Budaya Nyonya adalah permata historis yang memancarkan pesona unik di kepulauan Nusantara, sebuah hasil peleburan identitas antara tradisi Tiongkok dan adat istiadat lokal. Istilah "Nyonya" secara spesifik merujuk pada perempuan keturunan Tiongkok yang lahir dan besar di wilayah kolonial Britania Raya di Semenanjung Malaya (kini Malaysia dan Singapura) serta di Hindia Belanda (kini Indonesia), khususnya di pesisir Sumatra dan Jawa. Laki-laki dalam komunitas ini dikenal sebagai "Baba". Bersama-sama, mereka membentuk komunitas Peranakan yang kaya dan kompleks, di mana warisan leluhur Tiongkok berpadu harmonis dengan elemen-elemen budaya Melayu, Indonesia, dan bahkan Eropa.
Fenomena Peranakan bermula dari gelombang migrasi pedagang Tiongkok ke Asia Tenggara yang telah berlangsung selama berabad-abad. Sejak abad ke-15, banyak dari para pendatang ini memutuskan untuk menetap, menikahi perempuan lokal, dan mengadopsi sebagian besar cara hidup setempat sambil tetap mempertahankan inti kepercayaan dan beberapa praktik budaya Tiongkok. Dari perpaduan inilah lahir sebuah identitas baru, yang tidak sepenuhnya Tiongkok, juga tidak sepenuhnya Melayu atau Indonesia, melainkan sebuah entitas budaya yang khas dan berakar dalam konteks lokal.
Wanita Nyonya, sebagai inti dari keluarga dan penjaga tradisi, memainkan peran sentral dalam pembentukan dan pelestarian budaya Peranakan. Mereka adalah arsitek di balik masakan yang ikonik, perancang busana yang anggun, dan penjaga bahasa serta adat istiadat yang unik. Kisah Nyonya adalah kisah tentang adaptasi, inovasi, dan ketahanan, yang tercermin dalam setiap aspek kehidupan mereka, mulai dari dapur hingga ruang tamu, dari perayaan besar hingga ritual sehari-hari.
Untuk memahami Nyonya, kita harus terlebih dahulu menyelami sejarah panjang interaksi antara Tiongkok dan Asia Tenggara. Sejak Dinasti Ming, para pelaut dan pedagang Tiongkok telah melakukan perjalanan reguler ke pelabuhan-pelabuhan di Nusantara. Mereka membawa sutra, keramik, teh, dan rempah-rempah dari Tiongkok, serta kembali dengan komoditas lokal yang berharga. Seiring waktu, beberapa dari mereka mulai menetap, tertarik pada peluang ekonomi dan kekayaan sumber daya alam di wilayah ini.
Di Malaka, misalnya, pada masa kejayaan Kesultanan Malaka, terdapat catatan tentang kedatangan rombongan Putri Hang Li Po dari Tiongkok yang menikah dengan Sultan Malaka. Meskipun kebenaran historis cerita ini masih diperdebatkan, narasi ini secara simbolis merepresentasikan awal mula akulturasi dan pembentukan komunitas Tionghoa Peranakan di Semenanjung Malaya. Para pendatang Tiongkok awal ini, yang sebagian besar adalah laki-laki, menikahi perempuan Melayu atau suku asli lainnya. Anak-anak mereka, yang tumbuh dalam percampuran dua budaya, menjadi generasi pertama Peranakan.
Identitas Nyonya dan Baba Peranakan tidak hanya terbentuk melalui pernikahan campuran, tetapi juga melalui adaptasi terhadap kondisi sosial, politik, dan ekonomi setempat. Mereka seringkali menjadi jembatan antara penguasa kolonial (baik Britania Raya maupun Belanda) dan penduduk lokal, atau bahkan dengan pendatang Tiongkok yang baru tiba (yang sering disebut "Sinkhek"). Keahlian mereka dalam berdagang, ditambah dengan kemahiran berbahasa dan pemahaman budaya lokal, menempatkan mereka pada posisi yang menguntungkan dalam struktur masyarakat kolonial.
Komunitas Peranakan, dengan Nyonya sebagai tulang punggungnya, berkembang pesat di berbagai kota pelabuhan strategis seperti Malaka, Penang, Singapura, Batavia (Jakarta), Semarang, Surabaya, dan Palembang. Di setiap lokasi ini, budaya Nyonya mengembang dengan sedikit variasi regional, mencerminkan pengaruh lokal yang dominan. Namun, benang merah identitas Peranakan – perpaduan Tiongkok-Melayu/Indonesia – tetap kuat dan terlihat jelas.
Wanita Nyonya memiliki posisi yang unik dalam masyarakat Peranakan. Mereka adalah pengelola rumah tangga, penjaga moral keluarga, dan yang terpenting, pelestari warisan budaya. Meskipun seringkali hidup dalam batasan peran gender tradisional yang menempatkan mereka di ranah domestik, perempuan Nyonya tidak pasif. Mereka adalah sosok yang kuat, cerdas, dan penuh kreativitas, yang mengekspresikan diri melalui seni masakan, kerajinan tangan, dan tata busana.
Di rumah tangga Peranakan, Nyonya adalah ratu dapur dan pengatur segala urusan rumah. Mereka bertanggung jawab atas pendidikan anak-anak, terutama anak perempuan, dalam tradisi Peranakan. Proses mendidik ini bukan hanya tentang mengajarkan etika dan nilai-nilai, tetapi juga keterampilan praktis seperti memasak, menyulam, dan meronce manik-manik, yang semuanya adalah bagian integral dari identitas Nyonya.
Kehormatan keluarga sangat dijunjung tinggi, dan Nyonya diharapkan untuk menjaga nama baik keluarga melalui perilaku yang sopan, penampilan yang rapi, dan kepandaian mengurus rumah. Pernikahan adalah peristiwa penting yang seringkali diatur oleh keluarga, dengan tujuan memperkuat ikatan sosial dan ekonomi dalam komunitas Peranakan. Upacara pernikahan Nyonya adalah salah satu yang paling megah dan rumit, mencerminkan perpaduan adat Tiongkok dan Melayu yang kaya.
Pendidikan formal untuk Nyonya di masa lalu mungkin terbatas dibandingkan dengan Baba. Namun, mereka menerima pendidikan informal yang ekstensif dalam hal-hal praktis dan budaya. Banyak Nyonya yang fasih dalam bahasa Baba Melayu, sebuah dialek kreol yang merupakan perpaduan bahasa Melayu dengan unsur-unsur Hokkien dan Tionghoa lainnya. Bahasa ini adalah media utama komunikasi di rumah tangga dan komunitas mereka, sebuah bukti nyata dari identitas Peranakan.
Selain Baba Melayu, beberapa Nyonya, terutama di kalangan kelas atas, juga mempelajari bahasa Inggris atau Belanda, tergantung pada kekuasaan kolonial di wilayah mereka. Ini menunjukkan adaptabilitas mereka dan keinginan untuk berinteraksi dengan dunia luar, meskipun tetap berakar kuat pada tradisi mereka sendiri.
Masakan Nyonya adalah mungkin aspek budaya Peranakan yang paling terkenal dan dicintai. Ini adalah hasil masterpiece dari perpaduan bahan-bahan dan teknik memasak Tiongkok dengan rempah-rempah Melayu/Indonesia yang kaya dan beraroma. Setiap hidangan Nyonya adalah sebuah cerita, sebuah simfoni rasa yang mencerminkan perjalanan sejarah dan kreativitas wanita Nyonya di dapur.
Kunci dari masakan Nyonya terletak pada penggunaan rempah-rempah segar yang melimpah, seperti lengkuas, serai, kunyit, jahe, cabai, bawang merah, bawang putih, dan kemiri. Rempah-rempah ini seringkali dihaluskan menjadi pasta yang disebut "rempah" atau "bumbu" menggunakan lesung dan alu, sebuah proses yang membutuhkan kesabaran dan keahlian untuk mencapai tekstur dan aroma yang sempurna. Santan kelapa juga merupakan bahan fundamental yang memberikan kekayaan dan kelembutan pada banyak hidangan Nyonya.
Teknik memasak Nyonya seringkali melibatkan proses tumis (goreng tanpa minyak banyak), merebus perlahan (simmering), dan mengukus. Pengaruh Tiongkok terlihat dalam penggunaan tauco (fermented bean paste), kecap asin, dan saus tiram, yang dikombinasikan dengan belacan (terasi udang) Melayu untuk menciptakan rasa umami yang mendalam dan kompleks. Hasilnya adalah hidangan yang seimbang antara manis, asam, asin, dan pedas, dengan sentuhan wangi dari daun jeruk, daun kunyit, atau daun pandan.
Daftar hidangan Nyonya sangat panjang dan bervariasi, tetapi beberapa di antaranya telah menjadi simbol dari warisan kuliner yang tak ternilai:
Selain hidangan utama, Nyonya juga dikenal akan keahlian mereka dalam membuat kuih-muih, yaitu kudapan atau kue tradisional. Kuih Nyonya terkenal dengan warnanya yang cerah alami (dari pandan, bunga telang, ubi ungu), teksturnya yang lembut, dan rasa manis gurih dari santan dan gula melaka (gula aren). Beberapa contoh yang populer meliputi:
Masakan Nyonya bukan sekadar makanan; ia adalah warisan budaya yang diwariskan dari generasi ke generasi, sebuah ekspresi cinta, kesabaran, dan identitas. Setiap gigitan adalah perayaan perpaduan budaya yang tak lekang oleh waktu.
Busana tradisional wanita Nyonya adalah Kebaya Nyonya, sebuah pakaian yang memancarkan keanggunan, kehalusan, dan kekayaan seni. Kebaya Nyonya tidak hanya sekadar pakaian, melainkan sebuah pernyataan identitas dan status sosial, yang kaya akan detail dan makna.
Berbeda dengan kebaya Jawa yang biasanya terbuat dari brokat tebal atau kebaya modern yang lebih sederhana, Kebaya Nyonya memiliki ciri khas tersendiri:
Kebaya Nyonya tidak lengkap tanpa aksesori yang menyertainya, yang semuanya menambah kemewahan dan keindahan penampilan:
Busana Nyonya adalah cerminan dari identitas budaya yang kuat, di mana pengaruh Tiongkok, Melayu, dan Eropa berpadu menjadi sesuatu yang unik dan menawan. Setiap detail, mulai dari benang sulaman hingga manik-manik sepatu, menceritakan kisah tentang warisan, keindahan, dan kebanggaan Nyonya.
Aspek penting lain dari budaya Nyonya adalah bahasanya, yang sering disebut sebagai Melayu Baba atau Bahasa Peranakan. Ini adalah sebuah dialek kreol yang berkembang secara alami dari interaksi komunitas Peranakan dengan lingkungan sekitarnya. Bahasa ini adalah simbol nyata dari akulturasi dan menjadi salah satu penanda identitas yang paling kuat bagi mereka.
Melayu Baba sebagian besar didasarkan pada bahasa Melayu, tetapi dengan banyak kosakata dan frasa yang diambil dari dialek Tiongkok Selatan, terutama Hokkien. Tata bahasa dan struktur kalimatnya sebagian besar mengikuti bahasa Melayu, namun ada banyak penyimpangan dan konstruksi unik yang menjadikannya bahasa tersendiri. Beberapa karakteristik utamanya meliputi:
Bagi Nyonya, Melayu Baba adalah bahasa rumah tangga, bahasa tempat mereka mengungkapkan kasih sayang, mengajarkan nilai-nilai, dan menyampaikan cerita dari generasi ke generasi. Kemampuan berbicara Melayu Baba adalah penanda penting dari identitas Peranakan sejati. Melalui bahasa inilah, Nyonya dapat mengartikulasikan pandangan dunia mereka yang unik, yang merupakan perpaduan antara kebijaksanaan Tiongkok dan kehangatan Melayu.
Sayangnya, Melayu Baba adalah bahasa yang terancam punah. Dengan meningkatnya pendidikan berbahasa Inggris, Mandarin, atau Bahasa Indonesia standar, jumlah penutur asli Melayu Baba semakin berkurang. Generasi muda Peranakan seringkali tidak lagi menguasai bahasa nenek moyang mereka. Ini menimbulkan kekhawatiran besar di kalangan komunitas Peranakan tentang hilangnya salah satu aspek terpenting dari warisan budaya Nyonya.
Meskipun demikian, ada upaya-upaya untuk melestarikan Melayu Baba, melalui penerbitan kamus, kelas bahasa, dan dokumentasi. Museum Peranakan, organisasi budaya, dan individu-individu yang berdedikasi bekerja keras untuk memastikan bahwa suara dan kearifan Nyonya yang terkandung dalam bahasa ini tidak akan hilang ditelan zaman.
Kehidupan sehari-hari dan perayaan khusus dalam budaya Nyonya adalah tapestry yang indah dari adat Tiongkok dan tradisi lokal. Setiap ritual, dari kelahiran hingga kematian, dilakukan dengan cara yang unik, mencerminkan identitas Peranakan yang kaya. Nyonya memainkan peran sentral dalam memastikan bahwa setiap adat istiadat dijalankan dengan benar dan makna spiritualnya tetap terjaga.
Pernikahan Peranakan adalah salah satu upacara yang paling rumit dan memakan waktu, seringkali berlangsung selama beberapa hari atau bahkan berminggu-minggu. Ini adalah perayaan akbar yang penuh simbolisme, menampilkan elemen Tiongkok dan Melayu secara berdampingan.
Nyonya merayakan berbagai festival, baik yang berasal dari tradisi Tiongkok maupun yang diadopsi dari budaya lokal.
Rumah-rumah Peranakan, khususnya di kota-kota seperti Malaka, Penang, dan Singapura, adalah cerminan fisik dari perpaduan budaya ini. Bangunan-bangunan ini seringkali berupa rumah toko (shophouses) yang panjang dan sempit, dengan fasad bergaya Eropa yang indah dan interior yang kaya akan dekorasi Tiongkok, Melayu, dan Eropa.
Setiap sudut rumah Nyonya adalah bukti perpaduan yang indah, sebuah ruang di mana tradisi berakar dalam dan kehidupan sehari-hari dijalani dengan penuh warna dan makna.
Wanita Nyonya tidak hanya ahli di dapur; mereka juga seniman yang terampil dalam berbagai bentuk kerajinan tangan. Keahlian ini diwariskan dari generasi ke generasi, dan setiap karya adalah ekspresi dari keindahan dan ketelatenan Nyonya.
Selain sulaman pada kebaya, Nyonya juga mahir dalam menyulam berbagai benda lainnya, seperti taplak meja, sarung bantal, sapu tangan, dan hiasan dinding. Sulaman mereka sangat halus, menggunakan benang sutra atau katun dengan motif bunga, burung, atau naga yang rumit. Teknik sulaman ini seringkali disebut "Sulam Peranakan" dan merupakan salah satu identitas seni Nyonya yang paling menonjol.
Kasut Manek, sepatu manik-manik Nyonya, adalah contoh paling terkenal dari keahlian Nyonya dalam menganyam manik-manik. Namun, mereka juga membuat berbagai benda lain dari manik-manik, seperti dompet, tas, ikat pinggang, dan hiasan kepala. Setiap manik-manik dijahit dengan hati-hati untuk menciptakan pola-pola geometris atau figuratif yang memukau, sebuah proses yang membutuhkan kesabaran, ketepatan, dan mata yang jeli terhadap detail.
Meskipun bukan pembuat perhiasan utama, Nyonya memiliki apresiasi tinggi terhadap perhiasan perak dan emas yang dibuat oleh pengrajin lokal atau Tiongkok. Kerosang adalah contoh terbaik dari seni perhiasan yang menjadi bagian integral dari busana Nyonya. Desainnya seringkali menggabungkan motif Tiongkok seperti awan atau naga dengan sentuhan flora lokal, menciptakan gaya yang unik.
Batik yang dikenakan Nyonya memiliki gaya tersendiri. Batik Peranakan sering menampilkan motif-motif Tiongkok seperti burung phoenix, naga, dan bunga peoni, yang digambar dengan garis yang lebih halus dan detail. Warna-warnanya pun lebih cerah dan berani dibandingkan batik Jawa tradisional, seperti merah jambu, hijau terang, kuning, dan biru. Ini mencerminkan semangat Nyonya yang ceria dan estetikanya yang unik.
Seni dan kerajinan tangan Nyonya adalah bukti nyata dari kreativitas, kesabaran, dan kemampuan mereka untuk memadukan berbagai elemen budaya menjadi ekspresi keindahan yang kohesif. Setiap barang kerajinan tangan adalah warisan yang tak hanya fungsional tetapi juga sarat makna dan sejarah.
Di era globalisasi dan modernisasi, budaya Nyonya menghadapi tantangan besar. Meskipun demikian, ada upaya gigih untuk melestarikan warisan berharga ini, memastikan bahwa keunikan Nyonya tetap hidup dan dikenal oleh generasi mendatang.
Meskipun tantangan, semangat untuk melestarikan budaya Nyonya tetap kuat. Berbagai inisiatif telah muncul:
Nyonya modern, baik yang aktif melestarikan tradisi atau yang mengadaptasinya ke dalam kehidupan kontemporer, adalah jembatan antara masa lalu yang kaya dan masa depan yang dinamis. Mereka adalah bukti bahwa budaya dapat berkembang dan beradaptasi tanpa kehilangan intinya.
Kekayaan budaya Nyonya kini juga menjadi daya tarik utama dalam industri pariwisata dan ekonomi kreatif di negara-negara seperti Malaysia, Singapura, dan Indonesia. Ini menciptakan peluang ekonomi sekaligus membantu pelestarian budaya.
Kota-kota seperti Malaka dan Penang di Malaysia, serta sebagian Singapura dan Jakarta di Indonesia, dikenal sebagai pusat budaya Peranakan. Wisatawan datang untuk menjelajahi museum, rumah-rumah tua Peranakan, mencicipi masakan Nyonya otentik, dan membeli kerajinan tangan. Misalnya, Pinang Peranakan Mansion di George Town, Penang, adalah salah satu atraksi paling populer yang memberikan gambaran mendalam tentang gaya hidup mewah Nyonya di masa lalu.
Selain itu, toko-toko yang menjual Kasut Manek, kebaya, dan batik Peranakan juga menjadi daya tarik tersendiri, memungkinkan pengunjung untuk membawa pulang sepotong keindahan Nyonya.
Banyak wanita Peranakan atau individu yang terinspirasi oleh budaya Nyonya telah meluncurkan bisnis yang berfokus pada warisan ini. Ini termasuk:
Melalui sektor pariwisata dan ekonomi kreatif, budaya Nyonya tidak hanya dilestarikan tetapi juga diberdayakan, memberikan manfaat ekonomi kepada komunitas dan menumbuhkan kebanggaan akan warisan mereka.
Kisah-kisah tentang Nyonya juga telah menemukan jalannya ke dalam berbagai bentuk media dan seni, membantu menyebarkan kesadaran dan apresiasi terhadap budaya ini di khalayak yang lebih luas.
Banyak drama televisi dan film telah menggambarkan kehidupan keluarga Peranakan, menampilkan konflik, romansa, dan nilai-nilai budaya yang unik. Karya-karya sastra, baik novel maupun puisi, juga telah mengangkat tema Nyonya, memberikan gambaran mendalam tentang pengalaman dan emosi wanita Peranakan.
Representasi ini tidak hanya berfungsi sebagai hiburan tetapi juga sebagai alat pendidikan, memungkinkan penonton dan pembaca untuk mengintip ke dalam dunia Nyonya, memahami adat istiadat, dan menghargai keindahan budaya mereka. Misalnya, serial drama 'The Little Nyonya' yang populer di Singapura telah berhasil menarik perhatian global terhadap budaya Peranakan.
Seniman rupa sering terinspirasi oleh keindahan visual budaya Nyonya – dari warna-warni kebaya dan manik-manik hingga arsitektur rumah Peranakan yang megah. Lukisan, patung, dan instalasi seni sering menggambarkan kehidupan sehari-hari Nyonya, potret wanita Nyonya yang anggun, atau motif-motif simbolis dari budaya mereka.
Fotografi juga memainkan peran penting dalam mendokumentasikan dan mengabadikan warisan Nyonya, menangkap esensi dari busana, perayaan, dan wajah-wajah generasi Nyonya yang telah menjaga tradisi ini tetap hidup.
Melalui berbagai bentuk representasi artistik ini, kisah Nyonya terus diceritakan, diinterpretasikan ulang, dan dibagikan, memastikan bahwa semangat dan warisan mereka tidak hanya diingat tetapi juga terus menginspirasi.
Masa depan budaya Nyonya terletak pada kemampuan untuk menyeimbangkan tradisi dengan modernitas. Ini bukan tentang membeku dalam waktu, tetapi tentang evolusi dan adaptasi yang mempertahankan inti identitas Peranakan.
Salah satu kunci pelestarian adalah inovasi. Ini berarti menemukan cara-cara baru untuk menjaga budaya tetap relevan bagi generasi muda. Misalnya, koki modern mungkin memberikan sentuhan kontemporer pada resep masakan Nyonya klasik, atau desainer busana mungkin menciptakan kebaya yang cocok untuk gaya hidup yang lebih dinamis. Seniman dapat menggunakan media baru untuk mengekspresikan tema-tema Nyonya, dan pendidik dapat menggunakan teknologi untuk mengajarkan Melayu Baba.
Inovasi bukan berarti meninggalkan tradisi, melainkan menyuntikkan kehidupan baru ke dalamnya, membuatnya menarik dan mudah diakses oleh audiens yang lebih luas, terutama kaum muda.
Pendidikan adalah fondasi untuk masa depan budaya Nyonya. Ini melibatkan mengajar anak-anak tentang sejarah mereka, keindahan bahasa mereka, kelezatan masakan mereka, dan pentingnya adat istiadat mereka. Kesadaran publik juga penting; semakin banyak orang yang memahami dan menghargai budaya Nyonya, semakin besar peluangnya untuk bertahan dan berkembang.
Pendidikan tidak hanya terbatas pada sekolah formal. Ini juga terjadi di rumah, di komunitas, dan melalui media. Orang tua dan kakek-nenek Nyonya memiliki peran krusial dalam mewariskan pengetahuan dan praktik kepada generasi berikutnya.
Budaya Nyonya sendiri adalah hasil dialog lintas budaya. Di masa depan, kelangsungan hidupnya mungkin juga bergantung pada kelanjutan dialog ini. Dengan berbagi cerita, masakan, dan seni mereka dengan komunitas lain, Nyonya dapat terus memperkaya diri mereka sendiri dan masyarakat yang lebih luas. Ini juga membantu menghilangkan miskonsepsi dan membangun jembatan pemahaman antara berbagai kelompok etnis.
Wanita Nyonya telah lama menjadi penjaga api budaya Peranakan. Dengan kekuatan, kreativitas, dan ketekunan mereka, warisan ini memiliki potensi besar untuk terus bersinar sebagai salah satu permata paling indah di mahkota budaya Asia Tenggara.
Dari sejarah panjang migrasi dan akulturasi hingga perannya yang tak tergantikan dalam menjaga warisan budaya, wanita Nyonya adalah sosok yang kompleks, penuh inspirasi, dan luar biasa. Mereka adalah pilar dari komunitas Peranakan, yang melalui dapur, busana, bahasa, dan adat istiadat mereka, telah menciptakan sebuah identitas budaya yang unik dan memesona.
Masakan Nyonya yang kaya rempah, kebaya Nyonya yang anggun dengan sulaman indahnya, bahasa Melayu Baba yang khas, serta rumah-rumah Peranakan yang memadukan berbagai gaya arsitektur, semuanya adalah bukti nyata dari kemampuan Nyonya untuk menyerap dan memadukan berbagai pengaruh menjadi sesuatu yang harmonis dan otentik. Setiap aspek budaya Nyonya adalah narasi tentang adaptasi, resiliensi, dan keindahan perpaduan.
Di era modern, di tengah arus globalisasi dan perubahan sosial yang cepat, budaya Nyonya menghadapi tantangannya sendiri. Namun, berkat dedikasi banyak individu dan organisasi, serta munculnya minat baru dari generasi muda, warisan ini terus bertahan. Upaya pelestarian melalui museum, festival, kuliner, dan seni kreatif memastikan bahwa kisah Nyonya tidak hanya menjadi catatan sejarah, tetapi juga inspirasi yang hidup bagi masa kini dan masa depan.
Mempelajari budaya Nyonya adalah seperti membuka kotak harta karun yang tak berujung. Ia mengajarkan kita tentang pentingnya akar budaya, keindahan akulturasi, dan kekuatan wanita sebagai penjaga tradisi. Warisan Nyonya adalah pengingat abadi bahwa dalam perpaduan dan keberagaman, kita menemukan kekayaan yang sesungguhnya.
Semoga artikel ini memberikan pemahaman yang mendalam dan apresiasi yang lebih besar terhadap kekayaan dan keunikan budaya Nyonya, sebuah permata yang tak ternilai dari Nusantara.