Ilustrasi air sebagai simbol kesucian dan pembersihan najis.
Dalam ajaran Islam, kebersihan dan kesucian memegang peranan yang sangat fundamental. Konsep ini tidak hanya terbatas pada kebersihan fisik semata, melainkan juga mencakup kebersihan spiritual, moral, dan hati. Salah satu aspek penting dari kebersihan fisik adalah pemahaman mendalam tentang najis dan thaharah. Thaharah, atau bersuci, merupakan kunci pembuka bagi banyak ibadah penting, seperti shalat, thawaf, dan membaca Al-Qur'an. Tanpa thaharah yang sempurna, ibadah-ibadah tersebut tidak akan dianggap sah di sisi Allah SWT.
Artikel ini akan mengupas tuntas seluk-beluk najis dalam Islam, mulai dari definisinya, perbedaannya dengan hadats, klasifikasi najis berdasarkan tingkat kesulitannya, hingga cara-cara menyucikannya yang sesuai dengan syariat. Pemahaman yang komprehensif tentang najis dan cara membersihkannya adalah bekal esensial bagi setiap Muslim agar dapat menjalankan ibadah dengan benar dan meraih rida Ilahi.
Thaharah adalah salah satu pilar penting dalam praktik keagamaan Islam. Secara bahasa, thaharah berarti bersih atau suci. Sedangkan menurut istilah syara', thaharah adalah melakukan perbuatan atau memakai sesuatu yang menjadikan seseorang diperbolehkan melakukan shalat dan ibadah lainnya yang disyaratkan harus dalam keadaan suci. Thaharah mencakup dua aspek utama: bersuci dari hadats dan bersuci dari najis.
Seringkali, istilah hadats dan najis dianggap sama, padahal keduanya memiliki perbedaan yang signifikan meskipun sama-sama menghalangi sahnya beberapa ibadah. Memahami perbedaan ini sangat krusial:
Singkatnya, hadats berkaitan dengan individu dan kondisi spiritualnya, sementara najis berkaitan dengan benda, tempat, atau pakaian yang terkena kotoran syar'i. Keduanya harus dihilangkan agar ibadah menjadi sah.
Al-Qur'an dan Hadis Nabi Muhammad SAW sangat menekankan pentingnya kebersihan. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an:
"...Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri." (QS. Al-Baqarah: 222)
Ayat ini jelas menunjukkan kecintaan Allah kepada hamba-Nya yang senantiasa menjaga kebersihan lahir dan batin. Nabi Muhammad SAW juga bersabda:
"Kebersihan itu sebagian dari iman." (HR. Muslim)
Hadis ini menegaskan bahwa kebersihan bukanlah sekadar tindakan fisik biasa, melainkan bagian integral dari keyakinan seorang Muslim. Ini mencakup kebersihan dari najis.
Secara bahasa, najis berarti kotoran. Menurut istilah syara', najis adalah setiap kotoran yang menghalangi sahnya shalat dan ibadah lainnya, dan diperintahkan untuk disucikan. Najis bukan sekadar kotoran biasa yang dapat dihilangkan dengan sabun, tetapi memiliki ketentuan khusus dalam syariat Islam. Tujuan penetapan najis adalah untuk menjaga kesucian seorang Muslim agar ia selalu berada dalam keadaan bersih ketika berhadapan dengan Allah SWT dalam ibadah.
Syariat Islam tidak menetapkan sesuatu tanpa hikmah dan tujuan yang mulia. Demikian pula dengan penetapan beberapa zat sebagai najis. Hikmah-hikmah tersebut antara lain:
Dalam fiqih Islam, najis diklasifikasikan menjadi tiga jenis berdasarkan tingkat kesulitan dalam menyucikannya. Setiap jenis najis memiliki cara penyucian yang spesifik sesuai dengan perintah syariat. Pemahaman akan klasifikasi ini sangat penting agar proses thaharah dapat dilakukan dengan benar dan sah.
Najis mughallazhah adalah jenis najis yang paling berat dan memerlukan cara penyucian yang paling khusus dan teliti. Ini adalah najis yang berasal dari anjing dan babi, serta keturunan dari salah satu atau keduanya. Termasuk dalam najis ini adalah air liur, keringat, darah, kotoran, dan semua bagian tubuh dari kedua hewan tersebut.
Dalil utama yang menjadi dasar penetapan najis mughallazhah untuk anjing adalah hadis dari Abu Hurairah RA, bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda:
"Apabila anjing menjilat bejana salah seorang di antara kalian, maka hendaknya ia mencucinya tujuh kali, salah satunya dengan tanah." (HR. Muslim)
Para ulama mengkiaskan (menganalogikan) najis babi dengan najis anjing karena keduanya sama-sama dianggap hewan yang sangat kotor dan diharamkan dalam Islam, bahkan disebut lebih buruk dari anjing dalam beberapa riwayat.
Metode penyucian najis mughallazhah adalah yang paling ketat dan spesifik:
Proses Praktis:
Catatan Penting: Beberapa ulama memperbolehkan penggunaan sabun atau deterjen sebagai pengganti tanah, asalkan fungsinya sama atau lebih efektif dalam menghilangkan najis. Namun, pandangan yang lebih berhati-hati dan banyak dipegang adalah tetap menggunakan tanah sesuai dengan nash hadis, setidaknya sekali.
Kehati-hatian dalam menyucikan najis mughallazhah ini menunjukkan betapa seriusnya Islam dalam menjaga kesucian, terutama terkait dengan hewan-hewan yang diharamkan.
Najis mutawassithah adalah jenis najis yang paling umum ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Tingkat najisnya berada di antara mughallazhah dan mukhaffafah. Najis ini perlu dihilangkan `ain` (bentuk fisik) dan `sifat` (bau, warna, rasa)-nya.
Banyak sekali benda yang termasuk najis mutawassithah, di antaranya:
Najis mutawassithah dibagi menjadi dua jenis berdasarkan wujudnya:
Najis ini memiliki wujud fisik yang dapat dilihat, diraba, dibaui, atau dirasakan. Contohnya: setetes darah, sepotong kotoran, atau air kencing yang masih berbau, berwarna, atau berbekas. Untuk menyucikan najis ainiyah, ketiga sifatnya (warna, bau, rasa) harus dihilangkan sepenuhnya. Jika salah satu sifatnya masih ada, maka tempat atau benda tersebut belum dianggap suci.
Cara Menyucikan: Hilangkan terlebih dahulu `ain` (wujud) najisnya, kemudian bersihkan dengan air hingga hilang warna, bau, dan rasanya. Jika salah satu sifat tersebut sulit dihilangkan (misalnya bekas warna darah yang sangat membandel), maka dimaafkan selama upaya maksimal telah dilakukan.
Najis ini adalah najis yang sudah tidak memiliki wujud, warna, bau, atau rasa, tetapi hukumnya masih najis karena tempat tersebut pernah terkena najis. Contohnya: air kencing yang sudah kering di lantai dan tidak meninggalkan bau atau bekas, tetapi diketahui pasti bahwa lantai tersebut pernah terkena air kencing. Secara fisik tidak terlihat, namun secara hukum ia masih najis.
Cara Menyucikan: Cukup dengan mengalirkan air ke atasnya atau membasuhnya satu kali, karena tidak ada wujud fisik yang perlu dihilangkan.
Inti dari penyucian najis mutawassithah adalah menghilangkan fisik najis beserta sifat-sifatnya (warna, bau, rasa) semaksimal mungkin.
Najis mukhaffafah adalah jenis najis yang paling ringan dan paling mudah disucikan. Hanya ada satu jenis najis yang termasuk dalam kategori ini.
Najis mukhaffafah adalah air kencing bayi laki-laki yang belum makan makanan lain selain ASI (Air Susu Ibu) dan belum berusia dua tahun.
Dalilnya adalah hadis dari Ummu Qais binti Mihshan RA, bahwa ia membawa bayinya yang belum makan makanan lain kepada Rasulullah SAW. Bayi itu kencing di pangkuan beliau, lalu beliau meminta air dan memercikkan air ke pakaiannya tanpa mencucinya. (HR. Bukhari dan Muslim).
Penting: Keringanan ini hanya berlaku untuk bayi laki-laki. Air kencing bayi perempuan, atau air kencing bayi laki-laki yang sudah makan selain ASI (walaupun sedikit), atau yang sudah berusia lebih dari dua tahun, dihukumi sebagai najis mutawassithah dan disucikan dengan cara najis mutawassithah.
Metode penyucian najis mukhaffafah adalah yang paling sederhana:
Hikmah dari keringanan ini adalah karena bayi laki-laki biasanya memiliki air kencing yang lebih sedikit dan tidak terlalu pekat, serta untuk memudahkan para ibu dalam merawat bayi mereka tanpa harus merasa terbebani dengan proses pencucian yang rumit setiap kali bayi kencing.
Selain klasifikasi najis yang jelas, ada beberapa zat yang seringkali menimbulkan pertanyaan atau keraguan di kalangan umat Islam mengenai status kesuciannya. Memahami pandangan ulama mengenai hal-hal ini dapat memberikan ketenangan dan kejelasan dalam beribadah.
Keringat, baik dari manusia maupun hewan, adalah suci. Meskipun terkadang berbau atau terasa lengket, keringat bukanlah najis. Seorang Muslim tidak perlu mandi atau mengganti pakaian hanya karena berkeringat. Bahkan, keringat hewan yang halal dimakan juga dianggap suci.
Status air mani (sperma) menjadi perdebatan di antara para ulama. Mazhab Syafi'i berpendapat bahwa air mani adalah suci, berdasarkan hadis Aisyah RA yang hanya mengerik (mengikis) mani kering dari pakaian Nabi SAW tanpa mencucinya. Namun, jika basah, beliau mencucinya. Sementara mazhab lain seperti Hanafi dan Maliki menganggap air mani najis. Untuk berhati-hati, disarankan untuk membersihkan air mani dari pakaian atau tubuh jika memungkinkan, terutama jika ingin shalat, dengan cukup mencucinya hingga hilang `ain`-nya jika basah, atau mengeriknya jika kering.
Air liur kucing dihukumi suci. Nabi Muhammad SAW bersabda tentang kucing: "Sesungguhnya kucing itu tidak najis, ia adalah hewan yang selalu mengelilingi kalian." (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Nasa'i). Oleh karena itu, jika kucing menjilat bejana atau pakaian, cukup dicuci sekali saja atau bahkan tidak perlu jika tidak ada sisa makanan. Untuk hewan peliharaan lain yang halal dimakan seperti kambing atau sapi, air liurnya juga suci. Namun, perlu diingat bahwa kotoran dan air kencing mereka tetap najis mutawassithah.
Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai status alkohol (khamar) sebagai najis ainiyah (zatnya najis) atau hanya najis hukmiyah (haram diminum). Mayoritas ulama, termasuk Mazhab Syafi'i, berpendapat bahwa khamar adalah najis ainiyah, berdasarkan firman Allah SWT: "Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan." (QS. Al-Maidah: 90), di mana kata "rijs" (kotoran/najis) digunakan. Oleh karena itu, jika alkohol atau minuman keras tumpah pada pakaian atau badan, wajib disucikan seperti najis mutawassithah. Namun, sebagian kecil ulama berpendapat bahwa alkohol haram diminum tetapi tidak najis secara zatnya. Untuk kehati-hatian, lebih baik mengikuti pandangan mayoritas.
Bangkai hewan yang tidak memiliki darah mengalir ketika hidupnya, seperti serangga (lalat, nyamuk, semut, lebah), adalah suci. Jika seekor lalat jatuh ke dalam minuman, minuman tersebut tidak menjadi najis. Hal ini berdasarkan hadis Nabi SAW: "Jika seekor lalat jatuh ke dalam minuman salah seorang dari kalian, maka celupkanlah seluruh badannya kemudian buanglah, karena pada salah satu sayapnya ada penyakit dan pada sayap lainnya ada penawar." (HR. Bukhari).
Rambut atau bulu hewan yang halal dimakan (misalnya sapi, kambing, unta) adalah suci, baik yang masih menempel pada tubuhnya maupun yang sudah terlepas. Adapun rambut atau bulu hewan yang haram dimakan (misalnya anjing, babi) adalah najis, baik yang masih menempel maupun yang sudah terlepas. Bulu kucing dihukumi suci sebagaimana tubuhnya.
Debu dan kotoran yang menempel pada sepatu atau pakaian dari jalanan umum, yang tidak diketahui secara pasti apakah mengandung najis, dihukumi suci (dimaafkan). Ini karena kesulitan yang akan timbul jika setiap kali harus mencuci pakaian atau sepatu dari kotoran jalanan. Kecuali jika terlihat jelas ada najis yang menempel dan dapat dikenali (misalnya kotoran hewan). Ini termasuk dalam kategori `ma'fu 'anhu` (dimaafkan) karena umum terjadi dan sulit dihindari.
Proses penyucian dari najis (thaharah) sangat bergantung pada alat dan bahan yang digunakan, serta bagaimana metode pelaksanaannya. Memahami hal ini akan memastikan kesucian yang sempurna dan sah secara syariat.
Air adalah alat utama dan paling fundamental dalam menyucikan najis. Islam mengajarkan pentingnya penggunaan air bersih dan suci. Jenis-jenis air dalam syariat Islam yang berkaitan dengan kesucian:
Untuk menyucikan najis, kita harus menggunakan air yang suci mensucikan. Air harus dialirkan atau dibasuh pada benda yang najis, bukan hanya ditempelkan.
Tanah (atau debu yang suci) memiliki peran khusus dalam menyucikan najis mughallazhah (najis anjing dan babi). Selain itu, tanah juga dapat digunakan untuk tayamum (pengganti wudhu/mandi junub dalam kondisi tertentu). Penggunaan tanah dalam menyucikan najis anjing memiliki hikmah ilmiah, karena tanah memiliki sifat abrasif dan mikroba tertentu yang dapat membersihkan kuman dan bakteri yang mungkin tidak hilang hanya dengan air.
Dalam konteks istinja' (membersihkan sisa buang air), selain air, benda-benda keras dan kesat yang suci juga dapat digunakan, seperti batu, tisu, daun kering, atau kain. Namun, benda-benda ini hanya bisa digunakan jika najis belum menyebar terlalu luas dan masih kering atau hanya sedikit. Jika sudah menyebar atau basah, air adalah yang paling utama dan afdhal.
Berikut adalah langkah-langkah umum dan praktis dalam menyucikan berbagai jenis najis:
Pentingnya Air Mengalir: Untuk penyucian yang efektif, terutama pada najis mutawassithah, lebih baik menggunakan air mengalir atau air yang banyak. Jika menggunakan air yang sedikit (misalnya dalam wadah), pastikan air tersebut dibuang setelah digunakan dan tidak terkena kembali najis yang belum bersih.
Pemahaman tentang najis dan cara menyucikannya sangatlah penting karena berkaitan langsung dengan sah atau tidaknya beberapa ibadah pokok dalam Islam. Selain itu, ada praktik khusus untuk membersihkan diri setelah buang air yang disebut istinja'.
Kesucian dari najis adalah salah satu syarat sah shalat. Jika seorang Muslim shalat dalam keadaan najis di badan, pakaian, atau tempat shalatnya (yang disadari dan tidak dimaafkan), maka shalatnya tidak sah dan wajib diulang. Oleh karena itu, sebelum shalat, setiap Muslim harus memastikan bahwa:
Bahkan sajadah yang digunakan harus bersih. Jika ada najis di sajadah, shalat di atasnya tidak sah. Namun, perlu dibedakan antara najis yang disadari dan sengaja tidak dibersihkan dengan najis yang tidak disadari. Jika seseorang shalat dengan najis yang tidak ia ketahui keberadaannya, dan baru menyadarinya setelah shalat, maka shalatnya tetap sah (menurut pendapat yang kuat), meskipun lebih baik mengulang jika ada keraguan.
Thawaf (mengelilingi Ka'bah) juga memiliki syarat kesucian yang sama dengan shalat. Seseorang yang melakukan thawaf harus dalam keadaan suci dari hadats dan najis di badan, pakaian, dan tempatnya (yakni area thawaf). Oleh karena itu, jamaah haji atau umrah harus memastikan diri mereka bersih dari najis sebelum memulai thawaf.
Mayoritas ulama berpendapat bahwa seseorang tidak boleh memegang mushaf Al-Qur'an (kitab Al-Qur'an secara langsung) kecuali dalam keadaan suci dari hadats besar dan kecil. Meskipun larangan ini lebih berkaitan dengan hadats, kebersihan dari najis juga merupakan adab yang mulia saat berinteraksi dengan firman Allah.
Istinja' adalah tindakan membersihkan qubul (kemaluan depan) dan dubur (kemaluan belakang) setelah buang air kecil atau buang air besar. Ini adalah salah satu bentuk thaharah yang sangat ditekankan dalam Islam.
Istinja' sangat penting untuk menjaga kebersihan dan kesucian diri. Meninggalkan istinja' dapat menyebabkan najis menyebar dan ibadah tidak sah. Nabi Muhammad SAW bersabda:
"Sesungguhnya kebanyakan azab kubur adalah karena air kencing." (HR. Ibnu Majah)
Hadis ini menunjukkan betapa seriusnya masalah kebersihan setelah buang air.
Istinja' dapat dilakukan dengan:
Penggunaan benda kesat ini biasanya minimal tiga kali usapan hingga bersih. Setelah itu, jika ada air, tetap disunnahkan untuk membersihkan dengan air agar lebih sempurna.
Adab Beristinja': Ketika beristinja', tidak menghadap kiblat dan tidak membelakangi kiblat di tempat terbuka. Dianjurkan pula untuk tidak berbicara saat buang air.
Selain aspek hukum syariat, pemahaman dan praktik kebersihan dari najis juga membawa dampak positif yang luas, baik secara individu maupun sosial. Mari kita telaah lebih jauh, termasuk beberapa studi kasus yang sering muncul.
Beberapa situasi seringkali menimbulkan keraguan tentang status najis. Berikut beberapa di antaranya:
Dalam Islam, kaidah fiqih menyebutkan, "Al-yaqin la yuzalu bi al-syakk" (keyakinan tidak dapat dihilangkan dengan keraguan). Artinya, jika seseorang yakin dirinya suci, kemudian ia ragu apakah terkena najis atau tidak, maka ia dihukumi tetap suci. Ia tidak wajib membersihkan atau mengulang ibadah. Namun, jika ia yakin terkena najis, lalu ragu apakah sudah suci atau belum, maka ia dihukumi masih najis dan wajib membersihkannya.
Ada beberapa jenis najis yang dimaafkan (ma'fu 'anhu) karena sangat sulit untuk dihindari. Ini adalah bentuk kemudahan dari syariat Islam:
Keringanan ini menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang memudahkan, tidak memberatkan umatnya secara berlebihan.
Air yang digunakan untuk membersihkan najis, jika sudah berubah warna, bau, atau rasa karena najis tersebut, atau jika ia membawa `ain` najis yang terlepas dari benda yang dibersihkan, maka air tersebut menjadi najis dan tidak bisa digunakan untuk bersuci lagi. Namun, jika air tersebut tetap jernih dan tidak berubah sifatnya, serta najisnya sudah bersih, maka sisa air tersebut bisa dianggap suci.
Kucing dihukumi suci, termasuk air liurnya. Namun, kotoran dan air kencing kucing tetap najis mutawassithah. Penting untuk selalu membersihkan litter box kucing secara teratur dan memastikan tidak ada kotoran atau air kencingnya yang mengenai pakaian atau tempat shalat. Jika memiliki hewan peliharaan lain yang halal dimakan (seperti burung, ikan), tubuh mereka suci, tetapi kotoran dan air kencingnya tetap najis. Anjing dan babi serta segala bagian tubuhnya (terutama air liur) adalah najis mughallazhah.
Sebagai Muslim, kewajiban kita adalah menjaga kebersihan dan kesucian, bukan hanya untuk ibadah, tetapi juga sebagai bagian dari gaya hidup sehat dan etika sosial.
Memahami konsep najis dan thaharah dalam Islam bukanlah sekadar pengetahuan teoritis, melainkan sebuah panduan praktis yang esensial dalam kehidupan sehari-hari setiap Muslim. Dari najis mughallazhah yang berat dan memerlukan penyucian khusus, najis mutawassithah yang umum dan harus dihilangkan `ain` dan sifatnya, hingga najis mukhaffafah yang ringan dan cukup dipercikkan air, setiap jenis memiliki hukum dan cara penanganan yang spesifik.
Pentingnya thaharah sebagai syarat sah ibadah, terutama shalat dan thawaf, menegaskan betapa sentralnya kesucian dalam praktik keagamaan kita. Lebih dari itu, menjaga kebersihan dari najis juga membawa dampak positif bagi kesehatan fisik, ketenangan batin, kepercayaan diri, serta menciptakan lingkungan yang bersih dan harmonis. Islam dengan segala aturannya, termasuk dalam hal najis, mengajarkan umatnya untuk selalu hidup dalam keadaan bersih lahir dan batin, menjunjung tinggi keindahan dan kesempurnaan. Dengan pemahaman yang baik dan praktik yang konsisten, setiap Muslim dapat menjalankan ibadah dengan tenang dan meraih keberkahan dari Allah SWT.
Semoga artikel ini memberikan pencerahan dan motivasi bagi kita semua untuk senantiasa menjaga kebersihan dan kesucian sebagai manifestasi iman kepada Allah SWT.