Meru, atau seringkali disebut sebagai Sumeru (Sineru), merupakan konsep kosmologis yang paling fundamental dan mendalam dalam peradaban India, termasuk Hindu, Buddha, dan Jainisme. Lebih dari sekadar gunung, Meru adalah sumbu kosmik, Axis Mundi, poros yang menghubungkan langit (para dewa) dengan bumi (dunia manusia) dan dunia bawah (alam baka). Ia melambangkan pusat spiritual, geografis, dan metafisik semesta yang tak tergoyahkan. Pemahaman terhadap Meru adalah kunci untuk menyingkap struktur alam semesta, hierarki spiritual, dan siklus waktu dalam pandangan dunia kuno.
I. Meru dalam Kosmografi Hindu: Gunung Emas Pusat Jagat Raya
Dalam tradisi Hindu, khususnya dalam Purana dan teks-teks epik, Meru dikenal sebagai Su-meru atau Mahameru. Lokasinya digambarkan tepat di tengah-tengah Jambudvipa, salah satu dari tujuh dvipa (pulau/benua) konsentris yang membentuk alam semesta tengah (Bhur-loka). Meru bukanlah gunung biasa; ia terbuat dari emas murni dan memiliki ketinggian yang mencapai puluhan ribu yojana (satuan jarak kuno).
Struktur Vertikal dan Tiga Loka
Meru membagi alam semesta menjadi tiga wilayah utama, yang dikenal sebagai Loka:
- Svarga Loka (Alam Atas): Meliputi puncak Meru dan lapisan-lapisan di atasnya. Ini adalah kediaman para dewa, dipimpin oleh Brahma, Siwa, dan Wisnu, serta tempat Surga Indra, yang dikenal sebagai Trāyastriṃśa.
- Bhur Loka (Alam Tengah): Berada di lereng dan kaki Meru. Ini adalah dunia manusia, termasuk Jambudvipa dan benua-benua lainnya. Di sini, makhluk hidup mengalami karma mereka.
- Patala Loka (Alam Bawah): Berada di bawah dasar Meru. Ini adalah tujuh lapisan dunia bawah, rumah bagi Naga, Asura, dan makhluk-makhluk lainnya.
Menurut Vayu Purana dan Brahmanda Purana, Meru dikelilingi oleh tujuh pegunungan emas (Kulas), yang berfungsi sebagai pembatas dan penyangga bagi berbagai ekosistem kosmik. Pegunungan ini disebut Varṣaparvatas, dan setiap pegunungan memiliki ciri khas mineral dan flora yang unik. Detail-detail ini sangat penting karena menunjukkan kompleksitas tata ruang yang diyakini oleh para rishi (orang suci) kuno.
Tujuh Samudra dan Tujuh Dvipa
Konsep Meru tidak dapat dipisahkan dari struktur horizontal dvipa dan samudra. Jambudvipa, tempat Meru berdiri, dikelilingi secara konsentris oleh enam dvipa lainnya, yang dipisahkan oleh tujuh samudra yang berbeda, masing-masing terbuat dari zat yang berbeda, bukan hanya air:
- Lavana Sagara (Samudra Garam): Mengelilingi Jambudvipa.
- Ikshu Sagara (Samudra Tebu): Memisahkan Plaksha Dvipa.
- Sura Sagara (Samudra Anggur): Memisahkan Salmala Dvipa.
- Sarpi Sagara (Samudra Mentega): Memisahkan Kuśa Dvipa.
- Dadhi Sagara (Samudra Dadi/Yogurt): Memisahkan Krauñca Dvipa.
- Kshira Sagara (Samudra Susu): Memisahkan Śāka Dvipa.
- Jala/Suddhodaka Sagara (Samudra Air Tawar): Mengelilingi Pushkara Dvipa, dvipa terluar.
Seluruh struktur kosmik ini, yang berpusat pada Meru, adalah representasi dari keteraturan kosmik (Rta) dan berfungsi sebagai panggung tempat drama abadi para dewa dan makhluk terjadi. Setiap dvipa memiliki peradaban dan kondisi alam yang spesifik, menunjukkan pandangan dunia yang sangat terperinci mengenai keberagaman kehidupan.
II. Meru dalam Kosmologi Buddha: Sumeru dan Cakravala
Dalam Buddhisme, terutama aliran Abhidharma dan Mahayana, Meru dikenal sebagai Sumeru (Gunung Agung/Mulia). Sumeru adalah pusat dari setiap Cakravāla (sistem dunia) dan memainkan peran vital dalam mendefinisikan alam eksistensi (Bhava Cakra). Meskipun konsepnya mirip, Buddhisme memberikan struktur hierarkis yang sangat rinci mengenai tingkat-tingkat kesadaran dan surga yang melekat pada Sumeru.
Lapisan Surga di Atas Sumeru
Sumeru secara fisik naik dari lautan dan puncaknya, setinggi 40.000 yojana, menjadi kediaman para dewa. Di atas puncaknya dan di angkasa di atasnya terdapat Surga-Surga Kāmadhātu (Alam Keinginan), yang merupakan bagian dari tiga alam utama (Triloka).
Surga Kāmadhātu (Alam Hasrat)
Lapisan-lapisan ini secara langsung terkait dengan Sumeru. Yang paling terkenal adalah:
- Surga Cāturmahārājika (Empat Raja Agung): Lapisan pertama di atas permukaan bumi, di lereng Sumeru. Ini adalah tempat kediaman empat raja penjaga mata angin yang melindungi dunia. Para raja ini seringkali digambarkan sebagai pelindung Dharma.
- Surga Trāyastriṃśa (Surga 33 Dewa): Terletak di puncak datar Sumeru. Ini adalah kediaman Sakra (Indra) dan 32 dewa lainnya. Tempat ini sangat penting dalam banyak sutra, sering kali menjadi lokasi khotbah Buddha.
- Surga Yāma: Surga kedua yang melayang di udara, di atas Sumeru. Para dewa di sini menikmati kehidupan yang lebih murni dan cahaya mereka sendiri.
- Surga Tushita: Surga kegembiraan. Ini adalah tempat di mana Bodhisattva yang akan menjadi Buddha berikutnya (Maitreya) menunggu saatnya turun ke bumi.
- Surga Nirmāṇarati (Dewa yang Menyenangkan Diri): Para dewa di sini dapat menciptakan kenikmatan apa pun yang mereka inginkan.
- Surga Paranirmitavaśavartin (Dewa yang Menguasai Ciptaan Orang Lain): Surga tertinggi dalam Kāmadhātu, dipimpin oleh dewa Māra, sang penggoda.
Deskripsi detail ini menunjukkan bahwa Sumeru tidak hanya berfungsi sebagai tiang fisik, tetapi juga sebagai peta jalan menuju pembebasan spiritual. Semakin tinggi tingkat surganya, semakin halus (sattvik) keberadaan makhluk yang menghuninya, dan semakin dekat mereka dengan pemahaman yang lebih tinggi.
Pegunungan Emas dan Tujuh Samudra
Sumeru dikelilingi oleh tujuh rangkaian pegunungan emas yang melingkari, dikenal sebagai Sapta-parvata. Di antara setiap rangkaian pegunungan ini terdapat samudra air tawar yang luas. Rangkaian ini berakhir di Cakravāla-parvata, pegunungan besi besar yang merupakan batas fisik sistem dunia, memisahkannya dari kehampaan (kekosongan) yang tak berujung.
Pembahasan detail mengenai tujuh pegunungan emas (seperti Yugandhara, Isadhara, dan Khadiraka) adalah esensial. Masing-masing pegunungan ini memiliki dimensi spesifik dan memainkan peran dalam menjaga stabilitas kosmik. Konsep ini mengajarkan bahwa alam semesta terstruktur dengan sempurna dan berulang, menciptakan pola siklus yang tak terhitung jumlahnya. Setiap sistem dunia (Cakravāla) memiliki Sumerunya sendiri, menegaskan pandangan Buddha tentang alam semesta yang tak terbatas dalam ruang dan waktu.
Sumeru berdiri tegak di tengahnya, menjadi penentu arah mata angin. Empat benua besar (Dvipa) yang mengelilingi Sumeru—Jambudvipa (Selatan), Purvavideha (Timur), Aparagodānīya (Barat), dan Uttarakuru (Utara)—mewakili berbagai jenis makhluk hidup. Manusia hidup di Jambudvipa, yang secara filosofis merupakan tempat terbaik untuk mencapai pencerahan karena adanya keseimbangan antara penderitaan dan kenikmatan, yang mendorong pencarian spiritual.
III. Meru dalam Kosmologi Jainisme: Pusat Loka dan Mandara
Dalam Jainisme, konsep pusat alam semesta memiliki kesamaan struktural tetapi nama dan penekanannya berbeda. Gunung pusat dikenal sebagai Mandara, atau lebih sering, Gunung Meru (Meru Parvat) atau Jambūdvīpa. Meru Parvat adalah pusat dari Madhya Loka (Dunia Tengah), di mana makhluk hidup, termasuk manusia, tinggal.
Alam Semesta (Loka) Jain
Kosmologi Jain membagi alam semesta menjadi tiga bagian, terstruktur secara vertikal di sekitar Meru:
- Urdhva Loka (Alam Atas): Terdiri dari surga para dewa (Deva) dan tempat tinggal para Siddha (jiwa yang terbebaskan).
- Madhya Loka (Alam Tengah): Berpusat pada Meru Parvat dan Jambudvipa. Ini adalah satu-satunya tempat di mana manusia dapat mencapai pembebasan (Moksha).
- Adho Loka (Alam Bawah): Terdiri dari tujuh lapisan neraka (Naraka).
Meru Parvat digambarkan memiliki empat sisi yang berbeda warnanya (timur putih, barat kuning, utara merah, selatan biru) dan naik ke ketinggian yang luar biasa. Di puncaknya terdapat tiga kediaman suci (Kūṭas) yang didedikasikan untuk Jina (Tirthankara). Meru Parvat adalah situs yang sangat suci karena ia menjadi lokasi dari lima peristiwa penting (Kalyāṇakas) dalam kehidupan setiap Tirthankara, terutama kelahiran dan penobatan mereka.
Situs Abhisheka di Puncak Meru
Salah satu narasi paling penting yang terkait dengan Meru dalam Jainisme adalah perayaan kelahiran Tirthankara. Setelah kelahiran seorang Tirthankara, Dewa Indra akan membawa bayi tersebut ke puncak Meru untuk melakukan ritual penyucian besar yang disebut Abhiṣeka, menggunakan air suci dari puncak dan samudra kosmik. Ritual ini menegaskan peran Meru sebagai poros ritual dan spiritual yang menghubungkan alam fana dan abadi.
Detail arsitektur di puncaknya sering digambarkan memiliki hutan (seperti Nandana Vana dan Bhadrasala Vana) dan kolam suci. Hal ini menunjukkan bahwa, bagi Jainisme, Meru adalah lanskap ritual yang sangat terperinci, bukan sekadar simbol geografis. Struktur kosmik ini sangat abadi dan tidak dapat dihancurkan, karena alam semesta Jain diyakini tidak memiliki awal dan akhir, hanya siklus waktu yang berputar (Kala Chakra).
IV. Simbolisme dan Filosofi: Meru sebagai Axis Mundi
Terlepas dari perbedaan detail mitologis antara Hindu, Buddha, dan Jain, fungsi Meru secara filosofis tetap sama: ia adalah Axis Mundi, sumbu dunia. Konsep ini memiliki resonansi yang dalam dalam studi perbandingan agama dan arsitektur kuno.
Koneksi Surga dan Bumi
Meru berfungsi sebagai saluran komunikasi antara tingkat-tingkat eksistensi. Para dewa turun ke Meru, dan energi spiritual naik ke atas. Ini menegaskan bahwa dunia fisik (Madhya Loka/Jambudvipa) tidak terputus dari alam spiritual. Ia adalah tangga universal menuju pembebasan (Moksha atau Nirvana).
Simbolisme ini meluas ke tubuh manusia. Dalam yoga dan praktik spiritual Tantra, tulang belakang sering diibaratkan sebagai Meru Danda (tongkat Meru), pusat energi yang dilalui oleh Kundalini. Oleh karena itu, pencarian pusat kosmik eksternal (Meru) sejalan dengan pencarian pusat spiritual internal, menekankan bahwa kosmos mikro (manusia) mereplikasi kosmos makro (alam semesta).
Stabilitas Kosmik
Karena Meru berada di pusat, ia melambangkan stabilitas, ketidakberubahan, dan keteraturan abadi. Ketika Meru diguncang dalam mitos (misalnya, selama pengadukan lautan susu, Samudra Manthan), kekacauan mengancam jagat raya. Keberadaan Meru menjamin bahwa alam semesta akan terus berputar pada porosnya, melalui siklus penciptaan dan kehancuran (Yuga atau Kalpa).
Konsep Gunung Meru yang tidak pernah tenggelam dan selalu stabil adalah jaminan filosofis bahwa meskipun segala sesuatu di dunia ini fana, ada pusat yang abadi dan tak terganggu yang menjadi jangkar bagi semua realitas. Meru menjadi penanda arah yang absolut dalam kekacauan eksistensi.
V. Manifestasi Arsitektur: Meru dalam Dunia Nyata
Keyakinan pada Gunung Meru sebagai pusat semesta diterjemahkan secara literal ke dalam arsitektur keagamaan di seluruh Asia Tenggara dan Selatan. Kuil, stupa, dan candi dibangun sebagai replika mikrokosmik dari Gunung Meru, memungkinkan para pemuja untuk secara fisik atau spiritual 'mendaki' sumbu dunia.
Pura Meru di Bali dan Nusantara
Di Bali, konsep Meru diwujudkan dalam struktur suci yang disebut Pura Meru. Ini adalah bangunan bertingkat, berbentuk pagoda kayu dengan atap ijuk yang jumlahnya ganjil (biasanya 3, 5, 7, 9, atau 11), mewakili tingkat-tingkat surga di Gunung Meru. Semakin tinggi tingkatnya, semakin suci pura tersebut, didedikasikan untuk dewa yang lebih tinggi atau leluhur yang telah mencapai status dewa.
- Tingkat Arsitektur: Pura Meru di Bali mereplikasi tiga loka. Bagian dasar (kaki pura) adalah Bhur Loka (dunia manusia), bagian tengah adalah Bhuva Loka (dunia para dewa yang lebih rendah), dan atapnya (puncak) adalah Svah Loka (kediaman para dewa tertinggi).
- Candi di Jawa: Borobudur dan Prambanan, meskipun memiliki filosofi yang berbeda (Buddha dan Hindu), keduanya dibangun berdasarkan prinsip kosmologi Meru. Borobudur adalah mandala tiga dimensi yang merupakan perjalanan spiritual dari dunia keinginan (kaki) menuju Nirvana (puncak stupa). Prambanan menempatkan tiga dewa Trimurti di pusatnya, mereplikasi pusat kosmik.
Stupa dan Pagoda Asia Tenggara
Di seluruh Asia Tenggara, pagoda dan stupa berjenjang (seperti di Thailand, Myanmar, dan Kamboja) juga merupakan interpretasi arsitektural dari Sumeru. Setiap tingkat mewakili surga yang harus dilalui oleh Bodhisattva atau makhluk yang mencari pencerahan. Menara utama (shikhara) dari banyak kuil Hindu juga dirancang untuk meniru bentuk Meru yang meruncing.
VI. Elaborasi Rinci Kosmologi Hindu: Peta Jalan Menuju Moksha
Untuk memahami sepenuhnya Meru, kita harus menelusuri lebih jauh lapisan-lapisan mitologis dalam Purana. Meru digambarkan tidak hanya sebagai pusat fisik tetapi juga sebagai mandala spiritual yang kompleks. Bagian timur Meru dikaitkan dengan Indra, selatan dengan Yama, barat dengan Varuna, dan utara dengan Kubera. Setiap arah ini memiliki penjaga (Dikpala) dan flora serta fauna spesifik.
Pegunungan Pelindung (Kulaparvata) dan Lapisan Dvipa
Pegunungan yang mengelilingi Meru sangat penting dalam menjaga keseimbangan. Tujuh gunung utama ini membentuk cincin pelindung yang bertindak sebagai pembagi geografis dan zona ekologis:
- Himavata (Himalaya): Gunung yang paling dekat dengan Jambudvipa yang dikenal manusia, menyimpan salju abadi.
- Hemakuta: Dihiasi emas, memisahkan wilayah Harivarsha.
- Nishadha: Penuh dengan permata, terkenal karena kemurnian udaranya.
- Nila: Diperkirakan memiliki warna biru karena batu safir yang melimpah.
- Śveta: Gunung putih, dikenal sebagai tempat kediaman dewa tertentu.
- Śṛṅgavān: Gunung bertanduk, sering dikaitkan dengan pegunungan utara yang jauh.
Setiap wilayah (Varsha) yang dipisahkan oleh pegunungan ini memiliki karakteristik demografi dan spiritualnya sendiri. Misalnya, di Uttarakuru, di sebelah utara Meru, para penghuni konon hidup tanpa kesulitan dan menikmati kebahagiaan sempurna, tidak memerlukan kerja keras atau kepemilikan pribadi—sebuah utopia kosmik.
Lapisan-lapisan dvipa (benua) ini mencerminkan jarak spiritual dari pusat. Semakin jauh dvipa dari Meru (Jambudvipa), semakin abstrak dan kurang padat populasinya. Jambudvipa, yang paling dekat dan paling sentral, adalah satu-satunya tempat di mana pertarungan spiritual (karma) intensif terjadi, menjadikannya kunci untuk pelepasan.
Patala Loka: Tujuh Dunia Bawah
Di bawah Meru terdapat tujuh tingkat Patala, dunia bawah yang bertingkat-tingkat. Deskripsi ini menambah kedalaman vertikal Meru, yang menghubungkan Tiga Loka. Tingkat-tingkat Patala, yang masing-masing dinamai (Atala, Vitala, Sutala, Talatala, Mahatala, Rasatala, dan Patala), dihuni oleh berbagai makhluk, termasuk Asura, Naga, dan Daitya. Patala bukanlah neraka dalam arti Kristen; melainkan alam bawah tanah yang seringkali digambarkan mewah, dengan permata dan kekayaan.
Pada tingkat terendah, Patala, diperkirakan terdapat Vasuki (Raja Naga) dan Shesha (ular kosmik yang menopang alam semesta). Shesha, dalam wujud Ananta, menjadi fondasi bagi Meru itu sendiri. Jadi, Meru adalah pilar yang berdiri di atas pilar lain, menegaskan struktur yang sangat berlapis dan saling bergantung.
VII. Struktur Mendalam Sumeru dalam Abhidharma Buddha
Kosmologi Buddha, khususnya yang diuraikan dalam teks-teks Abhidharma, menyajikan deskripsi Sumeru yang sangat matematis dan rinci. Dimensi Sumeru diukur dalam yojana (sekitar 7 km), dengan 80.000 yojana tingginya (setengahnya terendam di lautan, setengahnya di atas air). Di sekitar Sumeru terdapat samudra luas yang disebut Sīta (dingin).
Empat Benua dan Ras Manusia
Empat benua yang mengelilingi Sumeru dalam Cakravāla Buddha menggambarkan diversitas kondisi manusia dan waktu hidup mereka. Keempat benua ini menunjukkan pandangan dunia yang meyakini keberadaan jenis manusia atau makhluk yang berbeda di luar dunia yang kita kenal:
- Jambudvipa (Selatan): Bentuknya segitiga atau trapesium. Tempat di mana Buddha muncul dan tempat hidup rata-rata manusia singkat, yang memungkinkan urgensi spiritual.
- Purvavideha (Timur): Bentuknya setengah lingkaran. Penghuninya hidup lebih lama dan memiliki kondisi yang lebih baik, mengurangi kebutuhan mendesak akan Dharma.
- Aparagodānīya (Barat): Bentuknya lingkaran. Penduduknya memiliki umur panjang dan kehidupan yang cukup nyaman.
- Uttarakuru (Utara): Bentuknya persegi. Sebuah negeri utopia di mana penduduk hidup dalam kemewahan dan umur sangat panjang. Mereka tidak perlu bekerja atau memiliki kepemilikan pribadi.
Meru memancarkan cahaya yang berbeda ke empat benua ini, sesuai dengan warna batu permata di sisi gunung tersebut, yang mempengaruhi warna kulit para penghuni benua. Misalnya, sinar yang jatuh ke Jambudvipa sering kali digambarkan memengaruhi warna manusia di sana.
Alam-Alam Rūpadhātu dan Arūpadhātu
Di atas Surga Kāmadhātu yang terikat pada Meru, terdapat dua alam eksistensi yang lebih tinggi, yang merupakan Surga-Surga Brahma yang dicapai melalui meditasi mendalam (dhyāna). Meskipun tidak secara fisik berada di atas Meru, keberadaannya secara hierarkis didukung oleh poros kosmik yang diwakili oleh Sumeru:
- Rūpadhātu (Alam Rupa): Dihuni oleh para dewa Brahma yang telah melampaui keinginan seksual dan materi. Alam ini dibagi menjadi empat kelompok Dhyana, masing-masing dengan tingkat kehalusan dan meditasi yang berbeda.
- Arūpadhātu (Alam Tanpa Rupa): Alam tertinggi, di mana makhluk tidak memiliki bentuk fisik sama sekali, hanya kesadaran murni. Ini adalah pencapaian tertinggi sebelum Nirvana.
Sumeru adalah basis yang memisahkan dan menopang semua alam ini, menegaskan posisinya sebagai fondasi mutlak dari realitas yang dapat dipahami.
VIII. Peran Meru dalam Siklus Kosmik dan Waktu
Meru bukan hanya pusat spasial, tetapi juga pusat temporal. Dalam siklus Kalpa (eon kosmik), Meru seringkali menjadi satu-satunya entitas yang tetap utuh, atau yang pertama kali diciptakan kembali setelah kehancuran. Ini menekankan sifatnya yang abadi, di luar batasan siklus kelahiran dan kematian yang dialami oleh alam semesta lainnya.
Penciptaan dan Pemeliharaan
Dalam mitologi Hindu, Meru adalah titik awal penciptaan. Ia adalah sumbu tempat dewa-dewa mengikat diri mereka saat melakukan tugas kosmik yang besar. Sebagai contoh, dalam kisah Samudra Manthan (Pengadukan Lautan Susu), Gunung Mandara (nama lain Meru) digunakan sebagai pengaduk, melambangkan bagaimana energi pusat kosmik diperlukan untuk memproduksi esensi kehidupan (Amrita).
Proses pengadukan ini membutuhkan kekuatan sentripetal (Dewata) dan sentrifugal (Asura), yang berputar di sekitar poros Meru. Kejadian ini mencerminkan fungsi Meru: menjaga keseimbangan dinamis antara kekuatan yang berlawanan dalam alam semesta.
Meru dan Matahari/Bulan
Dalam kosmografi tradisional, pergerakan Matahari, Bulan, dan planet-planet (Graha) berpusat di sekitar Meru. Benda-benda langit ini mengelilingi Meru dengan cara yang teratur, menciptakan siang dan malam serta musim. Meru yang tinggi menghalangi cahaya pada waktu-waktu tertentu, yang menjelaskan pembagian waktu di berbagai dvipa.
Dalam beberapa deskripsi, bintang kutub (Polaris) diposisikan tepat di atas puncak Meru, menghubungkannya secara langsung dengan pusat rotasi langit. Ini menegaskan bahwa Meru adalah pusat rotasi universal, baik bagi alam fana maupun alam abadi.
IX. Meru: Refleksi Budaya dan Kontemporer
Meskipun Meru adalah konsep mitologis, pengaruhnya terasa hingga kini, tidak hanya dalam ritual keagamaan tetapi juga dalam penamaan geografis dan budaya. Beberapa pegunungan di dunia nyata, seperti Gunung Meru di Tanzania, meskipun tidak memiliki hubungan mitologis langsung, seringkali mengambil namanya dari konsep suci ini, mencerminkan dorongan universal untuk menemukan "pusat dunia".
Integrasi ke dalam Ritual
Dalam ritual Hindu dan Buddha, miniatur Meru (seringkali berupa Yantra atau Mandala) dibuat untuk tujuan meditasi atau persembahan. Mandala Tibet, misalnya, seringkali berupa representasi visual yang sangat detail dari Sumeru dan empat benua di sekitarnya. Dengan mempersembahkan mandala, praktisi secara simbolis menawarkan seluruh alam semesta kepada gurunya atau kepada Buddha, sebuah tindakan yang mengumpulkan jasa spiritual yang tak terukur.
Penggunaan simbol Meru dalam yantra dan mandala menunjukkan bahwa konsep pusat kosmik ini telah diinternalisasi sebagai alat praktis untuk pencapaian spiritual, melampaui peran naratifnya dalam Purana.
Konsep Meru dan Modernitas
Dalam pandangan ilmiah modern, kosmologi Meru tentu saja merupakan konstruksi mitologis. Namun, sebagai model pemikiran, Meru menawarkan kerangka kerja yang kuat untuk memahami bagaimana masyarakat kuno memahami ruang, waktu, dan hierarki spiritual. Ini adalah upaya manusia untuk memberikan tatanan (kosmos) pada kekacauan (khaos) eksistensi.
Kekuatan abadi Meru terletak pada kemampuannya untuk beradaptasi melintasi berbagai tradisi agama sambil tetap mempertahankan peran utamanya sebagai poros spiritual. Baik sebagai Gunung Emas Su-meru yang menopang Surga Indra, atau sebagai Mandara Parvat yang menjadi lokasi penobatan Tirthankara, Meru tetap menjadi simbol universal dari keabadian, stabilitas, dan jalur menuju pembebasan.
X. Analisis Perbandingan dan Kesinambungan Kosmologi
Meskipun terdapat perbedaan nomenklatur dan penekanan—misalnya, Hindu lebih fokus pada tiga dewa utama di puncak, sementara Buddha lebih fokus pada surga Kāmadhātu dan Rūpadhātu—kerangka dasar Meru menunjukkan kesinambungan budaya yang luar biasa di Asia Selatan dan Tenggara selama ribuan tahun. Semua tradisi sepakat bahwa pusat adalah tempat yang suci, tempat yang memisahkan realitas dari kekosongan.
Perspektif Hindu vs. Buddha
Dalam Hindu, Meru sering dikaitkan dengan kediaman Brahma (Brahma Loka), atau dihubungkan erat dengan Gunung Kailash (kediaman Siwa). Ini menempatkan Meru dalam konteks teisme yang kaya dengan narasi dewa-dewi yang aktif. Sebaliknya, dalam Buddhisme, Sumeru lebih merupakan entitas struktural yang mendukung hierarki makhluk, dari yang paling rendah hingga Brahma yang telah mencapai dhyana, tetapi bukan kediaman akhir dari entitas mutlak (Nirvana).
Namun, kedua tradisi menggunakan struktur empat benua dan sistem surga bertingkat yang sangat mirip. Perbedaan yang paling mencolok terletak pada penggunaan makhluk penghuni dan penekanan pada siklus hidup dan karma. Bagi Hindu, Meru adalah titik gravitasi spiritual; bagi Buddha, Meru adalah kerangka kerja di mana roda samsara berputar.
Meru sebagai Refleksi Kesempurnaan
Dalam semua konteks, Meru berfungsi sebagai model kesempurnaan. Tingkat-tingkatnya yang simetris, bahan konstruksinya yang berharga (emas, permata), dan posisinya yang tak tergoyahkan melambangkan tatanan ideal yang harus dicapai oleh seorang spiritualis. Mendaki Meru adalah metafora untuk mencapai kemurnian dan pemahaman yang lebih tinggi, sebuah perjalanan dari ketidaktahuan menuju pencerahan.
Keagungan Meru, yang digambarkan melampaui ketinggian yang dapat dibayangkan, memaksa pemikiran manusia untuk melampaui batas-batas material, mendorong meditasi pada skala kosmik yang luas dan tak terbatas. Ini adalah warisan abadi dari konsep Meru yang terus membentuk pandangan dunia hingga saat ini.
Setiap detail mitologis, dari samudra garam hingga surga yang melayang, berfungsi untuk menegaskan bahwa alam semesta adalah sebuah mahakarya desain yang rumit, terstruktur, dan berpusat pada satu poros suci yang agung: Meru.
Penjelasan yang panjang lebar mengenai semua lapisan ini, dari Patala hingga Arūpadhātu, menegaskan Meru sebagai model paling lengkap dan terperinci mengenai struktur kosmik yang pernah dihasilkan oleh peradaban Asia kuno. Ia adalah cetak biru yang menjelaskan segalanya, dari bagaimana matahari bergerak hingga di mana jiwa yang terbebaskan tinggal, menjadikannya pilar utama yang tak tergantikan dalam pemahaman metafisik.
Lapisan-lapisan surga yang terus menerus dan pegunungan emas yang tak terhitung jumlahnya yang menopangnya, masing-masing dengan jarak yojana yang spesifik dan fauna serta flora yang berbeda, menciptakan gambaran dunia yang jauh lebih kaya dan terstruktur daripada sekadar gunung. Ini adalah arsitektur ilahi yang menjadi acuan bagi semua bentuk kehidupan dan ritual.
Di setiap tradisi, Meru mengingatkan bahwa di tengah kekacauan, selalu ada pusat yang suci dan stabil, tempat di mana manusia dapat mencari perlindungan dan koneksi dengan yang Ilahi. Simbolisme ini abadi dan terus berlanjut melalui ritual, seni, dan struktur keagamaan di seluruh Asia.
Perluasan konstan atas konsep Meru, mulai dari detail tentang jenis-jenis pohon Kalpavriksha (pohon harapan) yang tumbuh di lerengnya, hingga deskripsi rinci tentang kolam-kolam suci tempat air mengalir ke sungai-sungai kosmik yang kemudian turun ke empat benua, menunjukkan betapa sentralnya konsep ini bagi pemetaan realitas. Sungai kosmik (seperti Gangga, dalam beberapa versi) diyakini berasal dari puncak Meru, mengalir melalui lapisan-lapisan surga sebelum mencapai bumi, yang kemudian menyucikan Jambudvipa.
Keterangan tentang Istana Indra di puncak, yang dikenal sebagai Vaijayanta, dengan gerbang permata dan taman Nandana yang legendaris, memerlukan paragraf yang panjang dan berulang dalam teks-teks Purana. Istana ini bukan hanya tempat tinggal, tetapi juga aula di mana pengadilan para dewa diadakan, memastikan keadilan kosmik ditegakkan. Penggambaran istana yang memancarkan cahaya ke seluruh alam semesta menegaskan Meru sebagai sumber penerangan dan kebijaksanaan. Ini adalah pusat tata pemerintahan kosmik, sama seperti pusat geografis dan spiritual.
Setiap siklus waktu (Yuga atau Kalpa) menyaksikan degradasi moral dan fisik di Jambudvipa, tetapi Meru, sebagai pusatnya, tetap abadi dan tidak terpengaruh oleh kebobrokan. Kualitas ini memberikan harapan: meskipun dunia fana mengalami penurunan, inti suci kosmos tetap murni. Hal ini mendorong umat beragama untuk mencari kekekalan di luar ketidakstabilan material.
Dari detail yang berulang tentang samudra yang terbuat dari dadih hingga samudra yang terbuat dari madu, dan lapisan tanah yang berbeda (tanah liat, perak, emas) yang membentuk kaki gunung, Meru adalah studi geografi metafisik yang tak tertandingi. Seluruh struktur ini adalah mekanisme yang sangat besar, dirancang oleh kekuatan kosmik untuk menahan waktu dan menyediakan tempat bagi setiap jenis makhluk hidup di seluruh hierarki eksistensi.
Penekanan pada empat benua di Buddhisme, misalnya, juga berulang-ulang, masing-masing benua dengan umur rata-rata penghuninya yang berbeda secara drastis (dari puluhan tahun di Jambudvipa hingga ribuan tahun di Uttarakuru). Ini menunjukkan bahwa Sumeru tidak hanya membagi ruang, tetapi juga mengatur parameter waktu dan karma di seluruh Cakravāla. Meru adalah penentu takdir dan keberuntungan bagi semua makhluk.
Dengan memvisualisasikan Meru, para spiritualis kuno menciptakan semesta yang teratur dan bermakna, di mana penderitaan diimbangi oleh surga, dan keberadaan fana dijangkarkan oleh Axis Mundi yang abadi.