Ilustrasi harmoni dalam pernikahan yang menjadi tujuan utama ajaran Islam.
Pernikahan dalam Islam adalah sebuah ikatan suci yang sangat dimuliakan, digambarkan sebagai mitsaqan ghalizhan, yaitu perjanjian yang sangat kuat. Ia dibangun di atas dasar cinta (mawaddah) dan kasih sayang (rahmah), dengan tujuan utama membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah. Namun, dalam perjalanan rumah tangga, tidak jarang muncul berbagai permasalahan yang dapat mengganggu keharmonisan tersebut. Salah satu permasalahan serius yang dibahas secara mendalam dalam ajaran Islam adalah nusyuz.
Kata nusyuz sering kali diasosiasikan dengan pembangkangan istri terhadap suami, padahal dalam pandangan Islam yang komprehensif, nusyuz juga dapat terjadi pada pihak suami. Pemahaman yang keliru atau sepotong-potong mengenai nusyuz dapat memperkeruh suasana rumah tangga, bahkan menjadi pemicu keretakan yang lebih besar. Oleh karena itu, memahami nusyuz secara utuh—mulai dari pengertian, penyebab, dampak, hingga cara penanganannya—adalah krusial bagi setiap pasangan Muslim yang ingin mempertahankan dan menyelamatkan mahligai rumah tangganya.
Artikel ini akan mengupas tuntas mengenai konsep nusyuz dalam Islam, memberikan panduan yang jelas berdasarkan Al-Qur'an dan Sunnah, serta pandangan para ulama, agar setiap pasangan dapat mengambil hikmah dan menerapkan solusi terbaik ketika menghadapi permasalahan ini. Tujuannya adalah untuk mengembalikan keseimbangan dan kedamaian dalam rumah tangga, sesuai dengan ajaran Islam yang menghendaki kebaikan bagi seluruh umat manusia.
Untuk memahami konsep nusyuz secara mendalam, penting untuk terlebih dahulu meninjau definisinya, baik dari sudut pandang bahasa maupun syariat Islam.
Secara etimologi atau kebahasaan, kata "nusyuz" (نُشُوزٌ) berasal dari bahasa Arab yang memiliki makna dasar 'naik', 'bangkit', 'terangkat dari tempatnya', atau 'ketinggian'. Kata ini sering digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang menonjol atau meninggi. Misalnya, "tanah yang nusyuz" berarti tanah yang menonjol atau lebih tinggi dari sekitarnya. Dari makna dasar ini, secara figuratif, nusyuz kemudian diartikan sebagai sikap seseorang yang merasa lebih tinggi atau lebih berkuasa, sehingga enggan untuk menunaikan kewajibannya atau bahkan membangkang.
Dalam konteks hubungan antarmanusia, khususnya pernikahan, makna 'naik' atau 'meninggikan diri' ini bergeser menjadi sikap seseorang yang mengabaikan hak-hak pasangannya, menentang perintah yang benar, atau keluar dari batasan-batasan ketaatan yang semestinya. Ini menunjukkan adanya ketidakseimbangan dan ketidakpatuhan terhadap norma atau kesepakatan yang telah ada dalam ikatan pernikahan.
Dalam terminologi syariat Islam, definisi nusyuz dipersempit dan dikhususkan pada konteks hubungan suami istri. Para ulama fiqih dan tafsir memberikan berbagai definisi yang saling melengkapi:
Dari berbagai definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa nusyuz bukanlah sekadar perselisihan kecil atau perbedaan pendapat biasa. Ia adalah perilaku serius yang menunjukkan sikap tidak patuh, pembangkangan, atau pengabaian hak dan kewajiban secara sengaja oleh salah satu pasangan, yang berpotensi merusak sendi-sendi keutuhan rumah tangga. Penting untuk dicatat bahwa nusyuz bisa dilakukan baik oleh istri maupun suami, meskipun pembahasan dalam Al-Qur'an seringkali lebih menyoroti nusyuz istri.
Nusyuz bukan hanya tentang ketidaktaatan dalam hal-hal kecil, melainkan lebih kepada penolakan fundamental terhadap peran dan tanggung jawab yang telah ditetapkan syariat dalam pernikahan. Ini adalah tindakan yang secara aktif merongrong fondasi kepercayaan dan kerja sama yang menjadi pilar utama sebuah keluarga Muslim.
Konsep nusyuz tidaklah muncul begitu saja, melainkan berakar kuat dalam nash-nash syariat Islam, baik dari Al-Qur'an maupun Sunnah Rasulullah ﷺ. Pemahaman terhadap dalil-dalil ini sangat penting untuk menempatkan nusyuz dalam perspektif yang benar dan syar'i.
Ada dua ayat utama dalam Al-Qur'an yang secara langsung membahas mengenai nusyuz, yaitu Surah An-Nisa ayat 34 dan ayat 128.
Ayat ini adalah dalil paling sering dikutip terkait nusyuz istri:
"Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuz-nya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar."
Penjelasan Ayat:
Penting untuk dipahami bahwa ketiga tahapan ini harus dilakukan secara berurutan, tidak boleh melangkahi atau langsung ke tahapan terakhir. Islam sangat menjunjung tinggi keadilan dan keseimbangan, bahkan dalam menghadapi nusyuz.
Ayat ini membahas tentang nusyuz yang dilakukan oleh suami:
"Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu berbuat kebaikan dan memelihara diri (dari nusyuz dan sikap tidak acuh), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan."
Penjelasan Ayat:
Kedua ayat ini menunjukkan bahwa Islam memberikan pedoman yang seimbang dan adil dalam menghadapi permasalahan nusyuz, baik dari pihak istri maupun suami. Solusi yang ditawarkan selalu mengedepankan upaya perbaikan, nasihat, dan perdamaian sebelum menempuh jalan yang lebih ekstrem.
Rasulullah ﷺ sebagai penjelas Al-Qur'an juga memberikan banyak bimbingan terkait hak dan kewajiban suami istri, yang secara tidak langsung menjelaskan batasan-batasan nusyuz. Beberapa hadits yang relevan antara lain:
"Apabila seorang wanita shalat lima waktu, berpuasa sebulan (Ramadhan), menjaga kemaluannya, dan menaati suaminya, niscaya akan dikatakan kepadanya: 'Masuklah surga dari pintu mana saja yang engkau kehendaki.'" (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban)
Hadits ini menunjukkan betapa pentingnya ketaatan istri kepada suami dalam batas-batas yang ma'ruf sebagai jalan menuju surga. Ketaatan ini adalah lawan dari nusyuz.
"Jika seorang suami mengajak istrinya ke ranjang, lalu istri menolak sehingga suami tidur dalam keadaan marah, maka malaikat akan melaknat istri tersebut hingga pagi hari." (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini secara jelas menggambarkan salah satu bentuk nusyuz istri yang serius, yaitu penolakan terhadap ajakan suami tanpa alasan syar'i. Ini adalah hak suami yang wajib dipenuhi oleh istri.
"Hak-hak mereka (para istri) atas kalian (para suami) adalah memberi makan mereka dan memberi pakaian mereka dengan cara yang ma'ruf." (HR. Muslim)
Hadits ini menekankan kewajiban suami untuk menafkahi istri dengan baik, yang jika diabaikan dapat menjadi bentuk nusyuz suami.
"Sebaik-baik kalian adalah yang terbaik terhadap istrinya, dan aku adalah yang terbaik di antara kalian terhadap istri-istriku." (HR. Tirmidzi)
Hadits ini mendorong suami untuk berlaku baik dan adil kepada istri, yang mana kebalikannya (berlaku buruk atau tidak adil) bisa menjadi indikasi nusyuz suami.
Dari dalil-dalil Al-Qur'an dan Sunnah ini, jelaslah bahwa Islam memiliki panduan yang komprehensif dalam menghadapi dinamika rumah tangga, termasuk ketika terjadi nusyuz. Islam selalu mengedepankan keadilan, kesabaran, dan upaya perbaikan demi menjaga keberlangsungan ikatan suci pernikahan.
Nusyuz tidak selalu muncul dalam bentuk yang terang-terangan dan ekstrem. Seringkali ia dimulai dari perilaku-perilaku kecil yang jika dibiarkan akan menumpuk dan menjadi masalah besar. Penting bagi setiap pasangan untuk mengenali ciri-ciri dan bentuk-bentuk nusyuz agar dapat segera ditangani sebelum masalah semakin parah. Nusyuz dapat dilakukan oleh istri maupun suami, dengan manifestasi yang berbeda-beda.
Nusyuz istri umumnya berkaitan dengan ketidaktaatan terhadap suami dalam hal-hal yang ma'ruf (baik) dan tidak bertentangan dengan syariat. Beberapa bentuk nusyuz istri yang sering terjadi antara lain:
Ini adalah salah satu bentuk nusyuz yang paling sering disebut dalam dalil dan literatur fiqih. Hubungan intim adalah hak suami dan kewajiban istri, yang merupakan salah satu pilar keharmonisan rumah tangga. Penolakan tanpa alasan yang dibenarkan syariat (seperti haid, nifas, sakit, atau puasa wajib) dapat memicu kekecewaan dan keretakan. Keengganan ini bisa bersifat sesekali atau menjadi kebiasaan, yang sama-sama merusak hubungan emosional dan fisik pasangan. Alasan seperti "tidak mood" tanpa adanya masalah serius yang mendasari bisa menjadi tanda awal nusyuz.
Dalam Islam, istri wajib meminta izin suami sebelum keluar rumah, terutama jika kepergian tersebut tidak mendesak atau bukan untuk keperluan yang sangat vital. Ini bukan pembatasan kebebasan, melainkan bagian dari pengaturan rumah tangga dan menjaga kehormatan serta keselamatan istri. Jika istri sering keluar tanpa izin, atau bahkan menentang larangan suami untuk keluar, maka ini termasuk dalam kategori nusyuz. Pengecualian mungkin berlaku dalam keadaan darurat yang tidak memungkinkan meminta izin, atau jika suami memang memberikan kebebasan penuh dalam batas-batas tertentu.
Suami memiliki hak untuk ditaati oleh istrinya dalam hal-hal yang tidak bertentangan dengan syariat Allah. Nusyuz terjadi ketika istri secara sengaja dan terus-menerus menolak atau mengabaikan perintah suami yang bertujuan kebaikan rumah tangga atau merupakan hak suami. Misalnya, menolak untuk mengurus rumah tangga yang merupakan kewajibannya, atau tidak mendengarkan arahan suami terkait pendidikan anak, atau tidak menjaga harta suami. Pembangkangan ini bisa berupa penolakan lisan, tindakan acuh tak acuh, atau bahkan menentang secara frontal.
Istri memiliki tanggung jawab untuk menjaga kehormatan suaminya dan harta benda rumah tangga, terutama saat suami tidak ada. Nusyuz dalam hal ini bisa berupa:
Sikap acuh tak acuh, dingin, dan tidak menunjukkan rasa hormat kepada suami dapat mengikis fondasi cinta dan kasih sayang. Ini bisa terlihat dari:
Salah satu hak suami adalah melihat istrinya dalam keadaan yang menyenangkan dan menarik. Jika istri secara konsisten menolak untuk berhias atau merawat diri untuk suaminya, terutama di dalam rumah, dan hanya berhias ketika keluar rumah atau bertemu orang lain, ini bisa termasuk bentuk nusyuz. Tujuannya adalah untuk menjaga kemesraan dan ketertarikan satu sama lain, sehingga tidak mencari perhatian di luar.
Sebagaimana yang dijelaskan dalam Surah An-Nisa ayat 128, suami juga bisa melakukan nusyuz. Bentuk-bentuk nusyuz suami umumnya berkaitan dengan pengabaian hak-hak istri dan perlakuan yang tidak adil atau kasar. Di antaranya adalah:
Nafkah adalah kewajiban utama suami. Nusyuz suami terjadi ketika ia secara sengaja dan terus-menerus tidak memberikan nafkah lahir (makanan, pakaian, tempat tinggal, kesehatan) atau nafkah batin (hubungan intim yang ma'ruf, perhatian, kasih sayang) kepada istrinya, padahal ia mampu. Ini bisa juga termasuk menunda nafkah tanpa alasan yang kuat, atau memberikannya dengan berat hati dan disertai keluhan. Pengabaian nafkah batin, seperti tidak memberikan perhatian emosional atau kasih sayang, juga termasuk dalam kategori ini.
Kekerasan dalam rumah tangga, baik fisik maupun verbal, adalah bentuk nusyuz yang sangat serius.
Bagi suami yang berpoligami, kewajiban untuk berlaku adil terhadap istri-istrinya adalah mutlak, terutama dalam hal nafkah lahir dan gilir bermalam. Jika seorang suami secara sengaja cenderung kepada salah satu istri dan mengabaikan hak istri yang lain, ini adalah bentuk nusyuz yang besar. Keadilan dalam kasih sayang hati memang sulit dikontrol, tetapi keadilan dalam tindakan dan pembagian waktu adalah hal yang wajib.
Ini bisa berupa sikap acuh tak acuh yang ekstrem, membiarkan istri hidup tanpa perhatian atau komunikasi yang layak, atau bahkan meninggalkan rumah tangga dalam jangka waktu lama tanpa kabar dan alasan syar'i. Sikap ini membuat istri merasa tidak dihargai, tidak dicintai, dan kesepian, padahal hak istri adalah mendapatkan perhatian dan pendampingan dari suaminya.
Di samping nafkah, istri juga memiliki hak-hak lain seperti hak untuk dijaga kehormatannya, mendapatkan perlindungan, dididik dalam agama, dan diperlakukan dengan baik. Jika suami mengabaikan hak-hak ini, misalnya tidak peduli terhadap pendidikan agama istrinya, atau tidak melindunginya dari bahaya, atau justru menjadi sumber bahaya itu sendiri, maka ini juga termasuk bentuk nusyuz. Sikap suami yang menyakiti hati istri secara terus-menerus tanpa alasan yang dibenarkan juga merupakan pengabaian hak istri untuk mendapatkan perlakuan yang baik.
Mengenali ciri-ciri nusyuz ini adalah langkah pertama untuk mengatasi masalah. Baik suami maupun istri harus introspeksi diri dan berusaha untuk menghindari perilaku-perilaku yang mengarah pada nusyuz, serta berusaha memahami dan memenuhi hak dan kewajiban masing-masing.
Nusyuz tidak terjadi begitu saja. Ada banyak faktor yang bisa menjadi penyebab munculnya perilaku nusyuz, baik dari pihak suami maupun istri. Memahami akar masalahnya sangat penting untuk menemukan solusi yang tepat.
Ini adalah akar masalah yang paling mendasar. Banyak pasangan yang menikah tanpa bekal ilmu agama yang cukup mengenai hak dan kewajiban dalam rumah tangga, tujuan pernikahan dalam Islam, serta etika berinteraksi dengan pasangan. Akibatnya, mereka cenderung egois, tidak memahami peran masing-masing, dan tidak memiliki landasan kuat untuk menghadapi ujian pernikahan. Ketidaktahuan akan hukum-hukum Allah mengenai pernikahan seringkali menjadi pemicu utama sikap pembangkangan atau pengabaian.
Komunikasi adalah jembatan penghubung dalam setiap hubungan, termasuk pernikahan. Ketika komunikasi antar suami istri buruk—misalnya jarang berbicara, tidak terbuka, sering salah paham, enggan mendengarkan, atau selalu menuntut—maka masalah-masalah kecil bisa menumpuk dan menjadi besar. Kurangnya komunikasi yang efektif dapat menyebabkan salah satu pihak merasa tidak didengar, tidak dihargai, atau bahkan tidak dicintai, yang pada akhirnya dapat memicu sikap nusyuz.
Tekanan finansial seringkali menjadi pemicu stres dan ketegangan dalam rumah tangga. Jika suami kesulitan dalam menafkahi atau istri merasa kebutuhan hidupnya tidak terpenuhi, ini bisa menimbulkan kekecewaan dan frustrasi yang berujung pada nusyuz. Sikap suami yang tidak bertanggung jawab dalam mencari nafkah, atau istri yang terlalu menuntut di luar kemampuan suami, keduanya bisa menjadi pemicu masalah ini. Beban hidup yang berat juga dapat membuat seseorang menjadi mudah marah, sensitif, dan mengabaikan kewajiban.
Intervensi berlebihan dari pihak luar, seperti orang tua, mertua, saudara, atau teman, dapat memperkeruh suasana rumah tangga. Nasihat yang tidak tepat, provokasi, atau perbandingan yang tidak adil bisa mempengaruhi salah satu pasangan untuk bersikap nusyuz. Batasan yang jelas antara urusan rumah tangga dan campur tangan pihak luar sangat diperlukan untuk menjaga keutuhan rumah tangga.
Setiap individu memiliki karakter dan kepribadian yang unik. Perbedaan ini bisa menjadi pelengkap, namun jika tidak disikapi dengan bijak, bisa menjadi pemicu konflik. Misalnya, suami yang terlalu dominan dengan istri yang sama-sama keras kepala, atau istri yang sangat emosional dengan suami yang cuek. Ketidakmampuan untuk saling memahami, menerima, dan menyesuaikan diri dengan perbedaan ini dapat menyebabkan salah satu pihak merasa tidak nyaman atau tidak cocok, yang bisa berujung pada nusyuz.
Beberapa pasangan mungkin memiliki ekspektasi yang terlalu tinggi terhadap pasangannya atau terhadap kehidupan pernikahan secara umum, seringkali dipengaruhi oleh media massa atau cerita romantis yang tidak realistis. Ketika kenyataan tidak sesuai dengan ekspektasi, muncul kekecewaan dan rasa tidak puas. Hal ini bisa membuat salah satu pihak merasa bahwa pasangannya "tidak seperti yang diharapkan," sehingga enggan untuk memenuhi hak dan kewajibannya.
Sifat dasar manusia yang cenderung kikir dan kurang bersyukur, sebagaimana disebut dalam Al-Qur'an (Surah An-Nisa: 128), dapat menjadi penyebab nusyuz. Ketika seseorang selalu melihat kekurangan pasangannya dan melupakan kebaikan-kebaikannya, atau selalu menuntut haknya tanpa memikirkan kewajibannya, maka egoisme akan mengambil alih. Rasa syukur yang hilang akan mematikan mawaddah wa rahmah, digantikan oleh keluh kesah dan rasa tidak puas.
Lingkungan pergaulan yang buruk atau paparan berlebihan terhadap media sosial dengan konten yang tidak sehat dapat mempengaruhi pandangan seseorang tentang pernikahan dan pasangannya. Informasi yang salah, perbandingan hidup dengan orang lain yang hanya terlihat indah di permukaan, atau godaan dari pihak ketiga (perselingkuhan) yang difasilitasi oleh media sosial, dapat melemahkan komitmen pernikahan dan mendorong perilaku nusyuz.
Masalah kesehatan, terutama kesehatan mental seperti depresi, kecemasan, atau gangguan kepribadian, dapat sangat mempengaruhi perilaku seseorang dalam rumah tangga. Seseorang yang mengalami masalah kesehatan ini mungkin menjadi sulit berkomunikasi, menarik diri, mudah marah, atau tidak mampu menjalankan kewajibannya dengan baik. Begitu pula masalah kesehatan fisik kronis yang dapat mempengaruhi kemampuan pasangan untuk memenuhi hak dan kewajiban.
Jika keintiman emosional dan fisik antara suami istri mulai memudar, dan kasih sayang tidak lagi diekspresikan secara teratur, maka hubungan bisa menjadi kering. Salah satu pihak mungkin merasa tidak dicintai atau tidak diinginkan, yang dapat memicu penarikan diri atau pembangkangan sebagai bentuk pertahanan diri atau protes. Keintiman dan kasih sayang adalah pupuk bagi rumah tangga, tanpanya, hubungan bisa layu.
Mengidentifikasi penyebab nusyuz adalah langkah penting untuk dapat memberikan solusi yang tepat dan menyelamatkan rumah tangga dari jurang perpisahan.
Sebagaimana yang telah disebutkan dalam Surah An-Nisa ayat 34, Islam memberikan panduan yang sistematis dan bertahap dalam menangani nusyuz istri. Tahapan ini harus diikuti secara berurutan, tidak boleh melangkahi, dan setiap tahapan memiliki hikmah serta batasannya sendiri. Tujuan utamanya adalah untuk memperbaiki hubungan, bukan untuk menghukum semata.
Ini adalah langkah pertama dan paling fundamental dalam menangani nusyuz istri. Sebelum mengambil tindakan lain, suami wajib memberikan nasihat kepada istrinya dengan cara yang baik, lembut, dan penuh hikmah. Nasihat ini harus disampaikan dengan cinta dan kepedulian, bukan dengan kemarahan atau tuduhan.
Jika nasihat ini berhasil dan istri kembali taat, maka suami tidak boleh melanjutkan ke tahapan berikutnya dan harus memperlakukannya kembali dengan baik, melupakan perselisihan yang telah terjadi. Memperpanjang masalah atau mencari-cari kesalahan istri setelah ia bertaubat adalah tindakan yang tidak dianjurkan.
Jika nasihat tidak berhasil dan istri masih menunjukkan tanda-tanda nusyuz, maka langkah kedua adalah memisahkan tempat tidur. Tahap ini adalah bentuk teguran yang lebih keras, namun masih dalam koridor pendidikan dan perbaikan, bukan hukuman yang merusak.
Penting untuk diingat bahwa selama tahap ini, suami masih bertanggung jawab atas nafkah istri dan tidak boleh menyebarkan masalah rumah tangga ke pihak lain tanpa alasan syar'i.
Ini adalah tahapan terakhir dan paling ekstrem yang disebutkan dalam ayat 34 Surah An-Nisa. Tahap ini hanya boleh dilakukan jika dua tahapan sebelumnya (nasihat dan pemisahan tempat tidur) sama sekali tidak memberikan hasil, dan istri masih terus-menerus dalam nusyuz-nya.
Batasan dan Interpretasi Pukulan:
Pukulan yang dimaksud di sini bukanlah pukulan yang menyakitkan atau melukai. Ini adalah poin yang sangat penting dan sering disalahpahami. Islam sama sekali tidak membenarkan kekerasan dalam rumah tangga yang bertujuan menyakiti, melukai, atau merendahkan martabat. Para ulama memberikan batasan yang sangat ketat mengenai jenis pukulan ini:
Peringatan Penting: Konsep pukulan ini sangat rentan disalahgunakan dan seringkali menjadi dalih untuk kekerasan dalam rumah tangga. Oleh karena itu, penekanan pada batasannya yang sangat ketat dan tujuannya yang murni mendidik adalah krusial. Jika suami tidak yakin bisa menahan diri dan justru berpotensi menyakiti istri, maka ia wajib menahan diri dari tahapan ini. Dalam banyak kasus, melibatkan pihak ketiga (hakam) menjadi solusi yang lebih baik daripada melanjutkan ke tahapan pukulan ini.
Jika setelah ketiga tahapan ini istri masih belum bertaubat dan nusyuz terus berlanjut, maka masalahnya sudah sangat serius dan membutuhkan intervensi yang lebih jauh, yaitu melibatkan hakam (mediator dari keluarga).
Meskipun Surah An-Nisa ayat 34 lebih sering diinterpretasikan dalam konteks nusyuz istri, Al-Qur'an secara adil juga mengakui kemungkinan terjadinya nusyuz dari pihak suami, sebagaimana disebutkan dalam Surah An-Nisa ayat 128. Penanganan nusyuz suami memiliki pendekatan yang berbeda, karena kepemimpinan rumah tangga berada di tangan suami.
"Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir." (QS. An-Nisa: 128)
Dari ayat ini, terlihat bahwa ketika suami yang berbuat nusyuz, inisiatif untuk mencari solusi lebih banyak diharapkan datang dari pihak istri atau melalui proses perdamaian.
Langkah pertama yang harus dilakukan istri adalah menasihati suami dengan cara yang baik, lembut, dan penuh hormat. Istri harus menyampaikan keluhan atau kekhawatirannya secara jujur namun tetap menjaga adab. Komunikasi yang terbuka dan empatik menjadi kunci di sini. Istri bisa mengingatkan suami akan hak-haknya, kewajiban suami sebagai pemimpin rumah tangga, dan janji pernikahan yang telah diucapkan. Penting bagi istri untuk menyampaikan perasaannya tanpa menuduh atau merendahkan, melainkan dengan harapan agar suami kembali pada jalannya.
Jika nasihat pribadi tidak berhasil, istri dapat berinisiatif untuk mencari kesepakatan damai. Ini bisa berarti istri bersedia mengorbankan sebagian haknya demi menjaga keutuhan rumah tangga, asalkan suami kembali memenuhi kewajibannya yang pokok. Contohnya, istri mungkin bersedia mengurangi tuntutan nafkah jika kondisi suami sedang sulit, asalkan suami tidak menelantarkan dan tetap memberikan perhatian dan kasih sayang. Ayat 128 secara jelas menyatakan bahwa "perdamaian itu lebih baik" (ash-shulhu khair), menunjukkan pentingnya menjaga pernikahan semaksimal mungkin.
Jika kedua langkah di atas tidak membuahkan hasil, dan nusyuz suami terus berlanjut hingga mengancam keutuhan rumah tangga, maka istri dapat meminta bantuan dari pihak ketiga yang bijaksana dan amanah. Pihak ketiga ini idealnya adalah dua orang hakam (juru damai), satu dari keluarga suami dan satu dari keluarga istri, sebagaimana disebutkan dalam Surah An-Nisa ayat 35:
"Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam (juru damai) dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada keduanya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal."
Peran hakam adalah untuk mencari tahu akar permasalahan, menasihati kedua belah pihak, dan mengupayakan perdamaian. Mereka harus bertindak adil dan tidak memihak, dengan tujuan utama memperbaiki hubungan suami istri. Keputusan hakam yang disepakati bersama oleh suami dan istri memiliki kekuatan hukum. Jika pun tidak disepakati, setidaknya mereka dapat memberikan rekomendasi. Apabila mediasi hakam tidak berhasil, dan nusyuz suami menyebabkan bahaya yang tidak tertahankan bagi istri, maka istri memiliki hak untuk mengajukan gugatan cerai (khulu') ke pengadilan agama.
Jika semua upaya perdamaian gagal dan istri tidak lagi dapat hidup bersama suaminya karena nusyuz yang dilakukan suami (misalnya pengabaian nafkah total, kekerasan, penelantaran yang parah), maka istri memiliki hak untuk mengajukan khulu'. Khulu' adalah permintaan cerai dari istri dengan mengembalikan mahar atau sejumlah harta kepada suami sebagai tebusan. Ini adalah jalan terakhir yang bisa ditempuh istri untuk melepaskan diri dari ikatan pernikahan yang sudah tidak lagi mendatangkan maslahat dan justru menimbulkan mudarat.
Penting untuk dicatat bahwa dalam Islam, hak-hak istri harus dilindungi. Jika suami berbuat nusyuz, istri tidak boleh hanya berdiam diri dan menderita. Islam memberikan jalan keluar dan solusi yang adil untuk melindungi kaum wanita dari kezaliman.
Baik dalam kasus nusyuz istri maupun suami, prinsip-prinsip Islam selalu mengedepankan perdamaian, keadilan, dan keseimbangan. Tujuannya adalah untuk menyelamatkan pernikahan sebisa mungkin, tetapi juga memberikan jalan keluar yang bermartabat jika perpisahan menjadi pilihan terakhir yang tak terhindarkan.
Nusyuz bukanlah masalah sepele. Dampaknya sangat luas dan mendalam, tidak hanya merusak hubungan suami istri, tetapi juga mempengaruhi seluruh anggota keluarga, terutama anak-anak, serta kesehatan mental dan spiritual individu yang terlibat.
Nusyuz secara langsung menyerang fondasi pernikahan yang sakral. Ketika salah satu pihak melakukan pembangkangan atau pengabaian, kepercayaan akan terkikis, rasa hormat memudar, dan kasih sayang (mawaddah) serta rahmat (rahmah) yang menjadi inti pernikahan akan hilang. Hubungan yang seharusnya menjadi sumber ketenangan dan kebahagiaan berubah menjadi sumber ketegangan, konflik, dan penderitaan. Pasangan akan merasa seperti orang asing yang tinggal serumah, bahkan saling membenci, yang pada akhirnya dapat berujung pada perceraian.
Anak-anak adalah korban utama dari nusyuz orang tua. Lingkungan rumah tangga yang penuh konflik, ketegangan, dan kurangnya kasih sayang dari orang tua akan meninggalkan luka psikologis yang mendalam pada mereka.
Konflik rumah tangga yang berkepanjangan akibat nusyuz dapat menyebabkan stres kronis pada suami dan istri. Stres ini bisa memicu berbagai masalah kesehatan mental seperti:
Pernikahan yang dibangun atas dasar ketaatan kepada Allah akan mendapatkan keberkahan. Namun, nusyuz adalah bentuk pembangkangan terhadap perintah Allah dan Rasul-Nya. Ini dapat mencabut keberkahan dari rumah tangga dan menyebabkan hilangnya keridhaan Allah. Kehidupan menjadi terasa sempit, sulit, dan tidak tenang, karena jauh dari petunjuk-Nya.
Melakukan nusyuz, baik oleh suami maupun istri, adalah dosa di sisi Allah. Setiap individu akan dimintai pertanggungjawaban atas hak-hak yang tidak dipenuhi dan kewajiban yang diabaikan. Ini adalah peringatan serius bahwa pernikahan bukan sekadar ikatan duniawi, tetapi juga memiliki dimensi akhirat.
Perceraian yang timbul dari nusyuz tidak hanya memisahkan suami dan istri, tetapi juga dapat memecah belah keluarga besar kedua belah pihak. Konflik dapat meluas ke orang tua, saudara, dan kerabat, menciptakan ketegangan dan permusuhan. Dalam skala yang lebih luas, tingginya angka perceraian akibat nusyuz juga dapat mempengaruhi stabilitas sosial dalam masyarakat.
Nusyuz yang tidak ditangani dengan baik, terutama yang melibatkan kekerasan fisik atau verbal, dapat menciptakan lingkaran kekerasan dan kebencian. Korban nusyuz bisa menjadi pelaku nusyuz di kemudian hari, atau membawa dendam dan kepahitan yang mempengaruhi hubungan mereka di masa depan.
Mengingat dampak-dampak serius ini, penting bagi setiap pasangan Muslim untuk menghindari nusyuz dan segera mencari solusi jika tanda-tandanya mulai muncul. Menjaga keutuhan rumah tangga adalah upaya mulia yang sangat dianjurkan dalam Islam, karena keluarga adalah unit terkecil yang membentuk masyarakat yang kuat dan beradab.
Mencegah selalu lebih baik daripada mengobati. Untuk menghindari terjadinya nusyuz dan menjaga keharmonisan rumah tangga, diperlukan upaya preventif dan proaktif dari kedua belah pihak. Jika nusyuz sudah terjadi, solusi jangka panjang harus diarahkan pada perbaikan mendasar.
Pendidikan agama yang mumpuni sebelum dan selama pernikahan adalah kunci.
Komunikasi adalah oksigen dalam rumah tangga.
Pernikahan adalah tentang dua jiwa yang menyatu, yang membutuhkan toleransi dan pengertian.
Fondasi keadilan dalam rumah tangga adalah setiap pihak menunaikan hak dan kewajibannya.
Rasa hormat adalah pilar penting dalam hubungan.
Jangan ragu mencari bantuan profesional atau penasihat agama jika masalah mulai membesar.
Secara berkala, suami dan istri perlu duduk bersama dan memperbarui niat pernikahan mereka, mengingat kembali bahwa pernikahan adalah ibadah dan sarana untuk meraih ridha Allah. Fokus pada tujuan akhirat dan keberkahan akan membantu menempatkan masalah duniawi dalam perspektif yang benar.
Hubungan yang sehat membutuhkan keintiman yang terus dipupuk.
Filter informasi dan lingkungan pergaulan.
Jangan pernah meremehkan kekuatan doa. Mohonlah kepada Allah agar diberikan ketenangan, kekuatan, kesabaran, dan petunjuk dalam menjalani bahtera rumah tangga. Doakan kebaikan untuk pasangan dan agar terhindar dari segala bentuk konflik yang merusak.
Dengan menerapkan langkah-langkah pencegahan dan solusi ini secara konsisten, insya Allah rumah tangga akan terhindar dari nusyuz dan dapat mencapai tujuan sakinah, mawaddah, wa rahmah yang diridhai Allah.
Nusyuz adalah isu serius dalam rumah tangga Muslim yang dapat dilakukan oleh istri maupun suami, dan memiliki konsekuensi yang merusak ikatan pernikahan, kejiwaan individu, serta perkembangan anak-anak. Dalam Islam, pernikahan adalah mitsaqan ghalizhan, sebuah perjanjian agung yang dibangun atas dasar mawaddah (cinta) dan rahmah (kasih sayang), dengan tujuan mencapai sakinah (ketenangan jiwa).
Al-Qur'an dan Sunnah telah memberikan panduan yang jelas dan seimbang dalam menghadapi nusyuz. Untuk istri, penanganannya meliputi tahapan nasihat, pemisahan tempat tidur, hingga pukulan simbolis yang mendidik (dengan batasan sangat ketat dan seringkali dihindari). Sementara untuk suami, penanganannya berfokus pada nasihat dari istri, upaya perdamaian, mediasi oleh hakam dari kedua keluarga, hingga hak istri untuk mengajukan khulu' jika kondisi sudah tidak memungkinkan.
Penting untuk memahami bahwa setiap tahapan ini harus dilalui dengan hikmah, kesabaran, dan niat tulus untuk memperbaiki hubungan, bukan untuk menghukum atau memperkeruh suasana. Kekerasan dalam bentuk apapun yang menyakiti atau merendahkan martabat pasangan sangat ditentang dalam Islam. Islam selalu mengedepankan perdamaian (ash-shulhu khair) sebagai solusi terbaik.
Pencegahan adalah kunci utama. Membangun fondasi agama yang kuat, membiasakan komunikasi yang efektif dan terbuka, saling memahami dan memaafkan, serta memenuhi hak dan kewajiban masing-masing, adalah langkah-langkah esensial untuk menjaga rumah tangga dari bahaya nusyuz. Ketika masalah muncul, kesediaan untuk berkonsultasi dengan penasihat agama atau melibatkan mediator adalah tanda kebijaksanaan dan keinginan untuk menyelamatkan pernikahan.
Pada akhirnya, keharmonisan rumah tangga adalah tanggung jawab bersama. Suami dan istri harus senantiasa berusaha menjadi pasangan terbaik bagi satu sama lain, berpegang teguh pada ajaran Islam, dan memohon pertolongan Allah SWT dalam setiap langkah. Dengan demikian, diharapkan setiap rumah tangga Muslim dapat menjadi tempat yang damai, penuh cinta, dan menjadi jembatan menuju kebahagiaan dunia dan akhirat.