Negarakertagama, atau juga dikenal sebagai Prapanca, adalah salah satu mahakarya sastra dan sejarah paling penting yang pernah dihasilkan di Nusantara. Kakawin (puisi epik) yang ditulis dalam bahasa Jawa Kuno ini tidak hanya merupakan catatan historis yang tak ternilai tentang Kerajaan Majapahit, tetapi juga cerminan mendalam dari pandangan dunia, kosmologi, dan aspirasi politik pada zamannya. Dalam setiap baitnya, Negarakertagama menguraikan gambaran Majapahit di puncak kejayaannya di bawah kepemimpinan agung Prabu Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada, memaparkan struktur pemerintahan, kehidupan sosial-budaya, ekonomi, hingga konsepsi wilayah Nusantara yang luas.
Lebih dari sekadar kronik raja-raja, Negarakertagama adalah sebuah pernyataan politik dan spiritual. Prapanca, sang pujangga istana, tidak hanya berniat mengabadikan kebesaran rajanya, tetapi juga menyajikan sebuah legitimasi ilahi bagi kekuasaan Majapahit. Dengan gaya bahasa yang indah dan penuh metafora, ia menggambarkan Hayam Wuruk sebagai penjelmaan dewa, yang memimpin sebuah kerajaan yang makmur dan damai, menjadi pusat peradaban yang memancarkan pengaruh ke seluruh penjuru Nusantara dan bahkan hingga ke mancanegara. Penemuan kembali naskah ini pada awal abad ke-20 telah merevolusi pemahaman kita tentang sejarah Indonesia dan menempatkan Majapahit pada posisi yang seharusnya dalam narasi kebangsaan.
Negarakertagama ditulis oleh seorang pujangga istana bernama Prapanca pada tahun Saka 1287 atau 1365 Masehi. Nama Prapanca sendiri bukanlah nama asli, melainkan nama pena atau gelar yang berarti 'orang yang suka berlibur' atau 'penjelajah'. Nama aslinya diduga adalah Dang Acarya Nadendra, seorang biksu Buddha yang memiliki hubungan dekat dengan keluarga kerajaan. Ayahnya, Mpu Nadendra, adalah Dharmadyaksa Kasogatan (pemimpin agama Buddha) di Majapahit, menunjukkan posisi sosial dan intelektual Prapanca yang sangat tinggi di lingkaran istana.
Penulisan Negarakertagama berlangsung di tengah-tengah masa keemasan Majapahit. Prabu Hayam Wuruk telah memerintah selama beberapa dekade, setelah naik takhta pada 1350 M. Bersama Mahapatih Gajah Mada, yang telah menancapkan pengaruhnya sejak masa Ratu Tribhuwana Wijayatunggadewi, Majapahit mencapai puncak kejayaannya, baik dalam hal ekspansi wilayah maupun stabilitas internal dan kemajuan budaya. Prapanca menyaksikan langsung kemegahan ini, hidup dan bernapas dalam lingkungan istana yang dinamis, kaya akan tradisi intelektual dan artistik. Ini memberinya perspektif unik sebagai saksi mata sekaligus peserta dalam kehidupan Majapahit.
Sebagai seorang intelektual dan rohaniawan, Prapanca tidak hanya bertugas mencatat peristiwa, tetapi juga menafsirkan dan menyusunnya dalam kerangka naratif yang bermakna. Ia tidak hanya menulis sejarah dalam arti modern, melainkan menciptakan sebuah kakawin, sebuah bentuk puisi epik yang memadukan keindahan sastra dengan tujuan historis dan ideologis. Dalam tradisi Jawa Kuno, kakawin seringkali berfungsi sebagai alat legitimasi politik, spiritual, dan budaya bagi penguasa. Melalui karyanya, Prapanca berusaha untuk mengabadikan dan memuliakan kekuasaan Hayam Wuruk, menempatkannya dalam garis keturunan ilahi, dan menunjukkan keselarasan antara tatanan alam semesta dengan tatanan kerajaan.
Negarakertagama bukan satu-satunya karya sastra yang ada di Majapahit, tetapi ia menonjol karena cakupan dan kedalamannya. Karya-karya lain seperti Sutasoma, Arjunawiwaha, atau Ramayana Jawa Kuno, meskipun juga penting, seringkali lebih berfokus pada tema-tema keagamaan atau moral filosofis. Negarakertagama, di sisi lain, secara eksplisit mengambil Majapahit sebagai subjek utamanya, menjadikannya 'kitab negara' yang secara harfiah menggambarkan negara (nagara) dan kemegahannya (kertagama).
Prapanca memiliki beberapa motivasi utama dalam menulis Negarakertagama:
Penting untuk diingat bahwa Negarakertagama, seperti sebagian besar historiografi kuno, bukanlah catatan objektif dalam pengertian modern. Prapanca menulis dari sudut pandang istana, dengan tujuan untuk memuliakan penguasa dan kerajaannya. Oleh karena itu, ia cenderung menekankan aspek-aspek positif dan mungkin mengabaikan atau memperhalus konflik dan masalah internal. Namun, bahkan dengan bias tersebut, Negarakertagama tetap merupakan sumber utama dan paling rinci yang kita miliki tentang Majapahit.
Negarakertagama ditulis dalam bentuk kakawin, sebuah jenis puisi epik klasik Jawa Kuno yang sangat prestisius. Ciri khas kakawin adalah penggunaan metrum (pola suku kata) yang rumit, yang diadopsi dari tradisi sastra India, khususnya dari Sanskerta. Setiap bait dalam kakawin terdiri dari empat baris (padha), dan setiap baris memiliki jumlah suku kata serta pola panjang-pendek vokal yang telah ditetapkan (guru-laghu). Penguasaan metrum ini menunjukkan keahlian tinggi Prapanca sebagai seorang pujangga.
Bahasa yang digunakan dalam Negarakertagama adalah Jawa Kuno, yang diperkaya dengan banyak kata serapan dari bahasa Sanskerta. Gaya bahasanya indah, puitis, dan seringkali menggunakan metafora serta perumpamaan yang mendalam. Penggunaan bahasa yang kaya ini tidak hanya untuk estetika, tetapi juga untuk menyampaikan makna-makna filosofis dan spiritual yang kompleks.
Secara keseluruhan, Negarakertagama terdiri dari 98 pupuh (canto atau bab), yang masing-masing memiliki metrum yang berbeda-beda. Pupuh-pupuh ini disusun secara sistematis, menceritakan sebuah narasi yang berkesinambungan dan tematik.
Isi Negarakertagama dapat dibagi menjadi beberapa bagian tematik utama, yang secara kronologis dan logis mengalir dari satu pupuh ke pupuh lainnya:
Bagian awal ini dimulai dengan pujian kepada Prabu Hayam Wuruk, menyajikan silsilahnya yang mulia, menghubungkannya dengan dewa-dewa dan para raja pendahulu dari Singhasari dan Majapahit. Prapanca dengan cermat menguraikan garis keturunan raja, menekankan legitimasi ilahinya. Ini bukan sekadar daftar nama, tetapi sebuah penegasan bahwa Hayam Wuruk adalah penerus sah dari tradisi kerajaan yang sakral.
Pupuh-pupuh berikutnya menggambarkan secara rinci istana Majapahit (keraton), para menteri (patrapura), dan pejabat tinggi kerajaan lainnya. Prapanca memberikan gambaran tentang struktur pemerintahan yang kompleks dan terorganisir, mulai dari dewan menteri hingga para pejabat agama dan pemimpin daerah. Ia juga mulai memperkenalkan konsep wilayah kekuasaan Majapahit, baik wilayah inti (negara agung) maupun wilayah-wilayah bawahan (negara manca) yang tersebar di seluruh Jawa dan pulau-pulau lainnya. Penekanan diberikan pada bagaimana semua wilayah ini terikat dalam kesetiaan kepada Majapahit.
Bagian ini adalah salah satu bagian paling terkenal dan sering dikutip dari Negarakertagama. Prapanca mencantumkan daftar nama-nama daerah yang berada di bawah pengaruh atau kekuasaan Majapahit. Daftar ini mencakup pulau-pulau di seluruh Nusantara, mulai dari Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, hingga Maluku, Nusa Tenggara, dan bahkan Semenanjung Malaya. Ini merupakan manifestasi dari konsep nusantara yang legendaris, yang diyakini sebagai wilayah yang disatukan di bawah panji Majapahit. Meskipun tingkat kendali Majapahit atas daerah-daerah ini bervariasi (dari kekuasaan langsung hingga hubungan dagang atau persahabatan), daftar ini menunjukkan ambisi geopolitik dan jangkauan maritim Majapahit yang luar biasa.
Selain wilayah taklukan, Prapanca juga menyebutkan negara-negara tetangga yang menjalin hubungan persahabatan dengan Majapahit, seperti Siam (Thailand), Ayodya, Campa (Vietnam), Kamboja, dan bahkan Dinasti Yuan di Tiongkok. Ini menunjukkan bahwa Majapahit adalah kekuatan regional yang diakui secara internasional, dengan jaringan diplomasi dan perdagangan yang luas.
Bagian ini didedikasikan untuk menggambarkan berbagai upacara dan festival yang diselenggarakan di Majapahit, khususnya Śrāddha (upacara peringatan kematian) bagi leluhur raja. Prapanca secara detail menguraikan bagaimana upacara Śrāddha untuk Gayatri Rajapatni (nenek Hayam Wuruk) dilaksanakan. Upacara ini bukan sekadar ritual pribadi, melainkan sebuah peristiwa kenegaraan yang sangat besar, melibatkan seluruh lapisan masyarakat dan menunjukkan kesatuan spiritual dan sosial kerajaan. Deskripsi ini memberikan wawasan tentang sistem kepercayaan Siwa-Buddha yang sinkretis, di mana dua agama besar hidup berdampingan dan bahkan menyatu dalam praktik keagamaan istana.
Selain Śrāddha, Prapanca juga menyebutkan perayaan-perayaan lain dan kehidupan keagamaan di istana. Ini termasuk pembangunan candi, pemeliharaan tempat-tempat suci, dan peran penting para biksu serta pendeta dalam kehidupan kerajaan. Penekanan pada aspek keagamaan ini menegaskan status Hayam Wuruk sebagai penguasa yang diberkati dan didukung oleh dewa-dewi.
Ini adalah bagian terpanjang dari Negarakertagama, yang secara hidup menggambarkan perjalanan-perjalanan (rāja-yātrā) Hayam Wuruk ke berbagai daerah di Jawa Timur. Perjalanan ini bukan hanya untuk rekreasi, melainkan juga merupakan bentuk inspeksi langsung oleh raja, untuk melihat kondisi rakyatnya, meninjau daerah-daerah, dan memperkuat ikatan antara pusat dan daerah. Prapanca mendeskripsikan pemandangan alam yang indah, desa-desa yang makmur, dan sambutan hangat dari rakyat di sepanjang rute perjalanan raja.
Di sela-sela deskripsi perjalanan, Prapanca juga menyelipkan gambaran tentang kehidupan di istana, termasuk seni pertunjukan (seperti wayang, tari, dan musik), pertemuan-pertemuan penting, serta kegiatan sehari-hari raja dan keluarga kerajaan. Ia melukiskan kehidupan istana yang penuh kemewahan, kebudayaan yang tinggi, dan atmosfer intelektual yang hidup. Bagian ini juga seringkali memuji kepribadian Hayam Wuruk, sifat-sifat baiknya, dan kepiawaiannya dalam memimpin.
Bagian penutup ini berisi ringkasan sejarah raja-raja Majapahit sebelumnya, mulai dari pendiri hingga Hayam Wuruk. Prapanca mengulang kembali poin-poin penting tentang legitimasi Hayam Wuruk dan pencapaian para leluhurnya. Ini berfungsi sebagai rekapitulasi sejarah yang menempatkan Hayam Wuruk dalam konteks kesinambungan dinasti yang panjang dan mulia.
Kakawin ini diakhiri dengan pujian yang sangat tinggi kepada Hayam Wuruk dan Majapahit. Prapanca menyatakan harapannya agar kerajaan ini tetap makmur, damai, dan abadi di bawah kepemimpinan raja. Ia juga memberikan semacam 'kata penutup' di mana ia mengungkapkan identitas dirinya sebagai Prapanca, seorang biksu, dan menyatakan kesederhanaan serta ketulusan niatnya dalam menulis kakawin ini. Bagian ini juga sering memuat tanggal penulisan karya, yaitu pada tahun Saka 1287 atau 1365 Masehi.
"Apan iśana nirmala, bhinnekā tunggal ika, tan hana dharma mangrwa."
(Sebab kebenarannya tak bercela, berbeda-beda itu satu, tidak ada kebenusan yang mendua.)
Negarakertagama secara eksplisit menempatkan Prabu Hayam Wuruk (bertahta 1350-1389 M) sebagai pusat dari segala kemuliaan Majapahit. Prapanca menggambarkan Hayam Wuruk bukan hanya sebagai seorang raja, tetapi sebagai manifestasi ilahi, inkarnasi Siwa-Buddha yang sempurna, yang mewujudkan dharma (kebenaran dan keadilan) di dunia. Dia digambarkan memiliki segala kebajikan seorang pemimpin: bijaksana, berani, adil, berbelas kasih, cakap dalam pemerintahan, dan mahir dalam seni serta sastra.
Deskripsi perjalanan raja (rāja-yātrā) dalam Negarakertagama bukan hanya sebuah catatan perjalanan fisik, melainkan sebuah simbolisasi dari jangkauan kekuasaan dan kepedulian raja terhadap rakyatnya. Dalam perjalanan ini, Hayam Wuruk tidak hanya menikmati keindahan alam dan menerima persembahan, tetapi juga berinteraksi dengan penduduk, memastikan kesejahteraan mereka, dan menegakkan hukum. Ini adalah gambaran seorang raja ideal yang tidak bersembunyi di balik dinding istana, tetapi aktif terlibat dalam kehidupan rakyatnya.
Keagungan Hayam Wuruk juga diukur dari kemampuannya menjaga harmoni dan ketertiban. Di bawah pemerintahannya, Majapahit digambarkan sebagai kerajaan yang stabil, makmur, dan damai, jauh dari gejolak dan pemberontakan yang mungkin terjadi di masa-masa sebelumnya. Harmoni ini tidak hanya di bidang politik, tetapi juga dalam aspek keagamaan, di mana sinkretisme Siwa-Buddha mencapai puncaknya sebagai landasan spiritual negara.
Meskipun Negarakertagama secara eksplisit fokus pada Hayam Wuruk, peran Mahapatih Gajah Mada (menjabat dari sekitar 1334 hingga 1359 M) tidak dapat diabaikan. Meskipun Gajah Mada telah meninggal beberapa tahun sebelum Negarakertagama ditulis, warisannya masih sangat kuat dan menjadi fondasi bagi kejayaan Hayam Wuruk. Prapanca tidak secara langsung menceritakan kisah Gajah Mada secara rinci, tetapi keberadaan Majapahit yang luas dan stabil adalah bukti nyata dari keberhasilannya.
Sumpah Palapa yang diucapkan Gajah Mada—untuk tidak menikmati rempah-rempah sebelum menyatukan Nusantara—adalah ambisi politik terbesar Majapahit. Negarakertagama, dengan daftar wilayah kekuasaan dan negara sahabatnya, secara tidak langsung menunjukkan realisasi sebagian besar ambisi Gajah Mada tersebut. Kestabilan internal Majapahit dan dominasinya atas sebagian besar kepulauan Nusantara tidak terlepas dari strategi militer dan politik cerdas yang dijalankan Gajah Mada.
Gajah Mada adalah arsitek politik di balik ekspansi Majapahit. Ia adalah pelaksana visi kekuasaan yang kuat, memimpin pasukan, menegakkan hukum, dan mengelola birokrasi yang kompleks. Meskipun seringkali digambarkan sebagai figur yang tegas dan tanpa kompromi, dedikasinya terhadap Majapahit adalah mutlak. Tanpa fondasi yang dibangun oleh Gajah Mada, Hayam Wuruk mungkin tidak akan dapat menikmati masa pemerintahan yang begitu cemerlang. Keduanya merupakan dwitunggal yang saling melengkapi: Gajah Mada sebagai tangan besi dan ahli strategi, sementara Hayam Wuruk sebagai pemimpin spiritual dan kultural.
Salah satu tema sentral dalam Negarakertagama adalah deskripsi Majapahit sebagai sebuah negara yang stabil dan makmur. Prapanca menggambarkan kota Majapahit yang megah, dengan istana yang indah, kuil-kuil yang menjulang, dan pasar-pasar yang ramai. Kehidupan ekonomi yang berkembang pesat, didukung oleh pertanian yang subur (terutama sawah), jaringan irigasi yang efisien, dan perdagangan maritim yang luas.
Stabilitas politik tercermin dalam pemerintahan yang teratur, dengan hierarki pejabat yang jelas dan sistem hukum yang ditegakkan. Tidak ada catatan tentang pemberontakan besar atau gejolak internal yang serius selama masa puncak Hayam Wuruk. Hal ini memungkinkan rakyat untuk hidup dengan tenang, bertani, berdagang, dan mengembangkan kebudayaan mereka.
Kemakmuran Majapahit juga terlihat dari kemampuan kerajaan untuk menyelenggarakan upacara-upacara besar dan festival-festival keagamaan yang megah, seperti upacara Śrāddha. Acara-acara ini memerlukan sumber daya yang besar dan partisipasi massal, menunjukkan bahwa kerajaan memiliki surplus kekayaan dan organisasi yang kuat. Ketersediaan sumber daya ini juga memungkinkan pengembangan seni dan sastra yang tinggi, menjadikan Majapahit sebagai pusat kebudayaan di Nusantara.
Prapanca memulai deskripsi geografinya dengan Majapahit itu sendiri, sebagai nagara agung atau wilayah inti. Wilayah ini meliputi ibu kota kerajaan di Trowulan (Jawa Timur) dan daerah-daerah sekitarnya yang secara langsung berada di bawah administrasi pusat. Daerah-daerah ini adalah lumbung pangan kerajaan, tempat konsentrasi penduduk, pusat perdagangan lokal, dan inti dari kekuatan politik Majapahit.
Pupuh-pupuh awal Negarakertagama memberikan gambaran yang kaya tentang Majapahit kota: tata letak istana, alun-alun, kuil-kuil, dan tempat tinggal para bangsawan serta rakyat biasa. Sungai-sungai besar seperti Brantas dan Bengawan Solo menjadi jalur transportasi vital untuk hasil pertanian dan perdagangan, menghubungkan wilayah pedalaman dengan pelabuhan-pelabuhan di pesisir. Sistem irigasi yang maju memungkinkan pertanian padi menjadi sangat produktif, menopang populasi yang besar.
Di dalam nagara agung, struktur sosial dan pemerintahan sangat terorganisir. Ada desa-desa (wanua) yang dipimpin oleh kepala desa (rama), yang bertanggung jawab langsung kepada pejabat di atasnya. Keamanan dan ketertiban ditegakkan melalui sistem peradilan dan pasukan kerajaan. Kehidupan di nagara agung adalah cerminan langsung dari kemakmuran dan efisiensi Majapahit.
Di luar nagara agung, terdapat nagara manca, yaitu wilayah-wilayah di Pulau Jawa dan sekitarnya yang berada di bawah pengaruh atau kekuasaan Majapahit. Prapanca menyebutkan sejumlah besar daerah ini, yang menunjukkan jangkauan kontrol Majapahit di Jawa. Ini termasuk daerah-daerah penting seperti Daha (Kediri), Tumapel (Singhasari), Wengker, Pajang, dan lain-lain. Daerah-daerah ini biasanya diperintah oleh para bangsawan yang memiliki hubungan darah dengan keluarga kerajaan Majapahit atau oleh penguasa lokal yang telah bersumpah setia.
Hubungan antara nagara agung dan nagara manca bersifat hierarkis. Nagara manca wajib membayar upeti (bhakti) kepada Majapahit, mengakui kedaulatan raja Majapahit, dan menyediakan dukungan militer jika diperlukan. Sebagai imbalannya, Majapahit memberikan perlindungan dan terkadang campur tangan dalam urusan internal mereka untuk menjaga stabilitas. Jaringan nagara manca ini membentuk fondasi kekuatan Majapahit di Jawa, menciptakan sebuah federasi longgar yang dikendalikan dari pusat.
Bagian paling terkenal dari deskripsi geografis Negarakertagama adalah daftar wilayah di seluruh Nusantara yang dianggap berada di bawah kekuasaan atau pengaruh Majapahit. Prapanca secara eksplisit mencantumkan nama-nama daerah yang terbentang dari Sumatera hingga Papua, dan dari Kalimantan hingga Semenanjung Malaya. Daftar ini mencakup:
Konsepsi Nusantara yang digambarkan oleh Prapanca ini sangat ambisius. Meskipun para sejarawan modern memperdebatkan tingkat kendali aktual Majapahit atas setiap wilayah yang disebutkan (beberapa mungkin hanya memiliki hubungan dagang atau pengakuan simbolis), daftar ini jelas menunjukkan bahwa para pemimpin Majapahit memiliki visi tentang kesatuan politik dan budaya atas kepulauan ini. Konsep 'Nusantara' sebagai wilayah yang 'berada di luar Jawa' tetapi terhubung oleh laut, telah ada jauh sebelum era Majapahit, tetapi Prapanca menyajikannya sebagai sebuah entitas yang secara aktif diintegrasikan atau diikatkan pada kekuasaan Majapahit.
Jaringan maritim memainkan peran krusial dalam menghubungkan wilayah-wilayah ini. Majapahit adalah kekuatan maritim yang dominan, dengan armada kapal dagang dan kapal perang yang memungkinkan perdagangan, komunikasi, dan, jika perlu, proyeksi kekuatan. Pelabuhan-pelabuhan di Jawa Timur menjadi pusat kegiatan ekonomi yang menghubungkan berbagai komoditas dari seluruh Nusantara, seperti rempah-rempah dari Maluku, emas dari Sumatera, dan hasil hutan dari Kalimantan.
Selain wilayah kekuasaan, Negarakertagama juga mencantumkan negara-negara di luar Nusantara yang menjalin hubungan persahabatan (atau kadang-kadang disebut 'mitra satru' yang dapat berarti sekutu atau lawan yang dihormati) dengan Majapahit. Ini termasuk:
Keberadaan daftar ini menunjukkan bahwa Majapahit tidak hidup dalam isolasi, melainkan merupakan bagian integral dari jaringan perdagangan dan diplomasi Asia Tenggara. Hubungan dengan negara-negara ini kemungkinan besar didominasi oleh perdagangan, tetapi juga mencakup pertukaran budaya dan politik. Ini menegaskan status Majapahit sebagai kekuatan regional yang signifikan, dihormati oleh kerajaan-kerajaan besar lainnya di Asia.
Secara keseluruhan, bagian geografis Negarakertagama memberikan peta mental tentang bagaimana Majapahit melihat dirinya di dunia: sebagai pusat dari sebuah mandala yang luas, di mana pengaruhnya memancar ke seluruh kepulauan dan bahkan melampaui batas-batas maritim, menjalin hubungan dengan peradaban-peradaban lain di Asia.
Negarakertagama memberikan gambaran yang cukup rinci tentang struktur pemerintahan Majapahit yang kompleks dan berjenjang. Di puncak hierarki adalah Prabu Hayam Wuruk, sang raja, yang dianggap sebagai pusat kosmos dan representasi ilahi di bumi. Kekuasaannya bersifat mutlak, namun dalam praktik ia didampingi oleh berbagai dewan dan pejabat.
Di bawah raja, terdapat bhre atau para bangsawan kerabat raja. Mereka seringkali ditempatkan sebagai penguasa daerah penting (rajya) di luar ibu kota atau memegang jabatan-jabatan kunci dalam administrasi pusat. Keberadaan mereka memastikan kendali keluarga kerajaan atas wilayah-wilayah strategis dan birokrasi.
Dewan tertinggi dalam pemerintahan adalah rakryan mahamantri katrini, yang terdiri dari tiga menteri utama yang merupakan bangsawan senior. Mereka adalah Rakryan I Hino, Rakryan I Sirikan, dan Rakryan I Halu, yang memiliki pengaruh besar dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan kebijakan. Di bawah mereka, ada berbagai rakryan (pejabat tinggi) lainnya yang mengelola berbagai departemen atau tugas.
Prapanca juga menyebutkan adanya patrapura, sebuah majelis penasihat kerajaan yang terdiri dari para pejabat senior dan tokoh berpengaruh. Majelis ini berfungsi memberikan masukan kepada raja, meskipun keputusan akhir tetap berada di tangan raja. Ini menunjukkan adanya sistem checks and balances, di mana raja meskipun berkuasa, tetap mendengarkan nasihat dari para ahli.
Negarakertagama menyebutkan beberapa jabatan dan departemen spesifik yang menunjukkan spesialisasi dalam administrasi Majapahit:
Sistem birokrasi ini menunjukkan bahwa Majapahit adalah negara yang terorganisir dengan baik, dengan pembagian tugas yang jelas, memungkinkan pengelolaan sebuah kerajaan besar dan kompleks.
Meskipun Negarakertagama tidak memberikan detail lengkap tentang sistem hukum Majapahit, penyebutan Jaksa dan adanya peraturan yang ditegakkan menunjukkan bahwa Majapahit memiliki sistem peradilan yang berfungsi. Hukum Majapahit kemungkinan besar didasarkan pada ajaran Hindu (Dharmasastra) yang disesuaikan dengan adat lokal (Adat Law). Ini berarti ada seperangkat aturan tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur perilaku masyarakat dan bagaimana pelanggaran akan ditangani.
Keadilan adalah salah satu pilar utama pemerintahan yang baik, dan Prapanca berulang kali memuji Hayam Wuruk karena kepemimpinannya yang adil. Raja sendiri seringkali menjadi pengadilan tertinggi, mendengarkan keluhan rakyat dan membuat keputusan akhir. Hal ini menunjukkan bahwa akses terhadap keadilan, setidaknya secara ideal, tersedia bagi semua lapisan masyarakat.
Negarakertagama mengisyaratkan adanya sistem perpajakan yang terstruktur di Majapahit. Upeti yang diterima dari wilayah-wilayah bawahan merupakan sumber pendapatan penting bagi kerajaan. Selain itu, ada pajak-pajak yang dikenakan pada hasil pertanian, perdagangan, dan kerajinan tangan. Pajak ini tidak hanya berbentuk uang atau logam mulia, tetapi juga bisa berupa hasil bumi atau tenaga kerja (corvée).
Pendapatan ini digunakan untuk membiayai pengeluaran kerajaan, termasuk pemeliharaan istana, gaji pejabat dan tentara, pembangunan infrastruktur (seperti candi dan jalan), serta penyelenggaraan upacara-upacara keagamaan yang megah. Kemampuan Majapahit untuk mengumpulkan dan mengelola pendapatan yang signifikan adalah bukti lain dari kekuatan dan efisiensi administrasinya.
Secara keseluruhan, gambaran administrasi dan pemerintahan dalam Negarakertagama menunjukkan Majapahit sebagai sebuah kerajaan yang sangat terorganisir, dengan hierarki yang jelas, pembagian tugas yang spesifik, dan sistem yang bertujuan untuk menjaga stabilitas, keadilan, dan kemakmuran bagi rakyatnya. Hal ini menjadi fondasi bagi kejayaan politik dan kebudayaan yang begitu gemilang.
Meskipun Negarakertagama tidak secara eksplisit menguraikan sistem kasta Hindu secara rigid, seperti di India, teks ini mengindikasikan adanya stratifikasi sosial yang jelas di Majapahit. Masyarakat terbagi dalam beberapa lapisan, dengan raja dan keluarga kerajaan berada di puncak.
Meskipun ada pembagian ini, mobilitas sosial dimungkinkan, terutama melalui pendidikan atau pelayanan kepada raja. Sistem ini menciptakan tatanan yang stabil, di mana setiap golongan memiliki perannya masing-masing dalam menjaga keseimbangan masyarakat.
Negarakertagama memberikan banyak petunjuk tentang kekayaan seni dan budaya Majapahit. Prapanca menggambarkan istana Majapahit sebagai pusat kebudayaan yang dinamis, di mana seni pertunjukan, musik, dan sastra berkembang pesat.
Seni dan budaya ini tidak hanya dinikmati oleh kaum bangsawan, tetapi juga meresap ke dalam kehidupan rakyat jelata. Perayaan keagamaan seringkali menjadi ajang bagi pertunjukan seni rakyat, memperkuat ikatan sosial dan identitas budaya.
Bagian penting dari kehidupan sosial-budaya Majapahit yang dicatat dalam Negarakertagama adalah upacara dan perayaan keagamaan. Yang paling menonjol adalah upacara Śrāddha, sebuah ritual peringatan kematian leluhur raja. Upacara Śrāddha untuk Gayatri Rajapatni, nenek Hayam Wuruk, digambarkan dengan sangat megah, menunjukkan pentingnya penghormatan leluhur dalam kepercayaan masyarakat Majapahit.
Perayaan ini melibatkan seluruh lapisan masyarakat, mulai dari para pendeta, bangsawan, hingga rakyat biasa. Ini adalah momen untuk menegaskan kembali ikatan sosial, spiritual, dan politik dalam kerajaan. Selain Śrāddha, ada juga perayaan hari raya keagamaan lainnya yang mungkin terkait dengan siklus pertanian atau kalender Hindu-Buddha. Festival-festival ini menjadi ajang pertemuan, hiburan, dan ekspresi kebersamaan.
Meskipun Negarakertagama lebih berfokus pada kehidupan istana dan aspek-aspek agung, beberapa bagian memberikan sekilas pandang tentang kehidupan sehari-hari. Prapanca menggambarkan desa-desa yang makmur di sepanjang jalur perjalanan raja, ladang-ladang yang subur, dan rumah-rumah penduduk. Ini menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat hidup dari pertanian.
Kebersihan dan keteraturan tampaknya dihargai, baik di lingkungan istana maupun di desa-desa. Ada juga indikasi tentang kebiasaan makan, pakaian, dan interaksi sosial. Meskipun tidak terlalu detail, gambaran ini membantu kita membayangkan kehidupan di Majapahit yang damai dan teratur.
Peran pendidikan, meskipun tidak secara langsung disebutkan, dapat diasumsikan penting terutama bagi kaum bangsawan dan pendeta, yang menghasilkan karya sastra dan menguasai berbagai ilmu pengetahuan. Prapanca sendiri adalah contoh dari produk sistem pendidikan dan intelektual yang maju.
Secara keseluruhan, Negarakertagama melukiskan gambaran Majapahit sebagai peradaban yang kaya secara budaya, dengan seni yang berkembang pesat, tradisi keagamaan yang kuat, dan masyarakat yang terstruktur namun dinamis. Aspek-aspek ini tidak hanya menjadi hiasan, tetapi juga pilar penyangga bagi kejayaan dan legitimasi kerajaan.
Negarakertagama, meskipun tidak secara eksplisit membahas ekonomi dalam terminologi modern, memberikan petunjuk kuat bahwa basis ekonomi Majapahit adalah agraris. Prapanca berulang kali menggambarkan Jawa sebagai pulau yang subur, dengan ladang-ladang padi (sawah) yang luas dan hasil panen melimpah. Sungai-sungai besar seperti Brantas dan Bengawan Solo memainkan peran vital dalam irigasi, yang memungkinkan pertanian padi menjadi sangat produktif.
Teknologi pertanian pada masa itu sudah cukup maju, dengan sistem irigasi yang terorganisir untuk mengairi sawah-sawah. Hasil pertanian utama adalah padi, yang menjadi makanan pokok dan surplusnya dapat diperdagangkan. Selain padi, tanaman lain seperti kelapa, rempah-rempah (lada, pala, cengkeh di wilayah timur), dan hasil hutan juga penting.
Kehidupan di desa-desa yang dijelaskan dalam perjalanan raja menunjukkan kemakmuran pedesaan. Rakyat dapat hidup dari hasil pertanian mereka dan menghasilkan surplus yang dapat digunakan untuk membayar pajak atau berdagang. Ketersediaan pangan yang cukup merupakan fondasi bagi stabilitas sosial dan politik Majapahit.
Di samping pertanian, perdagangan internal juga merupakan pilar ekonomi Majapahit. Negarakertagama mengisyaratkan adanya pasar-pasar yang ramai di kota-kota besar, terutama di ibu kota Majapahit. Di pasar-pasar ini, hasil pertanian dari pedesaan ditukarkan dengan barang-barang kerajinan dari kota, atau komoditas lain dari daerah yang berbeda.
Jaringan jalan dan sungai yang memadai memfasilitasi pergerakan barang dan orang di seluruh Jawa. Sungai Brantas, misalnya, berfungsi sebagai jalur transportasi utama yang menghubungkan wilayah pedalaman yang kaya hasil pertanian dengan pelabuhan-pelabuhan di pesisir. Sistem ini memungkinkan distribusi barang yang efisien dan memicu pertumbuhan ekonomi lokal.
Kerajinan tangan juga berkembang pesat. Prapanca menyebutkan adanya pengrajin terampil yang membuat berbagai barang, mulai dari peralatan rumah tangga, senjata, hingga perhiasan mewah dari emas dan perak untuk kalangan istana. Kesenian tekstil, ukiran kayu, dan pembuatan gerabah juga merupakan bagian integral dari perekonomian lokal.
Majapahit bukanlah negara agraris semata, melainkan juga kekuatan maritim dan perdagangan internasional yang signifikan. Daftar wilayah Nusantara yang disebutkan dalam Negarakertagama, serta hubungan dengan negara-negara asing seperti Tiongkok, Campa, dan Siam, adalah bukti dari jaringan perdagangan maritim yang luas.
Pelabuhan-pelabuhan di Jawa Timur, seperti Canggu, Hujung Galuh, dan Bubat, menjadi gerbang utama bagi aktivitas perdagangan internasional. Kapal-kapal dagang dari berbagai penjuru Asia datang ke Majapahit untuk membeli rempah-rempah, hasil hutan, dan barang-barang mewah lainnya. Majapahit sendiri mengekspor komoditas-komoditas ini dan mengimpor barang-barang seperti sutra, keramik, dan logam dari Tiongkok, serta tekstil dari India.
Perdagangan rempah-rempah, khususnya dari Maluku, menjadi salah satu daya tarik utama bagi pedagang asing dan juga sumber kekayaan bagi Majapahit, yang menguasai jalur distribusinya. Kontrol atas jalur-jalur perdagangan laut di Nusantara memberikan Majapahit posisi dominan dalam ekonomi regional.
Keberadaan angkatan laut yang kuat juga menunjukkan pentingnya perdagangan maritim. Armada laut Majapahit tidak hanya berfungsi untuk tujuan militer, tetapi juga untuk melindungi jalur perdagangan dan memastikan keamanan maritim. Ini memungkinkan para pedagang untuk berlayar dengan aman dan memicu pertumbuhan ekonomi berbasis laut.
Meskipun pertukaran barang (barter) masih umum, Majapahit juga telah menggunakan sistem mata uang. Negarakertagama tidak memberikan detail mata uang yang digunakan, tetapi sumber lain dan penemuan arkeologis menunjukkan penggunaan mata uang koin Tiongkok (kepeng) serta kemungkinan mata uang lokal yang terbuat dari logam. Sistem mata uang ini memfasilitasi transaksi perdagangan yang lebih besar dan kompleks.
Secara keseluruhan, ekonomi Majapahit yang digambarkan dalam Negarakertagama adalah ekonomi yang kuat dan beragam, didukung oleh pertanian yang produktif, perdagangan internal yang aktif, dan jaringan perdagangan maritim internasional yang luas. Kemakmuran ekonomi ini menjadi salah satu fondasi bagi kejayaan politik dan kebudayaan kerajaan, memungkinkan pembangunan infrastruktur megah, pembiayaan upacara besar, dan dukungan bagi para seniman serta intelektual.
Salah satu aspek paling menonjol dari kehidupan keagamaan di Majapahit, seperti yang digambarkan dalam Negarakertagama, adalah adanya sinkretisme (penyatuan) antara agama Hindu Siwa dan Buddha. Prapanca secara eksplisit menekankan harmoni dan keselarasan antara kedua agama ini. Filosofi ini tercermin dalam frasa terkenal yang kemudian menjadi semboyan nasional Indonesia: "Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa" (Berbeda-beda itu satu, tidak ada kebenaran yang mendua). Frasa ini sendiri ditemukan dalam kakawin Sutasoma, yang ditulis oleh Mpu Tantular pada era Majapahit yang sama.
Di Majapahit, baik agama Siwa maupun Buddha sama-sama dihormati dan didukung oleh negara. Raja Hayam Wuruk sendiri sering digambarkan sebagai penjelmaan atau penyatuan dari Siwa dan Buddha, menunjukkan bahwa kedua dewa itu dianggap sebagai manifestasi dari satu realitas ilahi yang sama (Sang Hyang Widhi). Ini bukan hanya toleransi, melainkan sebuah integrasi filosofis dan teologis yang mendalam.
Prapanca, sebagai seorang biksu Buddha, menunjukkan pemahaman yang mendalam tentang kedua agama tersebut dan bagaimana keduanya bisa hidup berdampingan secara harmonis. Ia melihat perbedaan dalam ritual dan ajaran sebagai jalur yang berbeda menuju tujuan spiritual yang sama.
Sistem pemerintahan Majapahit mencerminkan sinkretisme ini melalui adanya dua pejabat tinggi keagamaan yang setara:
Keberadaan dua Dharmadyaksa ini, yang keduanya memiliki posisi penting di istana, adalah bukti nyata bahwa kedua agama tersebut memiliki status yang sama di mata negara. Mereka bertanggung jawab atas administrasi candi, pemeliharaan tempat-tempat suci, penyelenggaraan upacara, dan pengajaran agama. Ini memastikan bahwa kebutuhan spiritual umat Hindu maupun Buddha dapat terpenuhi dengan baik.
Negarakertagama menyebutkan pembangunan dan pemeliharaan candi-candi sebagai bagian penting dari kehidupan keagamaan. Candi-candi ini berfungsi sebagai tempat ibadah, pusat ritual, dan juga sebagai simbol kekuasaan serta legitimasi kerajaan. Banyak candi di Jawa Timur yang dibangun atau direstorasi pada masa Majapahit menunjukkan pengaruh gabungan Hindu dan Buddha.
Candi-candi didedikasikan untuk berbagai dewa-dewi Hindu (Siwa, Wisnu, Brahma) serta Buddha (Buddha, Boddhisattwa). Patung-patung yang ditemukan di situs-situs Majapahit seringkali menampilkan perpaduan gaya, atau bahkan menggambarkan dewa Siwa dan Buddha dalam satu figur (Harihara), melambangkan penyatuan dua entitas ilahi.
Selain candi, ada juga dharma atau bangunan-bangunan suci lainnya, yang seringkali merupakan kompleks keagamaan lengkap dengan tempat tinggal para pendeta dan biksu, perpustakaan, serta tempat belajar. Tempat-tempat ini menjadi pusat pendidikan dan penyebaran ajaran agama.
Bagian Negarakertagama yang menggambarkan upacara Śrāddha untuk Gayatri Rajapatni adalah salah satu contoh paling jelas tentang praktik keagamaan di Majapahit. Upacara ini memadukan unsur-unsur Hindu dan Buddha, melibatkan doa-doa, persembahan, dan ritual yang kompleks. Ini menunjukkan bagaimana ritual keagamaan menjadi bagian integral dari kehidupan istana dan kenegaraan, tidak hanya sebagai bentuk ibadah tetapi juga sebagai sarana untuk memperkuat legitimasi raja dan menjaga keseimbangan kosmis.
Ada juga ritual-ritual lain yang terkait dengan siklus pertanian, misalnya upacara memohon hujan atau kesuburan tanah, yang menunjukkan kearifan lokal dan kepercayaan animisme yang masih hidup berdampingan dengan Hindu-Buddha. Festival-festival keagamaan seringkali menjadi ajang bagi masyarakat untuk berkumpul, berinteraksi, dan memperkuat ikatan sosial mereka.
Sistem keagamaan di Majapahit, dengan penekanannya pada sinkretisme Siwa-Buddha, memiliki dampak jangka panjang pada budaya Indonesia. Konsep "Bhinneka Tunggal Ika" telah menjadi fondasi bagi pluralisme agama dan budaya di Indonesia modern. Hal ini menunjukkan bahwa persatuan dalam perbedaan bukanlah ide baru, melainkan telah berakar kuat dalam sejarah dan tradisi Nusantara.
Warisan ini juga terlihat dalam seni dan arsitektur, di mana candi-candi dan patung-patung Majapahit seringkali menunjukkan perpaduan pengaruh Hindu dan Buddha yang indah. Ini adalah bukti visual dari bagaimana dua tradisi besar dapat menyatu dan menghasilkan ekspresi budaya yang unik dan harmonis.
Secara keseluruhan, Negarakertagama menggambarkan Majapahit sebagai sebuah kerajaan di mana agama memainkan peran sentral, bukan sebagai sumber konflik, melainkan sebagai perekat yang menyatukan masyarakat di bawah panji filosofi sinkretisme yang mendalam dan luhur. Ini adalah salah satu kontribusi terbesar Majapahit terhadap peradaban Nusantara.
Karya agung Negarakertagama sempat hilang dari peredaran selama berabad-abad, hanya dikenal oleh segelintir cendekiawan atau keluarga bangsawan yang menyimpan salinannya. Kisah penemuan kembali naskah ini adalah salah satu episode paling menarik dalam sejarah filologi Indonesia.
Pada tahun 1894, ekspedisi militer Belanda ke Lombok, yang dipimpin oleh J.L.A. Brandes, menemukan sebuah perpustakaan istana milik Raja Lombok di Cakranegara. Di antara banyak naskah kuno yang disita, Brandes menemukan sebuah manuskrip unik yang terbuat dari daun lontar. Manuskrip itu adalah Negarakertagama. Penemuan ini terjadi secara kebetulan di tengah gejolak perang, di mana tentara Belanda sedang menjarah harta benda istana. Brandes, seorang ahli filologi dan linguistik, dengan cepat menyadari nilai historis dan sastra yang luar biasa dari manuskrip tersebut.
Sebelum penemuan ini, pengetahuan tentang Majapahit sebagian besar didasarkan pada prasasti-prasasti batu dan kronik-kronik yang lebih fragmentaris. Negarakertagama menawarkan detail yang belum pernah ada sebelumnya tentang kehidupan istana, wilayah kekuasaan, dan pandangan dunia Majapahit, mengubah secara fundamental pemahaman para sejarawan tentang salah satu kerajaan terbesar di Nusantara.
J.L.A. Brandes adalah sosok kunci dalam pelestarian dan studi awal Negarakertagama. Setelah penemuan, ia membawa naskah tersebut ke Batavia (Jakarta) dan kemudian ke Leiden, Belanda, di mana naskah tersebut disimpan di perpustakaan universitas. Brandes segera melakukan transkripsi naskah ke dalam aksara Latin dan memulai upaya penerjemahan dan analisis.
Sayangnya, Brandes meninggal sebelum ia dapat menyelesaikan pekerjaannya. Namun, karyanya dilanjutkan oleh para sarjana Belanda lainnya, terutama H. Kern dan N.J. Krom, yang berkontribusi pada publikasi awal teks dan komentarnya. Publikasi parsial pertama Negarakertagama dilakukan pada awal abad ke-20, yang memicu minat besar di kalangan sejarawan dan Orientalis.
Proyek penerjemahan dan studi Negarakertagama secara lebih komprehensif baru benar-benar tuntas beberapa dekade kemudian. Hermann Kern, seorang ahli Sanskerta dan Jawa Kuno, memberikan kontribusi penting. Namun, penerjemahan yang paling terkenal dan lengkap dilakukan oleh Prof. Dr. P.J. Zoetmulder, seorang ahli bahasa Jawa Kuno yang sangat dihormati, dan C.C. Berg.
Pada tahun 1960, sebuah edisi kritis dari teks asli Jawa Kuno dan terjemahan lengkap dalam bahasa Belanda diterbitkan oleh Th. Pigeaud dengan judul "Java in the 14th Century: A Study in Cultural History". Karya monumental Pigeaud ini dilengkapi dengan anotasi ekstensif, indeks, dan analisis, menjadikannya standar emas untuk studi Negarakertagama selama bertahun-tahun.
Setelah itu, banyak sarjana Indonesia juga turut serta dalam menerjemahkan dan menafsirkan Negarakertagama ke dalam bahasa Indonesia modern. Di antaranya adalah Prof. Dr. Slametmuljana dan juga Prof. Dr. R.M.Ng. Poerbatjaraka. Upaya-upaya ini memastikan bahwa warisan sastra dan sejarah ini dapat diakses oleh khalayak yang lebih luas, baik di Indonesia maupun di seluruh dunia.
Pelestarian Negarakertagama tidak hanya penting bagi studi sejarah Majapahit, tetapi juga bagi identitas nasional Indonesia. Naskah ini adalah salah satu sumber primer yang paling otentik dan rinci tentang masa lalu gemilang Nusantara. Tanpa Negarakertagama, pemahaman kita tentang Majapahit akan jauh lebih fragmentaris dan kurang mendalam.
Naskah ini juga merupakan bukti kemajuan intelektual dan artistik masyarakat Jawa Kuno. Keindahan bahasa, kerumitan metrum, dan kekayaan isi menunjukkan tingginya tingkat peradaban pada masa itu. Pelestarian Negarakertagama di perpustakaan Leiden juga menyoroti pentingnya institusi akademik dalam menjaga warisan budaya dunia.
Saat ini, Negarakertagama telah diakui oleh UNESCO sebagai bagian dari Memori Dunia (Memory of the World) pada tahun 2013, sebuah pengakuan atas nilai universal dan historisnya yang luar biasa. Pengakuan ini menegaskan kembali pentingnya upaya pelestarian terus-menerus dan aksesibilitas naskah ini untuk generasi mendatang.
Kisah penemuan dan pelestarian Negarakertagama adalah sebuah pengingat akan kerapuhan warisan budaya dan pentingnya kerja keras para sarjana dalam menggali, menerjemahkan, dan menyebarkan pengetahuan dari masa lalu untuk memperkaya pemahaman kita tentang sejarah manusia.
Negarakertagama adalah salah satu pilar utama dalam konstruksi sejarah nasional Indonesia. Sebelum penemuannya, Majapahit sudah dikenal melalui tradisi lisan dan kronik-kronik lokal, tetapi Negarakertagama memberikan detail dan legitimasi yang tak tertandingi. Kakawin ini memperkuat narasi tentang kejayaan masa lalu Indonesia, khususnya periode kerajaan Hindu-Buddha yang sangat berpengaruh.
Deskripsinya tentang "Nusantara" sebagai wilayah pengaruh Majapahit telah memberikan fondasi historis bagi konsep Indonesia modern sebagai sebuah kesatuan geografis dan politik. Meskipun batas-batas Majapahit tidak persis sama dengan Republik Indonesia, gagasan tentang kepulauan yang terhubung di bawah satu kedaulatan telah memberikan legitimasi historis bagi perjuangan kemerdekaan dan pembentukan negara bangsa.
Pelajaran dari Majapahit, seperti yang digambarkan dalam Negarakertagama, seringkali digunakan untuk menginspirasi semangat persatuan, kebanggaan nasional, dan gagasan tentang Indonesia sebagai negara besar yang pernah jaya di masa lalu.
Filosofi "Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa" yang termuat dalam kakawin era Majapahit (Sutasoma, yang sejalan dengan semangat Negarakertagama) telah diadopsi sebagai semboyan negara Indonesia. Ini adalah warisan tak ternilai dari Majapahit yang sangat relevan hingga kini. Semboyan ini menekankan pentingnya persatuan dalam keberagaman, toleransi beragama, dan keselarasan dalam masyarakat majemuk. Negarakertagama, dengan deskripsinya tentang sinkretisme Siwa-Buddha yang harmonis di istana Hayam Wuruk, memberikan contoh historis nyata tentang bagaimana prinsip ini dapat dijalankan.
Selain itu, konsep tentang kepemimpinan yang ideal, seperti yang digambarkan pada diri Hayam Wuruk, juga memberikan inspirasi etika politik. Raja yang bijaksana, adil, peduli rakyat, dan didukung oleh para menteri yang cakap, menjadi model bagi kepemimpinan yang baik. Ini mengajarkan bahwa kekuasaan harus digunakan untuk kesejahteraan umum dan menjaga dharma.
Bagi para filolog dan ahli bahasa, Negarakertagama adalah harta karun tak ternilai. Sebagai salah satu karya sastra Jawa Kuno terpanjang dan terlengkap, ia menyediakan materi yang kaya untuk mempelajari evolusi bahasa Jawa, metrum kakawin, dan gaya sastra pada abad ke-14. Teks ini memungkinkan kita untuk memahami kosakata, tata bahasa, dan idiom yang digunakan pada masa itu.
Bagi antropolog dan sejarawan budaya, Negarakertagama adalah jendela ke dalam kehidupan sosial, ritual, seni, dan kepercayaan masyarakat Majapahit. Deskripsinya tentang upacara, seni pertunjukan, stratifikasi sosial, dan sistem keagamaan memberikan wawasan yang mendalam tentang kompleksitas budaya Jawa Kuno.
Situs-situs arkeologi Majapahit di Trowulan dan daerah-daerah lain di Jawa Timur telah menjadi tujuan wisata penting. Negarakertagama memberikan konteks historis dan naratif bagi situs-situs ini, memungkinkan pengunjung untuk membayangkan kembali kemegahan masa lalu. Ini juga memperkuat identitas lokal masyarakat di sekitar situs-situs tersebut, yang bangga akan warisan Majapahit mereka.
Kisah-kisah dari Negarakertagama sering diadaptasi dalam seni pertunjukan modern, seperti drama, tari, atau wayang, menjaga agar cerita dan nilai-nilai Majapahit tetap hidup dan relevan bagi generasi baru.
Meskipun Negarakertagama memiliki nilai yang sangat tinggi, penggunaannya sebagai sumber sejarah tidak lepas dari tantangan. Sebagai sebuah kakawin yang ditulis oleh seorang pujangga istana, ia memiliki bias pro-kerajaan. Prapanca tentu saja akan menyajikan Majapahit dan Hayam Wuruk dalam cahaya yang paling positif, mungkin meminimalkan konflik internal atau kekejaman yang mungkin terjadi.
Oleh karena itu, para sejarawan modern harus kritis dalam menafsirkan Negarakertagama, membandingkannya dengan sumber-sumber lain seperti prasasti, catatan Tiongkok, atau penemuan arkeologi. Perdebatan tentang luasnya wilayah kekuasaan Majapahit yang sebenarnya, sifat hubungan dengan kerajaan-kerajaan bawahan, atau detail kehidupan sehari-hari terus berlanjut di kalangan sarjana.
Namun, justru tantangan-tantangan ini yang membuat Negarakertagama menjadi sumber yang begitu dinamis dan memicu diskusi intelektual yang berkelanjutan. Relevansinya terus berlanjut, tidak hanya sebagai cermin masa lalu, tetapi juga sebagai bahan perenungan tentang identitas, persatuan, dan kepemimpinan di masa kini.
Negarakertagama adalah sebuah monumen sastra dan sejarah yang tak ternilai, sebuah cermin yang memantulkan kemegahan Kerajaan Majapahit di puncak kejayaannya. Melalui bait-bait indah yang ditulis oleh Prapanca, kita diajak menyelami dunia Prabu Hayam Wuruk, sang raja yang ideal, Mahapatih Gajah Mada, sang arsitek politik, serta sebuah kerajaan yang makmur, teratur, dan kaya akan kebudayaan.
Kakawin ini bukan sekadar catatan peristiwa, melainkan sebuah pernyataan ideologis yang melegitimasi kekuasaan Majapahit, menggambarkan keagungan Hayam Wuruk sebagai manifestasi ilahi, dan membentangkan visi tentang sebuah 'Nusantara' yang bersatu. Kita belajar tentang struktur pemerintahan yang kompleks, kehidupan sosial yang terstratifikasi namun harmonis, ekonomi agraris dan maritim yang berkembang pesat, serta sistem keagamaan Siwa-Buddha yang mengagungkan filosofi "Bhinneka Tunggal Ika".
Penemuan kembali naskah ini pada akhir abad ke-19 telah mengubah secara drastis pemahaman kita tentang sejarah Indonesia dan menempatkan Majapahit pada posisi sentral dalam narasi kebangsaan. Negarakertagama telah menjadi sumber inspirasi bagi identitas nasional, semboyan negara, dan bahan studi yang tak ada habisnya bagi para sarjana.
Meskipun harus dibaca dengan pemahaman kritis terhadap bias penulisnya, Negarakertagama tetap menjadi saksi bisu dari sebuah peradaban agung yang pernah berdiri tegak di Nusantara. Warisannya terus hidup, mengingatkan kita akan kapasitas manusia untuk membangun masyarakat yang teratur, menciptakan karya seni yang memukau, dan merangkai filosofi yang mempersatukan dalam keberagaman, menjadikannya relevan dan berharga hingga hari ini.