Merejan, dalam konteks persalinan, bukan sekadar sebuah aksi fisik. Ini adalah puncak dari perjuangan panjang seorang ibu, sebuah respons biologis purba yang melibatkan kontraksi otot rahim yang kuat, ditambah dengan dorongan sadar dari otot-otot perut dan diafragma. Proses merejan mendefinisikan tahap kedua persalinan—tahap antara pembukaan serviks lengkap (10 cm) hingga bayi lahir. Keberhasilan dan keselamatan proses ini sangat bergantung pada pemahaman mendalam tentang fisiologi, teknik yang tepat, dan dukungan lingkungan yang memadai. Mempelajari seni dan sains di balik dorongan ini adalah kunci untuk mengurangi risiko komplikasi, baik pada ibu maupun pada janin.
Meskipun tampak seperti upaya sederhana mengeluarkan, merejan adalah orkestrasi kompleks antara sistem saraf, hormonal, dan muskuloskeletal. Dorongan yang dilakukan secara efektif dapat mempercepat kelahiran, meminimalkan kelelahan ibu, dan menjaga kesehatan dasar panggul. Sebaliknya, dorongan yang tidak tepat atau dipaksakan, seringkali disebut sebagai 'merejan yang diarahkan' atau 'Valsalva', dapat menimbulkan konsekuensi negatif yang signifikan. Oleh karena itu, diskusi komprehensif ini akan mengupas tuntas seluruh aspek merejan, mulai dari mekanisme biologis, perdebatan klinis mengenai teknik, hingga peran vital posisi tubuh.
Tahap kedua persalinan sering disebut sebagai tahap dorongan. Selama fase ini, kekuatan kontraksi uterus yang ritmis—yang telah bekerja selama tahap pertama untuk menipiskan dan membuka serviks—bergeser fokusnya untuk mendorong bayi melewati saluran lahir. Namun, kontraksi rahim saja tidak selalu cukup. Di sinilah peran merejan, atau upaya sadar ibu, menjadi penentu utama.
Merejan melibatkan interaksi harmonis dari beberapa kelompok otot utama. Mekanisme dasarnya adalah peningkatan tekanan intra-abdomen secara drastis, yang membantu menambah kekuatan kontraksi rahim. Otot-otot yang terlibat meliputi:
Ketika seorang ibu merejan dengan efektif, dia secara efektif bekerja sama dengan kontraksi rahimnya. Ini bukan hanya tentang menekan, tetapi tentang mengarahkan kekuatan tersebut sepanjang jalur lahir. Fisiologi yang efisien mensyaratkan bahwa upaya mendorong harus selaras dengan puncak kontraksi rahim, bukan dilakukan terus-menerus di antara kontraksi.
Dalam persalinan yang tidak diintervensi (non-medis), tubuh ibu akan memproduksi serangkaian dorongan yang kuat dan tak tertahankan yang dikenal sebagai Refleks Ejeksi Janin. Ini adalah dorongan involunter, mirip dengan dorongan saat buang air besar, yang dipicu oleh hormon oksitosin yang membanjiri sistem dan kepala janin menekan reseptor saraf di dasar panggul.
Merejan yang didorong oleh refleks ini disebut Merejan Fisiologis atau Spontan. Keunggulannya adalah:
Sejak pertengahan abad ke-20, praktik merejan di ruang bersalin global telah didominasi oleh teknik merejan yang diarahkan (directed pushing), yang bertentangan dengan mekanisme fisiologis alami tubuh. Perdebatan mengenai teknik mana yang paling aman dan efektif adalah salah satu isu paling sentral dalam kebidanan modern.
Teknik Valsalva, atau merejan yang diarahkan, adalah metode di mana ibu diinstruksikan untuk mengambil napas dalam-dalam, menahannya, dan mendorong sekuat tenaga selama hitungan sepuluh, seringkali diulang tiga hingga lima kali selama satu kontraksi. Metode ini dipromosikan berdasarkan anggapan bahwa ibu tidak akan tahu cara mendorong secara efektif tanpa instruksi.
Meskipun menghasilkan kekuatan dorong yang besar, teknik ini memiliki risiko signifikan karena beberapa alasan fisiologis mendasar. Ketika ibu menahan napas dan mendorong keras, tekanan intratoraks (di dada) meningkat tajam. Hal ini memicu:
Merejan fisiologis adalah pendekatan yang didasarkan pada menunggu hingga ibu merasakan dorongan yang tak tertahankan (Refleks Ejeksi Janin) dan membiarkannya mendorong sesuai dengan irama tubuhnya sendiri. Dorongan ini biasanya lebih pendek (4-6 detik), lebih sering terputus-putus, dan di antara dorongan ibu secara otomatis mengeluarkan napas (tidak menahan napas), yang membantu menjaga kadar oksigen.
Penelitian klinis modern, khususnya dari Cochrane Review, mendukung penggunaan merejan spontan. Keuntungannya meliputi:
Posisi yang dipilih ibu selama tahap kedua memiliki pengaruh langsung terhadap mekanika panggul, efisiensi dorongan, dan risiko trauma perineum. Secara historis, wanita melahirkan dalam posisi tegak atau berjongkok. Namun, di abad terakhir, posisi telentang (litotomi) menjadi standar di banyak rumah sakit, seringkali untuk kenyamanan staf medis, bukan untuk kepentingan ibu.
Posisi tegak (berdiri, duduk, berjongkok, berlutut, atau merangkak) adalah posisi yang paling direkomendasikan secara fisiologis karena memanfaatkan gaya gravitasi. Gravitasi menambahkan kekuatan dorong yang signifikan, dan yang lebih penting, posisi ini mengoptimalkan dimensi panggul.
Posisi telentang, terutama dengan kaki di sanggurdi (posisi litotomi), adalah posisi yang paling tidak fisiologis. Meskipun memudahkan intervensi medis seperti episiotomi atau penggunaan forsep, posisi ini secara inheren menghambat proses kelahiran alami.
Posisi miring ke samping (lateral) menawarkan kompromi yang baik, terutama bagi ibu yang merasa sangat lelah atau yang menggunakan epidural. Posisi ini menjaga dasar panggul tetap relaks dan menghindari kompresi vena cava. Walaupun tidak memanfaatkan gravitasi, ia memungkinkan pemulihan energi dan relaksasi perineum yang sangat baik.
Penggunaan anestesi epidural memberikan kelegaan rasa sakit yang signifikan, tetapi juga mengubah dinamika tahap kedua persalinan. Epidural dapat menumpulkan atau bahkan menghilangkan sensasi dorongan yang tak tertahankan (Refleks Ejeksi Janin), yang merupakan pemicu utama merejan fisiologis.
Ketika ibu menggunakan epidural, praktik yang umum dilakukan adalah menunda dorongan hingga kepala bayi telah turun lebih jauh, atau hingga ibu merasakan tekanan yang cukup signifikan lagi. Periode penundaan dorongan (biasanya 1 hingga 2 jam setelah serviks lengkap) memungkinkan kontraksi uterus yang kuat terus bekerja secara pasif, menghemat energi ibu.
Strategi ini terbukti efektif dalam konteks epidural. Dengan menunda dorongan, risiko kelelahan dan intervensi operatif (seperti vakum atau forsep) dapat dikurangi, meskipun total waktu tahap kedua mungkin lebih lama.
Ibu yang menggunakan epidural mungkin memerlukan panduan yang lebih terarah, namun fokusnya tetap pada merejan yang lembut dan didorong oleh tekanan, bukan kekuatan maksimal. Pendekatan yang digunakan adalah 'open-glottis pushing' (merejan sambil mengeluarkan suara atau napas), yang merupakan modifikasi dari merejan fisiologis, memungkinkan ibu mendorong tanpa menahan napas sepenuhnya.
Penting bagi bidan atau dokter untuk secara aktif memantau detak jantung janin dan kemajuan penurunan kepala, karena sensasi yang hilang berarti ibu tidak dapat sepenuhnya mengandalkan sinyal tubuhnya untuk menilai seberapa efektif dorongannya.
Tidak semua tahap merejan berjalan mulus. Tantangan umum meliputi kelelahan, ketidakmampuan janin untuk turun, atau ketegangan otot dasar panggul. Intervensi yang tepat pada saat yang tepat sangat penting untuk keselamatan persalinan.
Kelelahan adalah tantangan terbesar, terutama jika tahap merejan berlangsung lebih dari dua jam (atau tiga jam dengan epidural). Kelelahan sering diperburuk oleh merejan yang tidak efektif (seperti teknik Valsalva yang terus-menerus).
Solusi untuk kelelahan meliputi: perubahan posisi (misalnya, ke posisi miring untuk beristirahat), hidrasi dan nutrisi (jika diizinkan), dan peninjauan ulang teknik dorongan ke arah yang lebih spontan dan pendek. Jika kelelahan mengancam kesehatan ibu atau janin, intervensi medis mungkin diperlukan.
Jika kepala janin tidak turun meskipun ibu sudah merejan secara efektif, ada beberapa faktor yang mungkin berperan:
Saat kepala bayi mencapai dasar panggul, ibu akan merasakan sensasi panas membakar yang dikenal sebagai 'ring of fire'. Sensasi ini, ironisnya, adalah mekanisme perlindungan alami. Ini menandakan bahwa jaringan perineum sedang meregang hingga batasnya, dan ibu secara naluriah akan melambat atau berhenti mendorong.
Pada momen krusial ini, bidan atau dokter harus melakukan manajemen perineum yang hati-hati, seringkali meminta ibu untuk hanya mengeluarkan napas dan membiarkan kontraksi rahim yang lembut yang menyelesaikan dorongan akhir. Teknik ini, dikenal sebagai 'breathing the baby out', secara drastis mengurangi risiko robekan parah (derajat 3 dan 4) dibandingkan dengan dorongan keras yang dipaksakan.
Cara ibu merejan tidak hanya memengaruhi hasil persalinan segera, tetapi juga memiliki konsekuensi jangka panjang terhadap kesehatan dasar panggul (pelvic floor) dan kualitas hidup pascapersalinan.
Trauma dasar panggul adalah kerusakan pada otot, saraf, atau jaringan ikat yang menopang organ-organ panggul. Merejan yang dipaksakan dan berkepanjangan meningkatkan risiko kerusakan saraf pudendal dan cedera pada levator ani (kelompok otot inti dasar panggul).
Cedera ini dapat bermanifestasi sebagai:
Mengadvokasi merejan fisiologis, menggunakan posisi tegak, dan menghindari dorongan paksa adalah strategi utama untuk memitigasi risiko trauma dasar panggul jangka panjang.
Ketika seorang ibu merasa merejan secara efektif dan memiliki kendali atas prosesnya (merejan spontan), pengalaman melahirkannya cenderung lebih positif. Sebaliknya, jika ia dipaksa untuk mendorong dengan cara yang terasa tidak alami, atau jika dorongan berakhir dengan intervensi instrumental (vakum/forsep) karena kelelahan, hal ini dapat meningkatkan risiko trauma persalinan dan depresi pascapersalinan.
Pentingnya dukungan emosional dan instruksi yang lembut, yang memberdayakan ibu untuk mendengarkan tubuhnya, adalah komponen tak terpisahkan dari manajemen tahap kedua yang etis dan manusiawi.
Praktik merejan sangat dipengaruhi oleh sejarah dan budaya. Selama ribuan tahun, persalinan adalah peristiwa sosial yang terjadi di lingkungan komunal, dengan wanita didukung dalam posisi tegak.
Revolusi dalam praktik persalinan terjadi pada abad ke-17 di Eropa, didorong oleh peningkatan intervensi oleh dokter laki-laki. Raja Louis XIV dari Prancis dilaporkan menyukai istrinya melahirkan dalam posisi litotomi (telentang) sehingga ia bisa mengamati prosesnya. Praktik ini kemudian diadopsi secara luas di kalangan medis karena memberikan akses visual yang mudah untuk penggunaan forsep dan prosedur lainnya.
Pergeseran ini membawa serta adopsi merejan yang diarahkan. Ketika ibu berbaring, ia kehilangan efisiensi dorongan gravitasi, sehingga staf medis merasa perlu memerintahkan ibu untuk mendorong lebih keras dan lebih lama untuk mengkompensasi kerugian mekanis tersebut. Hal ini menciptakan siklus intervensi: posisi yang buruk membutuhkan dorongan paksa, yang menyebabkan kelelahan, yang kemudian membutuhkan intervensi instrumental.
Sejak akhir abad ke-20, semakin banyak bukti ilmiah yang mendukung kembalinya praktik yang berpusat pada ibu (mother-centered care). Organisasi kesehatan global, termasuk Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kini secara eksplisit merekomendasikan posisi tegak dan merejan spontan, menentang penggunaan rutin merejan Valsalva dan posisi litotomi pada persalinan normal.
Pengetahuan ini mendorong ibu hamil untuk memahami hak-hak mereka dan mempersiapkan diri dengan pengetahuan tentang cara tubuh mereka bekerja, sehingga mereka dapat berkolaborasi secara aktif dengan penyedia layanan kesehatan dalam memilih pendekatan merejan yang paling aman dan paling alami.
Merejan adalah upaya fisik yang intens, dan seperti olahraga lainnya, persiapan dapat meningkatkan efisiensi dan mengurangi risiko cedera. Persiapan ini berfokus pada kekuatan inti, fleksibilitas panggul, dan kontrol pernapasan.
Otot dasar panggul harus kuat untuk menopang kehamilan, tetapi juga harus mampu berelaksasi total selama merejan. Latihan Kegel yang rutin membantu ibu mengenali dan mengontrol otot-otot ini. Latihan inti yang aman (seperti plank yang dimodifikasi) memperkuat otot perut yang akan digunakan saat mendorong.
Sama pentingnya dengan kekuatan adalah fleksibilitas. Latihan yang membuka pinggul, seperti pose kupu-kupu atau jongkok prenatal yang didukung, membantu memprogram tubuh untuk posisi merejan yang optimal.
Kunci dari merejan fisiologis adalah pernapasan yang efektif. Ibu perlu berlatih pernapasan diafragma dalam (belly breathing) untuk memaksimalkan oksigenasi. Selama latihan dorongan, ibu harus berlatih mendorong ke arah dasar panggul, sambil mengeluarkan suara (misalnya, 'ah' atau 'uh'), yang memastikan glottis (pita suara) tetap terbuka (open-glottis pushing).
Latihan ini harus dilakukan secara simulatif: mengambil napas, merasakan dorongan ke bawah, dan melepaskan napas tanpa menahan. Ini melatih memori otot yang akan sangat berguna ketika ibu berada dalam kondisi persalinan yang terganggu oleh rasa sakit dan kelelahan.
Meskipun merejan spontan cenderung membuat tahap kedua lebih lama dibandingkan merejan paksa, durasi itu tidak secara inheren berbahaya asalkan ibu dan janin tetap stabil. Namun, ada batas waktu klinis di mana risiko mulai meningkat.
Secara umum, pedoman klinis menetapkan batas waktu untuk tahap kedua sebagai berikut:
Jika persalinan melampaui batas waktu ini dan kemajuan berhenti (misalnya, kepala bayi tidak turun sama sekali), atau jika muncul tanda-tanda gawat janin (perubahan pola detak jantung janin), intervensi menjadi penting.
Intervensi instrumental bertujuan untuk membantu janin keluar tanpa perlu operasi sesar, seringkali karena tahap merejan yang tidak efektif atau berkepanjangan yang menyebabkan kelelahan atau gawat janin. Alat yang digunakan adalah:
Keputusan untuk menggunakan alat ini didasarkan pada tingkat penurunan kepala bayi (stasiun) dan kondisi janin. Namun, intervensi instrumental meningkatkan risiko robekan perineum parah, sehingga manajemen merejan yang efektif sejak awal merupakan pencegahan terbaik.
Merejan adalah puncak dari kekuatan perempuan. Ini adalah momen yang menuntut tidak hanya kekuatan fisik, tetapi juga penerimaan, keberanian, dan kepercayaan pada proses biologis yang telah dirancang secara sempurna. Sains modern kini secara tegas mendukung transisi dari merejan yang diarahkan dan dipaksakan menuju merejan fisiologis yang didorong oleh ibu.
Pendekatan ini tidak hanya mengoptimalkan efisiensi biomekanik kelahiran dengan memanfaatkan gravitasi dan posisi tegak, tetapi yang lebih penting, ia menghormati integritas fisik dan emosional ibu. Dengan memilih untuk mendengarkan tubuh, ibu hamil memiliki peluang yang jauh lebih tinggi untuk mengalami persalinan yang aman, dengan risiko trauma perineum dan komplikasi janin yang lebih rendah.
Pendidikan prenatal yang berfokus pada mekanisme merejan spontan, pentingnya posisi, dan komunikasi terbuka dengan penyedia layanan kesehatan adalah fondasi untuk memastikan bahwa setiap ibu dapat memanfaatkan kekuatan merejan batinnya untuk menyambut kehidupan baru.
Dalam memahami merejan, kita tidak hanya memahami bagaimana cara mendorong seorang bayi, tetapi bagaimana mendukung ibu untuk menemukan kekuatannya sendiri dalam momen paling transformatif dalam hidupnya.
Untuk benar-benar memahami mengapa posisi memengaruhi merejan, kita harus melihat biomekanik panggul. Panggul bukanlah struktur tulang yang kaku; ia fleksibel, terutama di sambungan sakroiliaka dan simfisis pubis. Hormon relaksin, yang meningkat selama kehamilan, melunakkan ligamen ini, memungkinkan pergerakan kecil yang krusial selama persalinan.
Ketika ibu berbaring telentang, berat tubuhnya dan janin menekan bagian posterior panggul (tulang sakrum), yang secara efektif mengurangi dimensi pintu keluar panggul (pelvic outlet). Sakrum tidak dapat bergerak ke atas atau ke belakang. Kontrasnya, dalam posisi berjongkok, berlutut, atau bahkan merangkak, sakrum dibiarkan bergerak bebas. Posisi ini memungkinkan sakrum untuk 'melayang' (nutasi), meningkatkan diameter anteroposterior dan transversal panggul, memberikan beberapa sentimeter ruang ekstra yang sangat dibutuhkan.
Pergerakan ini memastikan bahwa kepala bayi dapat melakukan rotasi dan ekstensi yang diperlukan dengan sedikit gesekan, mengurangi kebutuhan akan dorongan yang berlebihan. Ini adalah studi kasus yang jelas tentang bagaimana lingkungan (posisi) dapat mendukung atau menghambat fungsi biologis alami.
Dasar panggul berfungsi sebagai terowongan yang harus dilewati kepala bayi. Terowongan ini terbuat dari otot dan fasia, bukan tulang. Selama merejan, otot levator ani harus rileks sepenuhnya. Dorongan paksa yang dilakukan sebelum waktunya sering kali menyebabkan otot-otot ini berkontraksi sebagai mekanisme perlindungan refleksif, yang justru menciptakan hambatan di jalan lahir.
Merejan fisiologis, dengan dorongan pendek dan relaksasi di antaranya, memungkinkan otot dasar panggul untuk secara bertahap menipis dan memanjang tanpa robek. Ini mirip dengan meregangkan karet gelang secara perlahan vs. menariknya secara tiba-tiba. Kecepatan keluarnya kepala janin pada sentimeter terakhir—yang sangat dikendalikan oleh ibu melalui pernapasan dan bukan dorongan—adalah faktor utama dalam mencegah trauma parah.
Meskipun bukti mendukung merejan fisiologis, penerapannya di lingkungan klinis modern yang serba cepat seringkali menjadi tantangan. Protokol rumah sakit, pelatihan staf, dan kebutuhan akan pemantauan berkelanjutan dapat bertentangan dengan kebutuhan ibu akan kebebasan posisi dan waktu.
Ketika ibu memilih posisi tegak atau pergerakan bebas, pemantauan detak jantung janin (Cardiotocography/CTG) menjadi sulit jika hanya menggunakan mesin berkabel tradisional. Ini sering menjadi alasan mengapa staf medis mendorong ibu untuk berbaring. Solusi modern mencakup pemantauan janin nirkabel (telemetri) atau intermiten auscultation (mendengarkan detak jantung janin secara berkala) yang memungkinkan ibu bergerak bebas.
Di banyak tempat, ada budaya 'cepat keluar'. Staf medis mungkin merasa tertekan untuk meminimalkan waktu tahap kedua. Hal ini sering mendorong mereka untuk menerapkan merejan yang diarahkan, meskipun bukti menunjukkan bahwa ini meningkatkan risiko cedera. Perubahan praktik memerlukan pelatihan ulang yang signifikan, menekankan kesabaran dan hasil jangka panjang ibu (seperti integritas dasar panggul) di atas kecepatan persalinan.
Pernapasan adalah alat yang paling kuat dan tersedia bagi ibu selama merejan. Teknik yang efektif jauh melampaui sekadar 'menahan napas'.
Pernapasan menggeram adalah teknik merejan yang paling mendekati fisiologis. Daripada menahan napas sepenuhnya, ibu mengeluarkan suara 'uh', 'ah', atau geraman rendah saat mendorong. Ini secara alami menjaga glottis tetap terbuka (open glottis), mencegah penumpukan tekanan intratoraks yang berbahaya, dan memastikan oksigen terus mengalir ke janin. Energi yang dikeluarkan diarahkan ke panggul, bukan ke wajah atau leher.
Ketika kepala bayi mulai melewati vulva (crowning) dan sensasi ‘ring of fire’ muncul, ibu perlu menghentikan semua dorongan sadar. Dalam momen ini, pernapasan terengah-engah yang cepat dan dangkal (seperti anjing yang kepanasan) digunakan untuk mencegah dorongan. Ini memberikan kontrol total kepada ibu, memungkinkan jaringan meregang perlahan tanpa robek akibat dorongan mendadak.
Kekuatan mental berperan besar. Ibu didorong untuk memvisualisasikan seluruh proses, membayangkan panggul mereka terbuka seperti kelopak bunga dan janin bergerak ke bawah, mengikuti jalur yang melengkung. Visualisasi ini membantu ibu mengarahkan kekuatan dorongan ke jalur lahir, bukan hanya mendorong ke 'mana pun terasa sakit'.
Merejan yang efektif adalah sinkronisasi antara pikiran yang fokus, napas yang terkontrol, dan kekuatan kontraksi uterus yang kuat.
Hormon oksitosin adalah kunci utama persalinan. Oksitosin endogen (alami) memicu kontraksi rahim dan Refleks Ejeksi Janin. Namun, jika persalinan diinduksi atau dipercepat menggunakan oksitosin sintetik (Pitocin/Syntocinon), dinamika merejan bisa berubah.
Produksi oksitosin endogen sangat sensitif terhadap lingkungan. Lingkungan yang gelap, tenang, dan privat akan memaksimalkan pelepasan oksitosin, menghasilkan kontraksi yang lebih efisien dan dorongan spontan yang kuat. Kehadiran rasa takut, cahaya terang, atau interupsi yang konstan dapat menghambat produksi oksitosin, memperlambat kemajuan, dan mengurangi dorongan alami.
Oksitosin sintetik menghasilkan kontraksi yang kuat, tetapi seringkali lebih intens, lebih sering, dan kurang ritmis dibandingkan kontraksi alami. Kontraksi yang terlalu kuat dan sering dapat mengurangi periode istirahat antara kontraksi, meningkatkan risiko gawat janin. Hal ini juga dapat mengurangi efektivitas dorongan ibu, karena kontraksi buatan mungkin tidak selaras sempurna dengan dorongan alami tubuh.
Ketika persalinan diinduksi, pemantauan janin harus lebih ketat, dan ibu mungkin membutuhkan teknik merejan yang lebih terstruktur karena sensasi Refleks Ejeksi Janin mungkin terdistorsi oleh intensitas kontraksi yang tinggi.
Peran tim pendukung (pasangan, doula, perawat) selama tahap merejan sangat besar. Mereka berfungsi sebagai penghubung antara ibu dan lingkungan klinis, membantu ibu mempertahankan fokusnya.
Mereka dapat mengingatkan ibu tentang teknik pernapasan yang telah dilatih, membantu mengubah posisi secara aman, dan yang paling penting, menjadi penyangga untuk melindungi ibu dari tekanan intervensi yang tidak perlu.
Selama merejan, mereka harus berbicara dengan suara tenang, memberikan afirmasi positif, dan menggunakan sentuhan jika diinginkan. Tugas utama mereka adalah menciptakan "zona" aman yang memungkinkan ibu memasuki mode refleksif yang diperlukan untuk merejan spontan.
Tim pendukung harus mampu berkomunikasi dengan jelas mengenai rencana merejan ibu (misalnya, preferensi posisi tegak, penggunaan merejan spontan) kepada staf medis. Jika intervensi diusulkan, mereka dapat membantu ibu mendapatkan waktu untuk bertanya dan memahami mengapa intervensi tersebut diperlukan, memastikan ibu tetap menjadi pembuat keputusan utama dalam proses ini.
Merejan adalah kolaborasi yang intens, di mana setiap orang di ruangan itu berupaya mencapai tujuan tunggal: kelahiran yang aman dan penuh hormat, dengan ibu sebagai kekuatan utama.
Pemulihan langsung setelah persalinan sangat dipengaruhi oleh bagaimana ibu merejan. Tahap ketiga persalinan (keluarnya plasenta) juga memerlukan dorongan yang ringan.
Setelah bayi lahir, rahim harus terus berkontraksi untuk melepaskan plasenta. Ibu akan diminta untuk memberikan dorongan yang sangat lembut, seringkali hanya sedikit batuk, saat kontraksi kembali. Dorongan ini jauh lebih mudah karena panggul sudah terbuka dan tekanan tidak lagi diperlukan. Manajemen aktif tahap ketiga (pemberian oksitosin setelah bayi lahir) dan dorongan lembut membantu meminimalkan risiko perdarahan.
Jika ibu merejan secara spontan dan menggunakan posisi tegak, kemungkinan trauma dasar panggulnya berkurang, yang berarti pemulihan pascapersalinannya cenderung lebih cepat. Namun, terlepas dari teknik merejan, semua ibu harus fokus pada pemulihan dasar panggul melalui istirahat, hidrasi, dan latihan Kegel yang dimulai secara bertahap beberapa hari setelah melahirkan (jika tidak ada robekan parah).
Merejan yang tepat adalah investasi dalam kesehatan jangka panjang ibu. Ini memastikan bahwa meskipun persalinan adalah upaya fisik yang masif, ibu dapat kembali ke fungsi normal dengan trauma fisik minimal dan rasa pencapaian yang mendalam.
Perjalanan merejan mencerminkan perjalanan kehamilan itu sendiri: penuh harapan, persiapan, dan tuntutan fisik yang luar biasa. Inti dari seni merejan yang modern dan berbasis bukti adalah pengembalian otoritas kepada ibu. Praktik terbaik adalah yang mendukung insting ibu dan menghormati sinyal biologisnya, bukan yang memaksakan teknik yang nyaman bagi penyedia layanan kesehatan.
Kita harus terus mendidik bahwa merejan bukanlah perlombaan lari, melainkan maraton yang menuntut stamina, teknik, dan kecerdasan. Merejan yang dilakukan dengan kesabaran, dalam posisi yang optimal, dan didorong oleh refleks alami tubuh, adalah jalan menuju kelahiran yang lebih aman, lebih memuaskan, dan memberikan hasil kesehatan yang lebih baik bagi ibu dan bayi.
Memahami setiap detail, dari pergerakan mikroskopis ligamen panggul hingga efek hormonal dari oksitosin, adalah cara kita memastikan bahwa momen krusial tahap kedua persalinan—momen merejan—dikelola bukan hanya dengan keahlian klinis, tetapi juga dengan kebijaksanaan, empati, dan keyakinan teguh pada kapasitas tubuh perempuan.
Dorongan ini, ketika diizinkan untuk mengalir secara alami, adalah ekspresi terkuat dari kekuatan kehidupan itu sendiri. Ini adalah babak akhir yang harus disambut dengan pengetahuan, dan dihormati dengan dukungan tanpa henti.
Oleh karena itu, persiapan ibu hamil harus mencakup lebih dari sekadar menguasai teknik; itu harus mencakup pemahaman tentang hak untuk memilih posisi, untuk menolak dorongan yang diarahkan, dan untuk memiliki lingkungan yang tenang. Pemberdayaan inilah yang mengubah rasa sakit menjadi kekuatan, dan upaya fisik menjadi puncak pencapaian biologis.
Pengetahuan ini adalah alat yang vital; sebuah jembatan yang menghubungkan praktik tradisional dengan ilmu pengetahuan modern, semuanya demi mencapai kelahiran yang sehat dan positif. Merejan, pada intinya, adalah tindakan cinta dan kekuatan yang paling murni, dan layak mendapatkan manajemen yang paling cermat dan penuh perhatian.
Setiap gelombang kontraksi, setiap dorongan yang berhasil, adalah langkah maju menuju pertemuan pertama antara ibu dan anaknya. Keberhasilan merejan tidak diukur dari seberapa keras ibu mendorong, tetapi seberapa cerdas dan selarasnya ia mendorong dengan ritme alami tubuhnya. Ini adalah janji bahwa tubuh tahu apa yang harus dilakukan, selama kita mengizinkannya.