Visi untuk mencapai keadilan sosial yang **merata** adalah inti dari cita-cita luhur pendirian bangsa. Konsep **merata** bukan hanya sekadar pembagian sumber daya yang sama rata, melainkan sebuah proses yang kompleks dan berkelanjutan untuk memastikan setiap individu, terlepas dari lokasi geografis, latar belakang ekonomi, atau kondisi sosial, memiliki akses yang setara terhadap peluang dan pelayanan dasar. Pemerataan adalah fondasi bagi stabilitas jangka panjang dan kemajuan kolektif, menepis jurang ketimpangan yang berpotensi memecah belah keutuhan sosial dan ekonomi.
Pemerataan dalam konteks nasional memiliki dimensi filosofis yang mendalam. Ia berakar pada keyakinan bahwa kekayaan negara harus dapat dinikmati secara **merata** oleh seluruh rakyat, dari Sabang hingga Merauke, dari Rote hingga Miangas. Realitas geografis yang terdiri dari ribuan pulau menghadirkan tantangan unik yang menuntut strategi pembangunan yang inovatif dan terdesentralisasi. Pemerataan tidak bisa dicapai dengan cetak biru tunggal; ia memerlukan adaptasi regional yang memahami keunikan lokal, potensi unggulan daerah, dan hambatan spesifik yang dihadapi oleh masyarakat terpencil.
Ketimpangan, yang sering diukur melalui Indeks Gini, bukan hanya masalah statistik, melainkan manifestasi dari kegagalan sistemik dalam menyalurkan kesempatan. Ketimpangan yang tidak tertangani akan menghasilkan lingkaran setan kemiskinan dan isolasi, di mana daerah-daerah yang sudah maju terus berlari kencang, meninggalkan wilayah lain dalam stagnasi. Pemerataan bertujuan memutus lingkaran ini, menciptakan titik-titik pertumbuhan baru yang tersebar **merata** di seluruh wilayah nusantara. Ini membutuhkan intervensi kebijakan yang berani, fokus pada redistribusi bukan hanya pendapatan, tetapi juga aset produktif dan infrastruktur penunjang.
Prinsip pembangunan yang berorientasi pada keseimbangan menuntut bahwa investasi pemerintah tidak hanya dipusatkan pada koridor ekonomi utama. Fokus harus dialihkan pada pembangunan wilayah pinggiran dan perbatasan. Pembangunan harus **merata** dalam arti menciptakan konektivitas fisik dan non-fisik. Konektivitas fisik mencakup pembangunan jalan, jembatan, pelabuhan, dan bandara perintis. Konektivitas non-fisik melibatkan integrasi pasar, penyebaran informasi, dan standardisasi pelayanan publik. Pemerataan adalah jembatan yang menghubungkan potensi lokal dengan pasar nasional dan global.
Ilustrasi 1: Model Keseimbangan Pembangunan Regional.
Dalam konteks Indonesia yang maritim, pemerataan juga sangat bergantung pada kebijakan kelautan dan konektivitas laut. Program tol laut adalah salah satu upaya monumental untuk memastikan logistik dan harga kebutuhan pokok dapat **merata** di seluruh pelosok. Tanpa harga yang stabil dan terjangkau, masyarakat di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T) akan selalu berada di bawah tekanan inflasi lokal yang tinggi, merenggut kemampuan mereka untuk berpartisipasi penuh dalam perekonomian nasional. Pemerataan harga adalah sinonim dari pemerataan kesejahteraan dasar.
Pemerataan ekonomi tidak berhenti pada bantuan sosial. Inti dari pemerataan sejati adalah kemampuan masyarakat untuk menghasilkan kekayaan sendiri secara berkelanjutan. Ini melibatkan redistribusi aset, seperti sertifikasi tanah, akses terhadap modal usaha ultra mikro yang **merata** (melalui KUR dan skema pembiayaan desa), serta pengembangan sumber daya manusia yang relevan dengan potensi lokal. Program reforma agraria, misalnya, merupakan upaya struktural untuk memastikan bahwa sumber daya alam dikelola secara adil dan produktif oleh rakyat, bukan hanya oleh segelintir korporasi besar. Ketika kepemilikan aset produktif menyebar **merata**, daya tahan ekonomi regional akan meningkat signifikan.
Tantangan terbesar dalam konteks ini adalah memastikan bahwa kebijakan yang dibuat di pusat dapat diimplementasikan secara efektif dan tanpa bias di tingkat daerah. Otonomi daerah harus dimaknai sebagai peluang untuk melakukan pemerataan dari bawah ke atas, di mana pemerintah daerah memiliki kewenangan dan tanggung jawab untuk merancang model pembangunan yang sesuai dengan karakteristik unik wilayah mereka, sambil tetap terintegrasi dalam kerangka pembangunan nasional yang lebih besar.
Sektor ekonomi adalah medan tempur utama dalam mewujudkan keadilan sosial yang **merata**. Jika pertumbuhan hanya terkonsentrasi di beberapa kota besar, ketimpangan struktural akan semakin mengakar. Strategi pemerataan ekonomi harus berfokus pada dua aspek utama: penguatan daya saing daerah di luar Jawa dan pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) sebagai tulang punggung ekonomi yang tersebar **merata** di seluruh komunitas.
Inklusi keuangan adalah kunci untuk memastikan setiap warga negara memiliki akses ke layanan perbankan, kredit, dan asuransi. Di banyak daerah 3T, akses ke bank formal masih sulit. Oleh karena itu, perluasan peran Lembaga Keuangan Mikro (LKM), Bank Pembangunan Daerah (BPD), dan program digitalisasi layanan keuangan harus dilakukan secara **merata**. Digitalisasi tidak hanya memudahkan transaksi, tetapi juga memungkinkan pemetaan risiko kredit yang lebih akurat, membuka peluang bagi petani atau nelayan kecil untuk mendapatkan modal tanpa agunan yang berlebihan.
Dana Desa (DD) merupakan instrumen fiskal yang paling revolusioner dalam upaya pemerataan pembangunan. Dengan mentransfer langsung sejumlah besar dana ke tingkat desa, DD memberdayakan komunitas lokal untuk menentukan prioritas pembangunan mereka sendiri, mulai dari infrastruktur dasar (jalan desa, irigasi) hingga penguatan BUMDes (Badan Usaha Milik Desa). Keberhasilan Dana Desa dalam mendukung pemerataan sangat bergantung pada transparansi dan akuntabilitas pengelolaan di tingkat desa, serta kemampuan pemerintah desa untuk merencanakan investasi yang produktif dan berkelanjutan, bukan sekadar investasi konsumtif.
Dana desa harus difokuskan untuk menciptakan aset produktif yang hasilnya dapat dinikmati **merata** oleh seluruh warga desa. Misalnya, investasi pada unit pengolahan hasil pertanian, pengembangan pariwisata berbasis komunitas, atau pembangunan infrastruktur air bersih yang dioperasikan BUMDes. Ini adalah perwujatan dari otonomi fiskal yang sesungguhnya di tingkat paling bawah.
Pemerataan ekonomi juga menuntut pengurangan ketergantungan pada komoditas tunggal yang rentan terhadap fluktuasi harga global. Setiap daerah harus didorong untuk mengidentifikasi dan mengembangkan potensi unggulan lokalnya (sumber daya alam, kerajinan, budaya, atau jasa). Kebijakan hilirisasi, yang selama ini sering berfokus pada sektor mineral, harus diperluas secara **merata** ke sektor pertanian, perikanan, dan perkebunan. Misalnya, membangun pabrik pengolahan kakao di Sulawesi, atau fasilitas pendingin ikan modern di Maluku, sehingga nilai tambah dari sumber daya tersebut dapat dinikmati langsung oleh masyarakat setempat, bukan hanya diangkut mentah ke luar daerah.
Strategi ini memerlukan pembangunan kawasan ekonomi khusus (KEK) atau kawasan industri terpadu yang lokasinya tersebar **merata** di luar klaster utama, didukung dengan insentif pajak dan kemudahan perizinan. Tujuannya adalah menarik investasi yang dapat menyerap tenaga kerja lokal dan mentransfer pengetahuan, sehingga menciptakan efek domino pertumbuhan yang menyebar.
Kesejahteraan yang **merata** melampaui Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Ia mencakup kualitas hidup, akses terhadap lapangan pekerjaan yang layak, dan kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dasarnya tanpa kesulitan. Upah Minimum Regional (UMR) harus mencerminkan biaya hidup yang sebenarnya di daerah tersebut, dan pemerintah harus memastikan kepatuhan terhadap standar ketenagakerjaan secara **merata** di seluruh wilayah industri.
Selain itu, fokus pada ekonomi hijau dan berkelanjutan harus menjadi bagian integral dari strategi pemerataan. Daerah yang memiliki kekayaan alam luar biasa, seperti hutan tropis atau terumbu karang, harus mendapatkan insentif ekonomi untuk menjaga kelestarian tersebut, dan masyarakat lokal harus menjadi penerima manfaat utama dari program ekowisata atau jasa ekosistem. Pemerataan harus juga berarti pemerataan tanggung jawab ekologis.
**Pilar Penting Pemerataan Ekonomi:**
Infrastruktur adalah pembuluh darah perekonomian. Tanpa infrastruktur yang memadai dan **merata**, upaya pemerataan lainnya akan terhambat. Tantangan terbesar adalah "masalah mil terakhir" (the last mile problem), di mana koneksi utama sudah tersedia, tetapi akses ke rumah tangga atau sentra produksi kecil masih terputus. Pemerataan infrastruktur harus dilihat secara multidimensi: energi, transportasi, dan telekomunikasi.
Rasio elektrifikasi yang **merata** adalah indikator kunci kemajuan. Masih banyak desa, terutama di wilayah timur dan perbatasan, yang belum menikmati listrik 24 jam penuh. Pemerataan energi harus dicapai tidak hanya melalui perluasan jaringan PLN, tetapi juga melalui pengembangan energi terbarukan berskala kecil (mikrohidro, surya, angin) yang sesuai dengan topografi dan sumber daya lokal. Model energi terdesentralisasi ini memungkinkan desa-desa terpencil untuk mencapai kemandirian energi dan mengurangi ketergantungan pada jaringan utama yang mahal untuk dibangun di daerah terpencil.
Selain listrik, akses terhadap bahan bakar minyak (BBM) dengan harga yang **merata** dan sama dengan harga di kota besar adalah hak fundamental. Program BBM Satu Harga adalah manifestasi dari komitmen ini, meskipun implementasinya membutuhkan pengawasan ketat terhadap rantai distribusi agar tidak terjadi kebocoran atau penyelewengan di tingkat pengecer. Pemerataan energi adalah prasyarat untuk pemerataan pendidikan dan ekonomi.
Konektivitas darat, laut, dan udara harus direncanakan sebagai satu kesatuan. Di wilayah kepulauan, fokus pada konektivitas laut melalui pembangunan pelabuhan perintis, penambahan kapal ternak, dan subsidi rute kargo penting untuk menjaga kelancaran pasokan. Jalan Trans-Pulau, seperti Trans-Sumatera dan Trans-Papua, adalah upaya monumental untuk menciptakan integrasi darat yang **merata**, memangkas biaya logistik, dan membuka akses ke daerah-daerah yang dulunya terisolasi.
Namun, pembangunan fisik harus diiringi dengan peningkatan kualitas pemeliharaan. Jalan yang rusak di daerah terpencil sama saja dengan isolasi. Pemerataan infrastruktur juga berarti pemerataan kualitas. Standar mutu pembangunan jalan dan jembatan di perkotaan harus diterapkan **merata** hingga ke daerah perbatasan. Hal ini memerlukan alokasi anggaran pemeliharaan yang cukup dan sistem pengadaan yang bebas korupsi.
Agar infrastruktur yang telah dibangun berfungsi optimal, perlu ada integrasi antar-moda yang **merata**. Barang yang tiba di pelabuhan harus dapat segera didistribusikan melalui jalan darat yang baik atau kereta api (di Jawa dan Sumatera). Pengembangan kawasan industri di dekat pelabuhan-pelabuhan sekunder (selain Jakarta dan Surabaya) akan membantu mengurangi kemacetan logistik dan menyebarkan kegiatan ekonomi secara **merata**.
Konsep pembangunan yang **merata** juga melibatkan pembangunan sosial dan budaya. Misalnya, pembangunan fasilitas olahraga, taman publik, dan pusat kebudayaan yang tidak hanya terpusat di ibu kota provinsi, tetapi juga tersebar **merata** hingga ke tingkat kabupaten. Akses terhadap ruang publik yang berkualitas adalah indikator penting dari kesejahteraan sosial.
Di era modern, pemerataan tidak lengkap tanpa pemerataan digital. Akses internet bukan lagi kemewahan, melainkan kebutuhan dasar untuk pendidikan, kesehatan, dan partisipasi ekonomi. Kesenjangan digital (digital divide) yang tajam antara wilayah urban dan rural dapat memperburuk ketimpangan ekonomi dan sosial yang sudah ada. Pemerataan digital harus mencakup tiga aspek: ketersediaan jaringan, keterjangkauan akses, dan literasi digital yang **merata**.
Pembangunan infrastruktur telekomunikasi harus menjadi prioritas nasional. Proyek pembangunan jaringan serat optik, menara Base Transceiver Station (BTS) di daerah 3T, dan pemanfaatan teknologi satelit adalah upaya konkret untuk memastikan sinyal internet berkualitas dapat diakses secara **merata**. Tantangannya adalah biaya operasional yang tinggi di daerah terpencil dan kepadatan penduduk yang rendah. Di sinilah peran pemerintah melalui skema Universal Service Obligation (USO) menjadi krusial, memastikan operator telekomunikasi tetap berinvestasi di wilayah yang secara komersial kurang menarik.
Ketersediaan jaringan saja tidak cukup jika biaya akses (data seluler atau perangkat keras) terlalu mahal bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Program subsidi perangkat atau paket data khusus untuk keperluan pendidikan dan UMKM perlu dikembangkan dan disebar **merata**. Lebih lanjut, literasi digital yang **merata** adalah fondasi. Percuma ada internet cepat jika masyarakat tidak tahu cara menggunakannya secara produktif—misalnya, untuk pemasaran produk UMKM, akses layanan kesehatan jarak jauh, atau pembelajaran daring.
Ilustrasi 2: Infrastruktur Digital dan Jaringan Inklusif.
Pemerataan digital juga berarti bahwa layanan pemerintah (e-Government) harus dapat diakses **merata** oleh semua warga. Mulai dari pengurusan dokumen kependudukan, perizinan UMKM, hingga layanan kesehatan (telemedisin), semuanya harus didesain untuk ramah digital dan dapat dijangkau oleh masyarakat di daerah terpencil. Hal ini menuntut adanya pelatihan yang **merata** bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) di daerah, serta penyediaan fasilitas publik (seperti pusat internet desa) untuk masyarakat yang tidak memiliki perangkat pribadi.
Saat digitalisasi menyebar **merata**, risiko keamanan siber juga menyebar. Pemerataan digital harus mencakup penguatan keamanan siber nasional. Daerah-daerah harus dilengkapi dengan kemampuan dasar untuk melindungi data pemerintah daerah dan data pribadi warganya. Kedaulatan data nasional memastikan bahwa informasi strategis disimpan dan diatur sesuai kepentingan nasional, terlepas dari lokasi fisik pengguna.
Pemerataan digital adalah katalisator bagi pemerataan di sektor lain. Dengan internet, seorang petani di pelosok Kalimantan dapat mengakses harga pasar komoditas secara *real-time*, seorang pelajar di Papua dapat mengikuti kursus daring dari universitas di Jawa, dan seorang dokter di Jakarta dapat memberikan konsultasi kepada pasien di Pulau Kei. Ini adalah perwujudan demokratisasi informasi yang **merata**.
Jika infrastruktur digital telah **merata**, ini akan memicu pertumbuhan ekonomi berbasis inovasi di daerah. Kota-kota tingkat dua dan tiga dapat bertransformasi menjadi *tech hub* baru, menarik talenta muda kembali ke daerah asalnya, dan mengurangi tekanan urbanisasi yang berlebihan di kota-kota besar. Pemerataan adalah solusi jangka panjang untuk menyeimbangkan dinamika populasi dan ekonomi.
Hak fundamental warga negara untuk mendapatkan pendidikan dan kesehatan yang berkualitas harus dipenuhi secara **merata**. Kualitas layanan dasar seringkali menjadi indikator paling nyata dari ketimpangan, di mana masyarakat di daerah terpencil menghadapi fasilitas yang buruk, kekurangan tenaga ahli, dan standar mutu yang jauh di bawah wilayah perkotaan.
Tujuan utama pemerataan pendidikan adalah memastikan bahwa kualitas pengajaran, ketersediaan fasilitas, dan rasio guru-murid yang ideal tersebar **merata** di seluruh jenjang pendidikan, dari PAUD hingga pendidikan tinggi. Fokus utama adalah pada:
Pemerataan pendidikan juga mencakup pemerataan akses ke pendidikan tinggi. Skema beasiswa afirmasi dan pembangunan kampus-kampus satelit oleh universitas negeri di luar pulau Jawa adalah langkah penting. Hal ini tidak hanya meningkatkan kapasitas pendidikan daerah, tetapi juga memicu kegiatan ekonomi lokal di sekitar kampus.
Sama halnya dengan pendidikan, akses kesehatan yang **merata** adalah hak asasi. Pembangunan Puskesmas dan Pustu (Puskesmas Pembantu) harus diprioritaskan di daerah yang memiliki indeks kesehatan terendah. Program Nusantara Sehat, yang menempatkan tim kesehatan multidisiplin di daerah terpencil, adalah model yang efektif untuk mendekatkan layanan kesehatan berkualitas.
Pemerataan fasilitas kesehatan menuntut penyediaan peralatan medis yang memadai dan ketersediaan obat-obatan esensial secara **merata**. Masalah kekurangan dokter spesialis di luar Jawa harus diatasi dengan kebijakan insentif, pendidikan kedokteran berbasis regional, dan pemanfaatan teknologi telemedisin untuk konsultasi dan diagnosis jarak jauh. Pemerataan harus memastikan bahwa warga di desa terpencil tidak perlu menempuh perjalanan ratusan kilometer hanya untuk mendapatkan penanganan medis dasar.
Pemerataan layanan dasar adalah investasi jangka panjang. Jika anak-anak mendapatkan pendidikan yang baik dan masyarakat memiliki derajat kesehatan yang tinggi, mereka akan menjadi sumber daya manusia yang produktif, mampu bersaing, dan pada akhirnya, akan mengurangi kebutuhan akan intervensi pemerintah di masa depan karena kemandirian ekonomi sudah **merata**.
Dalam konteks kesehatan, pemerataan juga berarti penyebaran kesadaran dan edukasi kesehatan yang **merata**. Program imunisasi, pencegahan stunting, dan sanitasi lingkungan harus mencapai setiap keluarga, tanpa terkecuali, dengan menggunakan bahasa dan pendekatan budaya yang relevan bagi masyarakat setempat.
Untuk memastikan bahwa visi pemerataan ini terwujud, dibutuhkan kerangka kebijakan yang kuat, pengawasan yang efektif, dan partisipasi publik yang masif. Pemerataan bukan hanya proyek teknis; ia adalah proyek politik dan sosial.
Birokrasi yang efisien dan bersih adalah prasyarat mutlak. Desentralisasi kewenangan harus disertai dengan desentralisasi kapasitas. Pemerintah daerah harus memiliki kemampuan manajerial dan teknis yang **merata** untuk merencanakan, melaksanakan, dan mengawasi program-program pemerataan. Korupasi di tingkat daerah seringkali menjadi penghambat terbesar bagi penyaluran dana pembangunan dan implementasi proyek infrastruktur. Oleh karena itu, reformasi birokrasi, digitalisasi perizinan, dan penegakan hukum yang tegas harus diterapkan secara **merata**.
Pengawasan harus diperkuat dari berbagai pihak: Inspektorat Jenderal, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan partisipasi masyarakat. Semua program pemerataan, mulai dari dana desa hingga pembangunan infrastruktur besar, harus memiliki indikator kinerja yang jelas dan dapat diakses publik. Transparansi adalah kunci untuk memastikan dana publik benar-benar dimanfaatkan untuk kepentingan publik secara **merata**.
Pemerintah tidak dapat sendirian mendanai seluruh proyek pemerataan yang ambisius ini. Peran sektor swasta sangat diperlukan melalui skema Kemitraan Publik-Swasta (KPS). Namun, mekanisme KPS harus didesain sedemikian rupa sehingga manfaatnya menyebar **merata**. Insentif pajak dan kemudahan regulasi dapat diberikan kepada investor yang bersedia membangun infrastruktur atau pabrik di wilayah 3T, dengan komitmen kuat untuk memberdayakan tenaga kerja lokal.
Pemerataan sejati akan terwujud ketika masyarakat di daerah terpencil merasa menjadi bagian integral dari narasi pembangunan nasional, memiliki rasa kepemilikan terhadap program pemerintah, dan dapat memantau serta mengoreksi setiap penyimpangan yang terjadi. Keadilan harus **merata** dalam semua aspek kehidupan, dari ekonomi, hukum, hingga kesempatan berpolitik.
Pencapaian pemerataan bukan merupakan garis akhir, melainkan sebuah perjalanan panjang yang menuntut konsistensi kebijakan lintas pemerintahan. Fluktuasi politik tidak boleh mengorbankan program-program struktural yang telah dirancang untuk mengurangi ketimpangan. Dibutuhkan cetak biru pembangunan jangka panjang yang didukung oleh konsensus nasional mengenai pentingnya distribusi sumber daya yang **merata**.
Pengukuran keberhasilan pemerataan harus melampaui pertumbuhan PDB belaka. Indikator yang lebih holistik, seperti Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang disebar **merata** di tingkat kabupaten, Indeks Kesejahteraan Material Regional, dan Indeks Kebahagiaan, perlu dijadikan acuan utama. Jika IPM di suatu wilayah tidak menunjukkan peningkatan yang **merata** dari tahun ke tahun, maka kebijakan pemerataan di wilayah tersebut perlu direvisi secara fundamental.
Pemerataan juga harus adaptif terhadap dinamika global, termasuk perubahan iklim dan revolusi teknologi. Daerah-daerah rentan harus diperkuat secara **merata** untuk menghadapi bencana alam dan dampak perubahan iklim. Selain itu, tenaga kerja di seluruh wilayah harus dipersiapkan secara **merata** agar memiliki keterampilan yang relevan dengan kebutuhan industri 4.0 dan ekonomi digital. Pemerataan harus futuristik, mempersiapkan bangsa untuk tantangan yang akan datang, bukan hanya mengatasi masalah masa lalu.
Pemerataan sumber daya manusia adalah kunci. Ini berarti bahwa kesempatan untuk mendapatkan pelatihan vokasi yang berkualitas, sertifikasi profesi, dan akses ke pusat-pusat penelitian harus **merata**. Ketika setiap anak bangsa, di manapun ia lahir, memiliki kesempatan yang sama untuk mengasah potensi terbaiknya, maka kita telah mencapai tingkat pemerataan yang sejati. Pemerataan adalah investasi pada potensi tak terbatas dari setiap individu yang ada di tanah air ini.
Memastikan bahwa setiap kebijakan, dari hulu hingga hilir, mempertimbangkan dampaknya terhadap wilayah 3T adalah esensi dari etika pemerataan. Setiap keputusan investasi, setiap penetapan harga, dan setiap alokasi anggaran harus dijustifikasi berdasarkan kontribusinya untuk menciptakan keadilan sosial yang **merata**.
Perjalanan menuju pemerataan sempurna adalah sebuah epik pembangunan yang melibatkan kerja keras, integritas, dan komitmen seluruh elemen bangsa. Ini bukan sekadar tugas pemerintah pusat, melainkan tanggung jawab bersama—pemerintah daerah, sektor swasta, akademisi, dan masyarakat sipil. Ketika kesenjangan antar wilayah menyempit, ketika akses terhadap peluang terbuka **merata**, dan ketika kualitas hidup di desa setara dengan kota, barulah cita-cita kemerdekaan yang sesungguhnya dapat dikatakan telah terwujud.
Visi pembangunan harus selalu berpusat pada manusia dan keadilan. Keseimbangan regional yang **merata** akan menjadi benteng ketahanan nasional dan pendorong utama kemajuan yang inklusif. Dengan tekad kuat untuk terus membangun dari pinggiran, memperkuat konektivitas, dan memastikan setiap rupiah anggaran dialokasikan secara adil, maka mimpi tentang Indonesia yang makmur dan **merata** akan menjadi kenyataan yang kokoh dan berkelanjutan, dirasakan oleh setiap generasi mendatang.
Pemerataan adalah janji moral bangsa. Ia adalah penentu apakah kita sebagai negara kepulauan mampu bersatu dalam kemakmuran, atau justru terpecah belah oleh ketimpangan. Masa depan bangsa ini bergantung pada seberapa sungguh-sungguh kita berkomitmen untuk memastikan bahwa kemajuan benar-benar menyentuh dan **merata** di seluruh penjuru Nusantara.
Akhirnya, pemerataan adalah refleksi dari keadaban kita sebagai sebuah bangsa. Bangsa yang beradab adalah bangsa yang tidak membiarkan satu bagian pun dari dirinya tertinggal. Ini adalah panggilan untuk bertindak, panggilan untuk berkolaborasi, demi Indonesia yang adil dan **merata**.