Gelar Negus adalah salah satu terminologi kerajaan yang paling sarat makna dan historis di benua Afrika. Berakar dalam sejarah Ethiopia yang kaya dan panjang, gelar ini tidak hanya melambangkan kekuasaan politik, tetapi juga kekuasaan spiritual, keilahian, dan kontinuitas sebuah peradaban yang unik. Selama berabad-abad, Negus menjadi sinonim dengan monarki Ethiopia, sebuah garis keturunan yang diklaim berasal dari Raja Salomo dan Ratu Syeba, memberikan legitimasi yang tak tertandingi kepada para penguasanya.
Artikel ini akan mengupas tuntas segala aspek mengenai gelar Negus, mulai dari asal-usul linguistiknya, evolusi historisnya, perannya dalam struktur politik dan keagamaan Ethiopia, hingga warisan abadi yang tetap relevan hingga hari ini. Kita akan menjelajahi bagaimana gelar ini membedakan antara penguasa regional dan kaisar agung, serta bagaimana ia membentuk identitas nasional dan budaya sebuah negara yang berhasil mempertahankan kemerdekaannya dari kolonialisme Eropa.
Kata Negus (Ge'ez: ንጉሥ, nəgueś) adalah istilah yang sangat kuno dalam bahasa Ge'ez, bahasa Semit kuno yang menjadi bahasa liturgi Gereja Ortodoks Tewahedo Ethiopia dan juga merupakan bahasa kerajaan historis Ethiopia. Secara harfiah, "Negus" berarti "raja" atau "penguasa". Akar kata Ge'ez N-G-S memiliki konotasi pemerintahan dan kekuasaan kerajaan, yang dapat ditemukan dalam berbagai bentuk kata kerja dan kata benda yang berkaitan dengan kepemimpinan dan pemerintahan.
Penggunaan istilah ini telah tercatat sejak masa Kerajaan Aksum (sekitar abad ke-1 hingga abad ke-9 Masehi), salah satu peradaban kuno paling kuat di Tanduk Afrika. Prasasti-prasasti Aksumite, yang sering kali ditulis dalam Ge'ez, Yunani, dan Sabaean, secara konsisten menggunakan istilah ini untuk merujuk pada penguasa mereka. Ini menunjukkan bahwa konsep monarki dan penggunaan gelar "Negus" sudah mengakar kuat dalam budaya dan struktur politik Ethiopia sejak ribuan tahun lalu.
Yang menarik, "Negus" bukanlah sekadar gelar seremonial; ia mengandung beban historis dan spiritual yang mendalam. Dalam tradisi Ethiopia, seorang Negus tidak hanya memimpin rakyatnya secara politik dan militer, tetapi juga memiliki peran sebagai pelindung Gereja dan penjaga tatanan ilahi. Konsep ini diperkuat oleh narasi epik seperti Kebra Negast (Kemuliaan Raja-Raja), sebuah teks suci Ethiopia yang menguraikan silsilah raja-raja Ethiopia sebagai keturunan langsung dari Raja Salomo dari Israel dan Ratu Syeba.
Penting untuk memahami bahwa dalam hierarki kerajaan Ethiopia, ada perbedaan signifikan antara Negus dan Negusa Nagast (Ge'ez: ንጉሠ ነገሥት, nəgusä nägäst). Sementara "Negus" berarti "raja," "Negusa Nagast" secara harabiah berarti "Raja Segala Raja" atau "Kaisar". Ini adalah gelar yang lebih tinggi, yang secara eksklusif digunakan oleh Kaisar Ethiopia yang berdaulat, yang menguasai seluruh kekaisaran.
Sistem ini mencerminkan struktur kekaisaran yang bersifat federal dan terdesentralisasi di mana kekuasaan utama berada di tangan Kaisar, tetapi kekuasaan lokal dijalankan oleh raja-raja bawahan. Selama periode sejarah Ethiopia, hubungan antara Negusa Nagast dan para Negus regional sering kali menjadi sumber konflik dan perebutan kekuasaan, terutama ketika para Negus regional menjadi terlalu kuat dan berusaha menantang otoritas pusat.
Sejarah penggunaan gelar Negus dimulai jauh sebelum era modern Ethiopia. Akar paling dalam dari monarki Ethiopia dapat ditelusuri kembali ke Kerajaan Aksum, sebuah kekuatan maritim dan perdagangan yang berkembang pesat dari abad ke-1 hingga abad ke-9 Masehi di wilayah yang sekarang menjadi Ethiopia utara dan Eritrea. Para penguasa Aksumite, seperti Ezana dan Kaleb, dikenal sebagai "Negus" dalam prasasti-prasasti mereka, seringkali dengan tambahan atribut yang menunjukkan kekuasaan ilahi atau kesalehan.
Ezana, yang memerintah pada abad ke-4 Masehi, adalah salah satu Negus Aksumite yang paling terkenal. Ia adalah penguasa yang mengubah Aksum menjadi kerajaan Kristen, sebuah peristiwa monumental yang secara fundamental membentuk identitas Ethiopia. Dalam prasastinya, ia menyebut dirinya sebagai "Negus dari Aksum, Himyar, Raydan, Saba, Salhen, Tsiyamo, Beja, dan Kasu," menunjukkan cakupan luas kekuasaannya yang melintasi Laut Merah ke semenanjung Arab. Hal ini menunjukkan bahwa gelar Negus sudah digunakan untuk penguasa sebuah kekaisaran yang luas.
Pada masa Aksumite, gelar Negus seringkali dikaitkan dengan kekuatan militer dan kemampuan untuk menaklukkan musuh. Penguasa seperti Kaleb (abad ke-6 Masehi) juga dikenal sebagai Negus yang berhasil mengalahkan Kerajaan Himyarite di Yaman dan melindungi umat Kristen di sana. Penggunaan gelar ini pada masa Aksum memberikan dasar bagi klaim legitimasi dan kontinuitas dinasti Ethiopia di masa-masa selanjutnya.
Setelah kemunduran Aksum, muncul Dinasti Zagwe yang memerintah Ethiopia dari sekitar tahun 1137 hingga 1270 Masehi. Dinasti ini, meskipun tidak berasal dari garis keturunan Solomonic yang kemudian diklaim oleh dinasti berikutnya, tetap menggunakan gelar Negus untuk para penguasanya. Salah satu raja Zagwe yang paling terkenal adalah Gebre Meskel Lalibela, yang memerintah pada akhir abad ke-12 dan awal abad ke-13. Lalibela dikenal karena pembangunan gereja-gereja monolitik yang diukir dari batu di Lalibela, sebuah situs warisan dunia UNESCO.
Dinasti Zagwe menunjukkan kontinuitas dalam penggunaan gelar Negus, menegaskan bahwa istilah tersebut telah menjadi bagian integral dari sistem monarki Ethiopia terlepas dari perubahan dinasti. Meskipun kemudian digulingkan oleh Dinasti Solomonic yang mengklaim restorasi garis keturunan Salomo, kontribusi Zagwe terhadap tradisi kerajaan dan keagamaan Ethiopia tidak dapat diabaikan. Para Negus Zagwe tetap dianggap sebagai penguasa yang sah pada zamannya, menunjukkan fleksibilitas dan adaptasi gelar dalam konteks sejarah Ethiopia yang bergejolak.
Titik balik penting dalam sejarah gelar Negus terjadi dengan restorasi Dinasti Solomonic pada tahun 1270 Masehi. Yekuno Amlak, pendiri dinasti ini, mengklaim sebagai keturunan langsung dari Raja Salomo dan Ratu Syeba melalui putra mereka, Menelik I. Klaim ini diformalkan dan dilegitimasi oleh teks Kebra Negast, yang menegaskan bahwa Ark of the Covenant (Tabut Perjanjian) dibawa dari Yerusalem ke Ethiopia oleh Menelik I, dan bahwa garis keturunan Solomonic adalah satu-satunya yang berhak memerintah Ethiopia.
Dengan restorasi Solomonic, gelar "Negusa Nagast" menjadi semakin penting dan secara eksklusif digunakan oleh penguasa tertinggi. Para penguasa Solomonic, seperti Amda Seyon I (abad ke-14), Zara Yaqob (abad ke-15), dan Lebna Dengel (abad ke-16), memerintah kekaisaran yang luas dan secara aktif memperkuat klaim mereka sebagai "Raja Segala Raja." Mereka menghadapi berbagai tantangan, termasuk invasi dari Kesultanan Adal dan ancaman dari Oromo, tetapi gelar Negusa Nagast selalu menjadi simbol persatuan dan legitimasi kekuasaan mereka.
Pada periode ini, sistem Negus bawahan juga mulai terbentuk lebih jelas. Raja-raja regional di provinsi-provinsi seperti Gojjam, Wollo, Tigray, dan Shewa diizinkan untuk menggunakan gelar Negus, tetapi mereka diwajibkan untuk tunduk kepada Negusa Nagast di Gondar atau ibu kota lainnya. Hubungan ini seringkali diperkuat melalui perkawinan politik dan penunjukan gubernur oleh kaisar, meskipun pemberontakan lokal dan perebutan kekuasaan antar-Negus sering terjadi.
Sistem pemerintahan Ethiopia, terutama dari periode Solomonic hingga abad ke-20, dapat digambarkan sebagai monarki feodal yang sangat kompleks. Di puncak piramida kekuasaan adalah Negusa Nagast, Kaisar Ethiopia, yang secara teori memiliki kekuasaan mutlak. Namun, di bawah kaisar, ada lapisan penguasa regional, yang sebagian besar menyandang gelar Negus.
Setiap Negus regional memerintah sebuah kerajaan semi-otonom atau provinsi besar. Mereka memiliki istana sendiri, angkatan bersenjata lokal, dan birokrasi mereka sendiri. Tugas utama mereka adalah mengumpulkan pajak, menegakkan hukum adat dan kekaisaran, serta menyediakan pasukan dan sumber daya kepada Kaisar saat dibutuhkan, terutama saat perang. Beberapa provinsi yang paling berpengaruh yang seringkali memiliki Negus sendiri adalah:
Peran Negus di provinsi-provinsi ini bervariasi tergantung pada kekuatan penguasa pusat. Ketika Negusa Nagast kuat, para Negus regional cenderung lebih patuh. Namun, selama periode kelemahan kekaisaran, seperti era Zemene Mesafint (Abad Para Pangeran) dari pertengahan abad ke-18 hingga pertengahan abad ke-19, kekuasaan Negus regional tumbuh secara eksponensial, dan mereka seringkali berperang satu sama lain atau menantang otoritas Kaisar yang lemah.
Periode Zemene Mesafint (sekitar 1769–1855) adalah salah satu periode paling bergejolak dalam sejarah Ethiopia. Selama masa ini, kekuasaan Negusa Nagast yang duduk di ibu kota Gondar menjadi sangat lemah, seringkali tidak lebih dari boneka di tangan para bangsawan regional yang kuat. Gelar Negusa Nagast masih ada, tetapi kekuasaan yang sebenarnya dipegang oleh para Negus regional, yang lebih tepat disebut sebagai "ras" atau "panglima perang" dari provinsi-provinsi seperti Tigray, Gojjam, dan terutama Wollo, yang seringkali menjadi penentu nasib kekaisaran.
Di masa ini, gelar Negus tidak selalu diberikan secara resmi oleh seorang Kaisar, tetapi lebih sering diakui secara de facto oleh kekuatan militer dan politik seorang penguasa regional. Mereka adalah penguasa absolut di wilayah mereka, seringkali mengendalikan pasukan besar dan mengumpulkan pajak. Periode ini ditandai oleh perang sipil yang hampir konstan, perebutan kekuasaan, dan fragmentasi kekaisaran.
Namun, Zemene Mesafint juga menjadi arena di mana para Negus regional yang ambisius berusaha untuk naik tahta sebagai Negusa Nagast dan menyatukan kembali Ethiopia. Dari kekacauan ini, muncullah Kassa Hailu dari Qwara, yang kemudian dikenal sebagai Kaisar Tewodros II. Ia adalah seorang Negus regional yang berhasil mengalahkan Negus-negus lainnya dan pada tahun 1855, ia dinobatkan sebagai Negusa Nagast, mengakhiri Zemene Mesafint dan memulai era modernisasi dan sentralisasi.
Kisah Kaisar Tewodros II adalah salah satu yang paling dramatis dalam sejarah Ethiopia. Lahir sebagai Kassa Hailu, ia tidak berasal dari garis keturunan Solomonic langsung yang diakui secara luas, tetapi ia adalah seorang pemimpin militer brilian yang bangkit dari status bangsawan lokal di Qwara. Dengan serangkaian kampanye militer yang cemerlang, ia berhasil menaklukkan berbagai Negus regional yang telah mendominasi Zemene Mesafint.
Ketika ia dinobatkan sebagai Negusa Nagast pada tahun 1855, ia mengambil nama tahta Tewodros II, sebuah nama yang menggemakan legenda "Kaisar Theodore" yang diyakini akan datang untuk membawa kembali era keemasan Ethiopia. Tewodros memiliki visi untuk menyatukan dan memodernisasi Ethiopia, mengakhiri feodalisme, membangun tentara modern, dan mengalahkan musuh-musuh eksternal. Ia berupaya mengonsolidasikan kekuasaan pusat, dan dalam prosesnya, ia sering bentrok dengan para Negus regional yang menolak tunduk pada otoritasnya.
Meskipun visinya progresif, metode Tewodros seringkali brutal. Ia menghadapi pemberontakan yang terus-menerus dan pada akhirnya berkonflik dengan Inggris. Ekspedisi hukuman Inggris pada tahun 1868 berujung pada Pertempuran Maqdala, di mana Tewodros memilih untuk bunuh diri daripada ditangkap. Meskipun pemerintahannya berakhir tragis, ia meletakkan dasar bagi unifikasi Ethiopia dan mengakhiri era di mana para Negus regional dapat beroperasi tanpa pengawasan dari Negusa Nagast.
Setelah kematian Tewodros, Ethiopia kembali mengalami periode kekacauan singkat, dengan beberapa Negus regional bersaing untuk tahta. Dari persaingan ini, muncul Kaisar Yohannes IV (memerintah 1872–1889). Lahir sebagai Kassa Mercha, ia adalah Negus dari Tigray, salah satu provinsi paling kuat dan penting. Ia berhasil mengalahkan lawan-lawannya dan dinobatkan sebagai Negusa Nagast.
Yohannes adalah seorang Negusa Nagast yang sangat saleh dan seorang pemimpin militer yang cakap. Ia dikenal karena perannya dalam mempertahankan kedaulatan Ethiopia dari invasi asing, terutama dari Mesir dan Italia. Ia berhasil mengalahkan Mesir dalam Pertempuran Gundet (1875) dan Gura (1876), serta menghadapi ancaman dari Mahdist Sudan di perbatasan barat.
Di bawah pemerintahannya, beberapa penguasa regional terkemuka, seperti Menelik dari Shewa dan Tekle Haimanot dari Gojjam, diberikan gelar Negus oleh Yohannes. Ini adalah contoh klasik dari sistem hirarkis di mana Negusa Nagast mengakui Negus bawahan, tetapi mengharapkan kesetiaan dan dukungan militer dari mereka. Yohannes IV meninggal dalam pertempuran melawan Mahdist Sudan di Gallabat (Matemma) pada tahun 1889, menjadi salah satu dari sedikit kaisar Ethiopia yang gugur di medan perang.
Penguasa Ethiopia berikutnya, dan mungkin yang paling penting dalam konteks modernisasi, adalah Kaisar Menelik II (memerintah 1889–1913). Menelik adalah Negus dari Shewa, sebuah provinsi yang secara historis memiliki klaim kuat atas garis keturunan Solomonic. Ia telah menjadi saingan Yohannes IV selama bertahun-tahun, tetapi setelah kematian Yohannes, ia berhasil naik tahta sebagai Negusa Nagast.
Menelik II adalah seorang visioner yang membawa Ethiopia ke era modern. Di bawah kepemimpinannya, Ethiopia mengalami perluasan wilayah yang signifikan, menggandakan ukurannya dan memasukkan berbagai kelompok etnis dan budaya. Namun, pencapaiannya yang paling terkenal adalah kemenangannya atas Italia dalam Pertempuran Adwa pada tahun 1896. Kemenangan ini adalah sebuah peristiwa monumental, karena Ethiopia adalah satu-satunya negara Afrika yang berhasil mengalahkan kekuatan kolonial Eropa dalam pertempuran besar, sehingga mempertahankan kemerdekaannya. Kemenangan ini menjadikannya pahlawan di mata banyak orang Afrika dan keturunan Afrika di seluruh dunia.
Sebagai Negusa Nagast, Menelik II juga memperkenalkan modernisasi yang luas ke Ethiopia:
Menelik II adalah contoh puncak bagaimana seorang Negus regional yang cakap dapat naik menjadi Negusa Nagast dan secara fundamental mengubah nasib sebuah bangsa. Pemerintahannya adalah masa ketika gelar Negusa Nagast benar-benar mewakili kedaulatan nasional dan kekuatan yang tidak bisa diremehkan oleh kekuatan global.
Kaisar terakhir Ethiopia yang menyandang gelar Negusa Nagast adalah Haile Selassie I (memerintah 1930–1974). Lahir sebagai Tafari Makonnen, ia adalah keturunan langsung dari garis keturunan Solomonic dan menjadi Negus dari Harar sebelum naik tahta kekaisaran. Pemerintahannya adalah periode panjang yang menyaksikan upaya modernisasi berkelanjutan, tantangan internal, dan pendudukan Italia.
Haile Selassie melanjutkan pekerjaan Menelik II dalam memodernisasi Ethiopia. Ia memperkenalkan konstitusi tertulis, mendirikan parlemen, dan berupaya mereformasi sistem feodal. Namun, masa pemerintahannya diinterupsi oleh invasi Italia pada tahun 1935, yang memaksanya mengasingkan diri. Pidatonya yang terkenal di Liga Bangsa-Bangsa, di mana ia memohon bantuan internasional untuk Ethiopia yang diserang, menjadikannya simbol perlawanan anti-kolonialisme global.
Setelah Ethiopia dibebaskan pada tahun 1941, Haile Selassie kembali ke tahta dan melanjutkan pemerintahannya. Ia memainkan peran penting dalam pembentukan Organisasi Persatuan Afrika (OAU) pada tahun 1963, yang berpusat di Addis Ababa. Bagi banyak orang Afrika dan gerakan Rastafarian di seluruh dunia, ia adalah simbol harapan, kebebasan, dan kedaulatan Afrika. Gelar Negusa Nagast-nya dipandang sebagai bukti garis keturunan ilahi dan kepemimpinan spiritual.
Namun, di dalam negeri, pemerintahannya juga menghadapi kritik atas lambatnya reformasi agraria, otokrasi, dan ketidakmampuan untuk mengatasi bencana kelaparan. Pada tahun 1974, ia digulingkan oleh junta militer komunis yang dikenal sebagai Derg, mengakhiri ribuan tahun monarki di Ethiopia dan secara efektif meniadakan penggunaan gelar Negus dan Negusa Nagast secara resmi. Namun, warisannya tetap hidup, baik dalam sejarah Ethiopia maupun dalam gerakan Rastafarian.
Legitimasi spiritual gelar Negus, khususnya Negusa Nagast, tidak dapat dipisahkan dari teks epik Ethiopia, Kebra Negast (Kemuliaan Raja-Raja). Ditulis dalam bahasa Ge'ez pada abad ke-14, Kebra Negast mengisahkan hubungan antara Raja Salomo dari Israel dan Ratu Syeba (Makeda) dari Ethiopia. Dari persatuan mereka lahir seorang putra, Menelik I, yang kemudian membawa Tabut Perjanjian (Ark of the Covenant) dari Yerusalem ke Aksum, Ethiopia.
Menurut Kebra Negast, keturunan Menelik I adalah garis keturunan yang sah untuk memerintah Ethiopia. Ini memberikan dasar ilahi bagi monarki Ethiopia, menjadikan setiap Negusa Nagast tidak hanya sebagai penguasa politik, tetapi juga sebagai pewaris Salomo, pelindung Tabut Perjanjian, dan pemelihara iman Ortodoks Tewahedo. Klaim ini dikenal sebagai "Dinasti Solomonic."
Teks ini menegaskan bahwa Ethiopia adalah "Zion Baru" dan bahwa para Negusa Nagast adalah pilihan Tuhan untuk memerintah. Legitimasi ini sangat kuat dan mengakar dalam kesadaran rakyat Ethiopia, yang memandang kaisar mereka sebagai sosok yang diurapi Tuhan. Ini juga yang membuat gelar Negus tidak hanya sekadar nama, tetapi sebuah simbol kekuatan spiritual dan keagamaan yang mendalam, memberikan para penguasa otoritas yang tak tertandingi di mata subjek mereka.
Sejak konversi Ethiopia menjadi Kristen pada abad ke-4 Masehi di bawah Negus Ezana, Gereja Ortodoks Tewahedo Ethiopia telah menjadi pilar utama monarki. Para Negus dan Negusa Nagast dianggap sebagai pelindung Gereja dan iman. Hubungan antara tahta dan altar sangat erat, seringkali tumpang tindih.
Kaisar memiliki peran penting dalam penunjukan Abun (Uskup Agung) Gereja, meskipun secara tradisional Abun diangkat oleh Patriark Koptik Aleksandria hingga pertengahan abad ke-20. Kaisar juga sering membangun gereja-gereja megah, mendukung biara-biara, dan mengeluarkan dekrit yang berkaitan dengan praktik keagamaan. Baliknya, Gereja memberikan legitimasi spiritual kepada Kaisar, menguatkan klaim ilahi mereka melalui khotbah, penulisan sejarah, dan upacara penobatan yang mewah.
Gelar Negus juga sering muncul dalam teks-teks liturgi dan himne gereja, yang menegaskan posisi unik penguasa dalam kosmologi keagamaan Ethiopia. Peran Kaisar sebagai pembela iman juga terbukti dalam berbagai perang melawan invasi non-Kristen, di mana mereka memimpin pasukannya di bawah panji-panji agama.
Salah satu manifestasi budaya dan spiritual paling unik dari gelar Negus terjadi di luar Ethiopia, dalam gerakan Rastafarianisme. Gerakan ini muncul di Jamaika pada tahun 1930-an dan memuja Haile Selassie I sebagai manifestasi dari Yah (Tuhan) yang hidup, "Raja Segala Raja, Penguasa Segala Penguasa, Singa dari Yehuda."
Bagi Rastafarian, gelar Negusa Nagast Haile Selassie dan klaimnya atas garis keturunan Solomonic adalah bukti kenabian dan status keilahiannya. Mereka melihatnya sebagai sosok Mesianik yang akan memimpin diaspora Afrika kembali ke Zion (Ethiopia). Nama "Ras Tafari" sendiri adalah nama asli Haile Selassie sebelum naik tahta (Ras berarti "kepala" atau "pangeran").
Dalam konteks Rastafarian, "Negus" melambangkan bukan hanya seorang raja, tetapi seorang pemimpin spiritual yang suci, sebuah simbol kebanggaan dan kemerdekaan Afrika. Meskipun Haile Selassie sendiri adalah seorang Kristen Ortodoks yang saleh dan tidak pernah mengklaim keilahian, warisan gelar Negusa Nagast-nya dan klaim Solomonic menjadi fondasi utama bagi teologi Rastafarian. Ini menunjukkan betapa kuatnya resonansi gelar Negus di luar batas geografis dan budaya asalnya, menjadi simbol universal bagi spiritualitas dan identitas Afrika.
Sepanjang abad ke-19 dan ke-20, para Negusa Nagast, terutama Tewodros II, Yohannes IV, Menelik II, dan Haile Selassie I, secara sistematis berupaya untuk memusatkan kekuasaan. Ini berarti mengurangi otonomi dan kekuatan para Negus regional, mengganti mereka dengan gubernur yang ditunjuk langsung oleh kaisar atau memperketat kontrol atas mereka. Tujuannya adalah untuk menciptakan negara-bangsa modern yang bersatu di bawah satu otoritas pusat yang kuat.
Namun, upaya sentralisasi ini tidak selalu berjalan mulus. Para Negus dan bangsawan regional seringkali menentang, yang menyebabkan pemberontakan, konspirasi, dan perebutan kekuasaan. Sistem feodal yang telah mengakar selama berabad-abad sulit untuk diubah. Kaisar harus menggunakan kombinasi kekuatan militer, diplomasi, dan perkawinan politik untuk mengamankan loyalitas atau menumpas oposisi.
Perang saudara dan konflik internal merupakan bagian integral dari sejarah Ethiopia hingga paruh pertama abad ke-20. Gelar Negus, pada akhirnya, menjadi simbol kekuatan regional yang harus ditaklukkan atau diintegrasikan oleh Negusa Nagast untuk mencapai persatuan nasional yang sejati.
Pada abad ke-20, di bawah pemerintahan Haile Selassie I, monarki Ethiopia mencoba untuk beradaptasi dengan dunia modern. Kaisar memperkenalkan konstitusi, membentuk parlemen, dan berupaya melakukan reformasi. Namun, laju perubahan ini dianggap terlalu lambat oleh banyak pihak, terutama oleh kaum intelektual muda, militer, dan mahasiswa yang terinspirasi oleh ide-ide revolusioner global.
Pada awal tahun 1970-an, serangkaian krisis, termasuk bencana kelaparan yang meluas, inflasi, dan ketidakpuasan politik, memicu gelombang protes dan pemberontakan. Pada bulan September 1974, sebuah junta militer yang dikenal sebagai Derg (Komite Koordinasi Angkatan Bersenjata, Polisi, dan Tentara Teritorial) melakukan kudeta. Mereka menggulingkan Kaisar Haile Selassie, mengakhiri monarki Solomonic yang telah berkuasa selama ribuan tahun.
Penggulingan Haile Selassie tidak hanya mengakhiri kekuasaan seorang individu, tetapi juga secara definitif mengakhiri penggunaan gelar Negus dan Negusa Nagast sebagai gelar resmi pemerintahan. Ini adalah titik balik yang monumental dalam sejarah Ethiopia, mengakhiri sebuah era dan memulai periode pemerintahan sosialis-komunis yang brutal.
Sejak revolusi tersebut, Ethiopia telah beralih menjadi republik dan kemudian menjadi republik federal. Meskipun upaya untuk mengembalikan monarki sporadis, gelar Negus dan Negusa Nagast kini sepenuhnya menjadi artefak sejarah, simbol dari masa lalu yang gemilang namun kompleks.
Sepanjang sejarahnya, monarki Ethiopia dan gelar Negus telah memberikan Ethiopia citra yang unik di mata dunia. Tidak seperti sebagian besar Afrika yang tunduk pada penjajahan, Ethiopia berhasil mempertahankan kemerdekaannya, sebagian besar berkat kepemimpinan para Negusa Nagast seperti Menelik II dan perjuangan kolektif rakyatnya. Ini menjadikan Ethiopia dan monarkinya sebagai simbol harapan dan ketahanan bagi bangsa-bangsa terjajah lainnya.
Pidato Haile Selassie di Liga Bangsa-Bangsa, perlawanannya terhadap fasisme Italia, dan perannya dalam pan-Afrikanisme semakin memperkuat citra Ethiopia sebagai mercusuar kemerdekaan dan kebanggaan Afrika. Gelar Negus, dalam konteks ini, melambangkan kedaulatan yang tak tergoyahkan dan warisan peradaban yang kaya.
Meskipun monarki telah berakhir, citra dan warisan yang terkait dengan Negus dan Negusa Nagast tetap menjadi bagian penting dari narasi Ethiopia di panggung dunia, mengingatkan akan sejarah panjangnya yang mandiri dan perannya sebagai inspirasi.
Meskipun gelar Negus tidak lagi digunakan secara resmi, warisannya tetap hidup dalam identitas nasional dan budaya Ethiopia. Cerita tentang para Negus dan Negusa Nagast, mulai dari Ratu Syeba hingga Haile Selassie, adalah bagian integral dari pendidikan, seni, dan tradisi lisan Ethiopia. Mereka adalah pahlawan nasional yang membentuk bangsa dan memimpinnya melalui berbagai tantangan.
Museum, situs bersejarah, dan gereja-gereja kuno di Ethiopia penuh dengan peninggalan dari era kerajaan, yang semuanya terkait dengan para Negus. Dari mahkota kekaisaran hingga naskah-naskah kuno yang menceritakan silsilah Solomonic, warisan Negus terus memengaruhi cara orang Ethiopia memahami sejarah dan diri mereka sendiri.
Dalam konteks modern, gelar Negus juga kadang-kadang digunakan secara metaforis atau dalam karya sastra untuk merujuk pada kekuasaan, keagungan, atau kepemimpinan yang kuat, bahkan tanpa konotasi monarki yang sebenarnya.
Setelah penggulingan monarki pada tahun 1974, Ethiopia telah mengalami perubahan politik yang radikal. Pemerintahan Derg yang berideologi Marxis-Leninis secara aktif berupaya menghapus semua jejak feodalisme dan monarki. Simbol-simbol kerajaan disingkirkan, dan keluarga kekaisaran diasingkan atau dipenjara.
Namun, bahkan di era pasca-monarki, daya tarik dan resonansi sejarah Negus tetap ada. Ada sebagian kecil warga Ethiopia, terutama di kalangan diaspora, yang masih berharap untuk restorasi monarki, melihatnya sebagai simbol stabilitas dan persatuan. Bagi yang lain, Negus tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah Ethiopia yang harus dipelajari dan dihormati, terlepas dari pandangan politik mereka.
Dalam konteks global, seperti yang terlihat pada gerakan Rastafarianisme, konsep Negus telah melampaui batas-batas Ethiopia, menjadi simbol perlawanan, spiritualitas, dan identitas bagi komunitas di seluruh dunia. Ini membuktikan kekuatan abadi sebuah gelar yang tidak hanya merepresentasikan kekuasaan politik, tetapi juga sejarah, budaya, dan aspirasi manusia.
Gelar Negus, dan bentuk superiornya Negusa Nagast, adalah cerminan dari sejarah Ethiopia yang luar biasa panjang dan kaya. Dari akar kunonya di Kerajaan Aksum, melalui dinasti-dinasti yang berbeda, hingga era modernisasi dan akhirnya keruntuhan monarki, Negus telah menjadi benang merah yang mengikat narasi kerajaan Ethiopia.
Lebih dari sekadar gelar raja, Negus melambangkan legitimasi ilahi, pelindung Gereja, dan simbol kedaulatan nasional. Ia membentuk struktur politik, memicu konflik, dan pada akhirnya, menginspirasi sebuah bangsa untuk mempertahankan kemerdekaannya dari kekuatan-kekuatan kolonial. Meskipun era monarki telah berakhir, warisan para Negus dan Negusa Nagast tetap terukir dalam identitas Ethiopia, terus menginspirasi dan membentuk pemahaman tentang masa lalu, masa kini, dan masa depan negara yang luar biasa ini.
Kisah Negus adalah kisah tentang ketahanan, iman, kekuasaan, dan evolusi sebuah peradaban yang unik di jantung Tanduk Afrika.