Kisah Nabi Yusuf AS, yang diabadikan dalam Surah Yusuf, adalah narasi yang begitu kompleks dan kaya, melampaui sekadar rentetan peristiwa sejarah. Ia adalah sebuah epik tentang kesabaran ilahiah, pengkhianatan saudara, takdir yang tak terhindarkan, dan ujian keimanan yang paling berat—ujian nafsu duniawi yang dipersonifikasikan dalam diri Zulaikha, istri dari Al-Aziz, bendahara agung Mesir.
Sebelum takdir mempertemukannya dengan kemewahan Mesir dan godaan yang menghancurkan jiwa, Yusuf telah melalui lembah penderitaan yang traumatis. Ia adalah putra kesayangan Nabi Ya'qub, yang kecantikannya luar biasa, bahkan sejak kanak-kanak. Kecantikan ini bukan hanya fisik; ia memancarkan cahaya kenabian dan kemuliaan batin. Cahaya inilah yang, ironisnya, memicu cemburu buta dari sepuluh kakak tirinya. Kisah pembuangan ke dalam sumur, pengkhianatan yang mendalam, dan janji palsu yang mereka bawa kembali kepada ayah mereka, adalah fondasi di mana karakter Yusuf dibangun: kesabaran tanpa batas, keteguhan hati, dan kepasrahan total kepada kehendak Ilahi.
Awal Takdir: Kesabaran di Dasar Sumur.
Yusuf diangkat dari sumur oleh kafilah yang melintas, kemudian dijual di pasar Mesir sebagai seorang budak. Di sinilah takdirnya mulai berinteraksi secara intim dengan peradaban Sungai Nil yang megah dan penuh intrik. Ia dibeli oleh Al-Aziz (sering diidentifikasi sebagai Potiphar), seorang pembesar istana Firaun yang memiliki kedudukan tinggi, semacam menteri keuangan atau bendahara negara. Keputusan Al-Aziz untuk membeli Yusuf didasarkan bukan hanya pada nilai fisik, tetapi juga pada kesan spiritual yang dipancarkan oleh anak muda tersebut.
Al-Aziz membawa Yusuf pulang dan berkata kepada istrinya, Zulaikha: "Berikanlah tempat tinggal yang baik kepadanya, semoga ia bermanfaat bagi kita, atau kita pungut ia sebagai anak." Perkataan ini, yang tulus dari Al-Aziz, mengandung ironi takdir yang kelak menghancurkan kedamaian rumah tangga mereka. Zulaikha, yang diperkenalkan sebagai seorang wanita bangsawan Mesir yang kaya raya, berwajah jelita, dan memiliki segala kemewahan dunia, kini menghadapi objek yang tak pernah ia sangka akan membalikkan kehidupannya.
Seiring Yusuf beranjak dewasa, ia tumbuh menjadi pemuda yang bukan sekadar tampan, melainkan memancarkan keagungan yang memabukkan. Al-Qur'an dan tafsir mendeskripsikannya sebagai orang yang dianugerahi 'setengah dari seluruh kecantikan yang diberikan kepada umat manusia'. Keindahan ini, yang seharusnya menjadi karunia, justru menjadi pedang bermata dua, menarik perhatian yang salah dan membawanya ke dalam ujian terberat.
Zulaikha, yang terbiasa mendapatkan segala yang diinginkannya, mulai merasakan perasaan yang asing, sebuah obsesi yang membakar jiwanya. Kecantikannya yang luar biasa, kekuasaannya sebagai nyonya istana, dan kekayaan yang tak terbatas, semua terasa hampa di hadapan kesucian Yusuf. Yusuf, di mata Zulaikha, adalah pengejawantahan dari kemurnian yang tak dapat ia nodai, sebuah tantangan atas segala yang ia yakini tentang kekuatan uang dan kekuasaan.
Perasaan ini tidak muncul tiba-tiba. Ia bersemi dalam keheningan lorong-lorong istana, dalam pengamatan harian Zulaikha terhadap gerak-gerik Yusuf yang penuh adab, dalam caranya melayani, dan dalam keimanan yang terpancar dari matanya. Zulaikha berusaha melawan gejolak batinnya, menyibukkan diri dengan pernak-pernik Mesir, dengan pesta dan perhiasan, namun bayangan Yusuf selalu hadir, menggerogoti ketenangan jiwanya. Rasa cinta ini berubah menjadi hasrat yang destruktif, yang mendesaknya untuk melanggar batas moral dan agama.
Fase godaan ini, yang merupakan inti dari Surah Yusuf, adalah studi mendalam tentang pertarungan antara nafsu duniawi dan ketakwaan yang mutlak. Zulaikha tidak lagi bisa mengendalikan perasaannya. Ia mulai merencanakan skenario untuk memancing Yusuf ke dalam situasi di mana ia tidak memiliki pilihan selain menyerah pada keinginannya. Rencananya dirancang dengan perhitungan yang matang, memanfaatkan kekuasaannya sebagai nyonya rumah.
Zulaikha memilih momen ketika Al-Aziz tidak ada di istana. Ia memerintahkan untuk mengunci ketat semua pintu yang menuju kamar peristirahatan—tujuh pintu, menurut beberapa riwayat, yang ditutup satu per satu, menjadikannya sebuah simbol isolasi total dari dunia luar dan mata manusia. Kamar itu sendiri dihiasi dengan permadani mewah, aromanya membius, dan suasana dibuat sedemikian rupa sehingga godaan terasa tak tertahankan. Zulaikha mengenakan pakaian terindahnya, perhiasan termahalnya, dan mendekati Yusuf dengan segala daya pikat yang dimiliki oleh seorang wanita bangsawan Mesir.
Saat semua pintu terkunci, Zulaikha melancarkan serangannya. Ia berkata, "Marilah ke sini!" atau, dalam terjemahan yang lebih eksplisit, "Aku siap untukmu!" Momen ini adalah klimaks dari ketegangan yang telah dibangun selama bertahun-tahun. Bagi Zulaikha, ini adalah pemenuhan obsesi yang telah merusak tidurnya dan menguasai pikirannya. Bagi Yusuf, ini adalah ujian iman tertinggi, sebuah pertarungan hidup dan mati antara kenikmatan sesaat dan keselamatan abadi.
Di hadapan godaan yang begitu besar, yang datang dari orang yang memiliki kekuasaan penuh atas hidupnya, Yusuf tidak tergoyahkan. Jawabannya adalah sebuah deklarasi ketakwaan yang agung: "Ma'adzallah! (Aku berlindung kepada Allah!) Sungguh tuanku (suamimu) telah memperlakukanku dengan baik. Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu tidak akan beruntung."
Kata-kata ini memuat beberapa lapisan makna. Pertama, ia merujuk pada kebaikan Al-Aziz yang telah memberinya tempat di rumah itu—mengkhianati Al-Aziz adalah bentuk ketidakberuntungan dan kezaliman. Kedua, dan yang paling utama, ia merujuk kepada Tuan yang sebenarnya, Allah SWT. Yusuf tahu bahwa sekalipun ia berhasil menyembunyikan perbuatannya dari manusia, ia tidak akan pernah bisa menyembunyikannya dari Sang Pencipta. Penglihatan kenabiannya memberinya kekuatan untuk melihat melampaui kenikmatan sesaat, langsung kepada konsekuensi spiritual yang abadi.
Keteguhan Yusuf memicu kemarahan dan keputusasaan Zulaikha. Dalam dorongan nafsu yang tak terkendali, Zulaikha menarik baju Yusuf dari belakang. Tarikan itu begitu kuat hingga baju Yusuf robek. Namun, tepat pada saat itu, takdir Ilahi mengintervensi. Pintu-pintu yang terkunci tiba-tiba terbuka, dan Al-Aziz muncul di ambang pintu.
Momen Krusial: Ujian di Hadapan Pintu Tertutup.
Kemunculan Al-Aziz di saat yang paling genting memaksa Zulaikha untuk segera beralih dari pelaku menjadi korban. Secara naluriah, dan didorong oleh rasa takut kehilangan status dan kehormatannya, ia segera menuduh Yusuf. "Apakah balasan bagi orang yang bermaksud buruk terhadap istrimu, selain dipenjarakan atau siksa yang pedih?" tanyanya, membalikkan fakta sepenuhnya.
Yusuf, yang kini berdiri di ambang hukuman yang tak adil, dengan tenang membela diri: "Dia (Zulaikha) yang merayuku." Konflik ini, yang terjadi antara seorang budak asing yang tidak memiliki perlindungan politik dan seorang wanita bangsawan yang memiliki kekuasaan mutlak, tampaknya sudah pasti akan dimenangkan oleh Zulaikha. Namun, keadilan Ilahi hadir melalui saksi yang tidak terduga.
Salah satu kerabat Zulaikha (disebutkan oleh beberapa tafsir sebagai seorang anak kecil atau seorang bijak yang hadir di rumah itu) angkat bicara dan memberikan kriteria penentu: "Jika baju gamisnya robek di bagian depan, maka wanita itulah yang benar dan dia (Yusuf) termasuk orang-orang pendusta. Dan jika baju gamisnya robek di bagian belakang, maka wanita itulah yang dusta, dan dia (Yusuf) termasuk orang-orang yang benar."
Kriteria ini adalah demonstrasi kecerdasan dan bukti logis yang tak terbantahkan. Jika Yusuf yang menyerang, robekan pasti ada di depan. Karena Yusuf berusaha melarikan diri dari godaan, dan Zulaikha menariknya dari belakang, robekan itu berada di belakang. Ketika Al-Aziz melihat gamis Yusuf robek di bagian belakang, ia menyadari kebenaran yang pahit. Kesimpulan Al-Aziz sangat jelas: "Sesungguhnya ini termasuk tipu dayumu. Sesungguhnya tipu daya kalian para wanita itu besar."
Al-Aziz kemudian memerintahkan Yusuf untuk melupakan kejadian tersebut dan menasihati istrinya untuk memohon ampunan. Namun, skandal ini tidak berhenti di situ. Berita tentang kecantikan budak Ibrani yang membuat istri bendahara agung Mesir kehilangan akal sehatnya menyebar cepat di antara wanita-wanita elit kota.
Gunjingan para wanita bangsawan Mesir yang menyudutkan Zulaikha karena ‘cinta gilanya’ membuat Zulaikha merencanakan sebuah perjamuan. Ini adalah momen terkenal dalam narasi tersebut, di mana Zulaikha memutuskan untuk menunjukkan kepada para pengkritiknya alasan di balik kegilaannya.
Ia menyiapkan perjamuan mewah dan menyediakan pisau tajam beserta buah-buahan untuk setiap tamu. Ketika para wanita sedang sibuk mengupas buah, Zulaikha memerintahkan Yusuf untuk lewat di hadapan mereka. Dampaknya instan dan dahsyat. Para wanita, yang terpana oleh keindahan Yusuf yang melebihi segala deskripsi yang mereka dengar, tanpa sadar melukai tangan mereka sendiri dengan pisau, tanpa merasakan sakitnya.
Mereka berseru: "Maha Suci Allah, ini bukanlah manusia. Ini tidak lain hanyalah malaikat yang mulia!"
Zulaikha, dengan kemenangan pahit, menjawab: "Itulah dia orang yang menyebabkan kamu mencela aku karenanya. Dan sesungguhnya aku telah merayunya, tetapi dia menolak. Dan sungguh, jika dia tidak menuruti perintahku, niscaya dia akan dipenjarakan dan dia termasuk orang-orang yang hina."
Tindakan Zulaikha menunjukkan bahwa obsesinya telah mencapai titik di mana ia rela menggunakan ancaman terang-terangan demi memuaskan nafsunya. Bagi Yusuf, ancaman penjara justru terasa lebih ringan daripada ancaman moral. Ia berdoa:
"Ya Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka. Dan jika Engkau tidak hindarkan aku dari tipu daya mereka, niscaya aku akan cenderung untuk menuruti mereka dan termasuk orang yang bodoh."
Meskipun Al-Aziz tahu Yusuf tidak bersalah, tekanan sosial dan politik dari skandal yang melibatkan istrinya sangat besar. Untuk meredam gunjingan dan menjaga kehormatan istana, diputuskan bahwa Yusuf harus dipenjarakan untuk sementara waktu, seolah-olah untuk mendiamkan tuduhan yang dialamatkan kepadanya.
Penjara Mesir kuno adalah tempat yang gelap dan suram, namun bagi Yusuf, ia menjadi madrasah spiritual yang mengajarkan kesabaran, hikmah, dan kesempatan untuk berdakwah. Bahkan di dalam sel, aura kenabian Yusuf bersinar. Ia dikenal karena kebaikan hatinya, kebijaksanaannya, dan, yang paling penting, kemampuannya dalam menafsirkan mimpi.
Di penjara, Yusuf bertemu dengan dua pemuda yang merupakan pelayan Firaun—seorang pembuat minuman (juru minum) dan seorang pembuat roti (juru masak), yang keduanya dipenjara karena dicurigai merencanakan kejahatan terhadap raja. Kedua pemuda itu, yang terkesan oleh akhlak Yusuf, memintanya menafsirkan mimpi mereka.
Yusuf menggunakan momen ini bukan untuk menafsirkan mimpi secara langsung, tetapi sebagai kesempatan berdakwah. Ia menekankan bahwa pengetahuan tentang tafsir mimpi adalah anugerah dari Tuhannya, Tuhannya Nabi Ibrahim, Ishak, dan Ya'qub. Ia menyerukan tauhid, menanyakan kepada mereka apakah lebih baik menyembah banyak tuhan yang fana atau satu Tuhan Yang Maha Esa dan Perkasa.
Setelah meletakkan dasar-dasar tauhid, ia menafsirkan mimpi mereka: Juru minum akan dibebaskan dan kembali melayani raja, sedangkan juru masak akan disalib dan burung-burung akan memakan kepalanya. Tafsir ini terbukti benar. Sebelum juru minum dibebaskan, Yusuf memohon kepadanya: "Sebutkanlah keadaanku kepada Tuanmu."
Permintaan sederhana ini, yang menunjukkan secercah harapan manusiawi untuk dibebaskan, ironisnya, menyebabkan Yusuf tinggal lebih lama di penjara. Setan membuat juru minum itu lupa menyebutkan Yusuf kepada Firaun. Yusuf, yang seharusnya keluar, harus menjalani tambahan beberapa tahun penderitaan dan penantian, mengajarkannya pelajaran yang paling penting: pertolongan sejati hanya datang dari Allah.
Setelah bertahun-tahun Yusuf mendekam dalam kegelapan, cahaya takdir mulai bersinar. Firaun, Raja Mesir, mengalami mimpi yang sangat mengganggu, yang tidak bisa ditafsirkan oleh semua ahli sihir dan penafsir mimpinya: Tujuh ekor sapi betina yang gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus, dan tujuh tangkai gandum yang hijau dan tujuh tangkai gandum lainnya yang kering.
Barulah juru minum teringat kepada Yusuf, orang yang telah menafsirkan mimpinya dengan sempurna. Ia segera menghadap Firaun dan menceritakan tentang Yusuf di penjara. Firaun pun mengirim utusan kepada Yusuf.
Yusuf menafsirkan mimpi itu dengan cermat dan bijaksana: Tujuh tahun kemakmuran besar akan diikuti oleh tujuh tahun kelaparan yang dahsyat. Tafsir ini, yang tidak hanya menjelaskan peristiwa, tetapi juga menawarkan solusi strategis, menunjukkan kebijaksanaan yang melampaui kemampuan seorang tahanan biasa.
Firaun sangat terkesan dan memerintahkan agar Yusuf segera dibebaskan dan dibawa menghadapnya. Namun, Yusuf, dengan ketenangan seorang nabi, menolak dibebaskan sampai kebenaran tentang skandal Zulaikha terungkap sepenuhnya. Ia tidak ingin kebebasannya dinodai oleh keraguan bahwa ia mungkin bersalah dalam kasus percobaan perzinaan.
Firaun memanggil para wanita bangsawan yang melukai tangan mereka di perjamuan Zulaikha, termasuk Zulaikha sendiri. Ketika ditanya tentang apa yang sebenarnya terjadi saat mereka merayu Yusuf, mereka semua mengakui: "Maha Suci Allah, kami tidak mengetahui sedikit pun kejahatan pada dirinya."
Bahkan Zulaikha pun terpaksa mengakui kebenarannya demi membersihkan nama Yusuf. Inilah momen klimaks dari pengakuan di hadapan publik: "Sekarang, jelaslah kebenaran itu. Akulah yang merayunya, dan sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang benar."
Kebenaran telah menang. Nama Yusuf dibersihkan. Keimanannya terbukti. Setelah pengakuan ini, Yusuf dibebaskan dengan kehormatan penuh.
Firaun, yang sangat menghargai kejujuran dan kecerdasan Yusuf, menawarkan kepadanya posisi tinggi. Yusuf, menyadari ancaman kelaparan yang akan datang dan memiliki visi strategis yang hanya dimiliki olehnya, meminta satu hal:
"Jadikanlah aku bendaharawan negeri (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga dan berpengetahuan."
Dengan demikian, Yusuf, yang beberapa hari sebelumnya adalah seorang budak dan tahanan, kini menjadi Al-Aziz baru (menteri/bendahara agung Mesir), orang yang bertanggung jawab atas perekonomian seluruh negeri—sebuah kekuasaan yang lebih besar daripada suami Zulaikha sebelumnya. Allah telah mengangkatnya dari kedalaman sumur dan penjara menuju puncak kekuasaan, sebagai balasan atas kesabarannya.
Sementara Yusuf menikmati kekuasaan dan kepercayaan, Zulaikha mengalami kehancuran total. Suaminya yang dulu (Al-Aziz yang lama) telah meninggal dunia. Zulaikha kehilangan kekayaan, status, dan, yang paling parah, penglihatannya. Obsesi yang pernah ia miliki terhadap Yusuf kini berubah menjadi penyesalan yang mendalam dan sebuah perjuangan rohani untuk penebusan. Kekuatan obsesi duniawi telah meluluhlantakkan dirinya, meninggalkannya dalam kemiskinan dan kebutaan.
Kisah pertemuan kembali Yusuf dan Zulaikha tidak diceritakan secara eksplisit dalam Al-Qur'an, tetapi sangat populer dan mendalam dalam literatur tafsir dan kisah-kisah Islami, yang menekankan tema pertobatan dan anugerah kenabian.
Suatu hari, ketika Yusuf sedang berkeliling di kota Mesir, ia melihat seorang wanita tua yang buta, berpakaian lusuh, sedang memohon sedekah. Wanita itu ternyata adalah Zulaikha. Ia berjalan dengan tongkat, sisa-sisa kejayaan masa lalunya hanya tinggal kenangan pahit. Yusuf mengenalinya, meskipun Zulaikha tampak hancur dimakan usia dan penderitaan.
Zulaikha, tanpa mengetahui bahwa yang berdiri di depannya adalah Yusuf, terus menerus memanggil nama Yusuf dalam bisikan tobat. Ia tidak lagi memanggilnya untuk memenuhi hasrat, tetapi untuk meminta maaf atas kezalimannya. Ia telah menghabiskan waktunya untuk beribadah dan menangisi kesalahannya, hingga matanya buta karena tangisan dan jiwanya bersih dari nafsu.
Yusuf mendekatinya dan bertanya, "Hai Zulaikha, mengapa Engkau tidak mencari orang yang pernah menjadi suamimu, Al-Aziz yang lama?"
Zulaikha menjawab dengan mata buta dan suara yang penuh penyesalan, "Aku telah berpaling dari seorang Al-Aziz yang fana, menuju Al-Aziz (Yang Maha Perkasa) yang Abadi. Cintaku kepada Engkau (Yusuf) dulu hanyalah ilusi. Sekarang, cintaku hanya tertuju kepada Tuhanmu."
Mendengar pengakuan tobat yang tulus ini, hati Yusuf tersentuh. Setelah bertahun-tahun pemisahan dan penderitaan, Zulaikha telah menemukan kesucian yang sama yang selalu ia kagumi pada diri Yusuf. Ia telah melewati siksaan api penyesalan dan muncul sebagai jiwa yang murni.
Dalam riwayat yang disukai oleh para ulama, Yusuf memohon kepada Allah agar mengembalikan keremajaan Zulaikha dan penglihatannya. Doa Yusuf dikabulkan. Zulaikha kembali muda, penglihatannya pulih, dan kecantikannya kembali memancar, namun kali ini dipenuhi cahaya keimanan.
Yusuf kemudian menikahinya. Pernikahan ini menjadi simbol kemuliaan takdir, bahwa bahkan cinta yang lahir dari nafsu yang keliru dapat disucikan dan dipersatukan dalam ikatan yang sah setelah melalui proses penyucian diri yang panjang dan menyakitkan. Ketika Yusuf dan Zulaikha akhirnya bersatu, ikatan mereka adalah ikatan spiritual, hasil dari pertobatan Zulaikha dan anugerah kemuliaan Yusuf.
Kisah Yusuf dan Zulaikha adalah pelajaran abadi tentang beberapa aspek mendasar dalam kehidupan spiritual:
1. Kekuatan Istighfar (Permohonan Ampun): Zulaikha mewakili kemungkinan penebusan bagi siapa pun yang telah jatuh ke dalam dosa yang paling gelap sekalipun. Ia menggunakan segala kekuasaannya untuk melakukan kejahatan, namun di akhir hayatnya, ia menggunakan sisa-sisa hidupnya untuk bertobat. Pertobatannya yang tulus, meskipun memakan waktu puluhan tahun, diterima, mengubahnya dari seorang penggoda menjadi seorang istri nabi yang saleh.
2. Kesabaran dan Tawakkal Yusuf: Yusuf mengajarkan bahwa ujian terberat seringkali datang dalam bentuk daya tarik, kemewahan, dan godaan yang sulit ditolak. Pilihannya untuk dipenjara daripada melanggar perintah Tuhan menunjukkan prioritas yang benar. Kesabarannya, yang membentang dari sumur hingga penjara, akhirnya membuahkan kekuasaan dan kemuliaan dunia dan akhirat.
3. Bahaya Tipu Daya Nafsu: Zulaikha adalah peringatan bahwa obsesi dan nafsu yang tidak dikendalikan dapat merusak jiwa dan status sosial seseorang, bahkan jika ia adalah seorang ratu. Kecantikannya yang luar biasa, kekayaannya, dan posisinya tidak memberinya kekebalan terhadap kehancuran batin.
Kisah Yusuf tidak berakhir dengan pernikahannya dengan Zulaikha. Sebagai penguasa Mesir, ia sukses memimpin negara melalui masa kelaparan yang dahsyat, menjalankan program pengelolaan sumber daya yang genius, menyelamatkan Mesir dari kehancuran ekonomi, dan membuktikan dirinya sebagai pemimpin yang adil dan berwawasan jauh.
Melalui posisinya, takdir membawanya pada pertemuan puncak dengan keluarganya. Kakak-kakaknya, yang datang ke Mesir mencari makanan selama masa paceklik, tidak mengenali Yusuf yang kini telah menjadi orang nomor dua di Mesir. Yusuf, yang kini berkuasa penuh, membalas kejahatan mereka bukan dengan dendam, tetapi dengan kasih sayang dan pengampunan yang mulia, sebuah puncak kematangan spiritual dan kenabian.
Ia akhirnya menyatukan kembali keluarganya, membawa ayahnya, Nabi Ya'qub, ke Mesir setelah bertahun-tahun terpisah dan berduka. Surah Yusuf menutup tirai dengan gambaran kemenangan iman dan takdir yang indah.
Kisah Nabi Yusuf dan Zulaikha tetap relevan hingga hari ini. Ini adalah pengingat bahwa penderitaan adalah bagian dari rencana Ilahi, bahwa kesabaran akan selalu membuahkan hasil, dan bahwa keimanan sejati memiliki kekuatan untuk menundukkan godaan yang paling memikat sekalipun. Di tengah kemewahan Mesir kuno, di antara kekuasaan dan nafsu, Yusuf berdiri teguh sebagai mercusuar kesucian, membuktikan bahwa kehormatan batin jauh lebih berharga daripada kekuasaan yang fana.
Narasi ini mengajarkan bahwa tidak ada kemuliaan tanpa ujian yang berat, dan bagi mereka yang memilih jalan ketakwaan, Allah akan selalu menyediakan jalan keluar, bahkan dari dalam sumur terdalam atau penjara tergelap. Pengalaman Yusuf adalah cerminan janji bahwa kebenaran pada akhirnya akan terungkap, dan jiwa yang bertobat akan menemukan kedamaian, bahkan jika itu harus dicapai melalui perjalanan yang panjang dan penuh air mata seperti yang dialami oleh Zulaikha.
***
Untuk memahami kedalaman kisah ini, penting untuk menggali lebih jauh ke dalam psikologi Zulaikha. Ia bukan sekadar antagonis nafsu; ia adalah representasi dari jiwa manusia yang berjuang melawan kehendaknya sendiri. Zulaikha memiliki segalanya, namun merasakan kekosongan yang hanya bisa diisi oleh sesuatu yang murni—Yusuf. Kekosongan ini adalah hasil dari hidup yang terfokus pada materi dan kekuasaan. Kedatangan Yusuf, seorang budak, yang memancarkan spiritualitas dan keindahan etis, memicu krisis eksistensial dalam dirinya.
Hasrat Zulaikha terhadap Yusuf adalah paradoks. Ia menginginkan Yusuf, tetapi secara tidak sadar, ia juga menginginkan kesucian yang diwakili oleh Yusuf. Ketika Yusuf menolak, penolakan itu tidak hanya menolak hasratnya; itu menolak seluruh identitasnya sebagai wanita paling berkuasa yang terbiasa dituruti. Penolakan ini adalah pukulan telak yang mengubah obsesi menjadi tirani. Ia menggunakan kekuasaannya untuk mencoba menghancurkan Yusuf, bukan karena ia membencinya, tetapi karena ia tidak tahan melihat kemurnian yang tidak dapat ia miliki atau nodai.
Proses panjang penderitaan Zulaikha, yang diakhiri dengan kebutaan dan kemiskinan setelah suaminya meninggal, adalah proses penyucian Ilahi. Ia harus kehilangan segalanya, termasuk kecantikan fisiknya dan penglihatannya, untuk akhirnya dapat 'melihat' dengan mata hati. Hanya ketika ia benar-benar hancur, barulah ia dapat melepaskan obsesi duniawi dan beralih kepada cinta sejati kepada Allah. Transformasi dari pemuja nafsu menjadi pemuja Allah adalah inti teologis dari peran Zulaikha dalam kisah ini.
***
Masa-masa Yusuf di penjara adalah contoh utama dari manajemen krisis berbasis iman. Daripada menyerah pada keputusasaan, Yusuf memanfaatkan situasi itu untuk tujuan yang lebih tinggi: dakwah. Ketika dua tahanan datang kepadanya dengan mimpi, Yusuf tidak langsung melompat pada tafsir. Ia menyadari bahwa kekaguman mereka terhadapnya, yang muncul dari akhlaknya yang mulia, adalah gerbang menuju hati mereka.
Yusuf secara metodis mengajarkan tauhid sebelum memberikan jawaban duniawi mereka. Ia berkata: "Makanan yang akan diberikan kepadamu, aku telah dapat menerangkan jenis makanan itu, sebelum makanan itu sampai kepadamu. Itu adalah sebagian dari apa yang diajarkan oleh Tuhanku kepadaku..." Ini menunjukkan bahwa pengetahuan spiritualnya lebih dulu, dan kemampuan menafsirkan mimpi hanyalah bukti dari pengetahuan spiritual tersebut.
Kebijaksanaan Yusuf dalam menunda kebebasannya sendiri, menuntut pengakuan dari para wanita elit sebelum menerima pembebasan, adalah pelajaran tentang integritas. Ia tidak takut pada penjara; yang ia takuti adalah noda pada kehormatannya yang bisa merusak kredibilitas dakwahnya di masa depan. Keputusannya untuk menunggu memastikan bahwa ketika ia akhirnya muncul di hadapan publik, ia melakukannya bukan sebagai budak yang diampuni, tetapi sebagai nabi yang namanya telah dibersihkan oleh otoritas tertinggi, menyiapkan panggung untuk pengangkatannya ke posisi strategis.
***
Narasi ini menampilkan dua sosok yang memegang gelar Al-Aziz: suami pertama Zulaikha dan Nabi Yusuf sendiri. Perbedaan antara keduanya sangat mencolok dan menyoroti pandangan Islam tentang penggunaan kekuasaan.
Al-Aziz yang pertama adalah seorang pembesar yang kuat secara politik, tetapi lemah di rumah tangganya. Ketika skandal itu pecah, ia memilih solusi politik yang dangkal—memenjarakan Yusuf untuk meredam gosip—daripada menegakkan keadilan sejati terhadap istrinya. Kekuasaannya terbatas pada dunia material dan terdistorsi oleh kebutuhan untuk menjaga citra sosial.
Yusuf, sebagai Al-Aziz yang baru, menggunakan kekuasaannya sebagai amanah Ilahi. Ia tidak meminta posisi bendaharawan karena ambisi pribadi, tetapi karena ia tahu hanya melalui posisi tersebut ia bisa menyelamatkan jutaan nyawa dari kelaparan. Kekuasaannya digunakan untuk melayani keadilan, mengatur ekonomi secara etis, dan akhirnya, untuk menegakkan kebenaran dan menyatukan kembali keluarganya. Gelar yang sama, 'Al-Aziz,' ketika dipegang oleh seorang nabi, berubah menjadi instrumen keadilan dan rahmat, kontras dengan penggunaannya yang pragmatis oleh pendahulunya.
***
Tafsir mimpi Firaun oleh Yusuf jauh melampaui ramalan nasib; itu adalah rencana ekonomi komprehensif. Perintah Yusuf untuk menyimpan panen tujuh tahun pertama secara terstruktur menunjukkan keahlian administrasi yang luar biasa. Ia menyarankan:
Visi ini tidak hanya menyelamatkan Mesir tetapi juga menjadikannya pusat regional untuk perdagangan makanan, menarik orang-orang dari wilayah lain, termasuk saudara-saudaranya sendiri. Ini membuktikan bahwa kenabian membawa serta hikmah duniawi dan kemampuan praktis yang superior. Kemampuannya mengelola krisis global ini (kelaparan regional) menegaskan bahwa pengangkatannya ke posisi kekuasaan adalah kebutuhan, bukan sekadar imbalan pribadi.
***
Dalam tradisi Sufi, kisah Yusuf dan Zulaikha dilihat sebagai alegori agung tentang perjalanan jiwa menuju Tuhan. Yusuf melambangkan 'Cinta Ilahi' atau 'Kesempurnaan Ilahi', sementara Zulaikha melambangkan 'Jiwa yang Terombang-ambing' (*Nafs*). Awalnya, Zulaikha mencintai Yusuf dalam bentuk fisiknya, yang merupakan manifestasi nafsu terendah.
Penolakan Yusuf (yang mewakili Kesucian) memaksa Zulaikha ke dalam penderitaan dan penyesalan. Penderitaan ini adalah 'penyucian' yang diperlukan. Ketika ia kehilangan segalanya dan hanya bisa menyebut nama Yusuf, ia secara tidak sadar telah mentransformasi cintanya. Ia mulai memuja 'sumber' dari keindahan Yusuf—Allah SWT—yang diibaratkan sebagai Al-Aziz Yang Abadi.
Pada akhirnya, ketika mereka menikah, penyatuan itu bukan lagi tentang hasrat fisik masa lalu. Itu adalah penyatuan dua jiwa yang telah disucikan, di mana Yusuf menerima kembali jiwa yang telah ia selamatkan melalui keteguhan imannya. Kisah mereka mengajarkan bahwa bahkan cinta yang paling keliru pun, jika diarahkan melalui penyesalan dan tobat yang tulus, dapat diarahkan kembali menjadi cinta spiritual murni.
***
Pengampunan yang diberikan Yusuf kepada sepuluh saudara yang telah mengkhianatinya adalah puncak etis dari narasi ini. Setelah Yusuf mengungkapkan identitasnya, saudara-saudaranya diliputi rasa malu dan takut akan pembalasan. Yusuf, yang kini memiliki kekuatan absolut untuk membalas dendam, memilih jalan yang paling sulit: pengampunan total. Ia berkata: "Tidak ada cemoohan bagimu pada hari ini. Allah akan mengampunimu, dan Dia adalah Maha Penyayang dari semua penyayang."
Tindakan ini adalah representasi nyata dari akhlak kenabian. Ia melepaskan semua kepahitan masa lalu, membebaskan dirinya dari beban dendam, dan menyembuhkan luka batin keluarganya. Pengampunan ini menegaskan kembali tema utama surah tersebut: bahwa penderitaan dan ujian adalah alat untuk mencapai maqam (kedudukan spiritual) yang lebih tinggi, dan bahwa cinta dan rahmat harus menjadi respon akhir terhadap kezaliman, meniru sifat-sifat Allah yang Maha Pengampun.
***
Melalui perjalanan panjang dari jurang sumur ke singgasana istana, dari ujian godaan yang membara hingga pengampunan yang menyejukkan, kisah Nabi Yusuf dan Zulaikha menawarkan mozaik yang lengkap tentang perjuangan manusia melawan nafsu, godaan kekuasaan, dan akhirnya, anugerah pertobatan dan rahmat. Keindahan kisah ini terletak pada detail penderitaan, keteguhan hati, dan transformasi radikal yang dialami oleh semua tokoh utamanya, menjadikannya 'ahsanul qasas' (kisah yang paling baik) di mata Ilahi.
Setiap paragraf, setiap dialog, dan setiap keputusan yang diambil oleh Yusuf adalah cetak biru untuk menjalani kehidupan dengan integritas mutlak di tengah badai godaan. Zulaikha, di sisi lain, berfungsi sebagai pengingat abadi bahwa kemewahan materi tidak menjamin kebahagiaan, dan bahwa pintu tobat selalu terbuka lebar, meskipun seseorang harus melewati jalan yang panjang dan menyakitkan untuk mencapainya.
Kisah ini adalah warisan spiritual yang tak lekang oleh waktu, mengajarkan bahwa kecantikan sejati terletak pada kesucian hati, dan bahwa takdir Ilahi selalu bekerja di balik layar, mengubah kejahatan terbesar menjadi kebaikan terbesar, dan menjatuhkan yang paling sombong untuk mengangkat yang paling sabar.
***