah, atau dana transfer pusat.
1. Opsen vs. Pajak Daerah Murni (Kabupaten/Kota)
Pajak daerah murni adalah jenis pajak yang sepenuhnya diatur, dipungut, dan hasilnya menjadi milik pemerintah daerah yang bersangkutan. Contoh pajak daerah murni di tingkat kabupaten/kota antara lain Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Pajak Restoran, Pajak Hotel, Pajak Parkir, dan Pajak Hiburan.
- Basis Hukum dan Wewenang: Pajak daerah murni memiliki dasar hukum yang spesifik di tingkat daerah (Perda) dan wewenang penuh untuk menetapkan tarif (dalam batas UU), memungut, dan menggunakan hasilnya. Opsen diatur oleh UU HKPD, tarifnya ditetapkan daerah tetapi basisnya adalah pajak provinsi.
- Subjek Pajak: Untuk pajak daerah murni, wajib pajak membayar langsung kepada kabupaten/kota. Untuk opsen, wajib pajak membayar kepada provinsi yang kemudian menyetorkan hasilnya ke kabupaten/kota.
- Jenis Pungutan: Pajak daerah murni adalah pungutan mandiri. Opsen adalah "pungutan tambahan" pada pajak utama yang sudah ada.
- Kemandirian Fiskal: Keduanya berkontribusi pada PAD. Namun, opsen memperkenalkan konsep pembagian basis pajak antara provinsi dan kabupaten/kota, yang tidak ada pada pajak daerah murni.
Kesimpulan: Opsen bukan pajak daerah murni baru bagi kabupaten/kota. Ia adalah bagian pendapatan dari pajak provinsi yang dialokasikan ke kabupaten/kota melalui mekanisme pungutan tambahan.
2. Opsen vs. Retribusi Daerah
Retribusi daerah adalah pembayaran atas jasa atau layanan tertentu yang disediakan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Contohnya adalah retribusi pelayanan parkir di tepi jalan umum, retribusi pelayanan pasar, retribusi kebersihan, atau retribusi izin mendirikan bangunan.
- Dasar Pengenaan: Retribusi dikenakan karena adanya kontraprestasi langsung dari pemerintah daerah (layanan spesifik). Opsen, seperti pajak, dikenakan tanpa kontraprestasi langsung yang spesifik kepada pembayar.
- Sifat Pungutan: Retribusi bersifat fakultatif (dibayar jika menggunakan layanan). Opsen bersifat wajib bagi wajib pajak PKB/BBNKB.
- Tujuan: Retribusi untuk menutupi biaya penyediaan layanan. Opsen untuk meningkatkan PAD guna pembiayaan pembangunan dan pelayanan umum.
Kesimpulan: Opsen adalah pungutan yang bersifat pajak, bukan retribusi. Tidak ada layanan spesifik yang diterima langsung oleh wajib pajak sebagai imbalan pembayaran opsen, melainkan manfaat umum dari pembangunan daerah.
3. Opsen vs. Dana Transfer Pusat
Dana transfer pusat adalah dana yang ditransfer dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kepada daerah untuk membiayai pelaksanaan otonomi daerah dan tugas pembantuan. Ini termasuk Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Bagi Hasil (DBH), dan Dana Insentif Daerah (DID).
- Sumber Pendapatan: Dana transfer berasal dari APBN (pajak pusat dan sumber daya alam). Opsen adalah sumber PAD yang berasal dari pajak provinsi yang sebagian dialokasikan ke kabupaten/kota.
- Kemandirian Fiskal: Dana transfer menunjukkan ketergantungan daerah pada pusat. Opsen menunjukkan peningkatan kemandirian fiskal daerah karena berasal dari potensi lokal yang digali melalui pajak.
- Pengelolaan: Dana transfer diatur oleh pusat dengan ketentuan penggunaan tertentu (terutama DAK). Opsen, setelah disetor ke kabupaten/kota, pengelolaannya lebih otonom oleh daerah tersebut.
Kesimpulan: Opsen merupakan upaya untuk mengurangi ketergantungan daerah pada dana transfer pusat dengan memperkuat PAD, sehingga meningkatkan otonomi fiskal daerah.
4. Opsen vs. Pajak Pusat
Pajak pusat adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat untuk membiayai belanja negara. Contohnya adalah Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), Bea Meterai, dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sektor perkebunan, perhutanan, pertambangan.
- Wewenang: Pajak pusat sepenuhnya merupakan wewenang pemerintah pusat. Opsen merupakan inovasi dalam pajak daerah, yang meskipun basisnya pajak provinsi, pengaturannya melibatkan UU pusat (HKPD) dan Perda daerah.
- Alokasi Hasil: Hasil pajak pusat masuk ke APBN. Hasil opsen masuk ke APBD kabupaten/kota.
Kesimpulan: Opsen berada dalam domain pajak daerah, meskipun UU HKPD (yang merupakan UU pusat) memberikan kerangka dasar pengaturannya. Ia jauh berbeda dari pajak pusat.
Dengan perbandingan ini, menjadi jelas bahwa opsen memiliki kedudukan unik dalam sistem keuangan daerah Indonesia. Ia bukan pajak baru yang mandiri, bukan retribusi, dan bukan pula dana transfer. Opsen adalah instrumen fiskal yang cerdas untuk mengoptimalkan potensi pajak provinsi demi kepentingan pembangunan dan kemandirian fiskal kabupaten/kota, dengan tetap menjaga efisiensi administrasi pemungutan.
Tantangan dan Peluang Opsen di Masa Depan
Implementasi opsen sebagai instrumen baru dalam sistem keuangan daerah tentu tidak lepas dari berbagai tantangan, sekaligus membuka peluang besar bagi penguatan otonomi fiskal dan peningkatan pelayanan publik di Indonesia. Keseimbangan antara menghadapi tantangan dan mengoptimalkan peluang akan menentukan keberhasilan opsen dalam jangka panjang.
Tantangan Implementasi Opsen:
- Penerimaan dan Pemahaman Wajib Pajak:
- Beban Pajak yang Meningkat: Peningkatan nominal yang harus dibayar wajib pajak berpotensi menimbulkan resistensi. Tanpa sosialisasi yang efektif dan transparan mengenai tujuan serta manfaat opsen, masyarakat mungkin merasa terbebani tanpa melihat keuntungan langsung.
- Edukasi yang Kurang: Banyak wajib pajak mungkin belum memahami konsep opsen, mengapa itu diterapkan, dan bagaimana dana tersebut akan digunakan. Ini bisa menyebabkan ketidakpercayaan.
- Kapasitas Administrasi dan Tata Kelola Pemerintah Daerah:
- Penyusunan Perda: Kabupaten/kota harus segera menyusun dan mengesahkan Perda tentang opsen. Proses ini membutuhkan kajian yang matang dan koordinasi internal.
- Pengelolaan Dana: Peningkatan PAD dari opsen menuntut pemerintah kabupaten/kota memiliki kapasitas yang kuat dalam perencanaan anggaran, pengelolaan keuangan, dan pengawasan penggunaan dana. Tanpa tata kelola yang baik, risiko inefisiensi atau bahkan korupsi dapat meningkat.
- Transparansi dan Akuntabilitas: Mencegah penyalahgunaan dana opsen adalah tantangan krusial. Sistem pelaporan yang transparan dan mekanisme akuntabilitas yang kuat harus diterapkan untuk memastikan dana opsen digunakan sesuai peruntukannya dan dapat dipertanggungjawabkan kepada publik.
- Koordinasi Antar Tingkat Pemerintahan:
- Penyaluran Dana dari Provinsi ke Kabupaten/Kota: Pemerintah provinsi harus memastikan penyetoran dana opsen ke kabupaten/kota dilakukan secara tepat waktu, akurat, dan transparan. Mekanisme rekonsiliasi data antara provinsi dan kabupaten/kota perlu diperkuat.
- Harmonisasi Kebijakan: Meskipun ada batas maksimal tarif opsen, perbedaan tarif antar kabupaten/kota dalam satu provinsi atau antar provinsi dapat menimbulkan kompleksitas. Diperlukan harmonisasi kebijakan yang memadai untuk menghindari distorsi.
- Data dan Sistem Informasi:
- Integrasi Sistem: Sistem informasi di Samsat harus mampu membedakan dan mencatat secara akurat antara PKB/BBNKB (milik provinsi) dan opsen (milik kabupaten/kota) untuk tujuan pelaporan dan penyetoran.
- Ketersediaan Data: Data kendaraan bermotor yang akurat dan terbarui sangat penting untuk perhitungan dan pemungutan opsen yang efektif.
Peluang yang Dibuka oleh Opsen:
- Penguatan Otonomi Fiskal dan Kemandirian Daerah:
- Diversifikasi Sumber PAD: Opsen menyediakan sumber PAD baru yang relatif stabil bagi kabupaten/kota, mengurangi ketergantungan pada transfer pusat dan pajak-pajak tradisional lainnya.
- Peningkatan Ruang Fiskal: Dengan PAD yang lebih besar, kabupaten/kota memiliki ruang fiskal yang lebih luas untuk membiayai program-program strategis tanpa harus menunggu alokasi dari pusat.
- Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik Lokal:
- Pendanaan Pembangunan Infrastruktur Lokal: Dana opsen dapat secara langsung dialokasikan untuk perbaikan jalan lingkungan, penerangan jalan, fasilitas umum, dan infrastruktur lain yang manfaatnya dirasakan langsung oleh masyarakat di tingkat lokal.
- Dukungan Transportasi dan Lingkungan: Dana opsen PKB bisa digunakan untuk pengembangan transportasi publik lokal atau program-program mitigasi dampak lingkungan dari kendaraan bermotor.
- Peningkatan Layanan Administrasi: Dana opsen BBNKB dapat memperkuat layanan administrasi kependudukan dan kendaraan bermotor di tingkat kabupaten/kota.
- Mendorong Inovasi dalam Tata Kelola Keuangan Daerah:
- Perencanaan Anggaran yang Lebih Baik: Dengan adanya sumber pendapatan baru, pemerintah daerah akan termotivasi untuk melakukan perencanaan anggaran yang lebih cermat dan berbasis kinerja.
- Akuntabilitas Publik: Peningkatan PAD yang berasal dari opsen akan meningkatkan tuntutan masyarakat terhadap transparansi dan akuntabilitas penggunaan dana, mendorong pemerintah daerah untuk lebih responsif.
- Pembangunan yang Lebih Inklusif dan Merata:
- Fokus pada Kebutuhan Lokal: Otonomi fiskal yang lebih kuat memungkinkan daerah untuk lebih fokus pada pembangunan yang relevan dengan karakteristik dan kebutuhan unik masyarakatnya, mengurangi kesenjangan pembangunan antar wilayah.
- Partisipasi Masyarakat: Dengan dana yang lebih tersedia di tingkat lokal, potensi partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan juga dapat meningkat.
Agar opsen dapat mencapai potensi maksimalnya, pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota harus bekerja sama erat. Sosialisasi yang gencar, peningkatan kapasitas SDM daerah, penguatan sistem informasi dan teknologi, serta penegakan prinsip transparansi dan akuntabilitas adalah kunci utama. Dengan demikian, opsen tidak hanya akan menjadi sekadar pungutan baru, tetapi sebuah instrumen transformatif yang mendukung cita-cita desentralisasi fiskal dan pembangunan yang berkelanjutan di Indonesia.
Kesimpulan
Opsen merupakan sebuah inovasi fundamental dalam kerangka hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah di Indonesia, yang diatur secara komprehensif melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 (UU HKPD). Konsep ini, yang secara harfiah berarti pungutan tambahan pajak berdasarkan persentase tertentu dari pajak utama, dirancang untuk memperkuat kemandirian fiskal pemerintah kabupaten/kota, khususnya dalam pengelolaan pendapatan yang terkait dengan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB).
Filosofi di balik penerapan opsen adalah untuk memperdalam desentralisasi fiskal. Sistem perpajakan daerah sebelumnya seringkali menyisakan kesenjangan kapasitas fiskal antar daerah dan keterbatasan objek pajak di tingkat kabupaten/kota, yang pada akhirnya membuat banyak daerah sangat bergantung pada transfer dari pemerintah pusat. Opsen hadir sebagai solusi untuk memberikan ruang fiskal yang lebih besar kepada kabupaten/kota dari pajak-pajak yang secara substansi juga memiliki dampak dan relevansi kuat di wilayah mereka, seperti penggunaan jalan dan administrasi kendaraan bermotor.
Saat ini, opsen diterapkan pada dua jenis pajak: Opsen PKB dan Opsen BBNKB. Kedua jenis opsen ini dihitung sebagai persentase dari PKB atau BBNKB yang terutang, dengan batas maksimum tarif yang ditetapkan oleh UU HKPD hingga 60%. Meskipun opsen merupakan pendapatan bagi kabupaten/kota, mekanisme pemungutannya tetap dilakukan oleh pemerintah provinsi secara terintegrasi melalui Samsat. Hal ini memastikan efisiensi administrasi dan kemudahan bagi wajib pajak, yang hanya perlu melakukan pembayaran di satu tempat. Hasil pungutan opsen kemudian disetorkan secara berkala oleh provinsi kepada kabupaten/kota tempat objek pajak terdaftar.
Implementasi opsen membawa dampak signifikan bagi berbagai pihak. Bagi pemerintah kabupaten/kota, ini berarti peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan kapasitas fiskal yang lebih besar, memungkinkan mereka untuk mendanai program-program pembangunan dan pelayanan publik yang lebih responsif terhadap kebutuhan lokal. Bagi pemerintah provinsi, muncul peran baru sebagai pemungut dan penyetor opsen, menuntut koordinasi yang kuat. Sementara bagi wajib pajak, opsen berarti peningkatan beban pajak nominal, namun diiringi harapan akan peningkatan kualitas layanan dan infrastruktur di daerah mereka. Secara keseluruhan, opsen berpotensi menstimulasi ekonomi regional melalui investasi infrastruktur lokal dan meningkatkan tata kelola fiskal daerah.
Meski demikian, opsen juga menghadapi sejumlah tantangan. Diperlukan sosialisasi yang masif dan transparan kepada wajib pajak untuk membangun pemahaman dan penerimaan. Pemerintah daerah juga harus memiliki kapasitas administrasi yang memadai untuk mengelola dana opsen secara efektif, transparan, dan akuntabel, serta memastikan koordinasi yang baik antar tingkat pemerintahan. Sistem informasi dan data yang terintegrasi juga krusial untuk keberhasilan implementasinya.
Pada akhirnya, opsen adalah langkah strategis menuju sistem keuangan daerah yang lebih mandiri, adil, dan responsif. Jika dikelola dengan baik, instrumen ini memiliki peluang besar untuk memperkuat otonomi fiskal daerah, meningkatkan kualitas pelayanan publik lokal, dan mendorong pembangunan yang lebih inklusif dan merata di seluruh wilayah Indonesia. Keberhasilan opsen akan menjadi cerminan komitmen kolektif dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan yang lebih baik demi kesejahteraan masyarakat.