I. Definisi dan Konteks Awal Merok
Aktivitas ‘merok’, atau tindakan menghirup dan mengeluarkan asap, telah menjadi bagian tak terpisahkan dari narasi peradaban manusia selama ribuan tahun. Meskipun dalam konteks modern istilah ini seringkali merujuk secara spesifik pada konsumsi produk tembakau olahan, akar dari praktik ini jauh lebih tua dan multidimensi. Merok pada mulanya adalah sebuah ritual, jembatan antara dunia fisik dan spiritual, sebelum akhirnya bertransformasi menjadi komoditas ekonomi global yang sangat masif dan memicu perdebatan kesehatan publik yang tiada akhir. Perjalanan tembakau, rempah-rempah, dan berbagai material lain yang menghasilkan asap dari hutan belantara Amerika hingga pabrik-pabrik industrial di Asia merupakan kisah epik yang melibatkan penaklukan, perdagangan budak, inovasi teknologi, dan perubahan sosial yang mendasar. Memahami ‘merok’ bukan sekadar mengamati tindakan individu, tetapi menggali lapisan-lapisan sejarah, ekonomi, dan antropologi yang membentuknya.
1.1. Asal Muasal Terminologi dan Praktik Purba
Secara etimologis, dalam konteks bahasa Indonesia, ‘merok’ merupakan kata turunan yang sangat erat kaitannya dengan ‘rokok’, yang berarti gulungan tembakau. Namun, jauh sebelum tembakau dikenal di Nusantara, penggunaan asap dalam upacara telah berlangsung. Masyarakat kuno menggunakan dupa, kemenyan, atau daun-daunan tertentu yang dibakar untuk tujuan pengobatan, pembersihan energi negatif, atau persembahan kepada dewa-dewa. Misalnya, di lembah Amazon, suku-suku pribumi telah lama menghisap asap dari daun *Nicotiana tabacum* atau tanaman psikoaktif lainnya melalui pipa-pipa khusus sebagai bagian dari ritual penyembuhan atau ramalan. Praktik ini menunjukkan bahwa interaksi manusia dengan asap bukanlah penemuan Eropa, melainkan tradisi lintas budaya yang berkembang secara independen di berbagai benua. Asap dianggap sebagai medium yang membawa doa ke langit, atau sebagai pelindung yang menjauhkan roh jahat.
Kedatangan tembakau di Eropa pasca-ekspedisi Columbus mengubah lanskap praktik merok secara drastis. Dari tanaman eksotis yang digunakan dalam ritual shamanistik, tembakau dengan cepat bertransformasi menjadi obat ajaib yang diklaim dapat menyembuhkan berbagai penyakit, dari sakit kepala hingga wabah. Sosok seperti Jean Nicot, duta besar Prancis di Lisbon, berperan besar dalam mempopulerkan tembakau di kalangan bangsawan Eropa, yang kemudian melahirkan nama ilmiah spesies tersebut, *Nicotiana*. Dalam waktu kurang dari satu abad, praktik menghisap asap tembakau telah menyebar dari istana ke barak militer, dan dari pelabuhan ke pedalaman, mengubah kebiasaan sosial dan menciptakan permintaan global yang belum pernah terjadi sebelumnya.
1.2. Klasifikasi Bentuk Merok Kontemporer
Dalam era modern, praktik merok dapat diklasifikasikan berdasarkan metode penghantaran zat ke dalam tubuh. Bentuk tradisional yang paling dominan adalah pembakaran material organik (seperti rokok, cerutu, atau pipa), yang menghasilkan asap mengandung ribuan zat kimia, termasuk nikotin, tar, dan karbon monoksida. Namun, inovasi teknologi telah memperkenalkan bentuk-bentuk baru yang bertujuan mengurangi dampak pembakaran.
- Pembakaran Konvensional (Combustion): Meliputi rokok filter, kretek, cerutu, dan tembakau pipa. Ini adalah metode yang paling banyak dikonsumsi dan paling erat kaitannya dengan risiko kesehatan serius.
- Pemanasan (Heating): Dikenal sebagai produk tembakau yang dipanaskan (Heated Tobacco Products/HTP). Material tembakau dipanaskan hingga suhu tinggi (sekitar 350°C) tanpa mencapai titik pembakaran. Ini menghasilkan aerosol atau uap, bukan asap, yang diklaim mengandung zat berbahaya dalam jumlah yang lebih rendah dibandingkan pembakaran.
- Vaporisasi (Vaping/E-Cigarettes): Melibatkan pemanasan cairan (e-liquid) yang mengandung propilen glikol, gliserin nabati, perisa, dan nikotin. Metode ini tidak menggunakan tembakau sama sekali, melainkan mengubah cairan menjadi uap yang kemudian dihirup.
Perkembangan ini menunjukkan bahwa praktik merok terus berevolusi, didorong oleh kebutuhan pasar, regulasi pemerintah, dan upaya mitigasi risiko kesehatan. Namun, terlepas dari metode penghantarannya, inti dari praktik ini adalah penyerapan nikotin, suatu alkaloid yang bertindak sebagai stimulan sekaligus relaksan, menciptakan pola ketergantungan yang kuat di tingkat neurologis.
II. Ekspansi Global Tembakau dan Pembentukan Pasar Dunia
Kisah merok adalah kisah tentang globalisasi komoditas. Dari tanaman endemik yang terbatas, tembakau menjadi komoditas pertama yang benar-benar diperdagangkan secara massal di seluruh penjuru dunia, jauh sebelum teh atau kopi mencapai dominasi serupa. Ekspansi ini tidak terjadi secara damai, melainkan didorong oleh kolonialisme, eksploitasi lahan, dan pembangunan infrastruktur perdagangan maritim yang revolusioner. Monopoli tembakau menjadi sumber pendapatan utama bagi banyak kerajaan Eropa, membiayai perang, pembangunan angkatan laut, dan urbanisasi.
2.1. Dari Ritual Amerika ke Komoditas Eropa
Ketika Christopher Columbus tiba di Dunia Baru, ia mencatat bahwa penduduk asli Kuba mempersembahkan daun kering yang mereka bakar dan hirup asapnya. Catatan awal ini menjadi penanda dimulainya transfer tembakau ke dunia lama. Para pelaut dan penjelajah Eropa awalnya membawa tembakau sebagai barang baru dan eksotis. Sir Walter Raleigh di Inggris dan Jean Nicot di Prancis segera menyadari nilai potensial tembakau, baik sebagai obat maupun sebagai tanaman komersial. Pada abad ke-17, permintaan tembakau di Eropa melonjak tajam, menciptakan kebutuhan akan lahan pertanian yang luas dan tenaga kerja yang murah di koloni-koloni Amerika Utara dan Karibia.
Virginia, khususnya, menjadi pusat produksi tembakau di bawah kepemimpinan John Rolfe, yang berhasil mengembangkan varietas tembakau yang lebih manis dan lebih dapat diterima oleh selera Eropa. Keberhasilan ini secara langsung memicu sistem perkebunan berbasis perbudakan Afrika, yang menjadi tulang punggung ekonomi kolonial di wilayah Selatan Amerika selama dua abad. Perdagangan tembakau bukan hanya pertukaran barang, tetapi juga transfer teknologi pertanian, modal, dan tenaga kerja yang kejam, yang membentuk dasar-dasar kapitalisme global awal.
2.2. Revolusi Industri dan Rokok Gulungan
Selama berabad-abad, praktik merok didominasi oleh tembakau pipa, kunyah, atau cerutu. Rokok (cigarette) adalah bentuk konsumsi yang relatif baru. Awalnya, rokok dibuat secara manual dan dianggap sebagai barang murahan atau konsumsi kelas bawah. Titik balik terjadi pada paruh kedua abad ke-19, didorong oleh dua faktor utama: Perang Krimea dan penemuan mesin pembuat rokok.
Pada masa Perang Krimea (1853–1856), tentara Inggris yang bertempur di Turki mengadopsi kebiasaan mengonsumsi tembakau yang digulung dalam kertas. Praktik ini lebih cepat dan mudah dibandingkan mengisi pipa, menjadikannya ideal di medan perang. Setelah perang, popularitas rokok meledak. Namun, permintaan yang masif ini tidak dapat dipenuhi oleh gulungan tangan. James Buchanan Duke, seorang pengusaha dari North Carolina, berinvestasi besar-besaran pada mesin pembuat rokok otomatis yang diciptakan oleh James Bonsack pada tahun 1881.
Mesin Bonsack dapat menghasilkan 120.000 rokok per hari, jauh melampaui kemampuan pekerja manual. Inovasi ini menyebabkan harga rokok anjlok drastis dan memungkinkan produksi massal. Duke mendirikan American Tobacco Company, yang segera memonopoli pasar global melalui strategi pemasaran agresif, termasuk penggunaan kartu bergambar yang disisipkan dalam kemasan, yang merupakan salah satu bentuk iklan massal pertama di dunia. Globalisasi rokok yang cepat ini mengubah praktik merok dari ritual menjadi kebiasaan sehari-hari yang terjangkau bagi hampir semua lapisan masyarakat, menandai dimulainya era konsumsi tembakau modern.
2.3. Perang Dunia dan Pemasaran Modern
Perang Dunia I dan II menjadi katalisator bagi konsumsi rokok. Rokok didistribusikan secara gratis sebagai bagian dari ransum tentara (K-rations), dianggap sebagai penambah moral, pereda stres, dan simbol persahabatan antar prajurit. Pemerintah dan militer secara tidak langsung mempromosikan rokok, menanamkan kebiasaan merok pada jutaan pria muda. Setelah perang berakhir, para veteran membawa kebiasaan merok ini kembali ke kehidupan sipil, memperkuat citra rokok sebagai simbol kedewasaan, maskulinitas, dan keberanian.
Pada pertengahan abad ke-20, industri tembakau menggunakan media massa baru—radio dan televisi—untuk menciptakan citra glamor dan aspiratif. Iklan menampilkan dokter (sebelum adanya bukti ilmiah yang kuat tentang bahaya merok), atlet, dan aktor Hollywood yang merok. Kampanye pemasaran yang canggih ini berhasil menargetkan perempuan, menghubungkan merok dengan kebebasan, kemandirian, dan gaya hidup modern, sehingga memperluas pangsa pasar ke tingkat yang belum pernah terjadi. Selama periode ini, industri tembakau mencapai puncak kejayaannya dalam hal profitabilitas dan pengaruh politik.
III. Merok di Tanah Khatulistiwa: Sejarah Kretek dan Tradisi Tembakau
Di Nusantara, praktik merok mengambil jalur sejarah yang unik dan khas, terpisah dari narasi tembakau murni Barat. Tembakau tiba melalui jalur perdagangan Asia, diperkenalkan oleh pedagang Portugis atau Spanyol pada awal abad ke-17. Namun, alih-alih hanya mengadopsi cara Barat, masyarakat lokal mulai menggabungkannya dengan rempah-rempah asli, terutama cengkeh. Hasil dari sinkretisme budaya dan pertanian inilah yang melahirkan kretek, sebuah identitas kultural dan ekonomi yang tak tertandingi di dunia.
3.1. Asal Mula Kretek: Tembakau yang Berbunyi
Kretek—nama yang diambil dari bunyi ‘kretek-kretek’ yang dihasilkan saat dibakar karena letupan minyak cengkeh—pertama kali muncul di Kudus, Jawa Tengah, pada akhir abad ke-19. Kisah yang paling umum diterima mengaitkan penemuan kretek dengan Haji Jamhari, seorang penduduk Kudus. Jamhari konon mencari cara untuk meredakan penyakit dada atau asma yang dideritanya. Ia mencoba mencampurkan cengkeh yang dihancurkan dengan getah pohon ke dalam tembakau, lalu membungkusnya dengan daun jagung kering (klobot) untuk dihisap. Ia merasakan adanya kelegaan.
Awalnya, kretek hanya dijual sebagai obat di apotek lokal. Namun, ketika khasiatnya dan rasa uniknya mulai tersebar, permintaan melonjak. Kretek klobot menjadi barang dagangan yang signifikan, dijual di pasar-pasar tradisional di Jawa. Formula kretek menggabungkan tembakau lokal (seringkali dicampur dari berbagai varietas yang berbeda untuk mendapatkan rasa yang konsisten) dengan campuran saus (sauce) yang kompleks, yang berisi lebih dari 100 bahan, termasuk cengkeh, kayu manis, pala, dan bahan rahasia lainnya. Saus inilah yang memberikan kekhasan rasa dan aroma kretek Indonesia.
3.2. Industrialisasi Kretek: Dari Klobot ke Pabrik Modern
Pemain kunci dalam industrialisasi kretek adalah Nitisemito (1875–1953), yang mendirikan Bal Tiga, salah satu merek kretek paling awal dan paling sukses. Nitisemito adalah pionir dalam pemasaran dan branding. Ia menggunakan kemasan berwarna-warni, memasang papan reklame besar, dan bahkan membagi-bagikan hadiah kecil (seperti sapu tangan atau kain) di dalam bungkus rokok, sebuah strategi pemasaran yang jauh di depan masanya. Nitisemito berhasil mengubah kretek dari produk lokal menjadi industri yang terorganisir.
Industrialisasi ini juga melibatkan transisi dari rokok klobot (gulungan dengan daun jagung) ke kretek sigaret tangan (SKT) yang digulung dengan kertas. Proses gulungan tangan ini sangat padat karya, mempekerjakan jutaan perempuan di Jawa, menjadikannya salah satu sektor ketenagakerjaan terbesar di Indonesia. Industri kretek tidak hanya menumbuhkan konglomerat besar, tetapi juga menciptakan ekosistem ekonomi yang kompleks, mulai dari petani cengkeh dan tembakau, penyedia bahan baku, hingga buruh linting. Status kretek sebagai produk nasional telah memberikan perlindungan dan dukungan politik yang signifikan terhadap industri ini, bahkan ketika regulasi kesehatan global semakin ketat.
3.3. Tradisi Merok Non-Tembakau di Indonesia
Meskipun kretek mendominasi, praktik merok atau penggunaan asap dalam konteks ritual di Indonesia jauh melampaui tembakau. Di Bali, asap dupa atau kemenyan adalah inti dari hampir setiap upacara keagamaan, berfungsi sebagai pemurnian dan persembahan. Di beberapa suku di Sumatera dan Kalimantan, praktik menginang (mengunyah sirih, pinang, dan kapur) seringkali diikuti dengan konsumsi tembakau kunyah atau rokok tradisional yang digulung dengan daun nipah, menunjukkan integrasi tembakau ke dalam kebiasaan sosial yang lebih luas.
Penggunaan pipa tradisional juga lazim, terutama di kalangan masyarakat pedesaan atau suku-suku pedalaman. Pipa-pipa ini seringkali diukir secara rumit, terbuat dari kayu atau bambu, dan menjadi simbol status atau penanda identitas kesukuan. Konten yang dihisap tidak selalu tembakau murni; terkadang dicampur dengan klembak menyan, akar-akaran, atau bahan herbal lainnya, yang menunjukkan upaya terus-menerus untuk memodifikasi rasa dan efek dari pengalaman merok. Tradisi ini menyoroti bahwa merok di Nusantara bukanlah sekadar adopsi gaya hidup Barat, melainkan adaptasi yang mendalam dan bermakna secara kultural.
3.4. Kontroversi Internasional Kretek
Pada awal abad ke-21, kretek menghadapi tantangan signifikan di pasar global. Amerika Serikat melarang rokok beraroma (kecuali mentol) di bawah Family Smoking Prevention and Tobacco Control Act tahun 2009. Meskipun larangan ini utamanya ditujukan untuk rokok beraroma yang populer di kalangan remaja, kretek secara spesifik dimasukkan dalam daftar larangan. Keputusan ini memicu protes keras dari Indonesia, yang berargumen bahwa kretek adalah produk tradisional dan unik yang berbeda dari rokok beraroma buatan.
Indonesia membawa kasus ini ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), menuduh AS melakukan diskriminasi karena rokok mentol (yang juga beraroma) diizinkan, sementara kretek dilarang. Keputusan WTO pada tahun 2012 memenangkan Indonesia, meskipun dengan nuansa yang kompleks. Kontroversi ini menggarisbawahi bagaimana praktik merok lokal dapat berhadapan dengan regulasi kesehatan global yang seringkali tidak peka terhadap nuansa budaya dan ekonomi di negara-negara produsen. Bagi Indonesia, mempertahankan kretek bukan hanya masalah ekonomi, tetapi juga pelestarian warisan budaya.
IV. Revolusi Penghantaran Nikotin: Dari Pipa Tembaga ke Vaporizer Elektrik
Praktik merok tidak berhenti pada tembakau yang dibakar. Dalam dua dekade terakhir, industri telah mengalami disrupsi besar-besaran dengan munculnya teknologi yang menawarkan cara alternatif untuk mengonsumsi nikotin. Inovasi ini, terutama rokok elektrik (vaping) dan produk tembakau yang dipanaskan (HTP), telah menciptakan kategori baru dalam pasar merok dan memicu perdebatan sengit tentang regulasi, risiko kesehatan, dan potensi mereka sebagai alat pengurangan bahaya (harm reduction).
4.1. Kemunculan Rokok Elektrik (Vaping)
Rokok elektrik pertama kali dipatenkan dalam bentuk modern oleh Hon Lik, seorang apoteker asal Tiongkok, pada tahun 2003. Lik mencari alternatif setelah ayahnya meninggal karena kanker paru-paru. Idenya adalah mengganti asap hasil pembakaran dengan uap yang dihasilkan dari pemanasan cairan. Rokok elektrik beroperasi dengan baterai yang memanaskan elemen pemanas (koil) yang menguapkan e-liquid.
Vaping dengan cepat berkembang menjadi fenomena global. Generasi pertama adalah perangkat kecil yang menyerupai rokok konvensional (cig-a-likes). Ini kemudian berevolusi menjadi sistem pod yang ringkas dan mudah digunakan, hingga perangkat modifikasi berdaya tinggi (box mods) yang memungkinkan pengguna menyesuaikan keluaran uap dan rasa. Lonjakan popularitas vaping didorong oleh ketersediaan perisa yang beragam (mulai dari buah-buahan, makanan penutup, hingga permen) dan klaim bahwa vaping jauh lebih aman daripada rokok tradisional karena menghilangkan proses pembakaran yang menghasilkan tar dan karbon monoksida.
Namun, ledakan vaping juga membawa tantangan, terutama terkait dengan penggunaan di kalangan remaja. Perisa yang menarik dan pemasaran yang gencar membuat produk ini mudah diakses oleh populasi yang sebelumnya tidak pernah merok. Hal ini memaksa regulator di seluruh dunia untuk meninjau kembali kebijakan mereka, mencoba menyeimbangkan antara potensi manfaat harm reduction bagi perokok dewasa dan perlindungan kesehatan publik, terutama bagi non-perokok muda.
4.2. Produk Tembakau Dipanaskan (HTP)
HTP merupakan respons langsung industri tembakau besar terhadap tantangan vaping. Berbeda dari rokok elektrik yang menggunakan cairan, HTP menggunakan tembakau asli yang dipadatkan (stick atau heat-stick). Perangkat ini memanaskan tembakau hingga suhu di bawah titik pembakaran (sekitar 300–350°C), menghasilkan aerosol tembakau yang masih mempertahankan rasa khas tembakau tanpa menghasilkan asap.
Argumentasi di balik HTP adalah bahwa sebagian besar zat berbahaya dalam rokok konvensional berasal dari pembakaran. Dengan menghindari pembakaran, HTP dapat mengurangi eksposur terhadap zat beracun secara signifikan. Perusahaan-perusahaan besar menginvestasikan miliaran dolar dalam penelitian untuk membuktikan klaim ini, seringkali mengajukan permohonan kepada badan regulator seperti FDA (Food and Drug Administration) di AS untuk mendapatkan status produk tembakau modifikasi risiko (Modified Risk Tobacco Product/MRTP). Kehadiran HTP menunjukkan bahwa industri tembakau berusaha mempertahankan basis pengguna yang mencari pengalaman rasa tembakau yang otentik sambil mencari opsi yang dianggap "lebih bersih."
4.3. Komponen Kimia dan Peran Nikotin
Di balik berbagai bentuk merok, nikotin tetap menjadi benang merahnya. Nikotin adalah stimulan yang sangat adiktif, bertindak cepat di otak, menghasilkan pelepasan dopamin yang memberikan sensasi kenikmatan dan fokus. Penting untuk membedakan antara nikotin dan risiko yang ditimbulkan oleh praktik merok. Dalam rokok konvensional, ribuan zat berbahaya, seperti tar, benzena, dan formaldehida, dihasilkan dari pembakaran, dan zat-zat inilah yang menyebabkan penyakit serius.
Dalam HTP dan vaping, paparan terhadap zat-zat pembakaran ini sangat berkurang. Namun, ini tidak berarti bebas risiko. Vaping e-liquid menghasilkan zat kimia seperti aldehida (yang berasal dari pemanasan PG/VG) dan partikel halus yang masih dapat berdampak negatif pada paru-paru. Oleh karena itu, diskusi modern tentang merok telah bergeser dari sekadar larangan total menjadi perbandingan risiko relatif antar produk, mengakui bahwa adiksi nikotin adalah realitas, dan mencari cara paling aman untuk memuaskan adiksi tersebut bagi perokok yang tidak dapat berhenti.
V. Merok sebagai Kekuatan Ekonomi dan Kontroversi Sosial
Jejak praktik merok meluas jauh melampaui kesehatan individu; ia membentuk struktur ekonomi, kebijakan fiskal, dan bahkan hubungan diplomatik antarnegara. Industri tembakau adalah salah satu sektor yang paling menguntungkan di dunia, menghasilkan triliunan dolar dan mempekerjakan jutaan orang, mulai dari petani kecil di pedesaan hingga eksekutif perusahaan multinasional. Sifatnya yang adiktif memastikan permintaan yang stabil, menjadikannya sumber pendapatan pajak yang vital bagi banyak pemerintah.
5.1. Struktur Ekonomi dan Pajak Cukai
Pemerintah di seluruh dunia mengandalkan cukai (pajak atas barang kena cukai) tembakau sebagai sumber pendapatan yang signifikan. Di Indonesia, misalnya, cukai hasil tembakau (CHT) adalah salah satu penyumbang terbesar bagi kas negara, mencapai puluhan triliun rupiah setiap tahun. Kebijakan cukai menjadi alat kebijakan yang sensitif. Kenaikan cukai bertujuan ganda: meningkatkan pendapatan negara dan mengurangi konsumsi melalui kenaikan harga.
Namun, penetapan cukai yang terlalu tinggi dapat memicu masalah lain, yaitu perdagangan ilegal. Rokok ilegal yang diselundupkan atau dipalsukan dijual dengan harga jauh di bawah pasar, merugikan pendapatan negara dan menimbulkan risiko kesehatan yang tidak terkelola karena kualitas produk yang tidak diawasi. Pemerintah harus menyeimbangkan antara kebutuhan pendapatan fiskal yang stabil dan tujuan kesehatan publik untuk menekan konsumsi. Struktur cukai yang rumit di Indonesia, yang membedakan tarif berdasarkan jenis rokok (SKT, SKM, SPM) dan volume produksi, mencerminkan upaya untuk melindungi industri lokal padat karya (SKT) sambil memaksimalkan pendapatan dari segmen industrial (SKM/SPM).
5.2. Dampak pada Petani dan Rantai Pasok
Rantai pasok tembakau sangat terfragmentasi. Di satu sisi, ada perusahaan tembakau multinasional raksasa yang mengendalikan proses manufaktur, distribusi, dan pemasaran. Di sisi lain, ada jutaan petani kecil di negara-negara berkembang yang hidup dari budidaya tembakau. Bagi petani, tembakau seringkali merupakan tanaman tunai yang lebih menjanjikan dan tahan lama dibandingkan tanaman pangan lain, meskipun membutuhkan investasi tenaga kerja dan risiko cuaca yang tinggi.
Industri kretek di Indonesia secara khusus memiliki ketergantungan yang erat pada pertanian cengkeh dan tembakau domestik. Fluktuasi harga cengkeh, yang merupakan komoditas ekspor dan impor sekaligus, dapat sangat mempengaruhi stabilitas ekonomi petani. Transisi menuju produk merok baru, seperti vaping yang tidak menggunakan tembakau (kecuali nikotin murni yang sering diimpor), menimbulkan kekhawatiran serius bagi petani tembakau tradisional, yang masa depannya terancam oleh disrupsi teknologi. Konflik ini menyoroti dilema etika: bagaimana melindungi mata pencaharian petani tradisional sambil memenuhi mandat kesehatan publik.
5.3. Propaganda dan Perang Melawan Regulasi
Sejak pertengahan abad ke-20, ketika bukti ilmiah tentang korelasi antara merok dan kanker paru-paru mulai muncul, industri tembakau melancarkan kampanye propaganda dan lobi politik yang masif. Dokumen internal yang kemudian terungkap menunjukkan bahwa perusahaan tembakau menyadari bahaya produk mereka jauh sebelum mereka mengakuinya secara publik. Strategi mereka meliputi:
- Penanaman Keraguan (Doubt Engineering): Mendanai penelitian yang meragukan temuan independen atau mengalihkan perhatian ke penyebab lain.
- Lobi Politik Intensif: Mempengaruhi perumusan undang-undang, terutama terkait pajak dan peringatan kesehatan.
- Penciptaan Citra Positif: Melalui CSR (Corporate Social Responsibility), seperti donasi seni, olahraga, atau pendidikan, untuk membersihkan citra mereka yang tercemar.
Respons global terhadap masalah ini adalah adopsi Kerangka Kerja Konvensi Pengendalian Tembakau (FCTC) WHO, perjanjian internasional yang mengikat negara-negara anggotanya untuk menerapkan kebijakan pengendalian tembakau yang ketat, termasuk larangan iklan, peringatan bergambar besar, dan kenaikan pajak. FCTC menjadi medan perang utama antara kepentingan kesehatan publik global dan kekuatan ekonomi industri.
5.4. Merok dan Identitas Sosial
Selain faktor adiksi, praktik merok secara intrinsik terikat pada identitas sosial dan budaya. Merok sering kali berfungsi sebagai ritual transisi, penanda kedewasaan, atau lambang afiliasi kelompok. Di banyak komunitas, berbagi rokok atau duduk bersama untuk merok merupakan bentuk ikatan sosial atau cara memulai percakapan. Dalam konteban sastra, film, dan seni rupa, rokok sering digunakan sebagai properti untuk menyampaikan ketegangan, kecerdasan, atau kesedihan.
Namun, seiring dengan meningkatnya kesadaran kesehatan, stigma sosial terhadap perokok di negara maju telah meningkat. Area publik semakin dilarang merok, dan perokok sering kali terpinggirkan. Kontrasnya, di banyak negara berkembang, terutama di Asia Tenggara, merok masih diterima secara sosial dan bahkan dianggap normal di lingkungan keluarga dan sosial, mencerminkan jurang perbedaan budaya dan kecepatan adopsi kebijakan kesehatan publik. Fenomena merok kini berada pada persimpangan antara kebebasan individu, kewajiban kesehatan publik, dan tekanan norma sosial yang berubah.
VI. Masa Depan Praktik Merok dan Paradigma Pengurangan Bahaya
Lanskap merok terus berubah dengan cepat. Tekanan regulasi yang meningkat terhadap rokok konvensional dan inovasi dalam teknologi penghantaran nikotin telah memaksa industri, regulator, dan masyarakat untuk mempertimbangkan pendekatan yang sama sekali baru: pengurangan bahaya tembakau (Tobacco Harm Reduction/THR). THR berargumen bahwa karena sulit bagi sebagian besar perokok untuk sepenuhnya berhenti, menyediakan alternatif yang secara substansial mengurangi risiko penyakit adalah strategi yang pragmatis dan etis.
6.1. Harm Reduction dan Perdebatan Etika
Paradigma THR didasarkan pada premis bahwa manusia akan selalu mencari zat psikoaktif, termasuk nikotin. Jika kita tidak bisa menghentikan kebiasaan ini, kita harus meminimalkan kerugiannya. Pendukung THR, termasuk beberapa organisasi kesehatan, melihat vaping dan HTP sebagai 'jembatan keluar' dari kebiasaan merok konvensional. Data dari negara-negara seperti Inggris menunjukkan korelasi antara peningkatan penggunaan vaping dan penurunan tingkat merok tradisional.
Namun, THR menghadapi oposisi keras dari banyak kelompok kesehatan masyarakat global, yang berpegangan pada filosofi 'End Game'—yaitu, menghilangkan semua bentuk konsumsi nikotin. Kritik terhadap THR berpusat pada:
- Efek Gerbang (Gateway Effect): Kekhawatiran bahwa vaping menarik non-perokok, terutama remaja, untuk akhirnya beralih ke rokok konvensional.
- Dual Use: Banyak perokok yang tidak berhenti total, melainkan menggunakan rokok konvensional dan produk alternatif secara bersamaan, sehingga tidak memaksimalkan manfaat pengurangan risiko.
- Ketidakpastian Jangka Panjang: Karena produk-produk ini relatif baru, dampak kesehatan jangka panjangnya (20–30 tahun) masih belum diketahui secara pasti.
Perdebatan ini menuntut regulator untuk mengambil keputusan berbasis bukti, yang seringkali sulit dicapai di tengah pertarungan narasi yang intens antara industri, aktivis THR, dan kelompok anti-tembakau tradisional.
6.2. Tantangan Regulasi di Era Digital
Perkembangan produk merok baru, terutama rokok elektrik, terjadi bersamaan dengan revolusi media sosial. Pemasaran produk kini seringkali dilakukan melalui influencer, komunitas online, dan konten digital, yang sulit dikendalikan oleh regulasi periklanan tradisional (TV, radio). Regulator dihadapkan pada tugas yang kompleks: bagaimana mengatur penjualan dan pemasaran produk yang peralatannya dapat dimodifikasi oleh pengguna, dan cairannya dapat diproduksi oleh industri rumahan.
Di Indonesia, pemerintah telah mulai mengenakan cukai pada produk HTP dan cairan rokok elektrik, secara efektif mengakui dan melegitimasi kategori produk ini. Langkah ini menunjukkan pergeseran dari upaya larangan total menjadi strategi pengendalian dan perpajakan. Namun, standarisasi produk, terutama perisa dan tingkat nikotin, tetap menjadi tantangan utama untuk memastikan keamanan dan mencegah penyalahgunaan, terutama di kalangan non-perokok.
6.3. Transformasi Ritual dan Etika Personal
Jika praktik merok di masa lalu adalah ritual sosial dan simbol status yang jelas, di masa depan, kebiasaan ini mungkin akan menjadi lebih pribadi dan tersembunyi. Area merok semakin terbatas, dan teknologi memungkinkan penggunaan yang lebih diskret (seperti pod system yang minim asap/bau). Transformasi ini mencerminkan penerimaan masyarakat terhadap batasan yang lebih besar terhadap merok di ruang publik.
Merok telah menjadi cerminan dari kompleksitas manusia—antara keinginan akan kenikmatan instan, tekanan sosial, dan kebutuhan akan kesehatan jangka panjang. Sejak ditemukan di Amerika hingga menjadi komoditas global yang dipersengketakan, kisah merok adalah kisah tentang inovasi, adiksi, dan upaya berkelanjutan manusia untuk menyeimbangkan tradisi dengan tuntutan kehidupan modern. Evolusi ini tidak pernah berhenti, dan praktik menghirup asap atau uap akan terus membentuk budaya, ekonomi, dan kesehatan global untuk dekade-dekade mendatang. Keputusan yang diambil hari ini mengenai regulasi dan inovasi akan menentukan apakah merok di masa depan akan menjadi warisan buruk kesehatan publik atau sebuah contoh sukses dari pengurangan bahaya yang pragmatis.