Dalam riuhnya arus informasi dan tuntutan produktivitas yang seolah tak bertepi, kita sering melupakan sebuah aksi yang paling purba, paling sederhana, namun menyimpan kekuatan restoratif yang tak tertandingi: merem. Merem, atau menutup mata, bukanlah sekadar sinyal untuk tidur. Ia adalah gerbang menuju jeda kognitif, sebuah deklarasi singkat bahwa diri kita membutuhkan pelindungan dari serbuan visual dunia luar. Merem adalah praktik kesadaran yang terabaikan, ritual harian yang tanpanya, sistem saraf kita akan cepat menuju ambang batas kelelahan.
Ritme kehidupan modern, yang ditandai oleh layar yang terus menyala dan notifikasi yang berulang, telah merenggut hak kita untuk istirahat visual yang autentik. Mata kita, jendela jiwa yang seharusnya sesekali ditutup untuk introspeksi, kini dipaksa terus terbuka, menyerap cahaya biru, memproses data, dan terus-menerus menilai lingkungan. Inilah mengapa eksplorasi mendalam tentang makna dan manfaat merem menjadi relevan. Ia adalah respons pasif terhadap agresi informasi yang hiperaktif.
Kita akan menelusuri bagaimana tindakan refleksif ini, dari perspektif biologis, psikologis, hingga filosofis, menjadi fondasi utama bagi keseimbangan mental dan fisik. Merem adalah tindakan penarikan diri yang esensial, memungkinkan sistem tubuh melakukan audit internal yang krusial, mulai dari pembersihan sinapsis otak hingga stabilisasi emosi. Tanpa jeda ini, kita tidak hanya kehilangan efisiensi; kita kehilangan koneksi fundamental dengan diri sendiri.
***
Secara biologi, fungsi merem jauh melampaui sekadar tidur. Proses ini adalah bagian integral dari homeostatis tubuh. Ketika kita merem sejenak di tengah hari, kita mengaktifkan serangkaian proses vital yang bertujuan melindungi dan memulihkan organ visual serta sistem saraf pusat.
Mata adalah organ yang luar biasa sensitif dan rentan. Proses merem sesaat (berkedip) adalah respons cepat untuk melumasi kornea dengan air mata, membersihkan partikel debu, dan mendistribusikan nutrisi serta oksigen ke permukaan mata. Dalam skala yang lebih panjang—merem untuk tidur—otot-otot okular benar-benar beristirahat. Otot-otot ini, yang terus menyesuaikan fokus (akomodasi) dan melacak pergerakan visual (saccades) sepanjang hari, mengalami ketegangan yang signifikan. Ketika kita merem, tegangan tersebut dilepaskan, mencegah kelelahan mata kronis (asthenopia).
Kondisi yang dikenal sebagai ‘sindrom mata kering’ menjadi semakin umum karena waktu layar yang panjang, yang secara otomatis mengurangi frekuensi berkedip. Ketika frekuensi merem menurun, lapisan air mata menguap lebih cepat, menyebabkan iritasi. Oleh karena itu, merem sadar—mengambil jeda 20 detik setiap 20 menit—adalah resep alami untuk kesehatan mata.
Otak manusia adalah pemroses data yang masif, dan input visual menyumbang sekitar 80% dari total informasi sensorik yang diterima. Ketika kita merem, kita secara instan memotong jalur input mayor ini. Penutupan mata memicu penurunan aktivitas di korteks visual, wilayah otak yang bertanggung jawab memproses penglihatan. Penurunan aktivitas ini bukan berarti otak sepenuhnya mati; sebaliknya, ia mengalihkan sumber daya energi yang berharga. Energi yang biasanya digunakan untuk memproses visual dialihkan untuk fungsi kognitif yang lebih dalam, seperti konsolidasi memori atau pemecahan masalah yang sedang berlangsung di latar belakang.
Fenomena ini dikenal sebagai 'istirahat sensorik yang disengaja'. Bahkan jeda singkat selama 5 menit merem dapat memberikan efek signifikan pada kejernihan mental, memungkinkan otak me-reset buffer sensorik yang penuh. Tanpa jeda visual ini, otak memasuki kondisi hiper-stimulasi, yang berkontribusi pada 'kebisingan kognitif' dan sulitnya fokus.
Tindakan merem adalah langkah pertama dan terpenting dalam memicu tidur, atau ‘Grand Merem’ harian. Kegelapan yang diciptakan oleh penutupan mata merangsang kelenjar pineal untuk melepaskan melatonin, hormon kunci yang mengatur ritme sirkadian kita. Melatonin mengirimkan sinyal kepada tubuh bahwa sudah waktunya untuk memperlambat metabolisme dan mempersiapkan diri untuk tidur REM (Rapid Eye Movement) dan NREM (Non-Rapid Eye Movement).
Fase NREM, di mana tidur paling dalam terjadi, adalah saat tubuh melakukan perbaikan fisik intensif. Sementara itu, fase REM, yang ironisnya ditandai oleh pergerakan mata cepat di balik kelopak yang tertutup rapat, adalah saat otak aktif memproses emosi dan mengonsolidasi memori episodik. Kualitas dari ‘Grand Merem’ ini sangat bergantung pada seberapa efektif kita telah mengistirahatkan mata dan pikiran kita sepanjang hari.
Kegagalan untuk merem secara efektif sepanjang hari (misalnya, terus-menerus menatap layar) dapat mengganggu pelepasan melatonin di malam hari, yang kemudian menyebabkan insomnia. Biologi tubuh kita menuntut penutupan total sebagai prasyarat bagi regenerasi sistemik yang optimal.
***
Secara psikologis, merem berfungsi sebagai teknik meditasi dasar dan merupakan cara paling cepat untuk menarik kesadaran dari kekacauan eksternal menuju ketenangan internal. Ini adalah pintu masuk ke dunia visualisasi, refleksi, dan penyembuhan emosional.
Dalam tradisi yoga dan meditasi, tindakan merem sangat sentral. Ini mewakili konsep Pratyahara, atau penarikan indra dari objek eksternal. Dengan meniadakan input visual, kita secara otomatis meningkatkan kesadaran terhadap sensasi internal—pernapasan, detak jantung, dan aliran pikiran. Penutupan mata menghilangkan pengalih perhatian terbesar, memaksa pikiran untuk menghadapi dirinya sendiri.
Bagi mereka yang baru memulai praktik meditasi, merem adalah jangkar yang kuat. Ketika mata tertutup, perhatian kita tidak lagi terbagi oleh pemandangan yang lewat; seluruh fokus dapat diarahkan pada nafas. Ketenangan yang muncul dari ketiadaan visual memungkinkan sistem saraf parasimpatik (istirahatkan dan cerna) untuk mengambil alih, mengurangi produksi hormon stres seperti kortisol.
Ketika kita merem, kita tidak hanya melihat kegelapan; kita membuka kanvas internal untuk imajinasi. Otak manusia memiliki kapasitas luar biasa untuk menciptakan realitas internal yang hidup. Para atlet menggunakan teknik merem ini untuk melakukan visualisasi performa sempurna (latihan mental), yang terbukti dapat meningkatkan keterampilan fisik seolah-olah mereka benar-benar melakukannya. Hal ini dimungkinkan karena neuron cermin di otak merespons imajinasi dengan cara yang sama seperti respons terhadap aksi nyata.
Dalam terapi kognitif, merem digunakan untuk menghadapi trauma atau kecemasan. Pasien didorong untuk merem dan memvisualisasikan tempat yang aman, mengubah narasi internal mereka di lingkungan yang terkontrol tanpa adanya ancaman visual eksternal. Kekuatan visualisasi ini adalah bukti bahwa merem adalah aktivasi, bukan hanya penonaktifan.
Ketika kita kewalahan secara emosional—entah itu kemarahan, kesedihan mendalam, atau kecemasan—respon refleksif alami kita seringkali adalah merem dan mengambil napas dalam-dalam. Tindakan ini memisahkan kita sejenak dari pemicu eksternal yang mungkin memperburuk emosi tersebut. Dalam kegelapan internal, kita mendapatkan ruang bernapas yang memungkinkan korteks prefrontal (bagian otak yang bertanggung jawab atas penalaran dan pengendalian diri) untuk berfungsi lebih efektif sebelum respons instingtif mengambil alih.
Merem dalam situasi sulit adalah bentuk ‘pengaturan emosi yang disengaja’. Ini memberikan jeda mikro yang mengubah respons dari reaktif menjadi responsif. Dengan merem, kita menciptakan batas antara input emosi dan output perilaku, sebuah batas yang sangat penting dalam interaksi sosial yang menuntut kontrol diri.
***
Secara filosofis, tindakan merem adalah praktik radikal tentang penolakan terhadap realitas yang terlalu superfisial. Ini adalah langkah mundur yang bertujuan untuk melihat esensi, bukan hanya penampakan. Merem menantang asumsi bahwa semua kebenikan dan kebenaran harus ditemukan melalui penglihatan fisik.
Banyak tradisi mistik dan filosofis menyarankan bahwa kebijaksanaan sejati tidak terletak pada apa yang bisa dilihat, tetapi pada apa yang bisa dirasakan dan dipahami secara intuitif. Ketika kita merem, kita melepaskan diri dari ilusi Maya (dunia fenomena) dan mencoba mengakses Purusha (kesadaran murni). Plato, dalam alegori gua-nya, menyarankan bahwa kita seringkali terpaku pada bayangan (dunia visual) dan bukan pada bentuk sejati.
Merem adalah upaya untuk keluar dari gua tersebut, meskipun hanya sebentar. Dalam kegelapan, hierarki sensorik berubah. Intuisi, suara hati, dan pemahaman yang lebih dalam seringkali baru terdengar ketika kebisingan visual dihilangkan. Merem mengajarkan kita bahwa 'melihat' sejati adalah tindakan internal.
Di era di mana "Fear of Missing Out" (FOMO) merajalela, merem mewakili ‘Ignoransi yang Disengaja’—pilihan sadar untuk mengabaikan hal-hal yang tidak penting. Ini bukanlah pengabaian yang tidak bertanggung jawab, melainkan penegasan kedaulatan atas perhatian kita. Kita memilih untuk tidak memproses ribut-ribut yang diciptakan oleh media, iklan, atau perbandingan sosial yang merusak diri.
Dengan merem, kita mempraktikkan stoikisme modern: menerima bahwa sebagian besar hal di luar kendali kita, dan karena itu, kita menutup pintu masuk sensorik terhadap hal-hal yang hanya akan menyebabkan penderitaan yang tidak perlu. Tindakan ini adalah pernyataan bahwa nilai diri kita tidak diukur oleh apa yang kita lihat atau dimiliki oleh orang lain, tetapi oleh keadaan batin kita.
Manusia modern seringkali bertindak seolah-olah mereka adalah sumber energi tak terbatas. Merem adalah pengingat harian akan sifat kita yang fana dan terbatas. Ia adalah penyerahan diri, pengakuan bahwa kita membutuhkan pengisian ulang. Filosofi ini mengajarkan kerendahan hati—bahwa untuk menjadi efektif, kita harus terlebih dahulu tidak efektif (beristirahat).
Penutupan mata menempatkan kita dalam kegelapan yang sama yang kita alami sebelum lahir dan yang akan kita alami setelah kematian. Ini adalah simulasi kecil dari non-eksistensi yang membantu kita menghargai dan memaksimalkan waktu ketika mata kita terbuka. Merem adalah praktik kesiapan mental untuk menerima siklus alami kehidupan dan jedanya.
***
Paradoksnya, merem yang seringkali diasosiasikan dengan kemalasan atau ketidakaktifan, justru merupakan tahap krusial dalam siklus produktivitas dan kreativitas. Otak tidak pernah berhenti bekerja, dan ketika input visual dihentikan, proses pemecahan masalah dan inovasi seringkali justru dipercepat.
Dalam ilmu kognitif, dikenal konsep ‘mode fokus’ dan ‘mode difus’ (diffuse mode). Ketika kita berfokus secara intens pada suatu masalah (mode fokus), kita menggunakan jaringan saraf yang spesifik. Namun, untuk menemukan solusi yang benar-benar inovatif, otak perlu beralih ke mode difus, di mana ia membuat koneksi baru antara konsep-konsep yang sebelumnya tidak terkait.
Tindakan merem, atau tidur siang singkat, adalah cara tercepat untuk memicu mode difus ini. Ketika mata tertutup, perhatian sadar terlepas dari masalah. Otak kemudian bebas menjelajahi memori, menggabungkan fragmen informasi, dan seringkali menghasilkan 'Aha!' momen yang sulit dicapai melalui kerja keras yang terus-menerus. Banyak penemuan besar, dari penemuan struktur benzena hingga rumus matematika, terjadi saat para ilmuwan sedang beristirahat atau baru bangun dari tidur.
Power Nap, atau tidur siang singkat yang intensif (sekitar 10-30 menit), adalah bentuk merem yang paling produktif. Tujuannya bukan untuk mencapai tidur REM, tetapi untuk mendapatkan istirahat tahap NREM 1 dan 2. Manfaatnya luar biasa: meningkatkan kewaspadaan, memperbaiki suasana hati, dan secara signifikan meningkatkan kemampuan kognitif setelah bangun.
Kunci dari power nap adalah memastikan lingkungan gelap dan tenang, yang dicapai dengan merem total. Jeda singkat ini berfungsi untuk membersihkan akumulasi adenosin di otak—produk sampingan dari metabolisme energi yang menyebabkan kantuk. Setelah merem dan adenosin dibersihkan, koneksi sinaptik terasa segar kembali, memungkinkan kita kembali bekerja dengan kapasitas penuh.
Bagi penulis, seniman, atau siapapun yang pekerjaannya melibatkan ide, merem adalah alat bantu yang kuat. Seringkali, saat menghadapi 'writer's block' atau kebuntuan kreatif, solusi terbaik bukanlah memaksakan diri, melainkan menutup mata, merem, dan membiarkan pikiran mengembara tanpa diarahkan. Penghentian input visual membebaskan sumber daya kognitif untuk memproses ide yang belum matang.
Praktik ini memungkinkan penulis untuk ‘mendengar’ dialog atau ‘melihat’ adegan yang akan mereka tulis. Ketika mata terbuka kembali, seringkali kalimat pertama atau konsep kunci yang dicari muncul dengan sendirinya, disaring dari kekacauan mental yang terjadi selama jeda merem.
***
Kesehatan mental sangat bergantung pada kemampuan kita untuk mengelola stimulasi dan memproses pengalaman. Dalam konteks ini, merem adalah mekanisme pertahanan vital melawan kelebihan muatan sensorik yang dapat memicu kecemasan, kelelahan, dan bahkan depresi.
Kecemasan adalah kondisi hiper-kewaspadaan, di mana sistem saraf simpatik (lawan atau lari) berada dalam keadaan siaga tinggi. Input visual, terutama yang berkaitan dengan ancaman atau pengingat stres, dapat memperburuk keadaan ini. Ketika seseorang sedang mengalami serangan panik, salah satu saran pertama adalah mencari tempat yang tenang, duduk, dan merem.
Penutupan mata adalah tindakan yang segera membatasi informasi yang bisa memicu respons ancaman. Merem membantu individu memusatkan perhatian pada nafas dan tubuh mereka, memutus siklus umpan balik negatif antara mata (melihat ancaman), otak (memproses ketakutan), dan tubuh (respons fisik). Ini adalah teknik ‘grounding’ yang mendalam.
Penelitian tentang Eye Movement Desensitization and Reprocessing (EMDR) menunjukkan peran kompleks dari mekanisme visual dan non-visual dalam pemrosesan trauma. Meskipun EMDR melibatkan pergerakan mata, tujuannya adalah memproses memori trauma saat input visual lain diabaikan atau disalah-arahkan.
Dalam konteks non-terapi, tidur yang dihasilkan dari merem yang efektif (tidur REM yang sehat) sangat penting untuk mengintegrasikan memori emosional. Selama REM, memori ditinjau ulang tanpa dibanjiri oleh hormon stres. Ini memungkinkan otak untuk ‘menyimpan’ pengalaman buruk dengan label yang kurang mengancam. Jika kita gagal merem dengan baik, pemrosesan trauma ini terganggu, menyebabkan memori emosional tetap ‘mentah’.
Dalam budaya yang menghargai keterbukaan total dan ketersediaan 24/7, merem berfungsi sebagai batas fisik yang tegas. Ketika kita merem, kita menarik diri dari kewajiban sosial untuk berinteraksi atau menanggapi. Ini adalah izin yang kita berikan pada diri sendiri untuk "tidak melihat" tuntutan dunia untuk sementara waktu.
Kemampuan untuk secara teratur dan sengaja merem untuk istirahat (bahkan jika hanya 1 menit) adalah indikator kesehatan mental yang kuat. Ini menunjukkan bahwa individu tersebut mampu memprioritaskan kebutuhan internal mereka di atas ekspektasi eksternal, sebuah keterampilan penting dalam pencegahan burnout.
***
Meskipun sering dianggap sebagai tindakan yang spontan, merem tertanam dalam banyak ritual dan kebiasaan manusia di seluruh dunia, mencerminkan kebutuhan universal akan jeda dan penarikan diri.
Tindakan merem di pagi hari, setelah bangun tidur, adalah kesempatan emas untuk mengatur nada hari. Alih-alih langsung meraih ponsel, beberapa detik merem memungkinkan otak untuk bertransisi perlahan dari keadaan theta (tidur) ke beta (sadar). Ini adalah saat untuk menetapkan niat hari itu sebelum dunia luar memaksakan agendanya.
Di malam hari, ritual ‘merem’ yang disengaja, seperti menenangkan diri di ruangan gelap tanpa layar selama 30 menit sebelum tidur, adalah dasar dari kebersihan tidur (sleep hygiene). Ini memberikan waktu bagi melatonin untuk bekerja dan mempersiapkan tubuh untuk Grand Merem yang restoratif.
Konsep siesta yang populer di negara-negara Mediterania dan Amerika Latin adalah penghormatan institusional terhadap kebutuhan untuk merem di tengah hari. Siesta mengakui bahwa tubuh manusia mengalami penurunan energi alami (post-lunch dip) sekitar jam 1-3 sore.
Praktik ini memastikan bahwa produktivitas total harian dimaksimalkan dengan mengizinkan istirahat singkat alih-alih memaksa diri bekerja melalui kelelahan. Merem siang ini bukan kemewahan; itu adalah investasi energi. Negara-negara yang mengadopsi tradisi tidur siang sering melaporkan tingkat stres yang lebih rendah dan umur panjang yang lebih baik.
Dalam konteks spiritual, merem seringkali menjadi bagian dari puasa sensorik. Retreat meditasi, seperti Vipassana, mengharuskan pesertanya untuk meminimalkan input visual, berbicara, dan interaksi sosial. Tujuannya adalah untuk melatih pikiran agar fokus pada realitas momen ini, yang hanya dapat diakses secara murni ketika indra-indra eksternal, terutama mata, diistirahatkan.
Praktik merem yang diperpanjang ini, meskipun menantang, menghasilkan kejernihan mental yang luar biasa dan seringkali mengarah pada wawasan mendalam mengenai pola pikir dan emosi yang terpendam.
***
Meskipun kebutuhan untuk merem sangat mendasar, lingkungan digital modern telah menciptakan tantangan unik yang membuat praktik ini semakin sulit dilakukan secara efektif.
Cahaya biru yang dipancarkan oleh layar ponsel, tablet, dan komputer adalah antagonis terbesar bagi merem yang berkualitas. Cahaya biru meniru cahaya siang hari, secara efektif menekan produksi melatonin. Akibatnya, bahkan ketika kita mencoba merem dan tidur, otak tetap waspada.
Mengatasi hal ini memerlukan disiplin ketat: setidaknya 1 jam sebelum ‘Grand Merem’, semua perangkat harus dimatikan. Kita perlu mengganti input visual yang hiperaktif dengan aktivitas yang menenangkan, seperti membaca buku fisik atau mendengarkan musik di ruangan gelap.
Psikologi modern menciptakan kecenderungan untuk merasa bersalah saat kita tidak produktif atau tidak tersedia. Mencuri waktu untuk merem sejenak seringkali terasa sebagai sebuah kegagalan moral. Untuk mengatasi sindrom ini, kita harus mengubah narasi internal: merem bukanlah kemewahan, melainkan fondasi produktivitas. Ini adalah tindakan proaktif untuk memastikan bahwa jam-jam kerja yang tersisa dihabiskan dengan kualitas tinggi, bukan kuantitas rendah.
Menciptakan zona 'tidak diganggu' dan menetapkan batas-batas yang jelas (misalnya, 'Saya merem selama 15 menit, dan saya tidak akan menjawab email') sangat penting untuk melegitimasi istirahat yang disengaja.
Bagi mereka yang jadwalnya padat, merem panjang mungkin tidak mungkin dilakukan. Solusinya adalah ‘Micro-Merem’ atau kedipan sadar. Teknik ini melibatkan merem total selama 10-30 detik setiap kali kita menyelesaikan satu tugas kecil atau saat merasa mata mulai tegang. Ini adalah semacam ‘refresh’ cepat bagi otak.
Praktik ini tidak hanya mengistirahatkan otot mata, tetapi juga memberikan jeda kognitif yang diperlukan untuk membersihkan memori kerja jangka pendek. Merem mikro, jika dilakukan secara konsisten, dapat mencegah akumulasi kelelahan visual dan mental di penghujung hari.
***
Kini, kita akan menyelami bagaimana tindakan sederhana merem memainkan peran fundamental dalam neuroplastisitas—kemampuan otak untuk mengatur ulang koneksi saraf—dan proses pembelajaran jangka panjang.
Proses pembelajaran, yang melibatkan pembentukan jalur sinaptik baru, tidak selesai saat kita sadar. Sebaliknya, tahap paling penting terjadi saat kita merem dalam tidur yang dalam. Selama tidur gelombang lambat (tidur NREM tahap 3 dan 4), otak mengulang dan memindahkan memori yang baru dipelajari dari hippocampus (penyimpanan sementara) ke korteks (penyimpanan jangka panjang).
Jika seseorang belajar materi baru tetapi segera setelah itu terhalang untuk merem yang berkualitas (kurang tidur), memori tersebut tidak akan terintegrasi dengan benar dan mudah dilupakan. Merem yang restoratif, oleh karena itu, harus dilihat sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kurikulum belajar yang efektif. Kegagalan untuk merem sama dengan membuang upaya belajar yang telah dilakukan.
Otak menghasilkan koneksi baru sepanjang hari, tetapi tidak semua koneksi ini berguna. Bayangkan otak sebagai kebun yang tumbuh liar. Merem dalam tidur berfungsi sebagai tukang kebun, melakukan ‘pemangkasan sinaptik’ (synaptic pruning).
Selama kita merem, otak membersihkan koneksi yang lemah atau tidak relevan, memperkuat koneksi yang penting, dan secara efektif mengurangi kebisingan di jaringan saraf. Pemangkasan ini membuat otak lebih efisien dan lebih cepat dalam mengakses informasi yang benar-benar penting. Proses ini sangat vital, terutama pada masa kanak-kanak dan remaja, tetapi terus berlanjut sepanjang masa dewasa. Tanpa pemangkasan yang efektif, pikiran menjadi penuh sesak dan lamban.
Penelitian neurosains modern telah mengungkap keberadaan sistem glymphatic—sistem pembersihan unik di otak yang paling aktif saat kita merem dan tidur. Sistem glymphatic menggunakan cairan serebrospinal untuk menyiram jaringan otak dan membuang produk limbah metabolik, termasuk protein beracun seperti beta-amiloid, yang terkait dengan penyakit neurodegeneratif seperti Alzheimer.
Pembersihan ini hampir tidak berfungsi ketika kita bangun. Artinya, periode merem yang panjang dan berkualitas adalah satu-satunya kesempatan bagi otak untuk secara fisik membersihkan diri dari racun yang menumpuk sepanjang hari. Ini memberikan bukti fisik yang tak terbantahkan bahwa merem adalah masalah kelangsungan hidup neurologis, bukan sekadar relaksasi.
***
Dalam konteks sosial dan ekonomi yang mendewakan aktivitas yang terlihat, tindakan merem yang disengaja dapat dipandang sebagai bentuk resistensi non-konformis terhadap kapitalisme perhatian (attention economy).
Masyarakat kontemporer sangat menekankan visibilitas. Jika kita tidak terlihat bekerja, kita dianggap tidak berharga. Tindakan merem adalah penarikan diri dari panggung visibilitas ini. Ia adalah penegasan bahwa kerja internal, istirahat yang tidak terlihat, dan regenerasi yang tenang adalah sama pentingnya, jika tidak lebih, daripada kerja eksternal yang dipertontonkan.
Merem menolak gagasan bahwa setiap momen harus didokumentasikan, dibagikan, atau dioptimalkan untuk keuntungan. Ia mengajarkan kita nilai dari kesunyian dan ketiadaan intervensi eksternal.
‘Budaya Sibuk’ (Hustle Culture) menjadikan kelelahan sebagai lencana kehormatan. Orang-orang bangga dengan betapa sedikitnya mereka merem. Filosofi ini adalah resep untuk kehancuran mental jangka panjang. Dengan sengaja memilih untuk merem, baik melalui tidur yang cukup atau jeda meditasi harian, kita menolak paksaan untuk selalu berada dalam keadaan ‘on’.
Ini adalah gerakan kecil namun revolusioner untuk memulihkan waktu dan energi pribadi dari tuntutan pasar yang tak pernah puas. Merem adalah langkah pertama dalam mendefinisikan kembali kesuksesan bukan berdasarkan jam kerja, tetapi berdasarkan keseimbangan dan kualitas hidup.
***
Kisah tentang merem adalah kisah tentang kebutuhan dasar manusia untuk kembali ke kegelapan internal, untuk beristirahat, dan untuk memproses. Kita telah melihat bahwa merem bukan sekadar refleks kelelahan, melainkan sebuah aksi multi-dimensi yang vital bagi kesehatan fisik, kestabilan psikologis, kejernihan kognitif, dan bahkan kedalaman filosofis.
Mulai hari ini, mari kita ubah hubungan kita dengan tindakan merem. Alih-alih melihatnya sebagai interupsi yang tidak diinginkan, mari kita pandang ia sebagai intervensi yang disengaja—sebuah alat yang kuat untuk mengelola intensitas kehidupan modern. Jadikan merem mikro sebagai bagian dari rutinitas harian Anda. Hargai ‘Grand Merem’ di malam hari sebagai waktu suci yang tidak dapat dikompromikan.
Dalam setiap penutupan mata, dalam setiap tarikan nafas yang dalam di kegelapan, kita menemukan kembali sumber daya batin yang seringkali kita cari di luar diri kita. Ketenangan sejati dimulai saat kita berani merem, memutuskan koneksi dengan kekacauan, dan menyambut dunia internal yang kaya dan restoratif. Praktik ini adalah kunci untuk tidak hanya bertahan hidup, tetapi juga berkembang, di tengah hiruk-pikuk yang tak terhindarkan.
Merem adalah seni, dan seni ini membutuhkan latihan, pengakuan, dan dedikasi. Dengan menguasainya, kita menguasai kedamaian diri kita sendiri.
Pengalaman merem membawa kita pada pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana otak menangani berbagai modalitas sensorik ketika salah satunya dinonaktifkan. Fenomena yang dikenal sebagai 'kompensasi sensorik' sering terjadi. Ketika mata tertutup, kepekaan indra lain—terutama pendengaran dan sentuhan—meningkat secara dramatis. Ini bukan hanya ilusi; ini adalah penataan ulang neurologis di mana korteks visual yang tenang mendedikasikan beberapa sumber dayanya untuk memproses informasi dari indra lain.
Misalnya, seseorang yang merem dalam kegelapan yang total akan mulai mendengar suara-suara latar yang sebelumnya diabaikan, atau merasakan tekstur pakaian di kulitnya dengan intensitas yang lebih besar. Latihan ini penting untuk meningkatkan kesadaran penuh (mindfulness), karena mengajarkan kita untuk menghargai input sensorik minor yang biasanya dibayangi oleh dominasi penglihatan. Merem adalah cara untuk mengkalibrasi ulang hierarki sensorik kita, menjadikan kita individu yang lebih peka dan waspada terhadap lingkungan non-visual.
Dalam lingkungan kerja yang bising, mencoba fokus pada percakapan atau tugas yang menuntut pendengaran seringkali dipermudah dengan merem sejenak. Dengan menghilangkan gangguan visual dari pergerakan rekan kerja atau notifikasi layar, kita memberikan bandwidth penuh kepada korteks pendengaran. Para musisi atau insinyur suara seringkali merem saat mendengarkan rekaman kritis untuk membedakan nuansa halus dan detail akustik yang mungkin terlewatkan jika mata mereka terbuka. Ini menunjukkan bahwa merem adalah mekanisme filter yang sangat efisien untuk tugas-tugas yang memerlukan konsentrasi auditori tingkat tinggi.
Pada saat-saat kebingungan eksistensial atau ketika menghadapi keputusan hidup yang monumental, seringkali kita disarankan untuk 'tidur di atasnya'. Saran ini berakar pada kekuatan regeneratif dari 'Grand Merem' malam hari. Krisis seringkali terasa kacau karena terlalu banyak variabel yang berinteraksi. Pikiran sadar kita terlalu kewalahan untuk memproses semua implikasi.
Ketika kita merem dan memasuki tidur yang dalam, otak, melalui mekanisme pembersihan dan konsolidasi memori, menyederhanakan masalah. Ia membuang ketakutan yang tidak rasional dan menyoroti jalur yang paling logis. Solusi yang dirasakan sulit atau tidak mungkin di siang hari seringkali muncul dengan kejernihan baru setelah periode merem yang restoratif. Merem menawarkan jarak emosional dari masalah, memungkinkan rasionalitas untuk muncul kembali. Itu adalah jeda yang dibutuhkan untuk memisahkan fakta dari ketakutan yang dibesar-besarkan.
Meskipun merem adalah tindakan yang soliter, ia memiliki dampak besar pada kualitas interaksi kita dengan orang lain. Seseorang yang secara teratur merem dan istirahat cenderung memiliki regulasi emosi yang lebih baik, lebih sabar, dan memiliki kapasitas yang lebih besar untuk empati.
Ketika kita kurang tidur atau kelelahan visual, ambang batas iritabilitas kita menurun drastis. Kita menjadi reaktif, mudah tersinggung, dan kurang mampu memproses perspektif orang lain. Dengan berinvestasi pada 'Merem' yang cukup, kita memastikan bahwa kita mendekati interaksi sosial dengan 'penuh' secara mental dan emosional, bukan dari posisi defisit. Ini memungkinkan kita untuk menjadi pendengar yang lebih baik dan mitra yang lebih suportif. Kualitas kehadiran kita dalam sebuah hubungan secara langsung berkorelasi dengan kualitas istirahat internal kita yang didapat dari merem.
Saat kita merem sejenak setelah percakapan intens, kita memberi otak waktu untuk memproses nuansa non-verbal dan emosional dari interaksi tersebut. Ini adalah refleksi pasca-sosial yang memungkinkan kita untuk menginternalisasi dan memahami pandangan orang lain tanpa perlu segera merespons. Tindakan merem di sini berfungsi sebagai ruang inkubasi empati, memastikan bahwa respons kita didasarkan pada pemahaman yang bijaksana, bukan reaksi spontan.
Banyak perusahaan progresif kini mulai menyadari bahwa penolakan terhadap merem adalah kerugian finansial jangka panjang. Kelelahan pekerja menghasilkan kesalahan, kreativitas yang rendah, dan tingkat absensi yang tinggi. Oleh karena itu, mendorong praktik merem menjadi strategi bisnis yang cerdas.
Penyediaan ruang sunyi atau 'kapsul tidur' di kantor adalah implementasi fisik dari penghormatan terhadap kebutuhan merem. Ini melegitimasi power nap sebagai bagian dari hari kerja. Karyawan yang diizinkan untuk merem sebentar di tengah hari sering menunjukkan peningkatan signifikan dalam fokus dan kemampuan pemecahan masalah kompleks di sore hari.
Selain itu, penetapan kebijakan 'larangan email di luar jam kerja' dan 'jam hening' (di mana interaksi diminimalkan) berfungsi sebagai dukungan struktural terhadap hak individu untuk merem dan memutuskan koneksi dari pekerjaan. Ini adalah pengakuan bahwa kualitas istirahat sama pentingnya dengan kualitas kerja. Pengelolaan jam visual dan non-visual harus menjadi metrik penting bagi kesehatan organisasi.
Di luar biologi dan psikologi, merem seringkali disamakan dengan tindakan 'mempercayai' atau 'menyerahkan'. Dalam banyak doa dan ritual spiritual, penutupan mata adalah hal yang wajib. Mengapa?
Ketika kita merem untuk berdoa atau bermeditasi, kita melepaskan ketergantungan pada bukti material. Kita memasuki ranah keyakinan, di mana realitas tidak perlu diverifikasi oleh penglihatan fisik. Ini adalah tindakan kerentanan yang kuat—menarik diri dari pertahanan sensorik kita—untuk membuka diri terhadap koneksi yang lebih tinggi atau spiritual.
Dalam kegelapan yang dihasilkan oleh merem, kita seringkali merasa lebih dekat dengan diri kita yang paling murni, tanpa topeng dan tanpa penilaian visual dari dunia luar. Kegelapan ini adalah kekosongan yang memungkinkan pemenuhan spiritual. Ia mengajarkan kita untuk menemukan cahaya, bukan dalam terang yang menyilaukan, tetapi dalam kedalaman batin yang tenang.
Kesimpulannya, merem adalah bahasa universal tubuh yang menuntut perhatian, dan menguasai seni ini adalah kunci untuk hidup yang terintegrasi, seimbang, dan berkesadaran tinggi.