Daftar Isi
- Pendahuluan: Suara yang Tak Terdengar
- Sejarah Panjang Sebuah Protes
- Psikologi di Balik Mogok Makan
- Dampak Fisik dan Medis yang Serius
- Etika dan Moralitas Mogok Makan
- Jenis-jenis Mogok Makan
- Mogok Makan dalam Konteks Hukum
- Beberapa Kasus Mogok Makan Terkenal
- Efektivitas dan Kegagalan Mogok Makan
- Alternatif Bentuk Protes Tanpa Kekerasan
- Tantangan dan Masa Depan Mogok Makan
- Kesimpulan: Antara Asa dan Realita
- Pertanyaan yang Sering Diajukan (FAQ)
- Glosarium Istilah Terkait Mogok Makan
Pendahuluan: Suara yang Tak Terdengar
Mogok makan, sebuah tindakan yang radikal dan penuh risiko, telah lama menjadi simbol perlawanan tanpa kekerasan di berbagai belahan dunia. Ini adalah bentuk protes di mana seseorang atau sekelompok orang secara sukarela menahan diri dari mengonsumsi makanan, dan terkadang juga minuman, sebagai upaya untuk mencapai tuntutan politik, sosial, atau pribadi. Tindakan ini, yang sering kali disebut sebagai "puasa protes", menarik perhatian publik dan tekanan moral pada pihak yang berwenang untuk memenuhi tuntutan para mogok makan.
Motivasi di balik mogok makan sangat beragam, mulai dari perjuangan untuk keadilan, hak asasi manusia, kebebasan politik, hingga menuntut perlakuan yang lebih baik di penjara. Ini adalah pilihan terakhir bagi mereka yang merasa suara mereka tidak didengar, cara untuk mengubah tubuh mereka menjadi sebuah platform protes yang tak bisa diabaikan. Dengan mempertaruhkan kesehatan dan bahkan nyawa, para mogok makan berharap untuk memicu empati, tekanan publik, dan akhirnya, perubahan.
Artikel ini akan menelusuri seluk-beluk mogok makan, mulai dari akar sejarahnya, psikologi di baliknya, dampak medis yang parah, hingga pertimbangan etika dan hukum yang melingkupinya. Kami juga akan membahas kasus-kasus terkenal yang telah membentuk narasi mogok makan, serta efektivitas dan tantangan yang menyertainya sebagai bentuk perlawanan. Melalui pemahaman yang komprehensif, kita dapat menghargai kompleksitas dan pengorbanan yang melekat pada tindakan mogok makan, serta dampaknya yang abadi terhadap sejarah perjuangan manusia.
Sejarah Panjang Sebuah Protes
Konsep menahan diri dari makanan sebagai bentuk protes bukanlah hal baru; akarnya dapat ditelusuri jauh ke masa lalu, dalam berbagai budaya dan peradaban. Jauh sebelum era modern, praktik ini sudah dikenal, seringkali dikaitkan dengan makna spiritual atau politik.
Asal Mula dan Praktik Kuno
Di India kuno, praktik yang disebut "prayopavesa" adalah tradisi puasa sampai mati, biasanya dilakukan oleh pertapa atau individu yang ingin mengakhiri hidup mereka dengan damai setelah mencapai tujuan hidup tertentu atau sebagai bentuk penebusan dosa. Meskipun bukan protes dalam pengertian modern, ini menunjukkan pengakuan terhadap puasa sebagai tindakan yang sarat makna dan konsekuensi.
Dalam tradisi Celtic Irlandia kuno, ada praktik yang dikenal sebagai "trosgadh" atau "puasa di depan", di mana seseorang akan berpuasa di depan rumah orang yang telah berbuat salah kepada mereka. Tujuannya adalah untuk menimbulkan rasa malu dan tekanan moral pada pelaku, memaksa mereka untuk memperbaiki kesalahan mereka. Ini adalah bentuk awal dari mogok makan sebagai alat tekanan sosial, yang mengandalkan ikatan komunitas dan rasa hormat terhadap norma-norma sosial.
Di Yunani dan Roma kuno, filsuf seperti Socrates dan Seneca dilaporkan memilih untuk mengakhiri hidup mereka dengan puasa atau menolak makanan sebagai bentuk protes terhadap ketidakadilan atau sebagai pernyataan prinsip filosofis. Meskipun konteksnya berbeda, tindakan ini menunjukkan kekuatan yang melekat pada penolakan makanan sebagai ekspresi kemauan.
Era Modern: Protes Politik dan Hak Asasi Manusia
Mogok makan dalam bentuknya yang lebih terorganisir sebagai alat protes politik mulai menonjol pada abad ke-20. Salah satu contoh paling terkenal adalah gerakan hak pilih perempuan (suffragette) di Inggris pada awal 1900-an. Para suffragette yang dipenjara, seperti Marion Dunlop dan Emmeline Pankhurst, melakukan mogok makan untuk menuntut status tahanan politik. Respons pemerintah adalah dengan memberi makan paksa mereka, sebuah praktik yang sangat kontroversial dan seringkali brutal, menggunakan selang yang dimasukkan melalui hidung atau mulut.
Tokoh besar lainnya yang memanfaatkan mogok makan adalah Mahatma Gandhi dalam perjuangan kemerdekaan India. Gandhi menggunakan puasa sebagai alat Satyagraha, atau perlawanan tanpa kekerasan, untuk memprotes diskriminasi, menghentikan kekerasan komunal, dan mendesak reformasi politik. Puasa Gandhi memiliki kekuatan moral yang luar biasa, seringkali berhasil memobilisasi jutaan orang dan memaksa pemerintah kolonial Inggris untuk bernegosiasi.
Di abad ke-20 dan ke-21, mogok makan menjadi taktik umum di kalangan tahanan politik, aktivis hak asasi manusia, dan kelompok minoritas. Dari para aktivis anti-apartheid di Afrika Selatan hingga tahanan di penjara Guantanamo Bay, dari para pembangkang di Tiongkok hingga para aktivis lingkungan, mogok makan telah menjadi senjata ampuh untuk menarik perhatian internasional, menyoroti ketidakadilan, dan menekan rezim opresif. Ini adalah strategi yang mengandalkan kemampuan manusia untuk berkorban dan kesediaan publik untuk bersimpati, mengubah tubuh yang rentan menjadi medan pertempuran moral.
Mogok makan bukan hanya sekadar penolakan makanan; ini adalah pernyataan yang mendalam, sebuah seruan putus asa yang menggema dengan kesungguhan. Sejarahnya yang panjang mencerminkan kemampuannya untuk beradaptasi dengan berbagai konteks, tetapi esensinya tetap sama: menggunakan tubuh sebagai medium untuk menyampaikan pesan yang paling mendesak ketika semua saluran komunikasi lainnya telah gagal.
Psikologi di Balik Mogok Makan
Mogok makan bukanlah tindakan yang impulsif; ia adalah hasil dari pertimbangan psikologis yang mendalam, baik dari sisi pelakunya maupun dampaknya pada pihak ketiga. Ini melibatkan pergulatan internal dan eksternal yang kompleks.
Motivasi Internal: Kehendak dan Keyakinan
Pada intinya, mogok makan adalah manifestasi ekstrem dari kehendak bebas dan keyakinan. Individu yang memilih jalan ini sering kali didorong oleh prinsip moral atau politik yang kuat yang mereka anggap lebih berharga daripada kehidupan mereka sendiri. Motivasi ini bisa meliputi:
- Keyakinan Moral yang Tak Tergoyahkan: Mereka percaya pada kebenaran perjuangan mereka dan melihat mogok makan sebagai satu-satunya cara untuk membuktikan kesungguhan komitmen mereka.
- Pencarian Keadilan: Perasaan tidak adil yang mendalam dapat mendorong seseorang untuk melakukan tindakan ekstrem demi menarik perhatian pada penderitaan mereka atau orang lain.
- Pengorbanan Diri: Ada elemen altruisme dalam mogok makan, di mana individu bersedia mengorbankan diri demi tujuan yang lebih besar, baik untuk kelompok, komunitas, atau ideal.
- Rasa Tak Berdaya: Ketika semua saluran protes lainnya tertutup atau diabaikan, mogok makan bisa menjadi pilihan terakhir untuk mendapatkan suara mereka didengar, mengubah tubuh yang rentan menjadi senjata.
- Harapan untuk Perubahan: Meskipun ekstrem, di baliknya ada harapan kuat bahwa tindakan ini akan memicu respons, baik dari pemerintah, publik, atau komunitas internasional.
Psikologi individu yang mogok makan juga melibatkan kemampuan untuk menahan rasa lapar, kelemahan fisik, dan ketakutan akan kematian. Ini memerlukan ketahanan mental yang luar biasa, seringkali diperkuat oleh dukungan moral dari sesama narapidana, keluarga, atau pendukung di luar.
Dampak Psikologis pada Pihak Lawan dan Publik
Efektivitas mogok makan sangat bergantung pada respons psikologis dari pihak yang ditargetkan (misalnya, pemerintah atau otoritas penjara) dan masyarakat luas. Beberapa mekanisme psikologis yang berperan meliputi:
- Tekanan Moral: Tindakan mogok makan secara inheren memunculkan pertanyaan moral yang sulit. Apakah masyarakat atau pemerintah bersedia membiarkan seseorang meninggal demi mempertahankan kebijakan atau status quo? Ini menciptakan dilema etika yang kuat.
- Empati Publik: Gambar atau berita tentang seseorang yang mogok makan dan semakin melemah cenderung memicu empati dari publik, yang kemudian dapat meningkatkan tekanan politik terhadap pihak berwenang.
- Rasa Bersalah: Bagi individu atau institusi yang bertanggung jawab, mogok makan dapat menimbulkan rasa bersalah atau tanggung jawab moral, terutama jika kematian terjadi.
- Simbolisme: Mogok makan bisa menjadi simbol perlawanan yang kuat, menginspirasi orang lain untuk bergabung dalam perjuangan atau mengambil tindakan serupa. Ini dapat mengubah seorang individu menjadi martir atau pahlawan.
- Dilema Komunikasi: Mogok makan memaksa pihak berwenang untuk merespons. Apakah mereka akan menegaskan kekuasaan dengan membiarkan mogok makan berlanjut, atau mengalah untuk mencegah tragedi? Kedua pilihan memiliki konsekuensi politik dan moral.
Namun, ada juga risiko bahwa pihak berwenang dapat mencoba mendiskreditkan para mogok makan, mengabaikan mereka, atau memberi makan paksa mereka. Hal ini dapat menimbulkan tekanan psikologis balik yang hebat pada individu yang mogok makan, menguji batas ketahanan mental mereka.
Secara keseluruhan, mogok makan adalah permainan psikologis berisiko tinggi di mana kemauan individu berhadapan dengan kekuasaan institusional. Ini adalah upaya untuk mentransformasi kelemahan fisik menjadi kekuatan moral dan politik, dengan harapan bahwa hati nurani publik dan pemimpin akan tergerak untuk bertindak.
Dampak Fisik dan Medis yang Serius
Mogok makan membawa risiko kesehatan yang ekstrem dan berpotensi fatal. Tubuh manusia dirancang untuk bertahan hidup, dan ketika asupan nutrisi dihentikan, ia akan mulai mengonsumsi cadangan energinya sendiri. Proses ini memiliki tahapan yang jelas dengan konsekuensi medis yang semakin parah seiring berjalannya waktu.
Tahap Awal (Hari 1-3)
Pada hari-hari pertama, tubuh akan merespons dengan cepat terhadap kurangnya asupan makanan:
- Glukosa Menipis: Cadangan glukosa dari glikogen di hati dan otot adalah sumber energi utama. Ini akan habis dalam waktu 24-48 jam.
- Perubahan Hormonal: Kadar insulin turun, sementara hormon glukagon dan epinefrin meningkat untuk memobilisasi cadangan energi.
- Gejala Awal: Rasa lapar yang intens, pusing, lemas, sakit kepala ringan, dan sedikit penurunan gula darah mungkin dirasakan. Tubuh mulai menyesuaikan diri dengan mode "bertahan hidup".
Tahap Menengah (Hari 4-14)
Setelah cadangan glukosa habis, tubuh beralih ke sumber energi lain, terutama lemak dan protein:
- Ketosis: Lemak mulai dipecah menjadi keton bodies, yang menjadi sumber energi alternatif untuk otak dan organ lain. Ini sering kali menekan rasa lapar. Nafas bisa berbau seperti buah atau aseton.
- Pemecahan Otot: Protein dari jaringan otot mulai dipecah untuk menghasilkan glukosa melalui proses glukoneogenesis, karena otak masih membutuhkan glukosa meskipun dalam jumlah yang lebih kecil. Ini menyebabkan hilangnya massa otot yang signifikan.
- Dehidrasi dan Ketidakseimbangan Elektrolit: Jika air juga ditahan, dehidrasi akan cepat terjadi dan sangat berbahaya. Bahkan jika air dikonsumsi, keseimbangan elektrolit (natrium, kalium, kalsium, magnesium) dapat terganggu, mempengaruhi fungsi jantung dan saraf.
- Gejala: Kelemahan yang signifikan, lesu, iritabilitas, kesulitan berkonsentrasi, hipotensi (tekanan darah rendah), dan kadang-kadang aritmia jantung.
Tahap Lanjut (Hari 15 dan Seterusnya)
Semakin lama mogok makan berlanjut, semakin parah kerusakan pada organ dan sistem tubuh:
- Gagal Organ: Hati, ginjal, dan jantung sangat rentan. Hati dapat mengalami steatosis (perlemakan hati) atau disfungsi, ginjal dapat gagal akibat dehidrasi dan ketidakseimbangan elektrolit, dan otot jantung melemah.
- Sistem Kekebalan Tubuh Tertekan: Kekurangan nutrisi parah melemahkan sistem imun, membuat individu sangat rentan terhadap infeksi.
- Kerusakan Neurologis: Kekurangan vitamin (terutama tiamin) dan elektrolit dapat menyebabkan kerusakan saraf permanen, termasuk neuropati perifer, ensefalopati Wernicke, dan Korsakoff syndrome yang mempengaruhi memori.
- Cachexia: Keadaan kurus kering ekstrem akibat hilangnya massa otot dan lemak secara drastis.
- Kematian: Kematian dapat terjadi karena berbagai komplikasi, termasuk aritmia jantung fatal, gagal ginjal, infeksi parah, atau disfungsi organ multipel. Umumnya, tanpa asupan cairan, kematian dapat terjadi dalam beberapa hari. Dengan asupan cairan tetapi tanpa makanan, kematian dapat terjadi dalam 45-70 hari, meskipun kasus yang lebih ekstrem telah tercatat.
Komplikasi dan Risiko Jangka Panjang
Bahkan jika mogok makan dihentikan dan individu selamat, ada risiko komplikasi jangka panjang:
- Sindrom Refeeding: Jika makanan diperkenalkan kembali terlalu cepat setelah periode puasa yang panjang, dapat terjadi perubahan cairan dan elektrolit yang fatal. Ini harus dilakukan di bawah pengawasan medis ketat.
- Kerusakan Organ Permanen: Gagal ginjal kronis, kerusakan jantung, masalah pencernaan, dan kerusakan saraf dapat menjadi permanen.
- Masalah Kesehatan Mental: Trauma psikologis akibat pengalaman mogok makan dapat menyebabkan depresi, kecemasan, dan gangguan stres pascatrauma (PTSD).
Mogok makan adalah tindakan yang sangat berbahaya yang membawa konsekuensi fisik dan mental yang mendalam dan seringkali tidak dapat diubah. Keputusan untuk melakukan mogok makan adalah pertaruhan nyawa yang menuntut pengawasan medis yang ketat dan pemahaman yang mendalam tentang risiko yang terlibat.
Etika dan Moralitas Mogok Makan
Mogok makan memunculkan dilema etika yang kompleks, baik bagi individu yang melakukannya, tenaga medis yang merawat, maupun pihak berwenang yang merespons. Konflik antara hak individu untuk memprotes dan kewajiban untuk menjaga kehidupan menjadi inti dari perdebatan moral ini.
Hak Individu vs. Kewajiban Pemerintah/Pihak Berwenang
Pada satu sisi, ada argumen kuat bahwa mogok makan adalah ekspresi fundamental dari hak asasi manusia, yaitu kebebasan berekspresi dan hak untuk memprotes. Individu memiliki otonomi atas tubuh dan hidup mereka, dan pilihan untuk menahan diri dari makanan dapat dilihat sebagai manifestasi tertinggi dari otonomi tersebut, terutama ketika semua bentuk protes lainnya telah ditekan.
Namun, pihak berwenang seringkali berargumen bahwa mereka memiliki kewajiban untuk menjaga kehidupan individu di bawah pengawasan mereka, terutama di penjara. Ini menimbulkan pertanyaan:
- Apakah kewajiban pemerintah untuk menjaga kehidupan lebih tinggi daripada hak individu untuk memilih mati demi suatu tujuan?
- Kapan tindakan "menyelamatkan" (misalnya, memberi makan paksa) menjadi pelanggaran hak asasi manusia?
Standar internasional, seperti Deklarasi Malta dari World Medical Association, menyatakan bahwa dokter harus menghormati keputusan individu yang mogok makan yang kompeten (mampu membuat keputusan rasional) dan menolak intervensi medis, termasuk memberi makan paksa. Memberi makan paksa dianggap tidak etis dan bisa menjadi bentuk penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan martabat, kecuali dalam kondisi sangat spesifik dan dengan persetujuan yang sah. Namun, ini seringkali diabaikan oleh pemerintah atau otoritas penjara yang menganggap nyawa narapidana sebagai tanggung jawab mereka.
Dilema Medis: Menjaga Hidup atau Menghormati Otonomi?
Para profesional medis menghadapi dilema etika yang paling tajam. Sumpah Hippokrates dan prinsip etika medis mengajarkan mereka untuk menjaga kehidupan dan meringankan penderitaan. Namun, mereka juga harus menghormati otonomi pasien.
Ketika seorang individu yang kompeten secara mental menolak makanan, dokter berada di antara dua kewajiban moral yang saling bertentangan:
- Kewajiban untuk Melindungi Kehidupan: Insting medis adalah untuk mencegah kematian dan merawat penyakit.
- Kewajiban untuk Menghormati Otonomi Pasien: Pasien yang sadar dan kompeten memiliki hak untuk menolak perawatan, bahkan jika penolakan tersebut berakibat fatal.
Dalam konteks mogok makan, menghormati otonomi berarti membiarkan individu membuat keputusan tentang tubuh mereka, bahkan jika itu berarti risiko kematian. Intervensi medis paksa, seperti memberi makan paksa, dapat melanggar otonomi dan martabat individu, serta etika profesional dokter.
Beberapa prinsip panduan yang sering dibahas adalah:
- Penilaian Kompetensi: Dokter harus menilai apakah individu yang mogok makan kompeten secara mental untuk membuat keputusan tersebut. Jika tidak, intervensi medis mungkin dibenarkan.
- Bukan Bunuh Diri: Mogok makan tidak selalu sama dengan bunuh diri. Seringkali, tujuannya adalah untuk menarik perhatian dan mencapai perubahan, bukan untuk mengakhiri hidup. Dokter perlu memahami niat di balik tindakan tersebut.
- Pemberian Informasi: Individu harus sepenuhnya diinformasikan tentang risiko medis dari mogok makan.
- Mitigasi Penderitaan: Dokter masih memiliki kewajiban untuk mengurangi penderitaan tanpa melanggar prinsip mogok makan, misalnya dengan memastikan lingkungan yang nyaman atau mengobati gejala yang tidak terkait dengan rasa lapar (jika diizinkan oleh pasien).
Perdebatan etis seputar mogok makan terus berlanjut, mencerminkan ketegangan antara hak-hak individu, kewajiban negara, dan etika profesi medis dalam menghadapi tindakan protes yang begitu radikal dan personal.
Jenis-jenis Mogok Makan
Mogok makan bukan tindakan monolitik; ada berbagai bentuk dan tingkatan yang dilakukan, masing-masing dengan tujuan dan risiko yang berbeda.
Mogok Makan Penuh (Full Hunger Strike)
Ini adalah bentuk mogok makan yang paling ekstrem dan berbahaya, di mana individu menolak semua makanan padat dan cair, kecuali mungkin air biasa. Beberapa bahkan menolak air juga, yang sangat mempercepat kematian.
- Tujuan: Menarik perhatian maksimal, memprovokasi respons cepat, atau sebagai bentuk pengorbanan diri yang ekstrim.
- Risiko: Sangat tinggi. Kematian dapat terjadi dalam beberapa hari (tanpa air) hingga beberapa minggu (dengan air).
- Contoh: Mogok makan tahanan politik yang menuntut kebebasan atau status.
Mogok Makan Parsial (Partial Hunger Strike)
Dalam jenis ini, individu mungkin menolak makanan tertentu atau hanya mengonsumsi jumlah yang sangat minimal untuk memperpanjang protes mereka. Ini bisa berupa penolakan makanan padat tetapi minum cairan bernutrisi (seperti jus buah atau kaldu), atau mengonsumsi sejumlah kecil makanan yang tidak cukup untuk menopang hidup normal.
- Tujuan: Menarik perhatian sambil memperpanjang durasi protes, mengurangi risiko kematian segera namun tetap menunjukkan keseriusan tuntutan.
- Risiko: Masih signifikan, terutama jika asupan kalori dan nutrisi sangat rendah. Malnutrisi dan kerusakan organ tetap menjadi ancaman.
- Contoh: Tahanan yang hanya mengonsumsi air dan garam untuk jangka waktu yang lebih lama.
Mogok Makan Intermiten atau Estafet (Intermittent/Relay Hunger Strike)
Jenis mogok makan ini melibatkan sekelompok orang yang bergiliran melakukan mogok makan, sehingga selalu ada seseorang yang mogok makan pada waktu tertentu, tetapi tidak semua orang melakukannya secara bersamaan. Ini dapat mempertahankan tekanan pada pihak berwenang dalam jangka waktu yang lebih lama tanpa membahayakan terlalu banyak nyawa secara simultan.
- Tujuan: Mempertahankan tekanan dan perhatian media dalam jangka panjang, meminimalkan risiko kematian massal, dan memungkinkan para mogok makan pulih secara bergantian.
- Risiko: Lebih rendah dibandingkan mogok makan penuh untuk individu, tetapi masih ada risiko jika periode puasa cukup lama.
- Contoh: Mogok makan di kamp pengungsian atau penjara yang melibatkan banyak peserta.
Puasa Protes (Protest Fast)
Istilah "puasa protes" sering digunakan secara bergantian dengan mogok makan, tetapi kadang-kadang bisa merujuk pada bentuk yang kurang ekstrem. Ini mungkin melibatkan penolakan makanan untuk periode waktu yang lebih singkat (misalnya, 24 jam atau beberapa hari) atau sebagai bentuk solidaritas. Puasa protes lebih sering dilakukan oleh aktivis di luar penjara sebagai demonstrasi.
- Tujuan: Menarik perhatian media, menunjukkan solidaritas, atau sebagai bentuk penekanan moral jangka pendek.
- Risiko: Umumnya lebih rendah, terutama jika durasinya singkat dan dilakukan oleh individu yang sehat. Namun, tetap ada risiko dehidrasi dan ketidakseimbangan elektrolit jika tidak hati-hati.
- Contoh: Puasa yang dilakukan oleh aktivis lingkungan selama konferensi puncak.
Pemilihan jenis mogok makan seringkali bergantung pada konteks, tujuan yang diinginkan, jumlah peserta, dan tingkat risiko yang bersedia diambil oleh para pelaku. Setiap jenis memiliki implikasi strategis dan medis yang berbeda, namun semuanya bertujuan untuk menggunakan pengorbanan diri sebagai alat untuk mencapai perubahan yang diinginkan.
Mogok Makan dalam Konteks Hukum
Status hukum mogok makan, khususnya di kalangan tahanan, adalah isu yang sangat kompleks dan seringkali menjadi medan pertempuran antara hak asasi manusia, kewajiban negara, dan etika medis. Hukum internasional dan nasional memiliki pandangan yang berbeda-beda, menciptakan lanskap yang rumit.
Hukum Internasional dan Etika Medis Global
Secara internasional, ada beberapa instrumen yang relevan dengan mogok makan:
- Deklarasi Malta tentang Mogok Makan (World Medical Association - WMA): Ini adalah panduan etis paling penting bagi tenaga medis. Deklarasi ini menegaskan bahwa dokter harus menghormati otonomi seorang mogok makan yang kompeten (mampu membuat keputusan rasional). Dokter tidak boleh berpartisipasi dalam memberi makan paksa, yang dianggap tidak etis dan bisa menjadi bentuk perlakuan tidak manusiawi. Memberi makan paksa hanya dapat dibenarkan jika individu tidak lagi kompeten secara mental untuk membuat keputusan dan intervensi medis diperlukan untuk menyelamatkan hidupnya, dengan tetap mempertimbangkan keinginan sebelumnya jika ada.
- Konvensi PBB Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat: Memberi makan paksa yang dilakukan dengan cara yang menyakitkan atau merendahkan martabat dapat dianggap sebagai pelanggaran konvensi ini.
- Aturan Standar Minimum PBB untuk Perlakuan Narapidana (Aturan Mandela): Aturan ini menyatakan bahwa setiap narapidana harus memiliki hak untuk mengajukan permintaan atau keluhan tanpa dibatasi dan bahwa personel medis harus melindungi kesehatan fisik dan mental narapidana.
Meskipun ada panduan yang jelas dari WMA, banyak negara dan otoritas penjara sering mengabaikannya, terutama ketika menghadapi mogok makan yang berisiko tinggi atau sensitif secara politik.
Yurisdiksi Nasional: Variasi dalam Penanganan
Penanganan mogok makan sangat bervariasi di antara negara-negara:
- Negara yang Menghormati Otonomi (Misalnya, Beberapa Negara Barat): Di beberapa negara, terutama yang sangat menghargai hak individu dan otonomi, hakim atau pengadilan mungkin memutuskan untuk tidak mengizinkan pemberian makan paksa jika individu mogok makan dianggap kompeten secara mental. Mereka mungkin berfokus pada hak untuk menolak perawatan medis.
- Negara yang Mengutamakan Kewajiban Negara (Misalnya, Banyak Negara Otoriter): Di negara lain, pemerintah mungkin mengklaim kewajiban untuk menjaga kehidupan narapidana, tanpa memandang keinginan mereka. Dalam kasus ini, memberi makan paksa seringkali dilakukan secara rutin dan mungkin tanpa pengawasan medis yang independen. Mereka mungkin berargumen bahwa membiarkan narapidana mati akan menimbulkan kekacauan atau menjadi preseden buruk.
- Negara dengan Ambiguitas Hukum: Beberapa negara memiliki hukum yang tidak jelas atau interpretasi yang beragam, menyebabkan ketidakpastian dalam penanganan mogok makan. Dalam kasus ini, keputusan seringkali dibuat berdasarkan kasus per kasus, dipengaruhi oleh tekanan politik dan opini publik.
Pertanyaan kunci dalam banyak yurisdiksi adalah apakah seorang mogok makan dianggap "kompeten" secara mental. Jika seseorang dinilai mengalami gangguan mental atau tidak mampu membuat keputusan yang rasional, maka intervensi medis untuk menyelamatkan hidup mereka mungkin dianggap etis dan sah secara hukum, terlepas dari Deklarasi Malta. Namun, penentuan kompetensi ini seringkali menjadi titik perdebatan, terutama jika ada dugaan bahwa penilaian tersebut dimanipulasi untuk membenarkan pemberian makan paksa.
Secara keseluruhan, konteks hukum mogok makan adalah medan pertempuran yang konstan antara hak asasi individu untuk memprotes dan otonomi, melawan kewajiban negara untuk melindungi kehidupan, seringkali dengan garis tipis antara penyelamatan nyawa dan penyiksaan. Ini menuntut pengawasan ketat dari komunitas internasional dan organisasi hak asasi manusia.
Beberapa Kasus Mogok Makan Terkenal
Sepanjang sejarah, banyak individu dan kelompok telah menggunakan mogok makan sebagai alat perjuangan, meninggalkan warisan dan pelajaran penting.
Para Suffragette di Inggris
Pada awal abad ke-20, para aktivis hak pilih perempuan di Inggris, yang dikenal sebagai Suffragette, sering melakukan mogok makan ketika dipenjara karena tindakan protes mereka. Mereka menuntut pengakuan sebagai tahanan politik. Respons pemerintah Inggris adalah dengan memberi makan paksa mereka, sebuah praktik yang kejam dan menimbulkan kemarahan publik. Hal ini justru meningkatkan dukungan terhadap gerakan mereka, menyoroti kekejaman sistem dan keberanian para wanita ini.
Mahatma Gandhi
Mahatma Gandhi melakukan beberapa puasa protes sepanjang perjuangannya untuk kemerdekaan India dan reformasi sosial. Puasanya bukan hanya untuk menekan pemerintah kolonial Inggris tetapi juga untuk menghentikan kekerasan komunal antaragama di India. Puasa Gandhi memiliki kekuatan moral yang luar biasa, memobilisasi jutaan orang dan seringkali berhasil mencapai tujuan politiknya melalui kekuatan moral dan non-kekerasan.
Mogok Makan Republik Irlandia
Pada akhir abad ke-20, serangkaian mogok makan oleh para tahanan republikan Irlandia di penjara Maze, Irlandia Utara, menarik perhatian internasional. Yang paling terkenal adalah pada awal tahun delapan puluhan, ketika sepuluh tahanan meninggal, termasuk Bobby Sands, seorang anggota IRA. Mereka menuntut status tahanan politik dan hak-hak tertentu. Peristiwa ini mengguncang politik Inggris dan Irlandia, meningkatkan dukungan untuk tujuan republikan di kalangan tertentu, dan memiliki dampak mendalam pada dinamika konflik di Irlandia Utara.
Tahanan Guantanamo Bay
Sejak pembukaan fasilitas penahanan di Guantanamo Bay, Kuba, banyak tahanan telah melakukan mogok makan untuk memprotes penahanan tanpa batas waktu, perlakuan yang tidak manusiawi, dan kurangnya proses hukum. Pemerintah Amerika Serikat secara rutin melakukan pemberian makan paksa kepada para tahanan ini, yang telah dikritik keras oleh organisasi hak asasi manusia dan komunitas medis internasional sebagai pelanggaran etika dan potensi penyiksaan. Kasus-kasus ini menyoroti kompleksitas etika dan hukum di sekitar mogok makan di tengah "perang melawan teror".
Para Pembangkang di Berbagai Negara
Di banyak negara otoriter atau represif, para pembangkang politik, jurnalis, dan aktivis hak asasi manusia yang dipenjara seringkali menggunakan mogok makan sebagai alat perlawanan terakhir. Dari Rusia hingga Tiongkok, dari Iran hingga Mesir, tindakan ini menjadi cara untuk menarik perhatian internasional terhadap penahanan tidak adil dan pelanggaran hak asasi manusia, seringkali dengan risiko besar bagi nyawa mereka sendiri.
Setiap kasus ini menggarisbawahi kekuatan mogok makan sebagai bentuk protes, kapasitasnya untuk mengguncang opini publik dan menciptakan krisis moral, meskipun dengan biaya pribadi yang sangat besar bagi para pelaku.
Efektivitas dan Kegagalan Mogok Makan
Keberhasilan mogok makan sebagai alat protes sangat bervariasi dan bergantung pada banyak faktor. Ini adalah strategi berisiko tinggi dengan hasil yang tidak pasti.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Efektivitas
Beberapa elemen kunci dapat menentukan apakah mogok makan akan berhasil mencapai tujuannya:
- Publisitas dan Perhatian Media: Mogok makan yang berhasil seringkali membutuhkan liputan media yang luas untuk menarik perhatian publik dan tekanan internasional. Tanpa publisitas, tindakan ini dapat diabaikan.
- Dukungan Publik dan Internasional: Simpati dari masyarakat umum, organisasi hak asasi manusia, politisi, dan pemimpin agama dapat memberikan tekanan signifikan pada pihak yang berwenang.
- Kredibilitas Tuntutan: Tuntutan yang jelas, masuk akal, dan berakar pada prinsip-prinsip keadilan atau hak asasi manusia cenderung lebih mudah mendapatkan dukungan.
- Ketahanan Mogok Makan: Tingkat komitmen dan ketahanan fisik serta mental para mogok makan sangat krusial. Semakin lama mereka bertahan, semakin besar tekanan yang mereka ciptakan.
- Sikap Pihak Berwenang: Respons dari pihak yang ditargetkan (pemerintah, otoritas penjara) adalah faktor penentu. Beberapa mungkin mengalah, sementara yang lain mungkin bersikap keras dan menunggu hingga mogok makan berakhir atau melakukan pemberian makan paksa.
- Jumlah Peserta: Mogok makan yang dilakukan oleh banyak orang seringkali memiliki dampak yang lebih besar daripada tindakan individu, meskipun mogok makan individu yang terkenal juga bisa sangat efektif.
- Konteks Politik: Mogok makan lebih mungkin berhasil dalam konteks di mana ada setidaknya beberapa ruang untuk negosiasi atau di mana pemerintah peka terhadap opini publik dan tekanan internasional.
Potensi Kegagalan dan Konsekuensi yang Tidak Diinginkan
Meskipun memiliki potensi untuk menghasilkan perubahan, mogok makan juga sering kali gagal atau memiliki konsekuensi yang tidak diinginkan:
- Kematian: Kegagalan paling tragis adalah kematian para mogok makan tanpa mencapai tujuan mereka. Ini dapat menjadi kerugian besar bagi gerakan protes dan keluarga korban.
- Diabaikan: Pihak berwenang mungkin memilih untuk mengabaikan mogok makan, berharap bahwa para pelaku akan menyerah atau meninggal tanpa memicu perhatian yang signifikan. Ini terutama terjadi di rezim yang sangat represif.
- Pemberian Makan Paksa: Seperti yang terlihat dalam banyak kasus, pihak berwenang dapat menggunakan pemberian makan paksa untuk mencegah kematian dan mematahkan protes, seringkali dengan metode yang brutal dan melanggar hak asasi manusia.
- Diskreditasi: Pihak berwenang mungkin berusaha mendiskreditkan para mogok makan, menuduh mereka sebagai manipulator atau orang yang tidak stabil mental, untuk mengurangi simpati publik.
- Kerusakan Kesehatan Jangka Panjang: Bahkan jika tuntutan dipenuhi dan mogok makan dihentikan, para pelaku mungkin menderita kerusakan kesehatan permanen yang signifikan.
- Tidak Mempengaruhi Kebijakan: Terkadang, meskipun menarik perhatian, mogok makan mungkin tidak cukup kuat untuk mengubah kebijakan yang menjadi target protes.
Mogok makan adalah senjata terakhir yang digunakan dalam keputusasaan, sebuah tindakan yang mengandalkan kemauan individu dan tekanan moral untuk melawan kekuatan struktural. Keberhasilannya tidak pernah terjamin, dan biayanya selalu tinggi. Ini adalah pengingat akan batas-batas perlawanan tanpa kekerasan dan kadang-kadang, tragedi ketika suara yang putus asa tidak didengar.
Alternatif Bentuk Protes Tanpa Kekerasan
Mogok makan adalah bentuk protes yang sangat radikal dan berisiko tinggi. Namun, ada banyak bentuk protes tanpa kekerasan lainnya yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan yang sama, seringkali dengan risiko yang lebih rendah terhadap kehidupan dan kesehatan.
Demonstrasi dan Pawai
Berkumpulnya sejumlah besar orang dalam demonstrasi atau pawai adalah cara klasik untuk menunjukkan dukungan atau penolakan terhadap suatu isu. Mereka menarik perhatian media, menunjukkan kekuatan angka, dan dapat mengganggu kehidupan sehari-hari, menekan pihak berwenang untuk mendengarkan.
Boikot dan Divestasi
Boikot melibatkan penolakan untuk membeli produk, menggunakan layanan, atau berpartisipasi dalam institusi tertentu sebagai bentuk protes. Divestasi adalah tindakan menarik investasi dari perusahaan atau industri yang dianggap tidak etis. Keduanya bertujuan untuk memberikan tekanan ekonomi atau reputasi.
Membangkang Sipil (Civil Disobedience)
Ini melibatkan penolakan secara sengaja untuk mematuhi hukum atau peraturan yang dianggap tidak adil, tetapi tanpa kekerasan. Contohnya termasuk duduk di tempat yang dilarang, menolak membayar pajak, atau melanggar jam malam protes. Pembangkangan sipil bertujuan untuk menyoroti ketidakadilan hukum dan mendorong perubahan.
Petisi dan Lobi
Mengumpulkan tanda tangan untuk petisi atau melobi langsung pembuat kebijakan adalah cara formal untuk menyuarakan keprihatinan dan menekan untuk perubahan. Meskipun seringkali dianggap kurang dramatis, mereka dapat menjadi sangat efektif dalam jangka panjang, terutama jika didukung oleh riset dan argumen yang kuat.
Seni dan Budaya Protes
Menggunakan seni, musik, teater, dan bentuk ekspresi budaya lainnya untuk menyampaikan pesan protes. Ini bisa sangat kuat dalam membangun kesadaran, memobilisasi dukungan emosional, dan menjangkau audiens yang lebih luas. Contohnya termasuk lagu protes, mural politik, atau pertunjukan seni jalanan.
Jaringan Sosial dan Kampanye Digital
Di era digital, media sosial dan platform daring telah menjadi alat yang ampuh untuk mengorganisir protes, menyebarkan informasi, dan membangun dukungan. Kampanye hashtag, petisi daring, dan siaran langsung protes dapat dengan cepat menarik perhatian global dan memobilisasi aksi.
Puasa Solidaritas (Sympathy Fast)
Puasa solidaritas adalah bentuk puasa yang tidak bertujuan untuk membahayakan nyawa tetapi untuk menunjukkan dukungan terhadap mogok makan lain atau untuk tujuan tertentu. Ini biasanya dilakukan dalam periode singkat (misalnya, 24-72 jam) dan dapat membantu menarik perhatian tanpa risiko ekstrem.
Setiap bentuk protes ini memiliki kelebihan dan kekurangannya sendiri, dan pemilihan strategi seringkali bergantung pada konteks, tujuan, dan risiko yang bersedia diambil. Yang terpenting, semua bentuk ini mewujudkan prinsip perlawanan tanpa kekerasan, berusaha mencapai perubahan melalui kekuatan moral, publik, dan persuasif, bukan kekerasan fisik.
Tantangan dan Masa Depan Mogok Makan
Mogok makan sebagai bentuk protes terus menghadapi berbagai tantangan, baik dari segi praktis, etis, maupun strategis. Masa depannya sebagai alat perjuangan juga diwarnai oleh perkembangan masyarakat dan teknologi.
Tantangan di Lingkungan yang Semakin Otoriter
Di negara-negara dengan rezim otoriter yang semakin canggih dalam mengontrol informasi dan menekan perbedaan pendapat, mogok makan menghadapi hambatan yang lebih besar. Pemerintah dapat dengan mudah menekan berita, mendiskreditkan para mogok makan, atau melakukan pemberian makan paksa tanpa akuntabilitas publik. Kurangnya ruang untuk organisasi masyarakat sipil dan media independen mengurangi efektivitas mogok makan sebagai alat untuk menarik perhatian.
Dilema Pemberian Makan Paksa
Isu pemberian makan paksa tetap menjadi salah satu tantangan etis dan praktis terbesar. Meskipun dikutuk oleh organisasi medis internasional, praktik ini sering dilakukan oleh negara-negara yang ingin mencegah kematian mogok makan (yang dapat menciptakan martir dan memperburuk situasi politik) tanpa memenuhi tuntutan mereka. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang integritas profesional medis dan batas-batas otonomi tubuh.
Risiko Kesehatan Jangka Panjang
Bahkan ketika mogok makan berhasil mencapai tujuannya, biaya kesehatan bagi para pelaku seringkali sangat tinggi. Kerusakan organ permanen dan masalah kesehatan mental dapat menghantui mereka seumur hidup. Hal ini menimbulkan pertanyaan etis tentang beban yang ditanggung oleh individu demi tujuan kolektif.
Relevansi di Era Digital
Di era informasi yang serba cepat, perhatian publik seringkali berumur pendek. Meskipun media sosial dapat dengan cepat menyebarkan berita tentang mogok makan, ia juga dapat dengan cepat beralih ke isu lain. Tantangannya adalah mempertahankan perhatian yang cukup lama untuk membangun tekanan yang berarti.
Masa Depan Mogok Makan
Meskipun tantangan yang ada, mogok makan kemungkinan akan tetap menjadi bentuk protes. Mengapa? Karena ia merupakan tindakan yang paling mendasar dan personal dari perlawanan tanpa kekerasan. Ia memanfaatkan universalitas nilai kehidupan dan rasa kemanusiaan.
- Sebagai Pilihan Terakhir: Mogok makan akan terus menjadi pilihan bagi mereka yang merasa suara mereka benar-benar tidak didengar dan tidak ada saluran lain yang tersedia.
- Relevansi Etis: Perdebatan tentang etika mogok makan dan pemberian makan paksa akan terus mendorong diskusi tentang hak asasi manusia, otonomi tubuh, dan peran negara.
- Simbolisme yang Kuat: Kekuatan simbolis dari pengorbanan diri akan selalu memiliki resonansi, terutama dalam perjuangan melawan ketidakadilan yang mendalam.
Meskipun dunia terus berubah, esensi mogok makan sebagai seruan putus asa untuk keadilan, pengorbanan yang dilakukan demi sebuah ideal, kemungkinan akan terus bertahan, sebuah pengingat akan batas-batas ketahanan manusia dan kemauan yang tak tergoyahkan.
Kesimpulan: Antara Asa dan Realita
Mogok makan adalah sebuah paradoks. Ia adalah tindakan kelemahan fisik yang diubah menjadi kekuatan moral dan politik. Ia adalah suara yang tak terdengar yang berteriak paling keras. Sepanjang sejarah, dari praktik kuno hingga perjuangan modern untuk hak asasi manusia, mogok makan telah menjadi testimoni atas ketahanan roh manusia dan kesediaan individu untuk menghadapi kematian demi keyakinan mereka.
Artikel ini telah mengulas dimensi sejarah, psikologis, medis, etika, dan hukum dari mogok makan, mengungkapkan kompleksitasnya yang mendalam. Kita melihat bagaimana mogok makan berakar pada kebutuhan mendasar untuk didengar, ketika semua cara lain telah gagal. Kita memahami risiko fisik yang mengerikan yang menyertainya, dari kehilangan massa otot hingga kerusakan organ permanen, dan bagaimana hal itu menempatkan para profesional medis dalam dilema etika yang sulit.
Kasus-kasus terkenal menunjukkan bahwa mogok makan dapat menjadi pemicu perubahan politik dan sosial yang signifikan, menarik perhatian pada ketidakadilan dan memaksa pihak berwenang untuk merespons. Namun, kita juga melihat bahwa keberhasilan tidak pernah terjamin, dan kegagalan seringkali berujung pada tragedi dan pengorbanan yang sia-sia.
Di era modern, dengan proliferasi informasi dan peningkatan kesadaran akan hak asasi manusia, mogok makan terus relevan sebagai alat perlawanan. Namun, ia juga menghadapi tantangan baru, terutama di rezim yang represif yang mahir dalam mengontrol narasi dan memanipulasi opini publik. Dilema etika seputar pemberian makan paksa akan terus menjadi medan pertempuran moral dan hukum.
Pada akhirnya, mogok makan adalah tindakan yang menegaskan martabat manusia di hadapan opresi. Ia adalah pengingat bahwa bahkan dalam situasi yang paling tanpa harapan, individu dapat menemukan kekuatan untuk menyatakan kebenaran mereka, bahkan jika harganya adalah nyawa mereka sendiri. Ini bukan hanya tentang penolakan makanan; ini tentang penegasan kemanusiaan, seruan untuk keadilan, dan harapan abadi bahwa suara yang paling rentan pun dapat memicu perubahan.
Pertanyaan yang Sering Diajukan (FAQ)
Apa itu mogok makan?
Mogok makan adalah bentuk protes di mana seseorang atau sekelompok orang secara sukarela menahan diri dari mengonsumsi makanan, dan terkadang juga minuman, sebagai upaya untuk mencapai tuntutan politik, sosial, atau pribadi. Ini adalah bentuk perlawanan tanpa kekerasan yang bertujuan untuk menarik perhatian dan tekanan moral.
Berapa lama seseorang bisa bertahan dalam mogok makan?
Durasi seseorang dapat bertahan sangat bervariasi tergantung pada kondisi fisik awal, asupan cairan, dan faktor kesehatan lainnya. Tanpa air, seseorang mungkin bertahan hanya beberapa hari (3-7 hari). Dengan asupan air yang cukup tetapi tanpa makanan, seseorang dapat bertahan berminggu-minggu, biasanya antara 45 hingga 70 hari, meskipun ada kasus ekstrem yang bertahan lebih lama. Kematian sering terjadi karena komplikasi seperti gagal jantung atau infeksi.
Apa bedanya mogok makan dengan bunuh diri?
Meskipun keduanya melibatkan penolakan makanan yang berpotensi fatal, niat di baliknya berbeda. Bunuh diri adalah tindakan untuk mengakhiri hidup. Mogok makan, di sisi lain, seringkali bukan keinginan untuk mati, melainkan upaya putus asa untuk mencapai suatu tujuan atau perubahan, menggunakan ancaman kematian sebagai alat tekanan. Mereka ingin hidup dan melihat tuntutan mereka dipenuhi.
Apakah memberi makan paksa itu etis?
Menurut World Medical Association (WMA) dalam Deklarasi Malta, memberi makan paksa pada individu mogok makan yang kompeten (mampu membuat keputusan rasional) dianggap tidak etis dan bisa menjadi bentuk penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan martabat. Dokter harus menghormati otonomi pasien. Namun, praktik ini masih dilakukan di banyak negara, terutama di penjara, dengan alasan menjaga kehidupan narapidana.
Apa saja dampak kesehatan dari mogok makan?
Dampak kesehatan sangat serius dan progresif, meliputi: rasa lapar, pusing, lemas, penurunan berat badan, dehidrasi, ketidakseimbangan elektrolit, hilangnya massa otot, kerusakan organ (hati, ginjal, jantung), penurunan sistem kekebalan tubuh, masalah neurologis, dan pada akhirnya, kematian. Bahkan jika mogok makan dihentikan, risiko komplikasi jangka panjang dan sindrom refeeding (bahaya saat makanan diperkenalkan kembali terlalu cepat) tetap ada.
Siapa saja yang sering melakukan mogok makan?
Mogok makan sering dilakukan oleh tahanan politik, aktivis hak asasi manusia, pejuang kemerdekaan, anggota kelompok minoritas yang tertindas, atau individu yang merasa suara mereka tidak didengar oleh pihak berwenang. Contoh terkenal termasuk para suffragette, Mahatma Gandhi, dan tahanan politik di berbagai negara.
Apakah mogok makan selalu berhasil?
Tidak. Keberhasilan mogok makan bergantung pada banyak faktor seperti publisitas, dukungan publik dan internasional, kredibilitas tuntutan, ketahanan para mogok makan, dan respons dari pihak berwenang. Banyak mogok makan gagal mencapai tujuannya, bahkan dengan risiko kematian. Pihak berwenang sering memilih untuk mengabaikan atau memberi makan paksa daripada mengalah.
Apa alternatif dari mogok makan untuk protes?
Ada banyak bentuk protes tanpa kekerasan lainnya, termasuk demonstrasi massal, boikot ekonomi, pembangkangan sipil, petisi, lobi politik, kampanye media sosial, dan penggunaan seni sebagai media protes. Alternatif ini bertujuan untuk menciptakan perubahan tanpa membahayakan nyawa.
Apa peran dokter dalam kasus mogok makan?
Peran dokter adalah memberikan informasi medis yang komprehensif tentang risiko mogok makan, memantau kondisi kesehatan mogok makan, dan memberikan perawatan medis yang disetujui (misalnya, untuk meredakan rasa sakit yang tidak terkait dengan rasa lapar). Menurut etika medis internasional, dokter harus menghormati keputusan seorang mogok makan yang kompeten dan tidak boleh berpartisipasi dalam memberi makan paksa.
Mengapa mogok makan dianggap sebagai tindakan yang kuat?
Mogok makan dianggap kuat karena ia adalah tindakan pengorbanan diri yang ekstrem, menggunakan tubuh sebagai platform protes. Ia secara inheren menimbulkan dilema moral dan etika, menarik perhatian pada ketidakadilan, dan dapat memicu empati serta tekanan publik yang signifikan, memaksa pihak berwenang untuk merespons.
Glosarium Istilah Terkait Mogok Makan
Berikut adalah beberapa istilah kunci yang relevan dengan topik mogok makan:
- Aritmia Jantung: Gangguan irama detak jantung, yang bisa menjadi komplikasi fatal dari ketidakseimbangan elektrolit akibat mogok makan.
- Autonomi (Pasien): Hak pasien yang kompeten untuk membuat keputusan sendiri tentang perawatan medis mereka, termasuk menolak perawatan.
- Cachexia: Keadaan kurus kering ekstrem dan hilangnya massa otot secara drastis, seringkali terlihat pada tahap akhir mogok makan yang panjang.
- Deklarasi Malta: Sebuah pernyataan etika dari World Medical Association (WMA) yang memberikan panduan bagi dokter dalam menangani mogok makan, menekankan penghormatan terhadap otonomi pasien.
- Dehidrasi: Kondisi kekurangan cairan dalam tubuh, yang dapat terjadi dengan cepat jika asupan air juga ditolak selama mogok makan.
- Divestasi: Tindakan menarik investasi dari perusahaan atau industri tertentu sebagai bentuk protes moral atau politik.
- Ensefalopati Wernicke: Gangguan otak akut yang disebabkan oleh defisiensi tiamin (vitamin B1), sering terjadi pada mogok makan jangka panjang dan dapat menyebabkan kerusakan neurologis permanen.
- Glukoneogenesis: Proses metabolisme di mana glukosa diproduksi dari sumber non-karbohidrat, seperti protein dan lemak, yang menjadi penting saat cadangan glukosa habis dalam mogok makan.
- Hipotensi: Tekanan darah rendah, gejala umum yang dialami oleh para mogok makan.
- Ketosis: Proses metabolisme di mana tubuh mulai memecah lemak menjadi keton bodies untuk digunakan sebagai sumber energi alternatif saat cadangan glukosa habis.
- Kompetensi (Mental): Kemampuan individu untuk memahami informasi, menghargai konsekuensinya, dan membuat keputusan rasional. Penilaian kompetensi sangat penting dalam kasus mogok makan untuk menentukan apakah otonomi pasien harus dihormati.
- Membangkang Sipil (Civil Disobedience): Penolakan tanpa kekerasan untuk mematuhi hukum atau perintah pemerintah yang dianggap tidak adil, sebagai bentuk protes.
- Mogok Makan Estafet: Bentuk mogok makan di mana beberapa individu secara bergantian menahan diri dari makanan untuk mempertahankan protes dalam jangka waktu yang lebih lama.
- Mogok Makan Parsial: Bentuk mogok makan di mana individu menolak makanan tertentu atau mengonsumsi sejumlah makanan yang sangat minimal, bukan menolak semua makanan.
- Prayopavesa: Praktik puasa hingga mati yang kuno di India, biasanya untuk tujuan spiritual atau filosofis.
- Puasa Protes: Istilah umum untuk penolakan makanan sebagai bentuk protes, kadang digunakan secara bergantian dengan mogok makan, atau merujuk pada periode puasa yang lebih singkat.
- Refeeding Syndrome: Kondisi medis berbahaya yang dapat terjadi ketika makanan diperkenalkan kembali terlalu cepat setelah periode puasa yang berkepanjangan, menyebabkan perubahan cairan dan elektrolit yang fatal.
- Satyagraha: Konsep perlawanan tanpa kekerasan yang dikembangkan oleh Mahatma Gandhi, sering melibatkan puasa protes sebagai salah satu metodenya.
- Suffragette: Anggota gerakan aktivis wanita di Inggris pada awal abad ke-20 yang memperjuangkan hak pilih perempuan, banyak di antaranya melakukan mogok makan saat dipenjara.
- Trosgadh: Praktik puasa kuno di Irlandia di depan rumah seseorang yang telah berbuat salah sebagai bentuk tekanan moral.