Isra Mi'raj: Perjalanan Suci Mengungkap Rahasia Ilahi
Di antara berbagai mukjizat besar yang dianugerahkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW, peristiwa Isra Mi'raj menempati posisi yang sangat istimewa. Ini adalah sebuah perjalanan suci yang melampaui batas-batas akal dan hukum fisika, menjadi bukti nyata kekuasaan ilahi dan kedudukan agung Rasulullah SAW. Isra Mi'raj bukan sekadar perjalanan fisik, melainkan sebuah manifestasi keagungan spiritual yang sarat dengan pelajaran, hikmah, dan petunjuk bagi seluruh umat manusia hingga akhir zaman. Peristiwa ini menjadi salah satu pilar penting dalam sejarah Islam yang terus dikenang, dipelajari, dan dihayati oleh miliaran Muslim di seluruh dunia.
Peristiwa ini terjadi pada periode yang sangat sulit dalam kehidupan Nabi Muhammad SAW, sering disebut sebagai ‘Am al-Huzn atau Tahun Kesedihan, setelah beliau kehilangan dua sosok paling dicintainya dan pendukung utamanya: sang istri tercinta, Khadijah binti Khuwailid, dan pamannya, Abu Thalib. Dalam kondisi duka yang mendalam dan tekanan dakwah yang semakin berat dari kaum Quraisy di Mekah, Allah SWT menghadiahkan perjalanan ini sebagai penghiburan, penguatan, dan penegasan misi kenabian beliau. Isra Mi'raj adalah penegasan bahwa meskipun di dunia beliau menghadapi tantangan, di sisi Allah beliau memiliki kedudukan yang tak tertandingi.
Pengertian Isra dan Mi'raj
Untuk memahami peristiwa ini secara komprehensif, penting untuk membedakan antara 'Isra' dan 'Mi'raj', meskipun keduanya sering disebut bersamaan sebagai satu kesatuan. Secara etimologi dan terminologi syariat, keduanya memiliki makna yang berbeda namun saling melengkapi dalam satu rangkaian perjalanan agung.
Isra': Perjalanan Malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa
Kata "Isra" berasal dari bahasa Arab (أسرى) yang berarti "perjalanan di malam hari". Dalam konteks Islam, Isra merujuk pada bagian pertama dari perjalanan Nabi Muhammad SAW yang dimulai dari Masjidil Haram di Mekah menuju Masjidil Aqsa di Yerusalem (Palestina). Perjalanan ini dilakukan dalam satu malam yang sangat singkat, tidak lebih dari sepertiga malam, dengan kecepatan yang melampaui batas imajinasi manusia biasa pada masa itu, dan bahkan hingga kini.
Penting untuk digarisbawahi bahwa perjalanan Isra ini adalah perjalanan fisik, bukan sekadar ruhani atau mimpi. Mayoritas ulama Ahlusunah wal Jamaah sepakat bahwa Nabi Muhammad SAW melakukan perjalanan ini dengan jasad dan ruhnya secara bersamaan. Dalil utama yang menegaskan hal ini adalah firman Allah SWT dalam Surah Al-Isra (Bani Israil) ayat 1:
"Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (QS. Al-Isra: 1)
Kata "hamba-Nya" (عبدِه – 'abdih) dalam ayat ini secara harfiah merujuk pada seluruh entitas manusia, yaitu jasad dan ruh. Jika perjalanan ini hanya ruhani, tentu tidak akan menjadi mukjizat yang luar biasa dan tidak akan menimbulkan perdebatan sengit di kalangan kaum Quraisy Mekah pada saat Nabi menceritakannya.
Mi'raj: Kenaikan ke Langit Ketujuh dan Sidratul Muntaha
Setelah tiba di Masjidil Aqsa dan mengimami shalat bersama para nabi terdahulu, perjalanan Nabi Muhammad SAW berlanjut ke tahap kedua, yaitu "Mi'raj". Kata "Mi'raj" (معراج) secara harfiah berarti "tangga", "alat untuk naik", atau "kenaikan". Dalam konteks peristiwa ini, Mi'raj merujuk pada kenaikan Nabi Muhammad SAW dari Masjidil Aqsa menembus lapisan-lapisan langit yang berbeda, hingga ke Sidratul Muntaha, bahkan melampaui batas tersebut, untuk menghadap langsung Allah SWT. Ini adalah perjalanan vertikal yang menembus dimensi ruang dan waktu, sebuah pengalaman spiritual dan fisikal yang tak terbayangkan.
Sama seperti Isra, peristiwa Mi'raj juga diyakini mayoritas ulama sebagai perjalanan fisik dan ruhani. Nabi Muhammad SAW naik ke langit dengan jasadnya yang mulia, disaksikan oleh malaikat Jibril yang menyertainya. Pada setiap lapisan langit, beliau bertemu dengan para nabi sebelumnya, menerima salam dari mereka, dan melihat berbagai tanda kebesaran Allah SWT. Puncak dari Mi'raj adalah saat Nabi Muhammad SAW mencapai Sidratul Muntaha, tempat di mana tidak ada makhluk lain yang dapat melampauinya, dan di sanalah beliau menerima perintah shalat lima waktu langsung dari Allah SWT.
Keseluruhan peristiwa Isra Mi'raj adalah serangkaian kejadian luar biasa yang menunjukkan kemuliaan Nabi Muhammad SAW di sisi Allah dan menjadi mukjizat terbesar kedua setelah Al-Qur'an.
Latar Belakang Peristiwa Isra Mi'raj
Isra Mi'raj tidak terjadi dalam kevakuman, melainkan dalam konteks sosial, politik, dan emosional yang sangat spesifik dalam kehidupan Nabi Muhammad SAW dan dakwah Islam di Mekah. Peristiwa ini terjadi pada akhir periode Mekah, sekitar satu tahun sebelum hijrah ke Madinah, di sebuah masa yang dikenal sebagai 'Am al-Huzn atau Tahun Kesedihan.
Tahun Kesedihan ('Am al-Huzn)
Tahun ke-10 kenabian merupakan masa yang amat berat bagi Rasulullah SAW. Dalam rentang waktu yang berdekatan, beliau kehilangan dua sosok paling penting dalam hidupnya dan paling vital bagi kelangsungan dakwahnya:
- Khadijah binti Khuwailid: Istri tercinta, pendamping setia, pendukung finansial utama, dan orang pertama yang beriman kepada risalah beliau. Kepergian Khadijah meninggalkan kekosongan emosional yang mendalam bagi Nabi.
- Abu Thalib: Paman sekaligus pelindung beliau dari ancaman dan gangguan kaum Quraisy. Meskipun tidak memeluk Islam secara terbuka, Abu Thalib adalah benteng pertahanan Nabi yang sangat disegani. Dengan wafatnya Abu Thalib, Nabi kehilangan perisai politiknya di Mekah.
Setelah wafatnya Abu Thalib, tekanan dan intimidasi dari kaum Quraisy semakin meningkat drastis. Mereka semakin berani menyakiti, menghina, dan mengintimidasi Nabi serta para pengikutnya. Bahkan, Nabi pernah mencoba berdakwah ke Thaif dengan harapan mendapatkan dukungan, namun beliau justru diusir dan dilempari batu oleh penduduknya hingga terluka. Periode ini adalah puncak kepedihan dan kesendirian Nabi dalam menghadapi penolakan dan permusuhan.
Dalam suasana duka dan keputusasaan inilah, Allah SWT menganugerahkan peristiwa Isra Mi'raj. Perjalanan ini berfungsi sebagai:
- Penghiburan Ilahi: Allah ingin menghibur hati hamba-Nya yang sedang berduka dan tertekan, menunjukkan bahwa beliau tidak sendiri dan memiliki kedudukan yang agung di sisi-Nya.
- Penguatan Misi: Isra Mi'raj menguatkan keyakinan Nabi akan kebenaran risalahnya dan memberikan visi yang lebih luas tentang alam semesta dan kekuasaan Allah, menegaskan bahwa beliau adalah utusan yang sangat istimewa.
- Persiapan untuk Hijrah: Peristiwa ini juga bisa dilihat sebagai persiapan spiritual dan mental bagi Nabi untuk menghadapi tantangan besar berikutnya, yaitu hijrah ke Madinah dan mendirikan negara Islam. Dengan melihat tanda-tanda kebesaran Allah dan bertemu para nabi sebelumnya, Nabi Muhammad semakin mantap dalam menjalankan amanah risalahnya.
- Pembuktian Mukjizat: Peristiwa ini menjadi mukjizat nyata yang menguji keimanan para pengikut Nabi dan membedakan antara mereka yang teguh dalam keyakinan dan mereka yang lemah.
Oleh karena itu, Isra Mi'raj bukanlah sekadar perjalanan biasa, melainkan sebuah intervensi ilahi yang penuh makna dan tujuan strategis dalam sejarah dakwah Islam.
Detil Perjalanan Isra: Dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa
Perjalanan Isra dimulai pada suatu malam yang penuh keberkahan. Nabi Muhammad SAW sedang berada di dekat Ka'bah, tepatnya di Hijr Ismail, atau riwayat lain menyebutkan di rumah Ummu Hani binti Abu Thalib. Saat itu, Malaikat Jibril datang menghampiri beliau.
Kedatangan Jibril dan Buraq
Jibril membawa seekor kendaraan surgawi yang disebut Buraq. Buraq adalah makhluk yang luar biasa, digambarkan memiliki ukuran lebih besar dari keledai namun lebih kecil dari bagal, berwarna putih, dan memiliki sayap. Kecepatannya sangat menakjubkan: ia meletakkan tapak kakinya sejauh pandangan matanya. Artinya, dalam satu langkah, Buraq dapat menempuh jarak sejauh mata memandang. Kecepatan ini sangat penting untuk memahami bagaimana perjalanan yang begitu jauh dapat ditempuh dalam waktu semalam.
Ketika Nabi Muhammad hendak menaiki Buraq, Buraq sedikit berontak. Jibril kemudian berkata kepadanya, "Apakah engkau berontak kepada Muhammad? Demi Allah, tidak ada seorang pun yang menunggangimu yang lebih mulia di sisi Allah daripada dia." Mendengar perkataan Jibril, Buraq pun menjadi tenang.
Perjalanan Singkat Penuh Makna
Dengan Jibril di sisi beliau, Nabi Muhammad SAW pun memulai perjalanan Isra. Buraq melesat melintasi angkasa, membawa Nabi dari Mekah menuju Baitul Maqdis (Yerusalem). Sepanjang perjalanan ini, Jibril mengajak Nabi untuk singgah di beberapa tempat yang memiliki nilai sejarah dan keagamaan penting:
- Madinah (Yatsrib): Tempat hijrahnya Nabi di masa mendatang.
- Gunung Sinai: Tempat Nabi Musa menerima wahyu Taurat.
- Baitul Lahm (Betlehem): Tempat kelahiran Nabi Isa AS.
- Seketika di Lembah Tur Sina: Tempat Allah berbicara kepada Musa.
- Seketika di lembah antara Madyan dan Mina.
Di setiap tempat singgah, Nabi Muhammad SAW melakukan shalat dua rakaat. Ini menunjukkan kesinambungan risalah kenabian dan penghormatan terhadap tempat-tempat suci yang telah diberkahi Allah.
Tiba di Masjidil Aqsa dan Pertemuan Para Nabi
Akhirnya, Nabi Muhammad SAW tiba di Masjidil Aqsa, Yerusalem. Masjidil Aqsa adalah salah satu dari tiga masjid paling suci dalam Islam, setelah Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Di sana, Buraq diikat di sebuah tali yang dahulu pernah digunakan para nabi untuk mengikat hewan tunggangan mereka.
Di Masjidil Aqsa, Nabi Muhammad SAW mengalami suatu pemandangan yang menakjubkan. Seluruh nabi dan rasul yang pernah diutus oleh Allah SWT, dari Nabi Adam hingga Nabi Isa, dikumpulkan oleh Allah. Nabi Muhammad SAW kemudian maju ke depan dan mengimami shalat dua rakaat berjamaah bersama mereka semua. Peristiwa ini sangat penting karena menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah pemimpin para nabi dan penutup risalah kenabian. Beliau adalah 'Imam al-Anbiya' wal Mursalin' (Imam para nabi dan rasul).
Shalat berjamaah ini bukan sekadar simbolis, melainkan sebuah penegasan atas universalitas Islam sebagai agama yang dibawa oleh seluruh nabi, serta menunjukkan bahwa risalah Nabi Muhammad SAW adalah puncak dan penyempurna dari seluruh risalah sebelumnya.
Setelah shalat, Jibril menawarkan kepada Nabi dua bejana, satu berisi susu dan satu lagi berisi khamr (minuman keras). Nabi Muhammad SAW memilih susu. Jibril kemudian berkata, "Engkau telah memilih fitrah (kesucian)." Ini juga merupakan isyarat tentang jalan yang benar dan fitrah manusia yang lurus dalam beragama.
Perjalanan Isra ini adalah pondasi bagi kenaikan Mi'raj, menghubungkan dua titik suci di bumi sebelum Nabi diangkat ke langit, menegaskan posisi Yerusalem sebagai kota suci dalam Islam dan sebagai jembatan menuju dimensi spiritual yang lebih tinggi.
Detil Perjalanan Mi'raj: Kenaikan Menembus Langit
Setelah menyelesaikan shalat di Masjidil Aqsa dan mengimami para nabi, perjalanan Nabi Muhammad SAW berlanjut ke tahap yang lebih agung: Mi'raj, yaitu kenaikan menembus tujuh lapis langit menuju Sidratul Muntaha dan menghadap Allah SWT. Perjalanan ini adalah manifestasi langsung dari kekuatan Allah yang tak terbatas dan kemuliaan Nabi Muhammad SAW.
Kenaikan ke Langit Pertama
Dari Masjidil Aqsa, Nabi Muhammad SAW dan Jibril naik melalui tangga cahaya (Mi'raj). Ketika sampai di pintu langit pertama, Jibril meminta dibukakan. Penjaga pintu langit bertanya, "Siapa ini?" Jibril menjawab, "Jibril." Kemudian ditanya lagi, "Siapa yang bersamamu?" Jibril menjawab, "Muhammad." Penjaga itu bertanya lagi, "Apakah ia sudah diutus?" Jibril membenarkan. Pintu langit pun terbuka.
Di langit pertama, Nabi Muhammad SAW bertemu dengan Nabi Adam AS, bapak seluruh umat manusia. Nabi Adam menyambut beliau dengan ramah, mengucapkan salam, dan mendoakan kebaikan. Adam melihat ruh-ruh umat manusia di kanan dan kirinya; yang di kanan adalah penghuni surga dan yang di kiri adalah penghuni neraka. Ketika melihat yang di kanan, Adam tersenyum, dan ketika melihat yang di kiri, Adam menangis.
Langit Kedua
Setelah melewati langit pertama, Nabi Muhammad SAW dan Jibril naik ke langit kedua. Di sana, beliau bertemu dengan dua nabi bersaudara: Nabi Yahya AS dan Nabi Isa AS. Keduanya menyambut beliau dengan salam dan mendoakan kebaikan.
Langit Ketiga
Di langit ketiga, Nabi Muhammad SAW bertemu dengan Nabi Yusuf AS. Nabi Yusuf dikenal sebagai sosok yang sangat tampan, bahkan digambarkan telah diberikan separuh dari ketampanan yang ada di dunia. Beliau juga menyambut Nabi Muhammad SAW dengan salam dan mendoakan kebaikan.
Langit Keempat
Kenaikan berlanjut ke langit keempat, di mana Nabi Muhammad SAW bertemu dengan Nabi Idris AS. Nabi Idris adalah nabi yang diangkat ke tempat yang tinggi. Beliau juga memberikan salam dan mendoakan kebaikan kepada Rasulullah SAW.
Langit Kelima
Di langit kelima, Nabi Muhammad SAW bertemu dengan Nabi Harun AS. Harun adalah saudara Nabi Musa dan juga seorang nabi yang fasih berbicara. Beliau menyambut Nabi Muhammad SAW dengan hangat.
Langit Keenam
Melanjutkan perjalanan, di langit keenam, Nabi Muhammad SAW bertemu dengan Nabi Musa AS. Pertemuan ini memiliki makna khusus. Nabi Musa menangis ketika melihat Nabi Muhammad SAW. Ketika ditanya mengapa, Musa menjawab, "Aku menangis karena ada seorang pemuda yang diutus setelahku, tetapi umatnya yang masuk surga lebih banyak daripada umatku." Ini menunjukkan keutamaan umat Muhammad dan kerendahan hati Nabi Musa.
Langit Ketujuh
Puncak dari pertemuan dengan para nabi terjadi di langit ketujuh. Di sinilah Nabi Muhammad SAW bertemu dengan Nabi Ibrahim AS, 'Khalilullah' (kekasih Allah) dan bapak para nabi. Nabi Ibrahim sedang bersandar di Baitul Ma'mur, sebuah rumah suci di langit yang menjadi Ka'bah bagi para malaikat, di mana setiap hari 70.000 malaikat mengelilinginya dan tidak akan kembali lagi setelahnya. Nabi Ibrahim menyambut Nabi Muhammad SAW dengan sangat gembira dan penuh hormat, bahkan mengatakan, "Selamat datang anakku yang shalih, dan Nabi yang shalih."
Sidratul Muntaha
Setelah melewati langit ketujuh, Nabi Muhammad SAW diangkat lebih tinggi lagi menuju Sidratul Muntaha. Sidratul Muntaha adalah sebuah pohon bidara raksasa yang menandai batas akhir pengetahuan makhluk, tempat di mana tidak ada satu pun makhluk, termasuk malaikat Jibril sekalipun, yang dapat melampauinya. Jibril berhenti di sini, tidak mampu melanjutkan perjalanan lebih jauh. Jibril berkata, "Ini adalah batas kemampuanku. Jika aku melampauinya sedikit saja, aku akan hangus."
Di Sidratul Muntaha, Nabi Muhammad SAW melihat keindahan yang tak terlukiskan dengan kata-kata. Cahaya-cahaya yang luar biasa, warna-warna yang belum pernah terlihat, dan suara-suara yang menenangkan. Sidratul Muntaha diselimuti oleh cahaya keemasan dan warna-warni yang memukau. Pohon bidara itu sendiri memiliki daun-daun seperti telinga gajah dan buah-buahnya sebesar tempayan besar.
Menghadap Allah SWT dan Penerimaan Perintah Shalat
Setelah Jibril berhenti, Nabi Muhammad SAW melanjutkan perjalanan sendiri, menembus batas-batas alam semesta yang tidak terjangkau oleh makhluk lain, menuju hadirat Allah SWT. Ini adalah momen paling agung dan sakral dari seluruh peristiwa Mi'raj. Beliau menghadap Allah SWT secara langsung tanpa perantara, sebuah kehormatan yang tidak pernah diberikan kepada nabi atau rasul mana pun sebelumnya.
Dalam momen yang penuh keagungan ini, Allah SWT memerintahkan shalat 50 waktu sehari semalam kepada Nabi Muhammad SAW dan umatnya. Ketika Nabi Muhammad SAW kembali melewati langit keenam, Nabi Musa AS bertanya kepadanya apa yang telah diperintahkan. Nabi Musa menasihati Nabi Muhammad SAW, "Umatmu tidak akan sanggup melaksanakannya. Kembalilah kepada Tuhanmu dan mintalah keringanan."
Nabi Muhammad SAW berkali-kali kembali menghadap Allah SWT untuk memohon keringanan atas usulan Nabi Musa. Setiap kali beliau kembali, jumlah rakaat shalat dikurangi, hingga akhirnya ditetapkan menjadi lima waktu shalat sehari semalam. Meskipun hanya lima waktu, Allah SWT berfirman bahwa pahalanya sama dengan 50 waktu. Ini adalah rahmat dan kasih sayang Allah SWT kepada umat Nabi Muhammad SAW.
Selain perintah shalat, Nabi Muhammad SAW juga menerima wahyu dua ayat terakhir dari Surah Al-Baqarah (QS. 2: 285-286), yang berisi tentang keimanan kepada Allah, malaikat, kitab-kitab, dan rasul-rasul-Nya, serta doa permohonan keringanan dan ampunan. Ini juga merupakan anugerah besar bagi umat Islam.
Peristiwa Mi'raj ini, dengan segala keajaiban dan detailnya, menegaskan kedudukan Nabi Muhammad SAW sebagai Nabi terakhir dan paling mulia, serta menempatkan shalat sebagai tiang agama dan koneksi langsung antara hamba dengan Penciptanya.
Reaksi Masyarakat Mekah dan Ujian Keimanan
Setelah kembali ke Mekah pada malam yang sama, Nabi Muhammad SAW menceritakan peristiwa Isra Mi'raj kepada kaum Quraisy. Reaksi yang muncul sangat beragam dan ekstrem, menjadi ujian berat bagi keimanan para pengikutnya dan pembuktian bagi kaum kafir.
Penolakan dan Ejekan Kaum Kafir Quraisy
Ketika Nabi Muhammad SAW menceritakan perjalanannya, kaum Quraisy di Mekah justru semakin bertambah ingkar. Mereka menertawakan, mengejek, dan menganggap Nabi Muhammad telah gila atau berbohong. Bagaimana mungkin seseorang bisa melakukan perjalanan dari Mekah ke Yerusalem dan kembali lagi dalam satu malam, padahal perjalanan normal dengan unta memakan waktu sekitar satu bulan pulang-pergi?
Mereka memanfaatkan peristiwa ini sebagai alat propaganda untuk menghalangi orang-orang beriman kepada Nabi. Mereka menantang Nabi untuk menjelaskan tentang Baitul Maqdis, yang mana Nabi Muhammad SAW sebelumnya belum pernah ke sana. Dengan karunia Allah, Baitul Maqdis divisualisasikan di hadapan Nabi Muhammad SAW, sehingga beliau bisa menjelaskan detail-detailnya dengan tepat, termasuk jumlah pintu, ciri-ciri bangunan, hingga kafilah dagang mereka yang sedang dalam perjalanan pulang. Meskipun demikian, sebagian besar kaum Quraisy tetap menolak dan bahkan menuduh Nabi menggunakan sihir.
Kebenaran dan Keteguhan Abu Bakar Ash-Shiddiq
Di tengah gelombang penolakan dan keraguan, ada satu sosok yang menunjukkan keimanan yang luar biasa: Abu Bakar. Ketika orang-orang datang kepadanya dan memberitahukan cerita Nabi Muhammad SAW, Abu Bakar tanpa ragu sedikit pun langsung membenarkannya.
"Jika dia (Muhammad) yang mengatakan demikian, maka sungguh dia telah berkata benar," ujar Abu Bakar.
Ia melanjutkan, "Aku mempercayai berita dari langit yang jauh lebih besar dari itu, mengapa aku tidak mempercayai peristiwa ini?" Karena keteguhannya dalam membenarkan dan mempercayai setiap perkataan Nabi, Abu Bakar pun digelari "Ash-Shiddiq" (orang yang membenarkan). Sikap Abu Bakar menjadi contoh puncak keimanan dan keyakinan kepada Rasulullah SAW, menunjukkan bahwa bagi orang yang beriman, mukjizat adalah bukti kekuasaan Allah, bukan hal yang harus diukur dengan akal semata.
Ujian Keimanan Bagi Umat Islam
Peristiwa Isra Mi'raj juga menjadi ujian besar bagi umat Islam saat itu. Beberapa orang yang baru masuk Islam atau yang imannya belum kuat, menjadi ragu dan bahkan ada yang murtad. Namun, bagi para sahabat yang imannya kokoh, peristiwa ini justru semakin menguatkan keyakinan mereka akan kebenaran risalah Nabi Muhammad SAW dan kekuasaan Allah SWT yang tak terbatas.
Ujian ini memurnikan barisan umat Islam, memisahkan antara mereka yang beriman sejati dengan mereka yang imannya masih rapuh. Ini adalah salah satu cara Allah untuk mempersiapkan umat Islam menghadapi tantangan yang lebih besar di masa depan, termasuk hijrah ke Madinah dan perjuangan mendirikan masyarakat Islam.
Dari reaksi ini, jelas bahwa Isra Mi'raj adalah mukjizat yang dirancang untuk menguji, memisahkan, dan menguatkan. Bagi mereka yang tulus mencari kebenaran, peristiwa ini adalah bukti nyata. Bagi mereka yang hatinya tertutup, ini hanyalah alasan untuk semakin keras dalam penolakan.
Hikmah dan Pelajaran dari Isra Mi'raj
Peristiwa Isra Mi'raj bukan sekadar kisah perjalanan yang menakjubkan, melainkan samudra hikmah dan pelajaran yang sangat mendalam bagi umat Islam sepanjang masa. Setiap detil kejadiannya mengandung pesan spiritual dan praktis yang relevan untuk kehidupan.
1. Penegasan Kedudukan Agung Nabi Muhammad SAW
Isra Mi'raj adalah mukjizat yang secara eksplisit menunjukkan kemuliaan dan kedudukan tinggi Nabi Muhammad SAW di sisi Allah SWT. Beliau adalah satu-satunya manusia yang diberi kehormatan untuk melakukan perjalanan fisik menembus tujuh lapis langit, bertemu langsung dengan Allah SWT, dan menjadi imam bagi seluruh nabi dan rasul. Ini menegaskan status beliau sebagai sayyidul anbiya wal mursalin (pemimpin para nabi dan rasul) dan khatamun nabiyyin (penutup para nabi).
2. Pentingnya Shalat Lima Waktu
Perintah shalat lima waktu diberikan langsung oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW tanpa melalui perantara malaikat Jibril, di Sidratul Muntaha. Hal ini menunjukkan betapa agung dan vitalnya kedudukan shalat dalam Islam. Shalat adalah mi'raj-nya seorang mukmin, sarana komunikasi langsung antara hamba dengan Tuhannya. Shalat adalah tiang agama, pembeda antara Muslim dan kafir, serta amalan pertama yang akan dihisab di hari kiamat. Pengurangan dari 50 menjadi 5 waktu adalah bentuk rahmat Allah yang luar biasa, menunjukkan bahwa Allah tidak membebani hamba-Nya di luar batas kemampuannya, namun dengan pahala yang berlipat ganda.
3. Bukti Kekuasaan dan Keagungan Allah SWT
Perjalanan Isra Mi'raj melampaui segala hukum alam yang dikenal manusia. Kecepatan Buraq, menembus langit, melihat surga dan neraka, serta menghadap Allah SWT, semuanya adalah bukti nyata dari kekuasaan Allah yang tak terbatas. Hal ini mengajarkan kita untuk tidak membatasi kekuasaan Allah dengan akal atau sains manusia. Bagi Allah, semua hal mungkin terjadi.
4. Ujian Keimanan dan Keteguhan Hati
Reaksi kaum Quraisy yang menolak dan Abu Bakar yang langsung membenarkan menjadi pelajaran penting tentang ujian keimanan. Peristiwa ini memisahkan antara mereka yang imannya kokoh, yang meyakini sesuatu karena datang dari Allah dan Rasul-Nya, dan mereka yang imannya lemah, yang hanya percaya pada hal-hal yang sesuai dengan akal dan logika terbatas mereka. Kita diajarkan untuk memiliki keyakinan yang teguh kepada ajaran Islam, sekalipun itu di luar nalar kita.
5. Penghiburan dan Penguatan Jiwa Nabi Muhammad SAW
Terjadi di 'Am al-Huzn, Isra Mi'raj adalah penghiburan ilahi bagi Nabi Muhammad SAW setelah kehilangan orang-orang terkasih dan menghadapi tekanan dakwah yang berat. Allah menunjukkan kepada beliau keagungan-Nya, kemuliaan risalahnya, dan masa depan yang cerah (sebelum hijrah). Ini mengajarkan bahwa setelah kesulitan pasti ada kemudahan, dan Allah akan selalu menolong hamba-Nya yang berjuang di jalan-Nya.
6. Kaitan Erat Masjidil Haram dan Masjidil Aqsa
Perjalanan Isra menghubungkan dua masjid suci: Masjidil Haram di Mekah dan Masjidil Aqsa di Yerusalem. Hal ini menegaskan pentingnya Baitul Maqdis (Yerusalem) dalam Islam sebagai kiblat pertama umat Muslim dan tempat suci bagi para nabi sebelumnya. Ini juga menunjukkan kesinambungan risalah kenabian dari Adam hingga Muhammad SAW.
7. Persaudaraan Antar Nabi
Nabi Muhammad SAW mengimami shalat seluruh nabi dan rasul di Masjidil Aqsa dan bertemu mereka di setiap lapisan langit. Ini menunjukkan persatuan dan persaudaraan antara para nabi, serta bahwa risalah mereka pada dasarnya adalah satu, yaitu menyeru kepada tauhid (mengesakan Allah). Nabi Muhammad SAW adalah penyempurna dari risalah tersebut.
8. Gambaran Kehidupan Akhirat
Selama Isra Mi'raj, Nabi Muhammad SAW diperlihatkan sebagian dari surga dan neraka, serta berbagai kondisi manusia setelah mati. Beliau melihat orang-orang yang dihukum karena perbuatan buruk mereka di dunia dan orang-orang yang diberi pahala. Ini berfungsi sebagai peringatan dan motivasi bagi umat Muslim untuk berbuat baik dan menjauhi kemaksiatan, karena kehidupan akhirat adalah kenyataan yang pasti.
9. Pentingnya Kesabaran dan Ketabahan
Peristiwa ini mengajarkan pentingnya kesabaran dalam menghadapi cobaan dan ketabahan dalam berjuang di jalan Allah. Nabi Muhammad SAW menunjukkan teladan kesabaran yang luar biasa sebelum dan sesudah Isra Mi'raj.
10. Ilmu Pengetahuan dan Keajaiban Alam Semesta
Meskipun mukjizat, Isra Mi'raj juga menginspirasi pemikiran tentang dimensi alam semesta, kecepatan, waktu, dan batas-batas pengetahuan manusia. Ini mendorong manusia untuk terus merenungkan kebesaran ciptaan Allah dan mencari ilmu pengetahuan, tanpa melupakan bahwa ada realitas yang melampaui batas-batas sains empiris.
Secara keseluruhan, Isra Mi'raj adalah sebuah pengalaman transformatif bagi Nabi Muhammad SAW yang sekaligus menjadi sumber inspirasi dan bimbingan yang tak ada habisnya bagi umatnya, menguatkan iman, menegaskan syariat, dan menunjukkan jalan menuju kedekatan dengan Allah SWT.
Pandangan Ulama dan Aspek Historis
Peristiwa Isra Mi'raj telah menjadi subjek kajian mendalam oleh para ulama dan sejarawan Islam sepanjang masa. Meskipun terdapat beberapa perbedaan pendapat minor, konsensus kuat telah terbentuk mengenai aspek-aspek esensial dari peristiwa ini.
Waktu Kejadian
Mayoritas ulama berpendapat bahwa Isra Mi'raj terjadi pada periode akhir kehidupan Nabi Muhammad SAW di Mekah, sekitar satu tahun sebelum peristiwa hijrah ke Madinah. Tepatnya, ada berbagai riwayat, namun yang paling umum adalah pada bulan Rajab, tepatnya malam ke-27. Meskipun demikian, ada juga riwayat yang menyebutkan bulan Rabiul Awal, Rabiul Akhir, atau Ramadhan. Perbedaan ini tidak mengurangi keabsahan peristiwa itu sendiri, namun lebih pada ketidakpastian tanggal spesifik dalam kalender modern.
Yang pasti, peristiwa ini terjadi setelah wafatnya Khadijah dan Abu Thalib, pada 'Am al-Huzn (Tahun Kesedihan), sebagai bentuk penghiburan ilahi dan penegasan status kenabian beliau sebelum menghadapi fase baru dakwah di Madinah.
Perdebatan Fisik vs. Ruhani
Salah satu perdebatan klasik mengenai Isra Mi'raj adalah apakah perjalanan tersebut dilakukan secara fisik (jasmani dan rohani) atau hanya secara ruhani (mimpi atau visi). Mayoritas mutlak ulama Ahlusunah wal Jamaah, berdasarkan dalil-dalil Al-Qur'an dan hadits shahih, meyakini bahwa Isra Mi'raj adalah perjalanan fisik dan ruhani. Argumen utama mereka adalah:
- Ayat Al-Qur'an (QS. Al-Isra: 1): Penggunaan kata "hamba-Nya" (عبدِه – 'abdih) secara linguistik merujuk pada keseluruhan entitas manusia, yaitu jasad dan ruh. Jika hanya ruhani, kata yang digunakan mungkin berbeda.
- Reaksi Kaum Quraisy: Kaum Quraisy tidak akan terkejut dan menolak mentah-mentah jika peristiwa itu hanya sebuah mimpi. Mereka menolak karena menganggap perjalanan fisik sejauh itu dalam semalam adalah mustahil, menunjukkan bahwa mereka memahami klaim Nabi adalah perjalanan fisik.
- Keunikan Mukjizat: Jika hanya mimpi, peristiwa ini tidak akan menjadi mukjizat luar biasa yang menguji keimanan dan membedakan antara yang beriman dan yang ingkar. Banyak orang bisa bermimpi.
- Konsensus Sahabat: Para sahabat, termasuk Abu Bakar Ash-Shiddiq, membenarkan peristiwa ini sebagai kenyataan fisik.
Meskipun ada beberapa ulama yang menafsirkan sebagian aspek Mi'raj sebagai ruhani, pandangan dominan dan paling kuat adalah bahwa keseluruhan peristiwa Isra dan Mi'raj adalah pengalaman fisik yang nyata, sebuah mukjizat yang melampaui batas-batas materi dan waktu, diwujudkan oleh kekuasaan Allah SWT.
Relevansi Historis Masjidil Aqsa
Pemilihan Masjidil Aqsa sebagai titik transit dan tempat shalat Nabi Muhammad bersama para nabi adalah sangat signifikan secara historis dan teologis. Masjidil Aqsa adalah kiblat pertama umat Islam, tempat yang diberkahi Allah, dan memiliki ikatan sejarah yang kuat dengan banyak nabi terdahulu, termasuk Ibrahim, Musa, dan Isa. Perjalanan ini menegaskan kembali kesucian Baitul Maqdis dalam Islam dan perannya sebagai jembatan antara Mekah dan langit. Ini juga menyoroti posisi Islam sebagai kelanjutan dan penyempurna dari agama-agama samawi sebelumnya.
Pentingnya Hadits sebagai Sumber Detail
Selain Al-Qur'an, detail-detail mendalam mengenai Isra Mi'raj banyak ditemukan dalam hadits-hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim, dan lainnya. Hadits-hadits ini menjelaskan tentang Buraq, pertemuan dengan para nabi di setiap langit, Sidratul Muntaha, Baitul Ma'mur, hingga dialog antara Nabi Muhammad dengan Allah dan Nabi Musa terkait perintah shalat. Tanpa hadits, pemahaman kita tentang Isra Mi'raj akan sangat terbatas. Hal ini menunjukkan pentingnya Sunnah Nabi sebagai penjelas dan pelengkap Al-Qur'an.
Dengan demikian, Isra Mi'raj adalah peristiwa yang kokoh dalam sejarah Islam, didukung oleh dalil Al-Qur'an dan Hadits, serta menjadi fondasi penting bagi pemahaman umat Islam tentang keagungan Nabi Muhammad SAW dan ajaran-ajaran fundamental agama.
Isra Mi'raj dalam Budaya dan Kehidupan Muslim Kontemporer
Meskipun peristiwa Isra Mi'raj terjadi ribuan tahun yang lalu, dampaknya terus bergema dalam kehidupan Muslim di seluruh dunia, tidak hanya sebagai kisah sejarah tetapi juga sebagai sumber inspirasi dan praktik keagamaan.
Peringatan Isra Mi'raj
Salah satu manifestasi paling nyata dari pengaruh Isra Mi'raj adalah peringatan tahunannya. Pada tanggal 27 Rajab setiap tahun dalam kalender Islam, umat Muslim di berbagai belahan dunia memperingati peristiwa ini. Peringatan ini seringkali diisi dengan berbagai kegiatan keagamaan, seperti:
- Pengajian dan Ceramah: Masjid-masjid dan lembaga-lembaga pendidikan Islam mengadakan pengajian khusus untuk membahas kembali kisah Isra Mi'raj, mengambil hikmah, dan pelajaran darinya.
- Shalat Sunah: Meskipun tidak ada dalil khusus untuk shalat sunah pada malam Isra Mi'raj, banyak Muslim yang memanfaatkan malam itu untuk meningkatkan ibadah shalat malam, membaca Al-Qur'an, dan berzikir sebagai bentuk penghayatan.
- Kumpulan Keluarga dan Masyarakat: Di beberapa daerah, peringatan ini menjadi momen berkumpulnya keluarga dan komunitas untuk merenungi kebesaran Allah dan Nabi-Nya.
Peringatan ini bertujuan untuk menjaga ingatan kolektif umat terhadap mukjizat agung ini, memperkuat keimanan, dan kembali merenungi makna shalat serta kedudukan Nabi Muhammad SAW.
Inspirasi dalam Seni dan Sastra
Kisah Isra Mi'raj telah menjadi inspirasi yang kaya bagi para seniman, penyair, dan sastrawan Muslim sepanjang sejarah. Banyak puisi, syair, kaligrafi, dan ilustrasi yang menggambarkan adegan-adegan dari perjalanan suci ini, mulai dari Buraq yang terbang, pertemuan dengan para nabi, hingga Sidratul Muntaha. Karya-karya seni ini membantu memvisualisasikan narasi yang luar biasa tersebut dan menyebarkan pesan-pesan spiritualnya kepada masyarakat luas.
Penguatan Identitas Muslim
Bagi umat Muslim, Isra Mi'raj adalah bagian integral dari identitas keislaman mereka. Kisah ini mengajarkan tentang keunikan Nabi Muhammad SAW, keagungan Islam, dan kekuasaan Allah yang mutlak. Dengan merenungkan peristiwa ini, umat Muslim merasa lebih terhubung dengan sejarah kenabian dan dengan ajaran-ajaran dasar agama mereka.
Pesan Universal tentang Harapan dan Keajaiban
Di luar dimensi keagamaan, kisah Isra Mi'raj juga membawa pesan universal tentang harapan, keberanian menghadapi kesulitan, dan potensi manusia untuk mencapai ketinggian spiritual yang luar biasa melalui iman dan ketaatan. Ini mengajarkan bahwa bahkan dalam situasi terberat sekalipun (seperti 'Am al-Huzn), pertolongan dan penghiburan dari Tuhan selalu mungkin datang dalam bentuk yang tak terduga.
Relevansi Kontemporer Shalat
Pelajaran tentang shalat sebagai inti dari Isra Mi'raj tetap sangat relevan. Di era modern yang serba cepat dan penuh tekanan, shalat adalah jangkar yang menenangkan jiwa, pengingat akan tujuan hidup yang lebih besar, dan sarana untuk menjaga hubungan pribadi dengan Sang Pencipta. Banyak Muslim menemukan kekuatan dan kedamaian dalam shalat, menjadikannya 'mi'raj' pribadi mereka setiap hari.
Dengan demikian, Isra Mi'raj bukan hanya catatan sejarah, melainkan peristiwa hidup yang terus memberikan cahaya, inspirasi, dan arahan bagi kehidupan spiritual dan praktis umat Muslim di setiap zaman.
Penutup
Peristiwa Isra Mi'raj adalah salah satu babak terpenting dan paling menakjubkan dalam sejarah kenabian Muhammad SAW. Sebuah perjalanan yang melampaui batas ruang dan waktu, menembus dimensi-dimensi alam semesta, dan berpuncak pada penghadapan dengan Allah SWT. Lebih dari sekadar mukjizat yang tak terbayangkan oleh akal manusia, Isra Mi'raj adalah inti dari pesan-pesan ilahi, fondasi ajaran-ajaran vital, dan sumber hikmah tak berujung bagi seluruh umat manusia.
Dari Isra, kita belajar tentang pentingnya Masjidil Haram dan Masjidil Aqsa sebagai tempat-tempat suci yang saling terkait, tentang kesinambungan risalah para nabi, dan tentang kehormatan Nabi Muhammad SAW sebagai imam bagi mereka semua. Dari Mi'raj, kita disadarkan akan keagungan Allah SWT yang tak terbatas, kedudukan mulia Rasulullah SAW, serta betapa esensialnya shalat lima waktu sebagai jembatan spiritual hamba kepada Penciptanya. Perintah shalat yang diterima langsung tanpa perantara adalah bukti betapa shalat adalah tiang agama dan inti dari ibadah.
Kisah ini juga merupakan cerminan dari rahmat dan kasih sayang Allah SWT kepada Nabi-Nya di tengah masa-masa tersulit, memberikan penghiburan dan penguatan yang tak terhingga. Bagi kita umatnya, Isra Mi'raj adalah pengingat untuk senantiasa menguatkan iman, mempertebal ketakwaan, dan menjadikan shalat sebagai prioritas utama dalam hidup. Ini juga menantang kita untuk merenungkan kebesaran alam semesta dan kekuasaan Allah yang Maha Pencipta, yang segala sesuatu adalah mungkin bagi-Nya.
Semoga dengan memahami dan menghayati kembali kisah Isra Mi'raj, keimanan kita semakin bertambah kokoh, kecintaan kita kepada Nabi Muhammad SAW semakin mendalam, dan amalan shalat kita semakin berkualitas, sehingga kita senantiasa mendapatkan petunjuk dan keberkahan dari Allah SWT dalam setiap langkah kehidupan.