Sektor pertambangan mineral dan batu bara (minerba) telah lama menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia. Kekayaan sumber daya alam yang melimpah, mulai dari nikel, bauksit, tembaga, emas, timah, hingga batu bara, menempatkan Indonesia sebagai pemain kunci di pasar global. Namun, di balik potensi ekonomi yang masif, industri minerba juga dihadapkan pada berbagai kompleksitas, mulai dari isu regulasi, dampak lingkungan dan sosial, hingga tuntutan hilirisasi dan transisi energi global. Artikel ini akan mengulas secara mendalam dinamika sektor minerba di Indonesia, mencakup aspek definisi, regulasi, jenis, dampak, tantangan, peluang, serta prospek masa depannya.
Definisi dan Ruang Lingkup Minerba
Istilah "minerba" merupakan akronim dari mineral dan batu bara, dua komponen utama dalam sektor pertambangan yang diatur secara spesifik di Indonesia. Meskipun sering disebut bersamaan, keduanya memiliki karakteristik, proses penambangan, penggunaan, dan regulasi yang berbeda namun saling terkait dalam kerangka hukum pertambangan nasional.
Mineral
Mineral didefinisikan sebagai senyawa anorganik alami yang memiliki komposisi kimia tertentu dan struktur kristal yang teratur. Dalam konteks pertambangan, mineral digolongkan menjadi:
- Mineral Logam: Contohnya bijih nikel, bauksit (aluminium), tembaga, emas, perak, timah, besi, timbal, dan seng. Mineral ini diekstraksi untuk mendapatkan logam murni yang kemudian digunakan dalam berbagai industri, mulai dari elektronik, konstruksi, hingga otomotif.
- Mineral Bukan Logam (Non-logam): Meliputi intan, belerang, fosfat, kaolin, gips, batu gamping, pasir kuarsa, dan granit. Mineral ini memiliki beragam aplikasi, seperti bahan baku industri semen, keramik, pupuk, kaca, dan bahan bangunan.
- Mineral Radioaktif: Seperti uranium dan torium, yang digunakan sebagai bahan bakar pembangkit listrik tenaga nuklir. Potensi mineral radioaktif di Indonesia cukup signifikan, namun pengelolaannya sangat ketat karena risiko dan sensitivitasnya.
Proses penambangan mineral logam umumnya lebih kompleks dan memerlukan teknologi canggih untuk memisahkan logam dari bijihnya. Proses ini seringkali melibatkan peleburan (smelter) untuk mencapai tingkat kemurnian yang tinggi, yang menjadi bagian integral dari strategi hilirisasi saat ini.
Batu Bara
Batu bara adalah batuan sedimen yang terbentuk dari endapan sisa-sisa tumbuhan purba yang telah mengalami proses pembatubaraan (coalification) selama jutaan tahun. Komposisi utamanya adalah karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen, dan sulfur. Batu bara digolongkan berdasarkan tingkat mutunya:
- Antrasit: Batu bara mutu tertinggi dengan kandungan karbon sangat tinggi dan nilai kalori paling tinggi.
- Bituminus: Batu bara dengan mutu tinggi, banyak digunakan sebagai bahan bakar pembangkit listrik dan kokas untuk industri baja.
- Sub-bituminus: Mutu menengah, juga banyak digunakan untuk pembangkit listrik.
- Lignit (Batu Bara Muda): Mutu rendah, kandungan air tinggi, dan nilai kalori rendah.
Indonesia merupakan salah satu produsen dan eksportir batu bara terbesar di dunia, dengan cadangan yang signifikan, terutama di Pulau Kalimantan dan Sumatera. Penggunaan utamanya adalah sebagai bahan bakar pembangkit listrik, industri semen, dan bahan bakar untuk sektor industri lainnya.
Kerangka Regulasi Sektor Minerba di Indonesia
Pengelolaan sektor minerba di Indonesia diatur secara komprehensif oleh undang-undang dan peraturan turunannya. Perjalanan regulasi ini telah mengalami berbagai perubahan seiring dengan perkembangan zaman dan kebutuhan nasional, menyeimbangkan antara eksploitasi sumber daya, perlindungan lingkungan, dan manfaat bagi negara dan masyarakat.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba 2009)
UU Minerba 2009 merupakan tonggak penting dalam tata kelola pertambangan di Indonesia. Undang-undang ini menggantikan UU Nomor 11 Tahun 1967 dan membawa beberapa perubahan fundamental:
- Penguasaan Negara: Menegaskan kembali prinsip penguasaan negara atas mineral dan batu bara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
- Izin Usaha Pertambangan (IUP): Mengubah sistem kuasa pertambangan (KP) menjadi IUP, dengan klasifikasi IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi. IUP ini diberikan oleh pemerintah pusat atau daerah sesuai kewenangannya.
- Wilayah Pertambangan (WP): Mengatur penetapan WP dan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) sebagai dasar pemberian IUP.
- Hilirisasi: Mewajibkan peningkatan nilai tambah melalui pengolahan dan pemurnian di dalam negeri. Pasal 103 secara eksplisit menyatakan bahwa pemegang IUP Operasi Produksi wajib melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri.
- Divestasi Saham: Mewajibkan perusahaan pertambangan asing untuk melakukan divestasi saham kepada pihak nasional setelah jangka waktu tertentu.
- Peningkatan Penerimaan Negara: Mengatur royalti, iuran tetap, dan pajak sebagai sumber penerimaan negara.
- Lingkungan dan Pascatambang: Menekankan tanggung jawab reklamasi dan pascatambang.
UU Minerba 2009 ini bertujuan untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya minerba secara berkelanjutan, meningkatkan nilai tambah, dan memberikan manfaat maksimal bagi bangsa.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas UU Nomor 4 Tahun 2009 (Revisi UU Minerba)
Revisi UU Minerba pada tahun 2020 ini menimbulkan banyak perdebatan, namun pemerintah mengklaimnya sebagai upaya untuk memperbaiki tata kelola dan menarik investasi. Beberapa poin krusial dari revisi ini antara lain:
- Kewenangan Pusat: Sentralisasi kewenangan perizinan pertambangan kembali ke pemerintah pusat, menghapus kewenangan pemerintah daerah dalam pemberian IUP, yang sebelumnya diatur dalam UU Minerba 2009. Hal ini diklaim untuk menyederhanakan birokrasi dan mencegah tumpang tindih perizinan.
- Perpanjangan Izin: Mempermudah perpanjangan izin bagi pemegang Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) menjadi IUPK (Izin Usaha Pertambangan Khusus) secara otomatis dan berulang.
- Jangka Waktu IUP/IUPK: Perpanjangan masa berlaku IUP dan IUPK yang lebih panjang, memberikan kepastian investasi bagi pelaku usaha.
- Sanksi: Penguatan sanksi bagi pelanggaran, terutama terkait hilirisasi dan pengelolaan lingkungan.
- Program Hilirisasi: Penegasan kembali kewajiban hilirisasi dan insentif bagi perusahaan yang melakukannya.
Revisi ini menuai kritik dari berbagai pihak, terutama terkait isu desentralisasi, potensi korupsi, dan dampak lingkungan yang dikhawatirkan meningkat akibat kemudahan perizinan.
Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri
Sebagai turunan dari UU Minerba, terdapat berbagai Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Menteri (Permen) yang lebih rinci mengatur aspek-aspek teknis operasional, keuangan, lingkungan, dan perizinan. Contohnya:
- PP Nomor 96 Tahun 2021: Melaksanakan ketentuan dari UU Minerba 2020, mengatur secara detail tentang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan minerba.
- PP Nomor 25 Tahun 2023: Mengatur perubahan atas beberapa pasal di PP 96/2021, salah satunya terkait tata cara dan kriteria perpanjangan izin bagi PKP2B menjadi IUPK.
- Peraturan Menteri ESDM: Mengatur hal-hal teknis seperti standar keselamatan, konservasi minerba, reklamasi, hingga harga patokan mineral (HPM) dan harga patokan batubara (HPB).
Seluruh kerangka regulasi ini terus berkembang dan disesuaikan untuk menghadapi tantangan global dan domestik, termasuk isu perubahan iklim, tuntutan keberlanjutan, dan kebutuhan investasi.
Jenis-jenis Minerba Utama di Indonesia
Indonesia diberkahi dengan kekayaan geologi yang luar biasa, menjadikannya salah satu negara dengan cadangan minerba paling beragam dan melimpah di dunia. Beberapa jenis minerba yang menjadi primadona dan berkontribusi besar bagi perekonomian nasional meliputi:
Batu Bara
Sebagai salah satu komoditas ekspor utama, batu bara Indonesia memainkan peran krusial dalam pasar energi global. Cadangan batu bara terbesar ditemukan di Sumatera dan Kalimantan. Kualitas batu bara Indonesia bervariasi, dari lignit hingga bituminus, dengan sebagian besar berupa sub-bituminus yang memiliki nilai kalori menengah. Pasar utama ekspor batu bara Indonesia adalah Tiongkok, India, Jepang, dan Korea Selatan. Meskipun peran batu bara dalam transisi energi global mulai dipertanyakan, ia masih menjadi sumber energi primer untuk pembangkit listrik di banyak negara, termasuk Indonesia sendiri.
Nikel
Indonesia memiliki cadangan nikel terbesar di dunia, khususnya nikel laterit yang berlimpah di Sulawesi, Maluku Utara, dan sebagian Kalimantan. Nikel menjadi sangat strategis di era modern karena perannya dalam produksi baterai kendaraan listrik (EV), baja nirkarat (stainless steel), dan berbagai komponen elektronik. Kebijakan larangan ekspor bijih nikel mentah sejak awal 2020 telah mendorong investasi besar-besaran pada fasilitas smelter di dalam negeri, sebagai wujud nyata implementasi program hilirisasi. Ini bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah nikel secara signifikan sebelum diekspor.
Bauksit (Aluminium)
Cadangan bauksit Indonesia terkonsentrasi di Kalimantan Barat dan Kepulauan Riau. Bauksit adalah bijih utama untuk produksi aluminium, logam ringan yang sangat penting dalam industri otomotif, pesawat terbang, konstruksi, dan pengemasan. Seperti nikel, pemerintah juga mendorong hilirisasi bauksit dengan mewajibkan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri menjadi alumina dan aluminium. Pembangunan pabrik smelter bauksit menjadi prioritas untuk memaksimalkan potensi sumber daya ini.
Tembaga
Indonesia memiliki tambang tembaga raksasa seperti Grasberg di Papua, yang juga menghasilkan emas dan perak sebagai produk sampingan. Tembaga adalah konduktor listrik dan panas yang sangat baik, menjadikannya esensial dalam industri kelistrikan, elektronik, telekomunikasi, dan konstruksi. Fluktuasi harga tembaga global sangat memengaruhi pendapatan negara dari sektor ini. Pengelolaan tambang tembaga seringkali melibatkan tantangan kompleks, termasuk isu lingkungan, sosial, dan hak masyarakat adat.
Emas dan Perak
Selain tembaga, Indonesia juga kaya akan sumber daya emas dan perak, tersebar di berbagai wilayah seperti Papua, Sulawesi, Sumatera, dan Jawa. Emas dan perak memiliki nilai ekonomi tinggi dan digunakan dalam perhiasan, investasi, elektronik, serta aplikasi industri lainnya. Penambangan emas seringkali menarik penambangan ilegal yang menimbulkan masalah lingkungan dan sosial serius.
Timah
Indonesia adalah salah satu produsen dan eksportir timah terbesar di dunia, dengan cadangan utama di Bangka Belitung. Timah digunakan dalam solder, pelapis kaleng, dan berbagai paduan logam. Industri timah di Indonesia juga menghadapi tantangan terkait penambangan ilegal dan kerusakan lingkungan pesisir akibat penambangan laut.
Mineral Industri Lainnya
Selain komoditas di atas, Indonesia juga memiliki cadangan mineral industri lainnya seperti pasir kuarsa, kaolin, gips, batu gamping, dan andesit. Mineral-mineral ini penting sebagai bahan baku untuk industri keramik, semen, kaca, dan bahan bangunan, mendukung pembangunan infrastruktur nasional.
Dampak Industri Minerba di Indonesia
Industri minerba memberikan kontribusi yang signifikan bagi perekonomian, tetapi juga menimbulkan dampak multidimensional yang harus dikelola secara cermat. Keseimbangan antara keuntungan ekonomi dan keberlanjutan lingkungan serta kesejahteraan sosial menjadi kunci dalam pengelolaan sektor ini.
Dampak Ekonomi
Kontribusi ekonomi sektor minerba sangatlah besar:
- Penerimaan Negara: Melalui royalti, iuran tetap, pajak (PBB, PPh Badan, PPN), dividen (dari BUMN), dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) lainnya. Penerimaan ini menjadi salah satu sumber APBN yang penting untuk membiayai pembangunan.
- Penciptaan Lapangan Kerja: Industri pertambangan menyediakan jutaan lapangan kerja, baik secara langsung di lokasi tambang maupun secara tidak langsung di sektor-sektor terkait seperti logistik, transportasi, konstruksi, dan jasa pendukung lainnya.
- Investasi: Sektor ini menarik investasi asing dan domestik dalam jumlah besar untuk eksplorasi, eksploitasi, dan pembangunan fasilitas pengolahan.
- Pembangunan Infrastruktur: Perusahaan pertambangan seringkali membangun infrastruktur pendukung seperti jalan, pelabuhan, pembangkit listrik, dan fasilitas umum di sekitar wilayah operasinya, yang juga dapat dimanfaatkan oleh masyarakat setempat.
- Penggerak Industri Hilir: Adanya industri pertambangan mendorong pengembangan industri hilir, seperti pabrik smelter, pabrik baja, industri kimia, dan manufaktur, yang menciptakan rantai nilai yang lebih panjang.
- Peningkatan PDB: Kontribusi sektor minerba terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) cukup signifikan, meskipun proporsinya dapat berfluktuasi tergantung pada harga komoditas global.
- Devisa Negara: Ekspor komoditas minerba menghasilkan devisa yang besar, mendukung stabilitas neraca pembayaran negara.
Dampak Sosial
Interaksi antara industri pertambangan dengan masyarakat seringkali kompleks:
- Perubahan Pola Hidup Masyarakat: Kehadiran tambang dapat mengubah pola hidup masyarakat dari agraris menjadi industri, dengan konsekuensi positif seperti peningkatan pendapatan dan akses ke fasilitas modern, tetapi juga negatif seperti hilangnya lahan pertanian tradisional dan perubahan struktur sosial.
- Konflik Lahan: Sering terjadi konflik lahan antara masyarakat adat atau petani lokal dengan perusahaan pertambangan terkait hak kepemilikan dan ganti rugi atas lahan yang dijadikan wilayah konsesi tambang.
- Kesehatan Masyarakat: Aktivitas pertambangan dapat menimbulkan polusi udara (debu, gas buang), air (limbah tambang), dan tanah, yang berpotensi berdampak buruk pada kesehatan masyarakat sekitar.
- Migrasi dan Urbanisasi: Proyek tambang besar dapat menarik migrasi penduduk dari daerah lain, menyebabkan kepadatan penduduk dan tekanan pada fasilitas sosial di sekitar lokasi tambang.
- Pemberdayaan Masyarakat: Melalui program Corporate Social Responsibility (CSR), perusahaan seringkali menjalankan program pemberdayaan masyarakat di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi lokal, dan infrastruktur.
- Budaya Lokal: Potensi hilangnya atau tergerusnya nilai-nilai budaya lokal akibat modernisasi dan masuknya budaya baru di wilayah pertambangan.
Dampak Lingkungan
Dampak lingkungan merupakan salah satu isu paling krusial dalam industri minerba:
- Kerusakan Lahan dan Deforestasi: Pembukaan lahan untuk tambang, jalan akses, dan fasilitas pendukung menyebabkan hilangnya tutupan hutan, degradasi lahan, dan kerusakan habitat alami.
- Pencemaran Air: Limbah tambang, seperti air asam tambang (AAT) yang mengandung logam berat, dapat mencemari sungai, danau, dan air tanah, membahayakan ekosistem akuatik dan sumber air minum.
- Pencemaran Udara: Debu dari aktivitas penambangan, transportasi, dan pembakaran bahan bakar fosil, serta gas buang dari smelter, dapat menyebabkan polusi udara yang berbahaya bagi pernapasan.
- Perubahan Topografi: Penambangan terbuka (open-pit mining) mengubah bentang alam secara drastis, menciptakan lubang besar (void) atau timbunan batuan sisa (overburden) yang tidak dapat dikembalikan ke kondisi semula.
- Penurunan Keanekaragaman Hayati: Hilangnya habitat dan pencemaran dapat menyebabkan kepunahan spesies flora dan fauna endemik.
- Bencana Alam: Operasi penambangan yang tidak sesuai standar dapat memicu tanah longsor, banjir bandang, dan erosi.
- Isu Reklamasi dan Pascatambang: Kewajiban reklamasi dan revegetasi seringkali tidak dilaksanakan secara optimal, meninggalkan lahan bekas tambang yang tandus dan tidak produktif.
- Emisi Gas Rumah Kaca: Produksi dan penggunaan batu bara berkontribusi besar terhadap emisi gas rumah kaca, mempercepat perubahan iklim global.
Pengelolaan dampak lingkungan memerlukan pengawasan ketat, penerapan teknologi ramah lingkungan, dan komitmen yang kuat dari semua pihak.
Tantangan dalam Pengembangan Sektor Minerba di Indonesia
Sektor minerba Indonesia menghadapi berbagai tantangan kompleks yang memerlukan solusi komprehensif dan berkelanjutan. Tantangan ini berasal dari internal maupun eksternal, melibatkan aspek regulasi, ekonomi, sosial, lingkungan, dan teknologi.
1. Hilirisasi dan Peningkatan Nilai Tambah
Meskipun merupakan amanat undang-undang dan strategi pemerintah untuk meningkatkan nilai tambah, implementasi hilirisasi tidaklah mudah:
- Kebutuhan Investasi Besar: Pembangunan fasilitas smelter dan industri pengolahan hilir memerlukan investasi modal yang sangat besar, teknologi canggih, dan energi yang stabil.
- Ketersediaan Infrastruktur: Indonesia masih menghadapi keterbatasan infrastruktur pendukung, seperti pasokan listrik yang memadai, akses jalan dan pelabuhan yang efisien, serta sumber daya air.
- Kompetensi SDM: Ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang terampil di bidang metalurgi, teknik kimia, dan operasional smelter masih terbatas.
- Dukungan Kebijakan Konsisten: Kebijakan hilirisasi memerlukan konsistensi dan dukungan jangka panjang dari pemerintah agar investor merasa aman dan yakin.
- Dampak Lingkungan Smelter: Fasilitas smelter juga memiliki potensi dampak lingkungan yang signifikan, seperti emisi gas rumah kaca, limbah padat, dan kebutuhan air, yang harus dikelola dengan baik.
2. Isu Lingkungan dan Keberlanjutan
Tekanan global dan domestik terhadap isu lingkungan semakin meningkat:
- Pengelolaan Limbah Tambang: Penanganan limbah padat (tailing) dan cair (air asam tambang) yang efektif dan aman masih menjadi masalah di banyak lokasi.
- Reklamasi dan Pascatambang: Meskipun diwajibkan, pelaksanaan reklamasi dan program pascatambang seringkali belum optimal, meninggalkan lubang bekas tambang atau lahan yang tidak berfungsi.
- Perubahan Iklim dan De-karbonisasi: Tuntutan global untuk mengurangi emisi gas rumah kaca menekan penggunaan batu bara, yang menjadi salah satu komoditas utama Indonesia. Ini menuntut strategi diversifikasi dan transisi energi.
- Kehilangan Keanekaragaman Hayati: Kerusakan ekosistem akibat aktivitas tambang mengancam flora dan fauna endemik.
3. Konflik Sosial dan Hak Masyarakat Adat
Konflik antara perusahaan pertambangan dengan masyarakat lokal dan adat masih sering terjadi:
- Sengketa Lahan: Tumpang tindih klaim atas tanah antara konsesi tambang, masyarakat adat, dan area penggunaan lain.
- Pembagian Manfaat: Ketidakadilan dalam pembagian keuntungan dari aktivitas tambang seringkali memicu protes dan konflik.
- Ganti Rugi: Proses ganti rugi yang tidak transparan atau tidak adil atas lahan dan sumber daya yang terampas.
- Dampak pada Sumber Penghidupan: Penambangan dapat merusak mata pencaharian tradisional seperti pertanian atau perikanan.
4. Penambangan Tanpa Izin (PETI) / Ilegal Mining
PETI merupakan masalah serius yang menimbulkan kerugian ganda:
- Kerugian Negara: Hilangnya potensi royalti dan pajak karena hasil tambang ilegal tidak tercatat.
- Kerusakan Lingkungan Parah: Penambangan ilegal seringkali dilakukan tanpa standar lingkungan yang memadai, menyebabkan kerusakan hutan, pencemaran air raksa (pada penambangan emas), dan erosi yang parah.
- Kecelakaan Kerja: Pekerja di PETI tidak memiliki standar keselamatan, seringkali mengakibatkan kecelakaan fatal.
- Konflik Sosial dan Keamanan: PETI seringkali terkait dengan tindak kriminalitas dan kekerasan.
5. Tata Kelola dan Regulasi
Meskipun sudah ada UU Minerba, masih ada celah dan tantangan dalam implementasinya:
- Tumpang Tindih Perizinan: Meskipun sudah disentralisasi, masalah tumpang tindih izin dengan sektor lain (kehutanan, perkebunan) masih menjadi hambatan.
- Transparansi: Kurangnya transparansi dalam proses perizinan, pengelolaan data cadangan, dan penerimaan negara dari sektor ini.
- Pengawasan dan Penegakan Hukum: Lemahnya pengawasan dan penegakan hukum terhadap pelanggaran regulasi, baik oleh perusahaan maupun PETI.
- Korupsi: Risiko korupsi dalam proses perizinan dan pengelolaan sumber daya alam.
6. Volatilitas Harga Komoditas Global
Harga minerba di pasar global sangat fluktuatif, dipengaruhi oleh permintaan global, kondisi ekonomi, dan geopolitik. Volatilitas ini berdampak pada:
- Penerimaan Negara: Pendapatan negara dari royalti dan pajak sangat tergantung pada harga jual komoditas.
- Profitabilitas Perusahaan: Memengaruhi profitabilitas perusahaan dan kemampuan mereka untuk berinvestasi.
- Kepastian Investasi: Fluktuasi harga dapat mengurangi minat investor jangka panjang.
7. Ketersediaan Energi untuk Industri
Industri pertambangan dan hilirisasi, terutama smelter, membutuhkan pasokan energi yang besar dan stabil. Indonesia masih menghadapi tantangan dalam penyediaan energi bersih dan terjangkau di daerah-daerah terpencil yang kaya minerba.
Peluang dan Prospek Masa Depan Sektor Minerba
Di tengah berbagai tantangan, sektor minerba Indonesia juga memiliki peluang besar untuk bertransformasi dan berkontribusi lebih optimal bagi pembangunan berkelanjutan. Kunci utamanya terletak pada inovasi, kebijakan yang visioner, dan kolaborasi antar-pemangku kepentingan.
1. Hilirisasi sebagai Penggerak Ekonomi Nasional
Kebijakan hilirisasi adalah peluang emas bagi Indonesia untuk melompat dari status pengekspor bahan mentah menjadi produsen barang bernilai tambah tinggi. Dengan cadangan nikel, bauksit, tembaga, dan timah yang melimpah, Indonesia dapat menjadi pemain kunci dalam rantai pasok global untuk:
- Baterai Kendaraan Listrik (EV): Dengan nikel sebagai bahan baku utama, Indonesia berpotensi menjadi pusat produksi baterai EV global, menarik investasi dari produsen otomotif dan teknologi terkemuka.
- Aluminium dan Baja Nirkarat: Hilirisasi bauksit menjadi aluminium dan nikel menjadi baja nirkarat akan menciptakan industri manufaktur yang lebih kuat di dalam negeri.
- Industri Kimia dan Material Maju: Produk olahan minerba dapat menjadi bahan baku untuk industri kimia dasar, material maju, dan komponen berteknologi tinggi lainnya.
Hilirisasi tidak hanya meningkatkan pendapatan negara dan devisa, tetapi juga menciptakan jutaan lapangan kerja terampil, mendorong alih teknologi, dan memperkuat struktur industri nasional.
2. Peran Minerba dalam Transisi Energi
Meskipun batu bara menghadapi tekanan de-karbonisasi, mineral lain justru menjadi sangat vital dalam transisi energi global:
- Nikel, Tembaga, Kobalt, Aluminium: Mineral-mineral ini sangat dibutuhkan untuk produksi baterai, kabel listrik, motor listrik, turbin angin, panel surya, dan infrastruktur energi terbarukan lainnya. Indonesia, dengan cadangan yang besar, berada pada posisi strategis untuk memenuhi permintaan ini.
- Panas Bumi (Geothermal): Indonesia memiliki potensi panas bumi terbesar kedua di dunia. Panas bumi merupakan sumber energi bersih dan terbarukan yang dapat dikembangkan untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil.
Dengan demikian, sektor minerba dapat berkontribusi pada transisi energi global melalui penyediaan bahan baku kritis dan pengembangan energi terbarukan.
3. Penerapan Teknologi dan Inovasi
Adopsi teknologi canggih dapat meningkatkan efisiensi, mengurangi dampak lingkungan, dan meningkatkan keselamatan kerja:
- Otomatisasi dan Robotika: Penggunaan peralatan otomatis dan robotik dalam penambangan dan pengolahan dapat meningkatkan produktivitas dan mengurangi risiko bagi pekerja.
- Digitalisasi dan Big Data: Analisis data besar dari operasi tambang dapat mengoptimalkan perencanaan, pemantauan, dan pengambilan keputusan.
- Teknologi Penambangan Ramah Lingkungan: Pengembangan metode penambangan yang lebih selektif, penggunaan bahan peledak yang lebih aman, dan teknik reklamasi yang inovatif.
- Carbon Capture, Utilization, and Storage (CCUS): Teknologi ini dapat membantu mengurangi emisi CO2 dari pembangkit listrik tenaga batu bara atau fasilitas smelter.
- Daur Ulang Mineral (Urban Mining): Pengembangan teknologi untuk mendaur ulang logam dari limbah elektronik atau industri dapat mengurangi kebutuhan akan penambangan baru.
4. Penguatan Tata Kelola dan Transparansi
Pemerintah terus berupaya memperkuat tata kelola sektor minerba melalui:
- Penyederhanaan Perizinan: Melalui kebijakan Omnibus Law Cipta Kerja dan peraturan turunannya, pemerintah berupaya menyederhanakan dan mempercepat proses perizinan untuk menarik investasi.
- Peningkatan Pengawasan: Penggunaan teknologi digital untuk memantau produksi, penjualan, dan kepatuhan lingkungan.
- Transparansi Data: Keterbukaan informasi mengenai cadangan, produksi, dan penerimaan negara dari sektor minerba dapat meningkatkan akuntabilitas.
- Penegakan Hukum: Pemberantasan penambangan ilegal dan tindak pidana lingkungan.
5. Pemberdayaan Masyarakat dan Kemitraan Inklusif
Masa depan sektor minerba yang berkelanjutan harus melibatkan partisipasi aktif masyarakat lokal:
- Program CSR yang Berkelanjutan: Mengarahkan program CSR pada pembangunan ekonomi lokal yang berkelanjutan, pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur, bukan hanya bantuan instan.
- Kemitraan dengan UMKM Lokal: Melibatkan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) lokal dalam rantai pasok industri pertambangan.
- Pendidikan dan Pelatihan: Memberikan pelatihan keterampilan kepada masyarakat lokal agar dapat bersaing di pasar kerja industri pertambangan dan hilir.
- Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat: Mengintegrasikan hak-hak masyarakat adat dalam proses perizinan dan pengelolaan sumber daya.
Strategi Hilirisasi sebagai Pilar Utama Transformasi Minerba Indonesia
Hilirisasi telah menjadi mantra dalam kebijakan pertambangan Indonesia selama lebih dari satu dekade. Strategi ini bukan sekadar upaya meningkatkan pendapatan negara, melainkan visi jangka panjang untuk mentransformasi struktur ekonomi Indonesia dari eksportir komoditas mentah menjadi negara industri dengan nilai tambah tinggi. Fokus utama saat ini adalah mineral-mineral strategis seperti nikel, bauksit, dan tembaga.
Latar Belakang dan Tujuan Hilirisasi
Gagasan hilirisasi muncul dari kesadaran bahwa Indonesia telah terlalu lama mengekspor kekayaan alamnya dalam bentuk mentah dengan harga rendah, sementara negara lain mengolahnya menjadi produk jadi bernilai tinggi. Tujuan utama hilirisasi adalah:
- Meningkatkan Nilai Tambah: Mengubah bijih mineral menjadi produk olahan atau semi-jadi, seperti feronikel, nikel matte, alumina, aluminium, atau katoda tembaga, yang memiliki harga jual jauh lebih tinggi.
- Menciptakan Lapangan Kerja: Pembangunan fasilitas pengolahan dan industri turunan menciptakan lapangan kerja dalam jumlah besar, mulai dari tahap konstruksi hingga operasional.
- Mendorong Pertumbuhan Industri Nasional: Menumbuhkan ekosistem industri hilir yang kuat, mulai dari smelter, pabrik baterai, hingga industri manufaktur otomotif dan elektronik.
- Menarik Investasi: Kebijakan hilirisasi mendorong investasi besar-besaran, baik dari dalam maupun luar negeri, di sektor pengolahan dan pemurnian.
- Memperkuat Struktur Ekonomi: Mengurangi ketergantungan pada fluktuasi harga komoditas mentah dan membangun ketahanan ekonomi yang lebih kuat.
- Alih Teknologi dan Pengembangan SDM: Mempercepat transfer teknologi dan meningkatkan kapasitas sumber daya manusia lokal dalam pengolahan mineral.
Implementasi Strategi dan Tantangan
Pemerintah menerapkan strategi hilirisasi melalui:
- Larangan Ekspor Bijih Mentah: Dimulai dengan larangan ekspor bijih nikel pada awal 2020, dan akan menyusul untuk bauksit serta tembaga. Kebijakan ini memaksa perusahaan untuk membangun fasilitas pengolahan di dalam negeri.
- Insentif Investasi: Memberikan insentif fiskal seperti tax holiday, tax allowance, dan kemudahan perizinan bagi investor yang membangun smelter atau industri hilir.
- Penyediaan Kawasan Industri Khusus: Mengembangkan kawasan industri terpadu, seperti di Morowali (Sulawesi Tengah) dan Weda Bay (Maluku Utara), yang dilengkapi dengan infrastruktur pendukung (pembangkit listrik, pelabuhan) untuk menarik investasi smelter.
Namun, implementasi ini tidak lepas dari tantangan:
- Kritik WTO: Larangan ekspor bijih nikel sempat digugat oleh Uni Eropa di WTO, meskipun Indonesia berhasil memenangkan banding.
- Kebutuhan Energi: Industri smelter sangat padat energi, sehingga ketersediaan listrik yang stabil dan terjangkau menjadi krusial. Saat ini, banyak smelter masih mengandalkan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara, yang menimbulkan isu lingkungan terkait emisi karbon.
- Dampak Lingkungan Lokal: Pembangunan smelter dan industri pendukungnya juga menimbulkan dampak lingkungan lokal seperti polusi udara dan limbah padat (terak/slag) yang memerlukan pengelolaan yang cermat.
- Kapasitas SDM: Peningkatan kebutuhan akan tenaga kerja terampil di bidang metalurgi dan operasional smelter harus diimbangi dengan program pendidikan dan pelatihan yang masif.
Prospek Masa Depan Hilirisasi
Meskipun tantangan masih besar, hilirisasi menunjukkan tanda-tanda keberhasilan yang menjanjikan. Indonesia kini menjadi produsen nikel olahan terbesar di dunia. Ke depan, hilirisasi akan terus didorong untuk komoditas lainnya, dengan harapan dapat menciptakan ekosistem industri yang lebih terintegrasi, mulai dari penambangan, pengolahan, hingga produksi barang jadi seperti baterai EV dan kendaraan listrik itu sendiri.
Transisi Energi dan Peran Minerba Indonesia
Wacana global tentang transisi energi menuju energi bersih dan terbarukan menjadi salah satu faktor paling signifikan yang akan membentuk masa depan sektor minerba Indonesia. Sementara batu bara menghadapi tekanan untuk dikurangi, mineral-mineral lain justru mengalami peningkatan permintaan yang dramatis.
Tantangan untuk Batu Bara
Sebagai salah satu eksportir batu bara terbesar, Indonesia menghadapi dilema. Di satu sisi, batu bara masih menjadi tulang punggung energi nasional dan sumber devisa. Di sisi lain, komitmen global untuk membatasi kenaikan suhu bumi menuntut pengurangan emisi gas rumah kaca, yang sebagian besar berasal dari pembakaran batu bara. Tantangan bagi Indonesia meliputi:
- Pencabutan Pendanaan PLTU: Banyak lembaga keuangan internasional mulai menghentikan pembiayaan untuk proyek PLTU batu bara baru.
- Penurunan Permintaan Global: Negara-negara pengimpor utama batu bara mulai beralih ke sumber energi yang lebih bersih.
- Tekanan Domestik: Desakan untuk mempercepat bauran energi terbarukan di dalam negeri.
Dalam menghadapi ini, Indonesia perlu mengembangkan strategi diversifikasi ekonomi dan energi, serta mempertimbangkan teknologi rendah karbon seperti Carbon Capture, Utilization, and Storage (CCUS) untuk PLTU batu bara yang masih beroperasi.
Peluang untuk Mineral Kritis Transisi Energi
Transisi energi justru membuka peluang besar bagi mineral strategis lainnya. Permintaan akan mineral seperti nikel, tembaga, kobalt, litium, aluminium, dan grafit diperkirakan akan melonjak tajam untuk mendukung produksi:
- Baterai Kendaraan Listrik (EV): Nikel, kobalt, dan litium adalah komponen kunci baterai. Indonesia dengan cadangan nikel yang melimpah memiliki keunggulan kompetitif.
- Infrastruktur Energi Terbarukan: Tembaga untuk kabel, aluminium untuk struktur panel surya dan turbin angin, serta mineral lainnya untuk komponen elektronik dalam sistem energi terbarukan.
- Penyimpanan Energi (Energy Storage): Baterai skala besar untuk menyimpan energi dari sumber terbarukan yang intermiten.
Indonesia memiliki posisi yang sangat strategis untuk menjadi pemasok utama mineral-mineral ini bagi pasar global. Kebijakan hilirisasi nikel adalah langkah awal yang tepat dalam memanfaatkan peluang ini, dengan potensi untuk berkembang ke mineral kritis lainnya.
Pengembangan Energi Terbarukan Berbasis Sumber Daya Lokal
Selain mineral, Indonesia juga kaya akan sumber energi terbarukan seperti panas bumi, tenaga air, surya, angin, dan biomassa. Pengembangan energi terbarukan ini tidak hanya mendukung transisi energi, tetapi juga dapat menjadi pasar domestik bagi produk-produk mineral olahan dari industri hilirisasi (misalnya, aluminium untuk panel surya, tembaga untuk kabel listrik).
Sektor minerba akan memainkan peran ganda dalam transisi energi: pertama, sebagai penyedia bahan baku krusial untuk teknologi energi terbarukan; kedua, dalam mengelola dampak lingkungan dari penambangan batu bara dan beralih ke praktik yang lebih berkelanjutan.
Teknologi dan Inovasi di Sektor Minerba
Inovasi teknologi adalah kunci untuk mengatasi banyak tantangan di sektor minerba, mulai dari peningkatan efisiensi, pengurangan biaya, hingga mitigasi dampak lingkungan dan peningkatan keselamatan kerja. Penerapan teknologi terbaru dapat mengubah cara industri beroperasi dan meningkatkan keberlanjutannya.
1. Otomatisasi dan Digitalisasi Pertambangan
- Tambang Otomatis (Autonomous Mining): Penggunaan truk tambang, bor, dan ekskavator yang beroperasi secara otomatis tanpa operator manusia di dalam alat. Ini meningkatkan keselamatan, efisiensi, dan memungkinkan operasi 24/7.
- Internet of Things (IoT): Sensor yang terhubung untuk memantau kondisi peralatan, kualitas udara, kestabilan lereng, dan kondisi geologi secara real-time.
- Analisis Data Besar (Big Data Analytics): Mengolah data dari berbagai sumber untuk mengoptimalkan perencanaan produksi, perawatan prediktif peralatan, dan manajemen rantai pasok.
- Drone dan Robotik: Penggunaan drone untuk pemetaan udara, inspeksi area yang sulit dijangkau, pemantauan reklamasi, dan bahkan pengiriman sampel. Robot khusus untuk tugas-tugas berbahaya.
- Sistem Informasi Geografis (GIS): Untuk perencanaan tambang yang presisi, manajemen lahan, dan pemantauan dampak lingkungan.
2. Teknologi Pengolahan dan Pemurnian (Hilirisasi)
- Smelter Berteknologi Canggih: Peningkatan efisiensi energi dalam proses peleburan, pengurangan emisi, dan pemanfaatan limbah (misalnya, terak sebagai bahan bangunan).
- Hydrometallurgy: Metode pengolahan mineral menggunakan larutan kimia, yang seringkali lebih ramah lingkungan dibandingkan pyrometallurgy (peleburan) untuk bijih tertentu.
- Recycling dan Urban Mining: Teknologi untuk mengekstraksi logam berharga dari limbah elektronik (e-waste) dan limbah industri lainnya, mengurangi kebutuhan penambangan primer.
3. Manajemen Lingkungan dan Keberlanjutan
- Teknologi Reklamasi Lahan: Pengembangan metode revegetasi yang lebih efektif, penggunaan spesies tanaman lokal, dan teknologi untuk memperbaiki kualitas tanah pascatambang.
- Pengelolaan Air Asam Tambang (AAT): Sistem pengolahan air limbah yang canggih untuk menetralkan AAT dan menghilangkan logam berat sebelum dibuang ke lingkungan.
- Carbon Capture, Utilization, and Storage (CCUS): Teknologi untuk menangkap CO2 dari emisi pembangkit listrik atau industri, kemudian menyimpannya di bawah tanah atau menggunakannya untuk aplikasi lain.
- Pemantauan Lingkungan Real-time: Sensor dan sistem pengawasan online untuk memantau kualitas air, udara, dan tingkat kebisingan di sekitar tambang secara terus-menerus.
- Penggunaan Energi Terbarukan di Tambang: Mengintegrasikan pembangkit listrik tenaga surya atau angin untuk memenuhi sebagian kebutuhan energi operasional tambang, mengurangi jejak karbon.
4. Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3)
- Wearable Technology: Perangkat pintar yang dikenakan pekerja untuk memantau detak jantung, paparan gas berbahaya, atau lokasi mereka di area kerja yang berisiko.
- Virtual Reality (VR) dan Augmented Reality (AR): Untuk pelatihan keselamatan yang realistis dan simulasi situasi darurat.
- Sistem Peringatan Dini: Untuk mendeteksi potensi bahaya seperti tanah longsor, ambruknya terowongan, atau kebocoran gas.
Adopsi inovasi teknologi ini memerlukan investasi besar, tetapi manfaatnya dalam hal efisiensi, keberlanjutan, dan keselamatan jauh lebih besar, menjadikan sektor minerba lebih modern dan bertanggung jawab.
Peran Stakeholder dalam Pengembangan Minerba Berkelanjutan
Pengembangan sektor minerba yang berkelanjutan tidak dapat dilakukan oleh satu pihak saja. Diperlukan kolaborasi dan sinergi yang kuat antara berbagai pemangku kepentingan (stakeholder) untuk mencapai tujuan pembangunan ekonomi, perlindungan lingkungan, dan kesejahteraan sosial.
1. Pemerintah (Pusat dan Daerah)
Pemerintah adalah regulator utama dan pembuat kebijakan:
- Pembuat Kebijakan: Merancang dan mengimplementasikan undang-undang, peraturan pemerintah, dan peraturan menteri yang mengatur seluruh aspek pertambangan, mulai dari perizinan, royalti, standar lingkungan, hingga hilirisasi.
- Pengawasan dan Penegakan Hukum: Bertanggung jawab untuk mengawasi kepatuhan pelaku usaha terhadap regulasi, serta menindak pelanggaran (termasuk penambangan ilegal).
- Perencanaan Ruang: Menetapkan Wilayah Pertambangan (WP) dan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) yang terintegrasi dengan rencana tata ruang nasional dan daerah.
- Penyedia Infrastruktur: Mendukung pembangunan infrastruktur esensial seperti jalan, pelabuhan, dan pasokan energi untuk mendukung kegiatan pertambangan dan hilirisasi.
- Negosiator dan Promotor Investasi: Menarik investasi, baik asing maupun domestik, ke sektor minerba, serta menegosiasikan perjanjian yang menguntungkan negara.
2. Pelaku Usaha Pertambangan (Perusahaan)
Perusahaan pertambangan adalah aktor utama yang melakukan eksplorasi, eksploitasi, pengolahan, dan pemasaran:
- Kepatuhan Regulasi: Wajib mematuhi semua peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk standar lingkungan, K3, dan pembayaran kewajiban keuangan kepada negara.
- Operasional Berkelanjutan: Mengadopsi praktik penambangan terbaik (Good Mining Practices) yang mengedepankan efisiensi, minimisasi dampak lingkungan, dan tanggung jawab sosial.
- Inovasi dan Teknologi: Berinvestasi dalam teknologi baru untuk meningkatkan efisiensi, mengurangi biaya, dan memitigasi dampak negatif.
- Program CSR: Melaksanakan program Corporate Social Responsibility (CSR) yang berkesinambungan dan relevan dengan kebutuhan masyarakat lokal.
- Hilirisasi: Berinvestasi dalam fasilitas pengolahan dan pemurnian untuk meningkatkan nilai tambah produk minerba.
3. Masyarakat Lokal dan Adat
Masyarakat yang tinggal di sekitar wilayah pertambangan adalah pihak yang paling merasakan dampak langsung:
- Pengawas Sosial: Berperan aktif dalam memantau operasi perusahaan dan melaporkan pelanggaran lingkungan atau sosial.
- Penerima Manfaat: Berhak mendapatkan manfaat ekonomi dari kegiatan pertambangan, seperti peluang kerja, pemberdayaan ekonomi, dan perbaikan infrastruktur.
- Penjaga Keseimbangan: Memiliki pengetahuan lokal tentang ekosistem dan dapat berkontribusi dalam upaya konservasi dan reklamasi.
- Pemilik Hak Ulayat: Hak-hak masyarakat adat atas tanah ulayat harus diakui dan dilindungi, serta dilibatkan dalam pengambilan keputusan terkait penggunaan lahan mereka.
- Pencegah Konflik: Keterlibatan aktif dan dialog terbuka dengan perusahaan serta pemerintah dapat mencegah atau menyelesaikan konflik sosial.
4. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Organisasi Lingkungan
LSM berperan sebagai "watchdog" dan advokat:
- Advokasi: Mengadvokasi kebijakan pertambangan yang lebih bertanggung jawab, adil, dan berkelanjutan.
- Pemantauan Independen: Melakukan pemantauan independen terhadap dampak lingkungan dan sosial dari kegiatan pertambangan.
- Pemberdayaan Masyarakat: Mendampingi masyarakat lokal dalam memperjuangkan hak-hak mereka dan mengembangkan alternatif mata pencarian.
- Edukasi Publik: Mengedukasi publik tentang isu-isu pertambangan dan dampaknya.
5. Akademisi dan Peneliti
Perguruan tinggi dan lembaga penelitian memiliki peran penting dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi:
- Riset dan Pengembangan: Melakukan penelitian untuk mengembangkan teknologi penambangan, pengolahan, reklamasi, dan energi terbarukan yang lebih baik.
- Pendidikan dan Pelatihan: Menghasilkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas di bidang geologi, pertambangan, metalurgi, lingkungan, dan ekonomi.
- Penyedia Data dan Analisis: Memberikan data, analisis, dan rekomendasi berbasis ilmiah untuk perumusan kebijakan yang lebih baik.
- Kajian Dampak: Melakukan kajian independen terhadap dampak lingkungan dan sosial dari proyek pertambangan.
6. Lembaga Keuangan
Bank dan investor menyediakan modal untuk proyek pertambangan:
- Pendanaan Proyek: Menyediakan pinjaman dan investasi untuk eksplorasi, eksploitasi, dan pembangunan smelter.
- Prinsip Keuangan Berkelanjutan: Semakin banyak lembaga keuangan yang menerapkan prinsip-prinsip keuangan berkelanjutan, menuntut perusahaan pertambangan untuk memenuhi standar lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG) sebelum memberikan pembiayaan.
Kolaborasi yang efektif di antara semua stakeholder ini, didasarkan pada transparansi, akuntabilitas, dan saling pengertian, adalah kunci untuk mewujudkan sektor minerba Indonesia yang produktif, berkelanjutan, dan berkeadilan.
Kesimpulan dan Visi Masa Depan Minerba Indonesia
Sektor pertambangan mineral dan batu bara (minerba) di Indonesia berdiri di persimpangan jalan, menghadapi tekanan global untuk de-karbonisasi sekaligus peluang besar untuk pertumbuhan ekonomi melalui hilirisasi dan peran dalam transisi energi. Kekayaan sumber daya alam yang melimpah telah lama menjadi anugerah, mendorong roda perekonomian nasional melalui penerimaan negara, penciptaan lapangan kerja, dan investasi.
Namun, perjalanan industri minerba tidaklah tanpa hambatan. Dampak lingkungan yang signifikan, seperti deforestasi, pencemaran air, dan perubahan bentang alam, serta konflik sosial dan masalah penambangan ilegal, menjadi catatan kritis yang harus diatasi. Kerangka regulasi yang terus berkembang, mulai dari UU Minerba 2009 hingga revisi 2020 dan peraturan turunannya, berupaya menciptakan tata kelola yang lebih baik, namun tantangan dalam implementasi dan penegakan hukum masih nyata.
Visi masa depan minerba Indonesia adalah menjadi industri yang tidak hanya produktif secara ekonomi, tetapi juga berkelanjutan secara lingkungan dan berkeadilan secara sosial. Ini menuntut komitmen kuat terhadap:
- Hilirisasi Maksimal: Mengubah bijih mentah menjadi produk bernilai tambah tinggi, terutama untuk mineral kritis seperti nikel, bauksit, dan tembaga, untuk mendukung industri baterai EV dan manufaktur lainnya. Ini adalah kunci untuk meningkatkan daya saing global dan menciptakan ekosistem industri yang kuat.
- Transisi Energi yang Bertanggung Jawab: Mengelola peran batu bara secara bertahap menuju energi yang lebih bersih, sambil memanfaatkan peluang mineral lain sebagai pilar utama transisi energi global. Investasi pada energi terbarukan di dalam negeri juga harus terus digencarkan.
- Praktik Pertambangan Berkelanjutan: Menerapkan standar lingkungan tertinggi, memastikan reklamasi pascatambang yang efektif, mengelola limbah dengan teknologi canggih, dan mengurangi jejak karbon di seluruh rantai nilai.
- Inovasi dan Teknologi: Mengadopsi teknologi digital, otomatisasi, dan metode penambangan yang lebih efisien serta ramah lingkungan untuk meningkatkan produktivitas dan keselamatan.
- Tata Kelola yang Transparan dan Berkeadilan: Memperkuat pengawasan, memastikan penegakan hukum yang tegas terhadap penambangan ilegal dan pelanggaran, serta meningkatkan transparansi dalam perizinan dan penerimaan negara.
- Keterlibatan Masyarakat yang Inklusif: Memastikan masyarakat lokal dan adat mendapatkan manfaat yang adil dari kegiatan pertambangan, melindungi hak-hak mereka, dan melibatkan mereka dalam setiap tahapan pengambilan keputusan.
Dengan komitmen kolektif dari pemerintah, pelaku usaha, masyarakat, akademisi, dan lembaga swadaya masyarakat, Indonesia dapat mewujudkan potensi besar sektor minerba, menjadikannya lokomotif pertumbuhan ekonomi yang bertanggung jawab dan berkontribusi signifikan terhadap pembangunan berkelanjutan bagi generasi kini dan mendatang. Masa depan minerba Indonesia adalah masa depan yang seimbang antara kemakmuran ekonomi dan kelestarian lingkungan.