Tradisi Penyucian, Keberkatan, dan Kekuatan Simbolis
Tradisi merenjis, sebuah kata yang secara harfiah berarti menaburkan atau memercikkan air atau bahan-bahan tertentu dalam jumlah yang sangat kecil, adalah salah satu ritual budaya paling mendalam dan berakar kuat di Nusantara, khususnya dalam lingkungan masyarakat Melayu. Ritual ini bukan sekadar tindakan fisik; ia adalah deklarasi simbolik, sebuah doa yang diwujudkan melalui sentuhan lembut air dan biji-bijian. Dalam konteks yang lebih luas, merenjis berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan dimensi spiritual dengan realitas fisik, memohon keberkatan, perlindungan, dan kesuburan dari Yang Maha Kuasa.
Inti dari ritual merenjis terletak pada konsep 'penyucian' dan 'pemberkatan'. Bahan-bahan yang digunakan, seperti air mawar, beras kunyit, dan bunga rampai, masing-masing membawa beban simbolis yang kaya, mencerminkan harapan komunitas terhadap individu yang dirayakan—biasanya pasangan pengantin. Merenjis adalah penanda transisi sosial yang penting, sebuah pembenaran publik terhadap status baru seseorang, terutama dalam upacara perkahwinan, yang menjadi fokus utama tradisi ini.
Walaupun praktik merenjis sering diasosiasikan secara eksklusif dengan adat Melayu, varian dari ritual taburan dan percikan ditemukan dalam berbagai budaya di Asia Tenggara. Ia menunjukkan adanya benang merah dalam pemahaman kosmologi masyarakat kuno mengenai kekuatan elemen alam—air sebagai pembersih kehidupan dan biji-bijian (seperti beras) sebagai simbol kemakmuran dan ketahanan. Dalam beberapa wilayah, ritual ini dikenal dengan istilah seperti menepung tawar, yang merujuk pada bahan utama yang digunakan, namun fungsinya tetap sama: melenyapkan kesialan dan menarik tuah baik.
Visualisasi tindakan merenjis, simbol restu dan keselamatan.
Untuk memahami kedalaman merenjis, kita harus menelusuri akarnya jauh ke belakang, melampaui era Islam. Sebagian besar ahli budaya berpendapat bahwa tradisi merenjis adalah warisan sinkretik yang mencakup unsur-unsur animisme kuno, pengaruh Hindu-Buddha yang dominan sebelum kedatangan Islam, dan kemudian adaptasi yang cerdas di bawah naungan nilai-nilai Islam.
Pada awalnya, masyarakat Nusantara sangat terikat pada alam, percaya bahwa setiap elemen—air, pohon, batu, dan terutama padi—memiliki semangat atau roh (yang sering disebut semangat atau hantu dalam konteks kuno). Merenjis adalah cara untuk menenangkan atau memberi makan roh-roh ini. Percikan air suci atau taburan beras (yang merupakan sumber kehidupan utama) adalah persembahan untuk memastikan bahwa energi positif alam berpihak pada individu atau peristiwa yang sedang berlangsung.
Fokus pada beras kunyit dalam merenjis sangat penting. Beras, atau padi, dianggap memiliki semangat tertinggi. Kunyit (kuning) adalah warna kemuliaan dan status. Dengan merenjiskan beras kunyit, komunitas secara simbolis menyuntikkan kekuatan vitalitas, kesuburan, dan kemuliaan ke dalam kehidupan pengantin. Air mawar, yang juga menjadi komponen utama, digunakan sebagai media pembersihan spiritual. Aroma mawar yang kuat dipercaya dapat mengusir roh jahat atau nasib buruk, memastikan lingkungan spiritual yang bersih untuk upacara.
Ketika kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha berkembang (seperti Sriwijaya dan Majapahit), banyak ritual yang berpusat pada cairan suci dan biji-bijian (seperti abhiseka atau penobatan suci) diintegrasikan. Dalam konteks India, air suci (tirtha) dan taburan biji-bijian sering digunakan untuk mengesahkan kekuasaan atau status spiritual. Tradisi ini kemudian diserap ke dalam upacara adat setempat. Prosesi merenjis yang melibatkan orang-orang tua atau kerabat yang dihormati mencerminkan hierarki dan validasi sosial yang kuat, mirip dengan penobatan raja-raja yang disucikan oleh pendeta.
Kedatangan Islam membawa perubahan pada narasi ritual ini, namun jarang menghapusnya sepenuhnya. Para ulama lokal sering menemukan cara untuk mengintegrasikan atau menafsirkan ulang ritual merenjis agar selaras dengan tauhid. Air mawar dan beras kunyit tetap dipertahankan, namun maknanya diperkuat dengan doa-doa Islami. Merenjis kemudian diartikan sebagai permohonan berkat (berkah) dari Allah SWT, dan sebagai pengingat bahwa rezeki dan kesucian berasal dari-Nya. Ini adalah contoh klasik dari sinkretisme budaya yang memungkinkan tradisi bertahan melintasi zaman tanpa kehilangan esensi spiritualnya, meskipun bingkai interpretasinya telah disesuaikan.
Ritual merenjis mencapai puncaknya dalam upacara persandingan (duduk bersanding), yang merupakan bagian integral dari majlis perkahwinan Melayu. Ritual ini bukan hanya hiasan semata; ia adalah klimaks sosial di mana pasangan pengantin secara resmi diakui dan diberkati oleh seluruh komunitas. Merenjis dalam pernikahan dikenal sebagai upacara tepuk tepung tawar atau merenjis air mawar.
Keberhasilan ritual merenjis sangat bergantung pada persiapan bahan-bahan yang cermat, yang dikenal sebagai Alatan Merenjis. Setiap item memiliki fungsi simbolis yang spesifik:
Ritual ini dilakukan saat pasangan pengantin duduk di pelaminan (takhta), yang melambangkan status mereka sebagai 'Raja Sehari'. Urutan dan pesertanya sangat terstruktur:
Dibalik keindahan visualnya, merenjis adalah bahasa non-verbal yang menyampaikan harapan filosofis yang kompleks. Pemahaman terhadap simbolisme ini adalah kunci untuk menghargai kekayaan tradisi Nusantara.
Air (Air Hidup) adalah elemen universal yang melambangkan kehidupan, kebersihan, dan pemurnian. Ketika air ini diinfusikan dengan esensi mawar, ia mengambil dimensi baru. Mawar, yang dikenal sebagai 'Ratu Bunga', melambangkan keindahan, cinta, dan keharuman budi. Merenjis dengan air mawar adalah doa agar rumah tangga yang baru dibina sentiasa 'sejuk' dan 'harum'. Sejuk di sini merujuk pada ketenangan emosional, jauh dari perselisihan, sementara harum merujuk pada reputasi baik dan budi pekerti luhur pasangan di mata masyarakat.
Ritual percikan air ini juga merupakan metafora untuk hujan yang membawa kehidupan. Dalam masyarakat agraris, hujan adalah anugerah terbesar. Dengan merenjis, komunitas berharap bahwa pasangan tersebut akan 'dihujani' dengan rezeki, kesehatan, dan kebahagiaan. Gerakan memercik yang dilakukan dengan sangat hati-hati dan lambat (bukan menyiram) menunjukkan kelembutan doa dan penghormatan terhadap kesucian momen tersebut.
Beras kunyit adalah jantung simbolis dari ritual taburan ini. Kunyit memberikan warna kuning emas yang secara tradisional dikaitkan dengan raja, martabat, dan kebesaran. Beras, sebagai makanan pokok, adalah simbol rezeki yang paling fundamental. Menaburkan beras kunyit berarti mendoakan agar kemakmuran pasangan tidak hanya cukup, tetapi juga mulia (berkualitas emas).
Selain itu, dalam kepercayaan tradisional, kunyit sering digunakan sebagai penolak bala (penangkal kesialan atau roh jahat). Oleh karena itu, taburan beras kunyit berfungsi ganda: sebagai panggilan untuk rezeki dan sebagai pelindung spiritual bagi pasangan yang baru memulai hidup bersama. Jumlah butir beras yang digunakan biasanya tidak banyak, menekankan bahwa kualitas doa dan niat lebih penting daripada kuantitas material.
Bunga rampai berfungsi sebagai elemen penutup dalam serangkaian perenjisan. Aroma wangi yang ditebarkan adalah metafora bagi kehidupan yang 'semerbak'. Tradisi ini mengajarkan bahwa sebuah perkahwinan yang sukses haruslah memberikan dampak positif, tidak hanya bagi pasangan itu sendiri, tetapi juga bagi lingkungan sosial mereka. Bau wangi melambangkan aura positif yang akan menyelimuti keluarga baru tersebut, menjauhkan bau busuk (fitnah atau penyakit sosial).
Penting untuk dicatat bahwa pemilihan jenis bunga dalam bunga rampai juga spesifik, sering kali dipilih bunga yang mekar perlahan dan bertahan lama, menyimbolkan cinta yang tumbuh stabil dan abadi, bukan cinta yang cepat layu.
Siapa yang melakukan merenjis dan bagaimana mereka melakukannya adalah aspek yang sama pentingnya dengan bahan-bahan yang digunakan. Prosesi ini adalah pentas sosial yang menegaskan struktur keluarga dan komunitas.
Tindakan merenjis selalu dimulai oleh individu yang memiliki status sosial dan spiritual tertinggi. Ini termasuk ibu bapa pengantin, datuk dan nenek, serta tetua adat yang dikenal memiliki 'tangan yang bersih' dan 'hati yang tulus'. Kewajiban mereka adalah mentransfer keberkatan yang telah mereka kumpulkan sepanjang hidup mereka kepada generasi muda.
Ketika seorang tetua merenjis, ia tidak hanya memercikkan air dan beras; ia juga secara implisit menyampaikan pesan moral dan harapan. Seringkali, tetua akan berbisik kepada pengantin, "Jaga rumah tangga baik-baik," atau "Semoga kalian diberkati," yang memperkuat fungsi ritual sebagai transmisi nilai-nilai generasi.
Urutan merenjis harus dijaga ketat. Pelanggaran urutan ini dapat dianggap sebagai penghinaan terhadap hierarki keluarga. Setelah orang tua inti, biasanya diikuti oleh paman dan bibi (yang melambangkan dukungan horisontal), dan kemudian kerabat yang lebih jauh. Kehadiran setiap individu saat merenjis adalah bentuk kesaksian publik: komunitas telah melihat, mengakui, dan merestui pasangan tersebut. Jika seseorang penting tidak merenjis, hal itu dapat menimbulkan pertanyaan sosial mengenai penerimaan pasangan tersebut.
Ada etika yang harus dipatuhi saat merenjis. Tindakan harus dilakukan dengan sopan, perlahan, dan penuh penghormatan. Tidak diperbolehkan merenjis secara berlebihan atau ceroboh, karena ini akan menghilangkan nuansa sakralnya. Tangan perenjis harus bersih, dan kontak fisik dengan pengantin haruslah minimal dan penuh adab. Dalam tradisi Melayu yang sangat menjaga batas antara pria dan wanita, perenjis dari jenis kelamin berbeda mungkin hanya memercikkan bahan ke pangkuan atau bahu, bukan langsung ke wajah atau tangan pengantin yang berlawanan jenis.
Meskipun konsep dasarnya sama—percikan dan taburan berkat—ritual merenjis mengambil bentuk, nama, dan bahan yang berbeda di berbagai wilayah Nusantara, mencerminkan akulturasi lokal yang unik.
Di Sumatera Barat, ritual ini dikenal sebagai manapuah tawa (menepuk tawar) atau hanya manjapuik tawa. Meskipun esensinya serupa, penekanannya sering kali lebih kuat pada penggunaan tepung tawar (campuran tepung beras). Tindakannya lebih menyerupai pengolesan ringan atau penepukan, bukan sekadar percikan, dan dilakukan pada dahi, telapak tangan, atau bahkan di telapak kaki pengantin. Tujuannya adalah untuk "menetralkan" segala pengaruh buruk yang mungkin melekat pada pasangan sebelum memulai kehidupan baru, memastikan bahwa jiwa dan raga mereka dalam keadaan 'tawar' (netral dan tenang).
Di Borneo, khususnya di kalangan masyarakat Melayu pesisir Serawak dan Brunei, merenjis sangat dihormati. Namun, variasi dapat ditemukan pada bahan pelengkap. Selain beras kunyit dan air mawar, seringkali ditambahkan kepingan emas atau perak kecil (walaupun ini lebih simbolis dan jarang di era modern) yang ditempatkan di dalam mangkuk perenjis, melambangkan kekayaan abadi. Dalam beberapa suku pedalaman yang telah mengadopsi ritual ini, bahan-bahan alam lokal seperti daun-daun tertentu yang dianggap bertuah mungkin menggantikan bunga rampai, menyesuaikan dengan flora setempat.
Walaupun masyarakat Jawa memiliki ritual Siraman (mandi kembang) yang mirip dalam fungsi penyucian, tradisi merenjis dalam artian taburan beras kunyit biasanya muncul dalam konteks Slametan atau upacara yang berkaitan dengan padi (Dewi Sri). Dalam perkahwinan Jawa, setelah Siraman, ada upacara Kacar-Kucur (pengantin pria menuang biji-bijian dan uang ke pangkuan pengantin wanita), yang berfungsi mirip dengan simbolisme kemakmuran dalam merenjis, meskipun mekanismenya berbeda.
Peralatan utama untuk merenjis: bekas air mawar, beras kunyit, dan bunga rampai.
Meskipun paling sering disaksikan dalam majlis perkahwinan, tradisi merenjis memiliki fungsi vital dalam berbagai konteks sosial dan spiritual lainnya, menegaskan sifatnya yang serba guna sebagai ritual pemberkatan.
Di masyarakat agraris, terutama yang masih memegang teguh tradisi kuno, merenjis dilakukan pada awal musim tanam atau saat panen raya. Tujuannya adalah untuk menghormati dan memanggil Semangat Padi (Dewi Sri atau sebutan lokal lainnya) agar memberikan hasil panen yang melimpah dan melindungi tanaman dari hama. Merenjis dilakukan dengan memercikkan air suci atau air sumur yang telah didoakan ke sekeliling sawah. Percikan ini adalah tanda syukur dan permohonan agar bumi tetap subur.
Saat seseorang pindah ke rumah baru atau menyelesaikan pembangunan rumah, sering diadakan upacara kecil yang melibatkan merenjis. Dalam konteks ini, merenjis berfungsi sebagai ritual pembersihan dan penyucian. Air mawar dan beras kunyit direnjiskan di setiap sudut rumah, terutama di ambang pintu dan dapur. Ini bertujuan untuk mengusir energi negatif atau roh jahat yang mungkin menghuni tempat tersebut, dan memohon agar penghuni baru diberkati dengan kedamaian, rezeki yang halal, dan keselamatan.
Dalam beberapa komunitas nelayan atau pengusaha, merenjis juga dilakukan pada benda-benda penting yang menjadi sumber penghidupan, seperti perahu baru, jala, atau kendaraan niaga. Tindakan ini merupakan permohonan agar alat-alat tersebut berfungsi dengan baik, tidak mendatangkan bahaya, dan membawa rezeki yang melimpah. Meskipun mungkin terlihat sebagai takhayul bagi pandangan modern, bagi praktisinya, ini adalah tindakan spiritual yang memberikan ketenangan hati dan keyakinan diri.
Selain fungsi spiritualnya, merenjis juga merupakan alat sosial yang ampuh. Ia menegaskan kembali ikatan kekeluargaan dan struktur sosial dalam masyarakat yang semakin terfragmentasi oleh modernisasi.
Dalam masyarakat Melayu tradisional, perkahwinan bukan sekadar penyatuan dua individu, tetapi penyatuan dua keluarga besar. Ritual merenjis adalah kesempatan di mana seluruh anggota komunitas, dari yang tertua hingga yang termuda, berkumpul untuk secara fisik berpartisipasi dalam pembentukan keluarga baru. Kehadiran dan partisipasi mereka mengirimkan pesan yang jelas: "Kami ada di sini untuk mendukung kalian." Solidaritas ini adalah fondasi pertahanan sosial pasangan baru.
Urutan merenjis yang kaku memberikan panggung kehormatan kepada tetua. Ini adalah salah satu dari sedikit ritual publik di mana otoritas dan wisdom orang tua diakui secara eksplisit. Merenjis berfungsi sebagai pengingat akan pentingnya nasihat dan pengalaman generasi terdahulu, yang wajib dihormati dan diikuti oleh generasi muda.
Bagi anak-anak yang menyaksikan ritual merenjis, proses ini adalah pelajaran budaya informal yang kuat. Mereka melihat pentingnya adab, urutan, simbolisme bahan, dan ekspresi kasih sayang non-verbal. Ini memastikan bahwa pemahaman tentang tradisi diturunkan secara turun-temurun, bahkan tanpa instruksi formal.
Di tengah gelombang modernisasi dan globalisasi, tradisi merenjis menghadapi tantangan dan sekaligus peluang adaptasi yang menarik. Bagaimana ritual kuno ini bertahan di kota-kota metropolitan yang serba cepat?
Salah satu tantangan terbesar adalah pandangan dari beberapa kelompok Islam yang lebih puritan yang melihat merenjis, terutama bagian yang melibatkan beras kunyit dan tepung tawar, sebagai bid’ah atau sisa-sisa praktik pra-Islam yang harus dihindari. Perdebatan teologis mengenai batas antara adat yang diizinkan (urf) dan praktik yang melanggar akidah seringkali menempatkan tradisi ini di bawah pengawasan ketat. Sebagai respons, banyak keluarga memilih untuk memoderasi atau menafsirkan ulang ritual tersebut, menekankan bahwa tindakan merenjis hanyalah sebuah simbol adat belaka, yang ditemani oleh doa-doa Islami yang sah.
Dalam perkahwinan kota besar, di mana waktu sewa dewan pernikahan dibatasi jam, ritual merenjis sering kali harus dipercepat. Jika dahulu prosesi ini bisa memakan waktu satu hingga dua jam, kini ia mungkin hanya dilakukan dalam 20 menit, hanya melibatkan orang tua inti dan kerabat terdekat. Walaupun efisiensi tercapai, beberapa kritikus berpendapat bahwa pemadatan ini mengurangi makna mendalam dan kesempatan untuk interaksi sosial yang hangat.
Ironisnya, industri perkahwinan modern telah membantu melestarikan merenjis melalui estetika. Perusahaan perancang perkahwinan (wedding planner) kini menawarkan 'Pakej Merenjis' mewah, lengkap dengan mangkuk perak berukir dan hiasan bunga yang dramatis. Ritual ini menjadi sorotan utama dalam album foto dan video perkahwinan. Meskipun aspek komersial ini dapat mengaburkan makna spiritual, ia memastikan bahwa praktik merenjis tetap terlihat, relevan, dan diinginkan oleh generasi muda sebagai penanda identitas budaya yang kuat.
Dalam konteks modern, merenjis berfungsi sebagai jangkar budaya. Di tengah percampuran budaya global, ritual ini menawarkan pasangan muda cara yang konkret dan indah untuk menyatakan identitas Melayu atau Nusantara mereka. Ini adalah penegasan bahwa, meskipun mereka mungkin mengenakan pakaian Barat atau mengikuti gaya hidup modern, akar mereka tetap terikat pada warisan leluhur yang kaya.
Adaptasi juga terlihat pada bahan. Di beberapa perkahwinan, untuk alasan kebersihan dan kepraktisan, beras kunyit asli diganti dengan confetti bunga kering atau bahan taburan lain yang lebih bersih dan mudah dibuang. Air mawar sering diganti dengan air zam-zam yang didoakan, menggabungkan elemen tradisional dengan makna religius yang lebih eksplisit.
Intinya, merenjis adalah tradisi yang lentur. Ia mampu bernegosiasi dengan tuntutan zaman tanpa kehilangan elemen dasarnya: percikan yang dimaksudkan untuk memberkati, melindungi, dan menyuburkan kehidupan baru. Kelestariannya bukan terletak pada ketaatan buta terhadap bentuk aslinya, melainkan pada kemampuan komunitas untuk terus menafsirkan kembali dan menghargai niat suci di baliknya.
Merenjis adalah simfoni doa bisu yang dilakukan dengan tangan; setiap percikan adalah harapan yang dipanjatkan, setiap butir adalah janji kemakmuran, dan setiap helai bunga adalah manifestasi dari keindahan hidup yang diidamkan. Ia adalah cerminan dari filosofi hidup Nusantara yang melihat keberkatan sebagai sesuatu yang harus disambut, dipelihara, dan diturunkan dengan penuh adab.
Kedalaman filosofis merenjis seringkali terlupakan di tengah hiruk pikuk persiapan perkahwinan. Namun, bagi para pengkaji budaya, ritual ini merupakan jendela tak ternilai harganya menuju pemikiran kosmologis Melayu—sebuah dunia di mana alam, spiritualitas, dan hubungan sosial terjalin erat dalam sebuah tarian penyucian yang elegan. Prosesi merenjis yang lambat dan berulang-ulang ini memaksa peserta dan pengantin untuk berhenti sejenak, merenung, dan menyerap energi positif dari setiap orang yang datang untuk mendoakan mereka.
Tradisi merenjis adalah salah satu permata budaya yang paling berharga di Nusantara. Ia adalah ekspresi kasih sayang, penghormatan, dan permohonan keberkatan yang diwariskan melalui generasi. Dari permohonan kepada semangat padi di sawah hingga pemberkatan agung di pelaminan perkahwinan, ritual ini menunjukkan bagaimana masyarakat Melayu telah berhasil memadukan kepercayaan kuno dengan nilai-nilai agama, menciptakan praktik yang indah dan sarat makna.
Tanggung jawab melestarikan merenjis kini berada di tangan generasi muda. Bukan hanya dengan memastikan ritual ini tetap ada dalam perkahwinan mereka, tetapi dengan memahami dan menghayati makna di balik setiap taburan beras kunyit dan setiap percikan air mawar. Ketika sepasang pengantin duduk bersanding dan para tetua mulai merenjiskan berkat, mereka menyaksikan sebuah babak sejarah yang dihidupkan kembali, sebuah doa yang diwujudkan, dan janji abadi bahwa komunitas akan selalu menjadi penyangga bagi kehidupan baru yang dimulai.
Oleh karena itu, merenjis lebih dari sekadar adat istiadat; ia adalah identitas, spiritualitas, dan perekat sosial yang menjaga keutuhan hati masyarakat Nusantara, memastikan bahwa keberkatan dan kemakmuran terus mengalir seperti air yang membasahi bumi yang kering.