Sindrom Nefrotik: Memahami Kondisi Ginjal yang Kompleks
Sindrom nefrotik adalah sekelompok gejala yang mengindikasikan kerusakan pada ginjal, khususnya pada glomerulus, struktur kecil yang bertanggung jawab menyaring limbah dan kelebihan air dari darah. Kondisi ini bukan penyakit tunggal, melainkan sindrom klinis yang ditandai oleh empat ciri utama: proteinuria masif (protein berlebih dalam urine), hipoalbuminemia (kadar albumin rendah dalam darah), edema (pembengkakan), dan hiperlipidemia (kadar lemak tinggi dalam darah). Memahami sindrom nefrotik secara mendalam sangat penting karena dapat menyebabkan komplikasi serius jika tidak ditangani dengan baik.
Estimasi prevalensi sindrom nefrotik menunjukkan bahwa kondisi ini lebih sering terjadi pada anak-anak, dengan insiden sekitar 2-7 kasus per 100.000 anak per tahun. Pada orang dewasa, insidennya berkisar 3 per 100.000 per tahun. Meskipun tergolong penyakit langka, dampaknya terhadap kualitas hidup pasien dan potensi komplikasi jangka panjang menjadikannya perhatian serius di bidang nefrologi. Artikel ini akan membahas secara komprehensif mengenai sindrom nefrotik, meliputi penyebab, patofisiologi, gejala, diagnosis, komplikasi, penatalaksanaan, hingga prospek masa depan.
Ilustrasi ginjal dengan indikasi gangguan filtrasi protein yang merupakan ciri utama sindrom nefrotik.
I. Apa Itu Sindrom Nefrotik?
Sindrom nefrotik adalah sebuah kondisi klinis yang menggambarkan kerusakan pada filter ginjal, yaitu glomerulus. Glomerulus berfungsi sebagai saringan halus yang memungkinkan air dan limbah kecil melewati, sementara mempertahankan protein penting, seperti albumin, serta sel darah di dalam aliran darah. Ketika glomerulus rusak, integritas saringan ini terganggu, menyebabkan protein dalam jumlah besar bocor ke dalam urine. Kebocoran protein yang masif ini adalah dasar dari semua gejala dan komplikasi yang terkait dengan sindrom nefrotik.
Definisi sindrom nefrotik ditegakkan berdasarkan serangkaian kriteria diagnostik, yang meliputi:
Proteinuria Masif: Ekskresi protein dalam urine melebihi 3,5 gram per 1,73 m² luas permukaan tubuh per hari pada orang dewasa, atau 40 mg/m²/jam pada anak-anak. Angka ini menunjukkan bahwa ginjal kehilangan sejumlah besar protein esensial setiap hari.
Hipoalbuminemia: Penurunan kadar albumin serum di bawah 3,0 gram per desiliter (g/dL). Albumin adalah protein utama dalam darah yang berperan penting dalam menjaga tekanan onkotik, yaitu tekanan yang menarik cairan kembali ke dalam pembuluh darah. Kehilangan albumin melalui urine menyebabkan penurunan kadar albumin dalam darah.
Edema: Pembengkakan, terutama di kelopak mata, wajah, kaki, dan kadang-kadang di seluruh tubuh (anasarka). Edema terjadi karena penurunan tekanan onkotik akibat hipoalbuminemia, yang menyebabkan cairan keluar dari pembuluh darah dan menumpuk di ruang interstisial.
Hiperlipidemia: Peningkatan kadar kolesterol dan trigliserida dalam darah. Mekanisme pasti hiperlipidemia pada sindrom nefrotik masih diteliti, namun diduga melibatkan peningkatan produksi lipoprotein di hati sebagai respons terhadap kadar albumin rendah dan penurunan pembersihan lipoprotein dari sirkulasi.
Meskipun keempat ciri ini adalah hallmark dari sindrom nefrotik, tingkat keparahan masing-masing dapat bervariasi antar individu. Sindrom ini dapat terjadi pada usia berapa pun, mulai dari bayi hingga lansia, namun etiologi dan respons terhadap pengobatan seringkali berbeda antara populasi anak-anak dan dewasa.
Penting untuk diingat bahwa sindrom nefrotik bukanlah penyakit ginjal itu sendiri, melainkan manifestasi dari berbagai penyakit yang merusak glomerulus. Identifikasi penyebab yang mendasari sangat krusial untuk menentukan strategi pengobatan yang paling tepat dan memprediksi prognosis.
II. Penyebab Sindrom Nefrotik
Penyebab sindrom nefrotik sangat beragam dan dapat dikategorikan menjadi dua kelompok besar: primer (idiopatik) dan sekunder.
A. Sindrom Nefrotik Primer (Idiopatik)
Sindrom nefrotik primer terjadi ketika kerusakan glomerulus bukan disebabkan oleh penyakit sistemik lain yang diketahui. Ini adalah penyebab paling umum pada anak-anak dan juga signifikan pada orang dewasa. Jenis-jenis utamanya meliputi:
Minimal Change Disease (MCD): Ini adalah penyebab sindrom nefrotik paling umum pada anak-anak (sekitar 80-90% kasus) dan juga ditemukan pada orang dewasa (10-15% kasus). Pada MCD, biopsi ginjal menunjukkan glomerulus yang tampak normal di bawah mikroskop cahaya, tetapi mikroskop elektron mengungkapkan kerusakan halus pada podosit (sel-sel khusus di glomerulus) yang disebut "foot process effacement". MCD umumnya memiliki prognosis yang baik dan sering merespons dengan baik terhadap terapi kortikosteroid.
Focal Segmental Glomerulosclerosis (FSGS): FSGS adalah penyebab sindrom nefrotik kedua paling umum pada anak-anak dan sering menjadi penyebab utama pada orang dewasa, terutama pada populasi tertentu seperti Afrika-Amerika. Ini ditandai oleh sklerosis (jaringan parut) pada sebagian glomerulus (fokal) dan hanya pada sebagian dari gumpalan kapiler glomerulus (segmental). FSGS lebih sulit diobati daripada MCD, lebih sering menyebabkan kegagalan ginjal tahap akhir (ESRD), dan memiliki tingkat kekambuhan yang lebih tinggi setelah transplantasi ginjal. Ada beberapa varian FSGS, termasuk kolaps, selular, dan tiplike.
Membranous Nephropathy (MN): MN adalah penyebab paling umum sindrom nefrotik primer pada orang dewasa Kaukasia. Ini ditandai oleh penebalan dinding kapiler glomerulus akibat deposisi kompleks imun di bawah sel-sel epitel (subepitelial). Deposisi ini memicu reaksi inflamasi yang merusak membran dasar glomerulus dan podosit. MN dapat bersifat idiopatik (primer) atau sekunder akibat penyakit lain seperti lupus, infeksi (Hepatitis B, C), atau obat-obatan. Prognosis bervariasi; beberapa pasien mengalami remisi spontan, sementara yang lain berkembang menjadi ESRD.
Membranoproliferative Glomerulonephritis (MPGN): Dikenal juga sebagai glomerulonefritis mesangiokapiler, MPGN ditandai oleh proliferasi sel-sel mesangial dan matriks, infiltrasi leukosit, dan penebalan dinding kapiler glomerulus. MPGN seringkali dikaitkan dengan infeksi kronis (terutama Hepatitis C) atau penyakit autoimun, namun juga bisa primer. MPGN dibagi menjadi Tipe I (deposisi kompleks imun subendotelial dan mesangial) dan Tipe II (densitas deposit pada membran dasar glomerulus).
B. Sindrom Nefrotik Sekunder
Sindrom nefrotik sekunder terjadi sebagai akibat dari penyakit sistemik lain, infeksi, obat-obatan, atau kondisi medis lainnya yang secara tidak langsung merusak glomerulus. Identifikasi dan penanganan penyakit primer sangat penting untuk mengendalikan sindrom nefrotik sekunder.
Beberapa penyebab sekunder yang umum meliputi:
Diabetes Mellitus (Nefropati Diabetik): Ini adalah penyebab paling umum penyakit ginjal stadium akhir dan sindrom nefrotik pada orang dewasa di seluruh dunia. Kadar gula darah yang tinggi secara kronis merusak pembuluh darah kecil di ginjal, termasuk glomerulus, menyebabkan penebalan membran dasar glomerulus, peningkatan matriks mesangial, dan sklerosis. Proteinuria adalah salah satu tanda awal nefropati diabetik.
Lupus Eritematosus Sistemik (LES) (Lupus Nefritis): LES adalah penyakit autoimun di mana sistem kekebalan tubuh menyerang jaringannya sendiri, termasuk ginjal. Lupus nefritis dapat bermanifestasi dalam berbagai pola histologis, dan beberapa di antaranya dapat menyebabkan sindrom nefrotik, seperti lupus nefritis kelas V (glomerulonefritis membranosa) atau kombinasi dengan pola proliferatif.
Amiloidosis: Penyakit ini melibatkan deposisi protein amiloid abnormal di berbagai organ, termasuk ginjal. Di ginjal, amiloid mengendap di glomerulus dan tubulus, mengganggu fungsi filtrasi dan menyebabkan proteinuria masif, seringkali disertai sindrom nefrotik. Amiloidosis dapat disebabkan oleh penyakit inflamasi kronis, mieloma multipel, atau mutasi genetik.
Infeksi: Beberapa infeksi dapat memicu sindrom nefrotik:
Hepatitis B dan C: Terutama Hepatitis C, sering dikaitkan dengan MPGN dan membranous nephropathy.
HIV (HIV-Associated Nephropathy/HIVAN): Merupakan bentuk FSGS kolaps yang agresif, sering terjadi pada pasien HIV.
Malaria: Terutama pada anak-anak di daerah endemik, dapat menyebabkan nefropati terkait malaria.
Sifilis, Endokarditis Bakterial, dan Infeksi Lainnya: Dapat menyebabkan glomerulonefritis imun-kompleks yang bermanifestasi sebagai sindrom nefrotik.
Obat-obatan: Beberapa obat dapat menyebabkan sindrom nefrotik sebagai efek samping, misalnya:
NSAID (Non-Steroidal Anti-Inflammatory Drugs): Dapat menyebabkan MCD atau MN.
Lithium: Dikaitkan dengan MCD.
Penisilamin, Garam Emas: Dikaitkan dengan membranous nephropathy.
Bifosfonat (terutama pamidronate): Dapat menyebabkan FSGS kolaps.
Kanker (Penyakit Neoplastik): Beberapa jenis kanker, terutama limfoma Hodgkin, limfoma non-Hodgkin, leukimia, dan karsinoma padat (paru, lambung, usus besar, payudara), dapat menyebabkan sindrom nefrotik, paling sering melalui membranous nephropathy atau MCD (terutama pada limfoma Hodgkin).
Penyakit Vaskulitis Sistemik: Seperti granulomatosis dengan poliangitis (Wegener's granulomatosis), polyarteritis nodosa, atau mikroskopik poliangitis, yang dapat menyebabkan kerusakan glomerulus.
Penyakit Genetik: Beberapa kelainan genetik langka dapat menyebabkan sindrom nefrotik bawaan (kongenital) atau sindrom nefrotik familial, seperti sindrom Alport atau mutasi pada gen yang mengkode protein podosit (misalnya, NPHS1, NPHS2).
Dengan banyaknya potensi penyebab, proses diagnostik yang cermat sangat diperlukan untuk membedakan antara sindrom nefrotik primer dan sekunder, karena strategi penanganannya akan sangat berbeda.
III. Patofisiologi Sindrom Nefrotik
Patofisiologi sindrom nefrotik berpusat pada kerusakan atau disfungsi sawar filtrasi glomerulus, yang secara normal mencegah protein berukuran besar seperti albumin masuk ke dalam urine. Sawar filtrasi glomerulus terdiri dari tiga lapisan utama:
Sel Endotel Kapiler Glomerulus: Lapisan paling dalam, memiliki fenestrasi (jendela) yang memungkinkan filtrasi.
Membran Dasar Glomerulus (GBM): Lapisan tengah yang non-selular, kaya akan kolagen tipe IV dan proteoglikan (terutama heparan sulfat) yang memberikan muatan negatif.
Podosit (Sel Epitel Visceral): Lapisan terluar, memiliki juluran kaki (foot processes) yang saling bertautan dan membentuk celah filtrasi (slit diaphragms) yang sangat penting dalam mempertahankan protein.
Pada sindrom nefrotik, salah satu atau kombinasi dari komponen-komponen sawar filtrasi ini mengalami kerusakan, paling sering melibatkan podosit. Kerusakan podosit menyebabkan effacement foot process (juluran kaki podosit menyatu), gangguan integritas slit diaphragm, dan hilangnya muatan negatif yang normalnya menolak protein bermuatan negatif seperti albumin. Akibatnya, protein dalam jumlah besar dapat lolos dari darah ke dalam urin, memicu serangkaian peristiwa patofisiologis:
A. Proteinuria Masif
Ini adalah tanda utama sindrom nefrotik. Hilangnya integritas sawar filtrasi menyebabkan albumin dan protein lain dengan berat molekul rendah hingga menengah (misalnya, transferin, imunoglobulin) bocor ke dalam urin. Proteinuria masif didefinisikan sebagai ekskresi protein lebih dari 3,5 g/1,73 m²/hari pada dewasa.
B. Hipoalbuminemia
Kehilangan albumin yang terus-menerus melalui urin melebihi kapasitas hati untuk mensintesisnya, menyebabkan penurunan kadar albumin dalam serum (biasanya < 3,0 g/dL). Albumin adalah protein utama yang bertanggung jawab untuk mempertahankan tekanan onkotik (koloid osmotik) di dalam pembuluh darah.
C. Edema
Hipoalbuminemia yang parah menyebabkan penurunan tekanan onkotik plasma. Tekanan onkotik adalah gaya yang menarik cairan kembali ke dalam kapiler. Ketika tekanan ini menurun, cairan lebih mudah berpindah dari ruang intravaskular (dalam pembuluh darah) ke ruang interstisial (di antara sel-sel), menyebabkan akumulasi cairan dan pembengkakan. Edema awalnya muncul di area gravitasi rendah seperti kelopak mata (edema periorbital) di pagi hari, dan kemudian menyebar ke kaki, tangan, area sakral, dan akhirnya dapat menjadi edema anasarka (pembengkakan seluruh tubuh) disertai asites (cairan di rongga perut) dan efusi pleura (cairan di rongga paru-paru).
Ada dua teori utama yang menjelaskan mekanisme edema pada sindrom nefrotik:
Teori "Underfill": Mengemukakan bahwa hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik plasma, yang mengakibatkan transudasi (kebocoran) cairan dari intravaskular ke interstisial. Volume intravaskular kemudian menurun (terjadi "underfill"), memicu sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAAS) dan pelepasan hormon antidiuretik (ADH). Ini menyebabkan ginjal menahan natrium dan air untuk mencoba mengembalikan volume intravaskular, tetapi penahanan ini justru memperburuk edema karena cairan terus berpindah ke ruang interstisial.
Teori "Overfill": Mengusulkan adanya retensi natrium dan air primer oleh tubulus ginjal, terlepas dari status volume intravaskular. Hal ini mungkin disebabkan oleh resistensi terhadap peptida natriuretik atrial (ANP) atau aktivasi langsung saluran natrium epitel (ENaC) di tubulus kolektif. Penahanan natrium dan air ini menyebabkan ekspansi volume intravaskular yang kemudian bocor ke ruang interstisial akibat hipoalbuminemia.
Kemungkinan besar, kedua mekanisme ini berperan dalam berbagai tingkatan pada setiap pasien.
D. Hiperlipidemia
Peningkatan kadar kolesterol total, kolesterol LDL (low-density lipoprotein), dan trigliserida dalam darah adalah ciri khas sindrom nefrotik. Mekanisme yang mendasari kompleks dan melibatkan:
Peningkatan Sintesis Lipoprotein Hati: Hipoalbuminemia dan tekanan onkotik plasma yang rendah diduga merangsang hati untuk meningkatkan sintesis lipoprotein (terutama VLDL dan LDL) serta albumin. Hati menginterpretasikan penurunan tekanan onkotik sebagai "kekurangan nutrisi" dan merespons dengan meningkatkan produksi protein dan lipid.
Penurunan Katabolisme Lipoprotein: Kehilangan protein penting seperti lipoprotein lipase (LPL) dan apolipoprotein C-II (ko-faktor LPL) melalui urin dapat mengganggu pembersihan trigliserida dari sirkulasi. Selain itu, peningkatan produksi apolipoprotein B-100 dan apolipoprotein E juga berkontribusi pada hiperlipidemia.
Hiperlipidemia kronis pada sindrom nefrotik meningkatkan risiko aterosklerosis dini dan penyakit kardiovaskular.
E. Komplikasi Lain Akibat Hilangnya Protein Lain
Proteinuria tidak hanya melibatkan albumin, tetapi juga protein lain yang penting untuk homeostasis tubuh, menyebabkan serangkaian komplikasi:
Hilangnya Antithrombin III: Antithrombin III adalah antikoagulan alami. Kehilangannya menyebabkan keadaan hiperkoagulabilitas, meningkatkan risiko trombosis (pembekuan darah), terutama trombosis vena renalis, trombosis vena dalam, dan emboli paru.
Hilangnya Imunoglobulin (IgG): Penurunan kadar IgG menyebabkan gangguan kekebalan tubuh, meningkatkan kerentanan terhadap infeksi, terutama oleh bakteri berkapsul seperti Streptococcus pneumoniae.
Hilangnya Protein Pengikat Hormon Tiroid: Dapat menyebabkan hipotiroidisme subklinis.
Hilangnya Cholecalciferol-binding protein (Protein Pengikat Vitamin D): Dapat menyebabkan defisiensi vitamin D dan gangguan metabolisme kalsium, berkontribusi pada risiko osteopenia/osteoporosis.
Hilangnya Transferin: Protein pengikat besi, kehilangannya dapat berkontribusi pada anemia mikrositik hipokrom.
Dengan demikian, sindrom nefrotik adalah kondisi multiorgan yang kompleks, di mana kerusakan glomerulus memicu kaskade kejadian patofisiologis yang memengaruhi hampir setiap sistem tubuh.
IV. Gejala Klinis
Gejala klinis sindrom nefrotik utamanya berasal dari empat ciri khas yang telah disebutkan (proteinuria, hipoalbuminemia, edema, hiperlipidemia), serta komplikasi yang menyertainya. Pasien mungkin datang dengan gejala yang ringan dan berkembang secara bertahap, atau onset yang lebih akut dan dramatis.
A. Gejala Utama dan Paling Jelas
Edema (Pembengkakan): Ini adalah keluhan paling umum yang membawa pasien ke dokter. Edema pada sindrom nefrotik bersifat pitting (meninggalkan lekukan saat ditekan) dan cenderung simetris.
Edema Periorbital: Pembengkakan di sekitar mata, seringkali paling terlihat di pagi hari setelah berbaring.
Edema Ekstremitas: Pembengkakan pada kaki, pergelangan kaki, dan tangan.
Edema Sakral: Pembengkakan di punggung bagian bawah pada pasien yang berbaring lama.
Asites: Penumpukan cairan di rongga perut, menyebabkan perut membuncit.
Efusi Pleura: Penumpukan cairan di rongga paru-paru, yang dapat menyebabkan sesak napas.
Anasarka: Edema menyeluruh yang parah di seluruh tubuh.
Urin Berbusa (Foamy Urine): Kehadiran protein dalam jumlah besar dalam urin dapat menyebabkan urin terlihat berbusa seperti busa sabun. Ini adalah tanda yang tidak spesifik tetapi sering dilaporkan oleh pasien.
Kenaikan Berat Badan: Akibat retensi cairan yang signifikan. Kenaikan berat badan bisa cepat dan drastis.
B. Gejala Lain yang Mungkin Timbul
Kelelahan dan Malaise: Umum terjadi, seringkali karena efek penyakit sistemik yang mendasari, malnutrisi, atau anemia.
Penurunan Nafsu Makan (Anoreksia) dan Mual: Dapat terjadi, terutama jika ada asites yang menekan saluran pencernaan atau akibat komplikasi lain.
Nyeri Perut: Dapat disebabkan oleh asites, peritonitis bakterial spontan (komplikasi infeksi), atau trombosis vena renalis.
Diare: Terkadang terjadi akibat edema pada dinding usus.
Oliguria (Produksi Urin Berkurang): Dapat terjadi pada kasus dehidrasi berat (akibat perpindahan cairan ke ruang interstisial) atau jika terjadi gagal ginjal akut.
Tekanan Darah: Pada banyak kasus, tekanan darah bisa normal atau bahkan rendah (hipotensi) karena volume intravaskular yang menurun ("underfill"). Namun, pada beberapa etiologi (misalnya FSGS, nefropati diabetik) atau jika ada komplikasi gagal ginjal, hipertensi dapat terjadi.
Xanthoma atau Xanthelasma: Nodul lemak berwarna kuning pada kulit atau kelopak mata, sebagai manifestasi hiperlipidemia berat yang kronis.
Kuku Muehrcke: Garis putih horizontal ganda pada kuku, terkait dengan hipoalbuminemia.
Pada anak-anak, sindrom nefrotik seringkali berawal secara tiba-tiba dengan edema periorbital yang cepat, diikuti oleh edema di ekstremitas dan asites. Orang tua mungkin juga melaporkan urin berbusa atau anak tampak lesu. Pada orang dewasa, onset mungkin lebih bertahap, dan diagnosis kadang-kadang tertunda karena gejala yang tidak terlalu dramatis pada awalnya.
Penting bagi tenaga medis untuk melakukan anamnesis yang cermat dan pemeriksaan fisik yang menyeluruh untuk mengidentifikasi semua gejala dan tanda, serta mencari petunjuk mengenai penyebab yang mendasari sindrom nefrotik. Misalnya, adanya ruam kupu-kupu mungkin mengarahkan pada lupus, atau riwayat diabetes yang tidak terkontrol.
V. Diagnosis
Diagnosis sindrom nefrotik melibatkan kombinasi anamnesis, pemeriksaan fisik, dan serangkaian pemeriksaan laboratorium yang bertujuan untuk mengkonfirmasi sindrom, menilai tingkat keparahan, mengidentifikasi komplikasi, dan menentukan penyebab yang mendasari.
A. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Anamnesis:
Keluhan Utama: Pembengkakan (lokasi, onset, progresivitas), urin berbusa, kenaikan berat badan.
Riwayat Penyakit Dahulu: Diabetes, hipertensi, penyakit autoimun (misalnya lupus), infeksi (Hepatitis B/C, HIV), riwayat penggunaan obat-obatan (NSAID, garam emas, litium).
Riwayat Keluarga: Adanya penyakit ginjal dalam keluarga.
Penilaian Edema: Lokasi (periorbital, sakral, ekstremitas), derajat pitting, adanya asites (pembengkakan perut, shifting dullness), efusi pleura (penurunan suara napas).
Status Gizi: Penilaian berat badan dan tinggi badan (terutama pada anak-anak), tanda-tanda malnutrisi.
Tekanan Darah: Dapat normal, rendah, atau tinggi tergantung etiologi dan status volume.
Pemeriksaan Sistem Lain: Untuk mencari tanda-tanda penyakit sistemik yang mendasari (misalnya, ruam malar pada lupus, hepatomegali pada amiloidosis atau hepatitis).
B. Pemeriksaan Laboratorium
Ini adalah bagian krusial dari diagnosis dan penentuan etiologi.
Urin Lengkap dan Protein Urin Kuantitatif:
Urinalisis: Akan menunjukkan proteinuria yang tinggi (biasanya 3+ atau 4+ pada dipstick), mungkin disertai silinder lemak atau oval fat bodies. Hematuria (darah dalam urin) bisa ada tetapi tidak dominan, dan jika dominan harus dicurigai glomerulonefritis proliferatif.
Rasio Protein/Kreatinin Urin Acak: Ini adalah skrining yang cepat dan efisien. Rasio > 2-3 mg/mg (atau > 200-300 mg/mmol) sangat sugestif proteinuria masif.
Protein Urin 24 Jam: Ini adalah standar baku emas untuk mengukur proteinuria. Hasil > 3,5 g/24 jam pada dewasa (atau > 40 mg/m²/jam pada anak-anak) mengkonfirmasi proteinuria masif.
Kimia Darah:
Albumin Serum: < 3,0 g/dL adalah kriteria diagnostik.
Profil Lipid: Peningkatan kolesterol total, LDL, dan trigliserida (hiperlipidemia).
Fungsi Ginjal: Kreatinin serum dan Blood Urea Nitrogen (BUN) untuk menilai fungsi ginjal. eGFR (estimated Glomerular Filtration Rate) juga perlu dihitung. Gagal ginjal akut atau kronis dapat menyertai sindrom nefrotik.
Elektrolit Serum: Natrium, kalium, klorida, bikarbonat. Hiponatremia dilusional dapat terjadi karena retensi cairan.
Glukosa Darah: Untuk menyingkirkan atau mengkonfirmasi diabetes sebagai penyebab.
Pemeriksaan untuk Etiologi Sekunder:
Penanda Autoimun: ANA (antinuclear antibody), Anti-dsDNA (anti-double stranded DNA) untuk Lupus, C3 dan C4 komplemen (mungkin rendah pada lupus nefritis, MPGN).
Serologi Hepatitis B dan C: HBsAg, Anti-HCV.
Tes HIV.
Elektroforesis Protein Serum dan Urin: Untuk mencari gamopati monoklonal (misalnya, mieloma multipel, amiloidosis).
Cryoglobulin: Terutama jika dicurigai MPGN terkait Hepatitis C.
Faktor Rematoid (RF).
Pemeriksaan Penunjang Lain:
Hitung Darah Lengkap (Complete Blood Count): Untuk menilai anemia atau infeksi.
Tiroglobulin dan TSH: Untuk menilai fungsi tiroid jika dicurigai hipotiroidisme.
Vaksinasi: Riwayat vaksinasi pneumokokus dan influenza.
C. Biopsi Ginjal
Biopsi ginjal adalah prosedur invasif di mana sampel jaringan ginjal diambil dan diperiksa di bawah mikroskop cahaya, imunofluoresensi, dan mikroskop elektron. Ini adalah alat diagnostik paling penting untuk menentukan jenis histopatologis sindrom nefrotik dan seringkali penyebabnya, terutama pada orang dewasa.
Indikasi Biopsi Ginjal:
Semua pasien dewasa dengan sindrom nefrotik (kecuali ada kontraindikasi kuat).
Anak-anak yang tidak merespons terhadap kortikosteroid (steroid-resistant nephrotic syndrome), atau yang memiliki tanda-tanda atipikal (misalnya, usia sangat muda, hipertensi persisten, hematuria makroskopis atau mikroskopis signifikan, disfungsi ginjal).
Kasus di mana ada kecurigaan kuat sindrom nefrotik sekunder yang tidak dapat dikonfirmasi dengan tes non-invasif.
Kontraindikasi Biopsi Ginjal:
Gangguan pembekuan darah yang tidak terkoreksi.
Hipertensi berat yang tidak terkontrol.
Ginjal tunggal (kecuali dengan indikasi kuat dan persiapan khusus).
Infeksi aktif di ginjal atau sekitarnya.
Ginjal yang sangat kecil dan atrofi.
Hasil biopsi ginjal akan mengidentifikasi pola histopatologis (misalnya, MCD, FSGS, MN) yang sangat penting untuk memandu pengobatan dan memprediksi prognosis.
VI. Komplikasi Sindrom Nefrotik
Sindrom nefrotik yang tidak diobati atau tidak terkontrol dapat menyebabkan berbagai komplikasi serius dan mengancam jiwa. Komplikasi ini utamanya disebabkan oleh hilangnya protein esensial melalui urine dan gangguan homeostasis tubuh.
A. Infeksi
Pasien sindrom nefrotik sangat rentan terhadap infeksi, terutama oleh bakteri berkapsul (misalnya, Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae). Mekanisme kerentanan ini meliputi:
Kehilangan Imunoglobulin (IgG): IgG adalah antibodi penting yang bocor melalui urin.
Gangguan Fungsi Sel T: Respons imun seluler mungkin terganggu.
Kehilangan Faktor Komplemen: Terutama faktor B, yang penting dalam jalur alternatif komplemen.
Edema dan Asites: Cairan edema yang statis dan asites menjadi media tumbuh yang baik bagi bakteri, menyebabkan peritonitis bakterial spontan (SBP) sebagai komplikasi yang sering dan serius.
Malnutrisi: Dapat memperburuk status imun.
Infeksi umum meliputi peritonitis bakterial spontan, selulitis (sering pada daerah edema), pneumonia, infeksi saluran kemih, dan sepsis. Vaksinasi (pneumokokus dan influenza) sangat direkomendasikan untuk pasien sindrom nefrotik.
B. Tromboemboli
Sindrom nefrotik adalah keadaan hiperkoagulabilitas, yang berarti darah lebih mudah membeku. Risiko tromboemboli (pembentukan bekuan darah) sangat meningkat. Ini adalah komplikasi serius dan penyebab morbiditas serta mortalitas yang signifikan pada pasien nefrotik, terutama pada orang dewasa.
Mekanisme hiperkoagulabilitas meliputi:
Kehilangan Antithrombin III: Antithrombin III adalah inhibitor koagulasi alami yang bocor melalui urin.
Peningkatan Faktor Prokoagulan: Peningkatan sintesis faktor pembekuan darah oleh hati (misalnya, fibrinogen, faktor V, VII, VIII) sebagai respons terhadap hipoalbuminemia.
Peningkatan Aktivasi Trombosit: Trombosit menjadi lebih lengket dan mudah teraktivasi.
Gangguan Fibrinolisis: Sistem yang melarutkan bekuan darah mungkin terganggu.
Bekuan darah dapat terbentuk di mana saja, tetapi yang paling sering adalah:
Trombosis Vena Renalis (RVT): Pembekuan darah di vena yang mengalirkan darah dari ginjal. Gejala meliputi nyeri pinggang akut, hematuria, dan penurunan fungsi ginjal mendadak.
Deep Vein Thrombosis (DVT): Pembekuan darah di vena dalam, biasanya di kaki.
Emboli Paru (PE): Bekuan darah yang lepas dari DVT dan bergerak ke paru-paru, menyebabkan sesak napas dan nyeri dada, bisa fatal.
Trombosis Arteri: Lebih jarang, tetapi bisa terjadi, menyebabkan iskemia organ.
C. Gagal Ginjal Akut (Acute Kidney Injury - AKI)
AKI dapat terjadi pada sindrom nefrotik melalui beberapa mekanisme:
Hipovolemia Relatif: Meskipun ada edema berat, volume intravaskular mungkin berkurang (underfill), menyebabkan perfusi ginjal yang buruk dan AKI prerenal.
Penggunaan Diuretik Berlebihan: Dehidrasi yang terlalu agresif dapat memperburuk hipovolemia.
AKI intrinsik: Dapat disebabkan oleh jenis glomerulonefritis yang mendasari, seperti FSGS kolaps, atau komplikasi seperti trombosis vena renalis.
Nekrosis Tubulus Akut (ATN): Disebabkan oleh iskemia atau penggunaan obat nefrotoksik.
D. Dislipidemia dan Aterosklerosis Dini
Hiperlipidemia kronis pada sindrom nefrotik meningkatkan risiko perkembangan aterosklerosis (pengerasan pembuluh darah) dan penyakit kardiovaskular (PJK, stroke) dalam jangka panjang, bahkan pada usia muda.
E. Malnutrisi Protein-Energi
Kehilangan protein yang masif melalui urin, disertai anoreksia, mual, dan katabolisme protein yang meningkat, dapat menyebabkan malnutrisi, terutama pada anak-anak. Hal ini dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan.
F. Kekurangan Vitamin D dan Gangguan Metabolik Tulang
Kehilangan protein pengikat vitamin D melalui urin dapat menyebabkan defisiensi vitamin D. Hal ini, ditambah dengan kemungkinan gangguan metabolisme kalsium, dapat meningkatkan risiko osteopenia dan osteoporosis.
G. Anemia
Anemia dapat terjadi akibat beberapa faktor:
Kehilangan Transferin: Protein pengikat besi yang bocor melalui urin.
Inflamasi Kronis: Anemia penyakit kronis.
Defisiensi Zat Besi: Akibat nutrisi yang buruk.
Penggunaan Obat: Beberapa obat imunosupresan dapat menyebabkan mielosupresi.
H. Hipotiroidisme
Kehilangan thyroid-binding globulin (TBG) melalui urin dapat menyebabkan penurunan kadar hormon tiroid total, meskipun kadar hormon bebas (yang aktif) mungkin tetap normal. Namun, hipotiroidisme subklinis bisa terjadi dan perlu dipantau.
I. Gagal Ginjal Kronis (Chronic Kidney Disease - CKD)
Bergantung pada etiologi dan respons terhadap pengobatan, sindrom nefrotik dapat berkembang menjadi gagal ginjal kronis dan akhirnya penyakit ginjal stadium akhir (ESRD) yang memerlukan dialisis atau transplantasi ginjal. Risiko ini lebih tinggi pada FSGS dan beberapa bentuk MN atau MPGN.
Pengelolaan komplikasi ini merupakan bagian integral dari penatalaksanaan sindrom nefrotik, seringkali memerlukan pendekatan multidisiplin.
VII. Penatalaksanaan (Pengobatan)
Penatalaksanaan sindrom nefrotik bersifat kompleks dan multidisiplin, bertujuan untuk mencapai remisi proteinuria, mengelola edema, mencegah dan mengobati komplikasi, serta menargetkan penyebab yang mendasari. Pendekatan pengobatan akan sangat bervariasi tergantung pada etiologi (primer vs. sekunder), usia pasien, tingkat keparahan, dan respons terhadap terapi awal.
A. Terapi Non-Farmakologis dan Suportif
Diet:
Pembatasan Garam (Natrium): Sangat penting untuk mengelola edema dan hipertensi. Asupan natrium biasanya dibatasi hingga 1-2 gram per hari.
Pembatasan Cairan: Hanya diperlukan jika edema sangat parah atau ada hiponatremia dilusional yang signifikan.
Protein: Asupan protein umumnya tidak dibatasi secara ketat, bahkan kadang-kadang disarankan asupan protein normal (1,0-1,2 g/kg berat badan ideal per hari) untuk mengganti kehilangan protein, kecuali jika ada bukti penurunan fungsi ginjal yang signifikan (CKD) di mana pembatasan protein mungkin diperlukan.
Lemak: Pembatasan lemak jenuh dan kolesterol untuk membantu mengelola hiperlipidemia.
Pemantauan Berat Badan Harian: Untuk menilai respons terhadap diuretik dan status cairan.
Istirahat: Pada fase akut dengan edema berat, tirah baring mungkin diperlukan.
Edukasi Pasien: Mengenai penyakit, pengobatan, efek samping, dan pentingnya kepatuhan.
B. Terapi Farmakologis untuk Mengatasi Gejala dan Komplikasi
Diuretik:
Diuretik Loop (misalnya, Furosemid): Obat utama untuk mengatasi edema. Seringkali diberikan dalam dosis tinggi atau kombinasi dengan diuretik lain.
Diuretik Tiazid (misalnya, Hidroklorotiazid) atau Diuretik Hemat Kalium (misalnya, Spironolakton): Dapat digunakan dalam kombinasi dengan diuretik loop untuk efek sinergis, terutama jika edema refrakter. Spironolakton juga bermanfaat untuk mengatasi hiperaldosteronisme sekunder yang terjadi pada hipovolemia.
Perhatian: Penggunaan diuretik harus hati-hati untuk menghindari dehidrasi berlebihan, hipovolemia, dan potensi memburuknya fungsi ginjal atau peningkatan risiko trombosis.
ACE Inhibitor (ACEI) atau Angiotensin Receptor Blocker (ARB):
Obat-obatan ini tidak hanya mengontrol tekanan darah tetapi juga secara efektif mengurangi proteinuria dengan mengurangi tekanan intraglomerular. Ini adalah terapi adjunctive penting pada hampir semua pasien sindrom nefrotik, terutama jika ada hipertensi atau proteinuria persisten, kecuali jika ada kontraindikasi (misalnya, hiperkalemia, stenosis arteri renalis bilateral).
Statin (HMG-CoA Reductase Inhibitors):
Untuk mengelola hiperlipidemia, terutama jika kadar kolesterol LDL tetap tinggi meskipun diet dan remisi proteinuria. Obat ini membantu mengurangi risiko aterosklerosis jangka panjang.
Antikoagulan:
Profilaksis atau Terapi Antikoagulan: Dipertimbangkan pada pasien dengan risiko tinggi trombosis (misalnya, kadar albumin serum < 2,0-2,5 g/dL, riwayat tromboemboli, trombosis vena renalis). Heparin (tidak terpecah atau berat molekul rendah) atau Warfarin (antagonis vitamin K) dapat digunakan. Durasi terapi disesuaikan dengan risiko individu dan respons terhadap pengobatan sindrom nefrotik.
Vaksinasi:
Vaksin Pneumokokus dan Influenza: Sangat direkomendasikan untuk mengurangi risiko infeksi berat pada pasien yang imunosupresi atau rentan.
Suplemen:
Vitamin D dan Kalsium: Jika ada bukti defisiensi vitamin D atau risiko osteopenia/osteoporosis.
C. Terapi Imunosupresif (Khusus untuk Sindrom Nefrotik Primer atau Sekunder yang Merespons Imunosupresi)
Ini adalah terapi inti untuk menginduksi remisi pada sindrom nefrotik primer dan beberapa bentuk sindrom nefrotik sekunder.
Lini Pertama: Terutama untuk Minimal Change Disease (MCD) pada anak-anak, dan seringkali juga pada orang dewasa. Dosis tinggi biasanya diberikan pada awalnya, diikuti dengan tapering dosis secara bertahap.
Efek Samping: Peningkatan berat badan, moon face, jerawat, hipertensi, hiperglikemia, osteopenia, katarak, glaukoma, gangguan pertumbuhan pada anak, peningkatan risiko infeksi.
Obat Imunosupresif Non-Steroid: Digunakan untuk pasien yang steroid-dependent (kekambuhan saat dosis steroid diturunkan), steroid-resistant (tidak merespons steroid), atau tidak toleran terhadap efek samping steroid.
Inhibitor Kalsineurin (CNI) (misalnya, Siklosporin, Takrolimus): Efektif untuk MCD dan FSGS steroid-resistant/dependent, serta membranous nephropathy. Bekerja dengan menghambat aktivasi sel T.
Mikofenolat Mofetil (MMF): Digunakan dalam kombinasi atau sebagai alternatif untuk CNI, terutama pada lupus nefritis, FSGS, dan membranous nephropathy.
Rituximab (Anti-CD20 Monoclonal Antibody): Targetnya adalah sel B. Digunakan untuk MCD dan FSGS yang refrakter atau steroid-resistant, terutama pada pasien yang gagal dengan terapi lain.
Antibodi Monoklonal Lainnya: Pengembangan terapi baru terus berlanjut, menargetkan jalur imun spesifik.
D. Penatalaksanaan Penyebab Sekunder
Jika sindrom nefrotik disebabkan oleh penyakit sekunder, pengobatan harus difokuskan pada penyakit yang mendasari:
Nefropati Diabetik: Kontrol glukosa darah yang ketat, kontrol tekanan darah (ACEI/ARB), dan manajemen risiko kardiovaskular.
Lupus Nefritis: Kortikosteroid dosis tinggi dan imunosupresan lain (MMF, siklofosfamid, rituximab).
Amiloidosis: Pengobatan penyakit dasar yang menyebabkan amiloidosis (misalnya, kemoterapi untuk mieloma multipel, kontrol inflamasi kronis).
Infeksi: Terapi antivirus (misalnya, untuk Hepatitis C, HIV) atau antibiotik untuk infeksi bakteri kronis.
Obat-obatan: Penghentian atau penggantian obat yang dicurigai sebagai penyebab.
E. Pemantauan Jangka Panjang
Pasien dengan sindrom nefrotik memerlukan pemantauan jangka panjang yang cermat untuk menilai respons terhadap pengobatan, mendeteksi kekambuhan, dan mengelola komplikasi. Ini meliputi pemantauan proteinuria, fungsi ginjal, profil lipid, tekanan darah, dan tanda-tanda infeksi.
Pentingnya kepatuhan pasien terhadap regimen pengobatan, termasuk obat-obatan dan modifikasi gaya hidup, tidak dapat diremehkan. Sindrom nefrotik adalah kondisi kronis yang seringkali memerlukan manajemen berkelanjutan untuk mencegah progresivitas penyakit ginjal dan komplikasi yang mengancam jiwa.
VIII. Prognosis
Prognosis sindrom nefrotik sangat bervariasi dan bergantung pada beberapa faktor kunci, termasuk penyebab yang mendasari, usia pasien, respons terhadap terapi, dan ada tidaknya komplikasi.
A. Faktor yang Mempengaruhi Prognosis
Etiologi (Penyebab):
Minimal Change Disease (MCD): Memiliki prognosis terbaik. Sebagian besar anak-anak dan orang dewasa dengan MCD merespons dengan baik terhadap kortikosteroid dan mencapai remisi penuh. Meskipun kekambuhan sering terjadi, jarang berkembang menjadi gagal ginjal kronis, kecuali pada kasus yang sangat refrakter atau akibat efek samping pengobatan jangka panjang.
Focal Segmental Glomerulosclerosis (FSGS): Prognosis lebih buruk dibandingkan MCD. FSGS cenderung kurang merespons terapi, lebih sering kambuh, dan memiliki risiko tinggi (sekitar 50-70% dalam 5-10 tahun) untuk berkembang menjadi penyakit ginjal stadium akhir (ESRD) yang memerlukan dialisis atau transplantasi. Varian kolaps memiliki prognosis yang sangat buruk.
Membranous Nephropathy (MN): Prognosis bervariasi. Sekitar sepertiga pasien mengalami remisi spontan, sepertiga mengalami proteinuria persisten tanpa progresivitas signifikan, dan sepertiga berkembang menjadi ESRD dalam 10-15 tahun. Faktor risiko progresivitas meliputi proteinuria berat persisten, disfungsi ginjal pada saat diagnosis, dan hipertensi.
Nefropati Diabetik: Jika tidak terkontrol, seringkali berkembang menjadi ESRD. Kontrol gula darah dan tekanan darah yang ketat dapat memperlambat progresivitas.
Penyebab Sekunder Lainnya: Prognosis sangat tergantung pada keberhasilan pengobatan penyakit primer. Misalnya, lupus nefritis yang terkontrol dengan baik mungkin memiliki prognosis ginjal yang lebih baik daripada yang tidak terkontrol.
Usia Pasien:
Anak-anak: Mayoritas kasus adalah MCD, yang umumnya memiliki prognosis baik dengan respons steroid.
Dewasa: Etiologi lebih bervariasi dan cenderung lebih banyak kasus FSGS dan MN, yang memiliki risiko lebih tinggi untuk progresivitas.
Respons terhadap Terapi:
Pasien yang mencapai remisi penuh (proteinuria hilang atau sangat minimal) memiliki prognosis yang jauh lebih baik dan risiko komplikasi jangka panjang yang lebih rendah.
Pasien yang hanya mencapai remisi parsial (proteinuria berkurang tetapi masih ada) atau yang steroid-resistant/dependent memiliki risiko progresivitas dan komplikasi yang lebih tinggi.
Kehadiran Komplikasi: Komplikasi seperti infeksi berulang, tromboemboli, atau gagal ginjal akut/kronis dapat memperburuk prognosis secara signifikan.
B. Kekambuhan (Relaps)
Kekambuhan adalah masalah umum pada sindrom nefrotik, terutama MCD. Relaps didefinisikan sebagai munculnya kembali proteinuria masif setelah remisi. Kekambuhan sering dipicu oleh infeksi saluran napas atas atau stres. Pasien dengan kekambuhan sering atau steroid-dependent memerlukan terapi imunosupresif tambahan untuk mempertahankan remisi dan mengurangi paparan steroid jangka panjang.
C. Progresi menuju Gagal Ginjal Kronis (CKD) dan ESRD
Meskipun banyak pasien, terutama anak-anak dengan MCD, tidak berkembang menjadi ESRD, risiko progresivitas selalu ada, terutama pada etiologi seperti FSGS, MN progresif, atau nefropati diabetik. Pemantauan fungsi ginjal secara teratur sangat penting. Jika ginjal terus memburuk, pasien mungkin memerlukan dialisis atau transplantasi ginjal di masa depan.
D. Kualitas Hidup
Sindrom nefrotik dapat berdampak signifikan pada kualitas hidup pasien dan keluarga mereka, terutama karena gejala (edema, kelelahan), efek samping pengobatan (steroid), dan beban psikologis dari penyakit kronis. Dukungan psikososial dan manajemen yang komprehensif sangat penting.
E. Prospek Masa Depan
Penelitian terus berlanjut untuk memahami patofisiologi sindrom nefrotik yang lebih baik dan mengembangkan terapi baru yang lebih efektif dengan efek samping yang lebih sedikit. Agen biologis baru yang menargetkan jalur imun spesifik atau protein podosit sedang dalam pengembangan dan menunjukkan harapan untuk pasien yang refrakter terhadap terapi standar.
Secara keseluruhan, dengan diagnosis dini, penatalaksanaan yang agresif dan tepat, serta pemantauan yang cermat, banyak pasien dengan sindrom nefrotik dapat mencapai remisi dan memiliki prognosis jangka panjang yang baik, meskipun sebagian akan menghadapi tantangan progresivitas penyakit atau komplikasi.
IX. Tinjauan Khusus
Meskipun prinsip-prinsip dasar sindrom nefrotik berlaku secara universal, ada beberapa perbedaan penting dalam presentasi, etiologi, dan penatalaksanaan tergantung pada kelompok usia pasien. Memahami variasi ini krusial untuk manajemen yang optimal.
A. Sindrom Nefrotik pada Anak
Sindrom nefrotik adalah penyakit ginjal kronis yang paling umum pada anak-anak. Insiden tertinggi terjadi antara usia 2-6 tahun. Beberapa karakteristik khusus pada anak meliputi:
Etiologi Predominan: Minimal Change Disease (MCD) menyumbang sekitar 80-90% dari semua kasus sindrom nefrotik primer pada anak-anak. Ini sangat berbeda dengan orang dewasa di mana MCD jauh lebih jarang. Etiologi lain seperti FSGS dan MN lebih jarang, tetapi tingkat kejadiannya meningkat seiring bertambahnya usia anak.
Respons terhadap Steroid: Mayoritas anak-anak dengan MCD adalah steroid-responsif, artinya mereka mencapai remisi penuh dengan terapi kortikosteroid standar. Ini memungkinkan diagnosis presumtif MCD tanpa biopsi ginjal pada banyak anak, terutama yang berusia antara 1-10 tahun tanpa tanda-tanda atipikal (seperti hematuria makroskopis, hipertensi persisten, atau disfungsi ginjal yang signifikan).
Kekambuhan Tinggi: Meskipun responsif terhadap steroid, kekambuhan (relaps) sangat umum pada anak-anak. Sekitar 70-80% anak akan mengalami setidaknya satu kali relaps, dan banyak di antaranya akan menjadi sering relaps atau steroid-dependent. Manajemen kekambuhan seringkali melibatkan steroid dosis tinggi intermiten atau imunosupresan non-steroid untuk mengurangi paparan kumulatif steroid.
Pertumbuhan dan Perkembangan: Efek samping kortikosteroid jangka panjang, seperti penekanan pertumbuhan, osteoporosis, dan perubahan perilaku, merupakan perhatian utama pada anak-anak. Penggunaan obat imunosupresan non-steroid (misalnya, levamisol, siklofosfamid, siklosporin, rituximab) sering diperlukan untuk mengurangi ketergantungan pada steroid dan meminimalkan efek samping.
Komplikasi: Anak-anak juga rentan terhadap infeksi (terutama peritonitis bakterial spontan), tromboemboli (walaupun kurang umum dibandingkan dewasa), dan komplikasi terkait malnutrisi.
Manajemen sindrom nefrotik pada anak-anak membutuhkan pendekatan yang hati-hati dan terfokus pada keseimbangan antara menginduksi dan mempertahankan remisi, meminimalkan efek samping pengobatan, dan memastikan pertumbuhan dan perkembangan yang optimal.
B. Sindrom Nefrotik pada Kehamilan
Kehamilan dapat menjadi tantangan bagi wanita dengan sindrom nefrotik, baik yang baru didiagnosis selama kehamilan maupun yang sudah ada sebelumnya. Kondisi ini dapat memiliki dampak signifikan pada kesehatan ibu dan janin.
Diagnosis Baru Selama Kehamilan: Sulit untuk membedakan sindrom nefrotik yang baru didiagnosis dari preeklampsia berat (yang juga ditandai dengan proteinuria dan edema), terutama pada trimester ketiga. Biopsi ginjal biasanya dihindari selama kehamilan kecuali dalam kasus yang sangat selektif karena risiko komplikasi (perdarahan).
Sindrom Nefrotik yang Sudah Ada Sebelumnya: Wanita yang sudah memiliki sindrom nefrotik sebelum kehamilan memiliki risiko komplikasi yang lebih tinggi. Kehamilan dapat memperburuk proteinuria dan edema.
Risiko untuk Ibu:
Preeklampsia: Wanita hamil dengan sindrom nefrotik memiliki risiko lebih tinggi untuk mengembangkan preeklampsia atau preeklampsia superimposisi.
Tromboemboli: Risiko tromboemboli meningkat secara signifikan pada kehamilan dan semakin diperparah oleh keadaan hiperkoagulabilitas sindrom nefrotik. Profilaksis antikoagulan seringkali diperlukan.
Infeksi: Risiko infeksi juga meningkat.
Gagal Ginjal Akut: Dapat terjadi karena berbagai sebab, termasuk preeklampsia, dehidrasi, atau pengobatan.
Risiko untuk Janin:
Pertumbuhan Janin Terhambat (IUGR): Akibat insufisiensi plasenta.
Kelahiran Prematur: Sering terjadi.
Kematian Janin Intrauterin (IUFD).
Oligohidramnion (cairan ketuban sedikit).
Penatalaksanaan:
Memerlukan manajemen yang sangat hati-hati dan kolaborasi antara nefrolog, obgyn, dan perinatolog.
Terapi imunosupresif harus dipilih dengan cermat, mempertimbangkan keamanan janin. Kortikosteroid (prednison) umumnya dianggap aman, tetapi obat lain seperti siklosporin atau azathioprine mungkin digunakan dengan hati-hati. MMF dan siklofosfamid kontraindikasi pada kehamilan.
Kontrol tekanan darah dan edema yang ketat.
Profilaksis antikoagulan.
Pemantauan ketat status ibu dan janin.
Wanita dengan sindrom nefrotik yang merencanakan kehamilan harus mendapatkan konseling pra-konsepsi mengenai risiko dan penatalaksanaan yang diperlukan.
X. Gaya Hidup dan Edukasi Pasien
Manajemen sindrom nefrotik tidak hanya bergantung pada terapi medis, tetapi juga pada perubahan gaya hidup dan pemahaman pasien tentang kondisi mereka. Edukasi pasien yang komprehensif adalah kunci untuk keberhasilan jangka panjang.
A. Pentingnya Kepatuhan
Kepatuhan terhadap regimen pengobatan, termasuk minum obat sesuai jadwal, mengikuti diet yang direkomendasikan, dan melakukan pemantauan rutin, sangat penting. Ketidakpatuhan dapat menyebabkan kekambuhan, komplikasi, dan progresivitas penyakit.
B. Diet yang Tepat
Pembatasan Garam (Natrium): Ini adalah salah satu aspek diet paling penting. Pasien harus diajari cara membaca label makanan dan menghindari makanan olahan tinggi garam. Pengurangan garam membantu mengontrol edema dan tekanan darah.
Kontrol Cairan: Pada fase edema berat, pembatasan cairan mungkin diperlukan. Pasien harus mengukur asupan dan output cairan.
Asupan Protein: Biasanya tidak dibatasi, kecuali jika ada gagal ginjal yang signifikan. Pada sindrom nefrotik, pasien kehilangan protein, sehingga asupan protein normal hingga sedikit lebih tinggi (sekitar 1-1,2 g/kg berat badan per hari) seringkali direkomendasikan untuk mengganti kerugian. Namun, harus berkonsultasi dengan ahli gizi.
Kontrol Lemak: Diet rendah lemak jenuh dan kolesterol disarankan untuk mengelola hiperlipidemia dan mengurangi risiko penyakit kardiovaskular.
Gula Darah: Jika pasien menderita diabetes, kontrol gula darah yang ketat melalui diet dan obat-obatan sangat penting untuk mencegah progresivitas nefropati diabetik.
C. Pemantauan Mandiri
Pasien dan keluarga harus diajarkan cara melakukan pemantauan mandiri di rumah:
Mengukur Berat Badan Harian: Untuk mendeteksi retensi cairan dan efektivitas diuretik.
Memantau Edema: Mengidentifikasi tanda-tanda pembengkakan baru atau memburuk.
Memantau Urin: Perubahan volume urin, munculnya busa berlebihan, atau darah dalam urin.
Mengukur Tekanan Darah: Jika disarankan oleh dokter.
Mengenali Tanda-tanda Bahaya: Gejala infeksi (demam, menggigil, nyeri perut), gejala tromboemboli (nyeri dada, sesak napas, nyeri kaki mendadak), atau tanda-tanda gagal ginjal akut.
D. Aktivitas Fisik
Pada fase remisi, aktivitas fisik yang teratur dan moderat harus didorong untuk meningkatkan kesehatan kardiovaskular dan umum. Namun, pada fase akut dengan edema berat atau jika ada komplikasi seperti trombosis, tirah baring mungkin diperlukan.
E. Pencegahan Infeksi
Mengingat kerentanan terhadap infeksi, pasien harus menjaga kebersihan diri, menghindari keramaian saat ada wabah, dan memastikan vaksinasi terkini (pneumokokus, influenza). Demam atau tanda infeksi lainnya harus segera dilaporkan kepada dokter.
F. Dukungan Psikososial
Hidup dengan penyakit kronis seperti sindrom nefrotik dapat menyebabkan stres, kecemasan, atau depresi. Kelompok dukungan pasien, konseling psikologis, atau dukungan dari keluarga dan teman sangat bermanfaat untuk membantu pasien mengatasi tantangan emosional dan menjaga kualitas hidup.
G. Diskusi Terbuka dengan Tim Medis
Pasien harus merasa nyaman untuk bertanya dan mendiskusikan semua kekhawatiran mereka dengan dokter, perawat, atau ahli gizi. Memahami sepenuhnya diagnosis, rencana pengobatan, dan potensi komplikasi akan memberdayakan pasien untuk menjadi mitra aktif dalam manajemen kesehatan mereka sendiri.
Edukasi dan pemberdayaan pasien merupakan fondasi penting dalam manajemen sindrom nefrotik, memungkinkan mereka untuk hidup lebih sehat dan mengurangi risiko komplikasi jangka panjang.
XI. Penelitian dan Harapan Baru
Bidang nefrologi terus berkembang, dengan banyak penelitian yang bertujuan untuk memahami sindrom nefrotik lebih baik dan mengembangkan terapi yang lebih efektif. Harapan baru muncul dari pemahaman yang lebih dalam tentang patofisiologi molekuler dan genetik penyakit ini.
A. Penargetan Podosit
Karena podosit adalah target utama kerusakan pada banyak bentuk sindrom nefrotik (terutama MCD dan FSGS), banyak penelitian berfokus pada perlindungan dan perbaikan sel-sel ini. Ini termasuk investigasi tentang protein podosit (nefrin, podocin, alfa-aktinin-4) dan jalur sinyal yang terlibat dalam integritas mereka. Terapi masa depan mungkin melibatkan obat-obatan yang secara langsung menstabilkan atau memperbaiki podosit.
B. Agen Imunosupresif Baru
Pengembangan agen imunosupresif yang lebih spesifik dan dengan efek samping yang lebih sedikit terus berlanjut. Ini termasuk:
Target Sel B: Selain rituximab, ada antibodi monoklonal lain yang menargetkan populasi sel B atau jalur sinyal yang relevan, yang mungkin menawarkan pilihan baru untuk sindrom nefrotik yang dimediasi imun.
Target Jalur Komplemen: Pada beberapa bentuk glomerulonefritis (misalnya, C3 glomerulopathy), aktivasi sistem komplemen berperan penting. Obat yang menghambat jalur komplemen sedang diuji dan menunjukkan potensi.
Inhibitor BTK (Bruton's Tyrosine Kinase) atau JAK (Janus Kinase): Beberapa jalur sinyal inflamasi yang terlibat dalam penyakit ginjal dapat ditargetkan oleh inhibitor ini, yang sudah digunakan dalam kondisi autoimun lainnya.
C. Terapi Anti-Proteinuria Non-Imunosupresif
Penelitian juga berfokus pada terapi yang mengurangi proteinuria tanpa menekan sistem kekebalan secara keseluruhan. Ini termasuk:
Endothelin Receptor Antagonists: Potensial untuk mengurangi proteinuria.
Glucagon-Like Peptide-1 (GLP-1) Receptor Agonists dan Sodium-Glucose Cotransporter-2 (SGLT2) Inhibitors: Awalnya dikembangkan untuk diabetes, obat-obatan ini telah menunjukkan efek renoprotektif yang signifikan, termasuk pengurangan proteinuria, pada pasien dengan atau tanpa diabetes, dan sedang dieksplorasi untuk sindrom nefrotik.
D. Pemahaman Genetik
Kemajuan dalam sekuensing genetik telah memungkinkan identifikasi mutasi gen baru yang menyebabkan sindrom nefrotik (terutama pada kasus kongenital, infantil, dan familial, serta beberapa kasus FSGS). Pemahaman ini dapat mengarah pada terapi gen atau terapi presisi yang disesuaikan dengan profil genetik individu pasien.
E. Biomarker Baru
Identifikasi biomarker baru dalam darah atau urin dapat membantu dalam diagnosis dini, memprediksi respons terhadap terapi, memantau aktivitas penyakit, dan memprediksi risiko progresivitas atau kekambuhan dengan lebih akurat daripada metode saat ini.
F. Terapi Regeneratif
Meskipun masih dalam tahap awal, penelitian tentang sel punca dan rekayasa jaringan ginjal menawarkan harapan jangka panjang untuk memperbaiki atau bahkan meregenerasi jaringan ginjal yang rusak. Ini adalah area penelitian yang sangat ambisius tetapi menjanjikan.
Dengan berlanjutnya penelitian dan kolaborasi internasional, diharapkan akan ada penemuan baru yang akan mengubah paradigma penatalaksanaan sindrom nefrotik, menawarkan harapan yang lebih baik bagi pasien dan mengurangi beban penyakit ini.
XII. Kesimpulan
Sindrom nefrotik adalah kondisi ginjal yang kompleks dan serius, ditandai oleh proteinuria masif, hipoalbuminemia, edema, dan hiperlipidemia, yang kesemuanya berakar pada disfungsi sawar filtrasi glomerulus. Meskipun etiologinya bervariasi, mulai dari Minimal Change Disease yang umumnya jinak pada anak-anak hingga Focal Segmental Glomerulosclerosis yang agresif pada dewasa, pemahaman yang mendalam tentang kondisi ini adalah kunci untuk diagnosis dan penatalaksanaan yang efektif.
Diagnosis yang akurat, seringkali memerlukan biopsi ginjal, sangat penting untuk mengidentifikasi penyebab yang mendasari, karena strategi pengobatan sangat bergantung pada etiologi. Terapi bertujuan untuk menginduksi remisi, mengelola gejala seperti edema, dan mencegah serta mengobati komplikasi yang mengancam jiwa seperti infeksi dan tromboemboli. Kortikosteroid merupakan lini pertama untuk banyak bentuk sindrom nefrotik primer, dengan agen imunosupresif lain digunakan untuk kasus yang refrakter atau steroid-dependent.
Penatalaksanaan sindrom nefrotik membutuhkan pendekatan multidisiplin, melibatkan dokter nefrologi, ahli gizi, dan seringkali spesialis lain. Edukasi pasien dan kepatuhan terhadap terapi, termasuk modifikasi diet dan pemantauan mandiri, adalah komponen penting untuk keberhasilan jangka panjang. Dengan pemantauan yang cermat dan manajemen yang agresif, banyak pasien dapat mencapai remisi dan memiliki prognosis yang baik, meskipun risiko kekambuhan dan potensi progresivitas ke gagal ginjal kronis tetap ada untuk beberapa etiologi.
Masa depan pengobatan sindrom nefrotik tampak menjanjikan dengan penelitian yang terus berlangsung. Pemahaman yang lebih baik tentang mekanisme molekuler dan genetik, serta pengembangan agen terapi baru yang menargetkan jalur spesifik, diharapkan akan meningkatkan hasil bagi pasien dan mengurangi efek samping dari pengobatan yang ada saat ini. Dengan demikian, meskipun sindrom nefrotik merupakan tantangan medis yang signifikan, harapan untuk diagnosis yang lebih baik, terapi yang lebih efektif, dan kualitas hidup yang lebih baik bagi pasien terus berkembang.