Alt Text: Ilustrasi pemisahan raga dan sukma.
Konsep Meraga Sukma merupakan salah satu puncak ajaran spiritualitas Nusantara, khususnya dalam tradisi Kejawen dan tasawuf lokal. Istilah ini secara harfiah merujuk pada kemampuan jiwa (sukma) untuk melepaskan diri sementara dari cangkang fisik (raga) dan melakukan perjalanan ke dimensi lain atau melintasi ruang dan waktu. Praktik ini bukanlah sekadar mimpi atau halusinasi, melainkan sebuah disiplin laku batin yang menuntut pemurnian diri, fokus mental yang luar biasa, serta pemahaman mendalam tentang hakikat keberadaan, yang oleh para leluhur disebut sebagai ilmu sejati.
Jalan menuju penguasaan meraga sukma tidak ditempuh dengan jalan pintas. Ini adalah perjalanan panjang yang melibatkan penaklukan ego, pengosongan pikiran (hening), dan penataan kembali energi vital dalam tubuh. Dalam konteks budaya Jawa, keberhasilan mencapai tingkatan ini sering dikaitkan dengan kesempurnaan seorang ksatria spiritual atau seorang wali yang telah mencapai taraf manunggaling kawula gusti—bersatunya hamba dengan Tuhannya, bukan dalam pengertian fisik, tetapi dalam kesadaran murni.
Memahami meraga berarti memahami struktur diri manusia yang berlapis. Kita tidak hanya terdiri dari kulit, daging, dan tulang. Di baliknya, terdapat lapisan energi halus, pikiran, perasaan, dan pada intinya, sukma atau jiwa sejati. Latihan ini bertujuan untuk mengaktifkan dan mengendalikan lapisan sukma tersebut. Prosesnya meliputi pemahaman yang rinci tentang alam semesta, yang bagi pandangan Kejawen, tidak hanya terdiri dari alam nyata (alam padhang) tetapi juga alam halus (alam peteng) dan berbagai tingkatan dimensi kesadaran yang saling tumpang tindih.
Artikel ini akan mengupas tuntas seluk-beluk praktik kuno ini, mulai dari landasan filosofis, tahapan laku batin yang harus dijalani, etika spiritual yang melingkupinya, hingga tantangan dan risiko yang dihadapi oleh mereka yang memberanikan diri menapaki jalan sunyi ini. Ini adalah ekspedisi ke dalam diri, sebuah upaya menembus batas-batas materi yang sesungguhnya telah diajarkan secara turun-temurun oleh para bijak di tanah Jawa.
Inti dari ajaran meraga terletak pada pemahaman kosmologi Kejawen tentang struktur manusia. Kita mengenal pembagian mendasar, meskipun interpretasinya sangat luas, yaitu Raga, Sukma, dan Rasa Sejati. Pemisahan hanya mungkin terjadi jika praktisi memahami batas dan koneksi antara ketiganya.
Raga adalah wujud fisik yang terikat pada hukum materi—lahir, tumbuh, menua, dan mati. Dalam konteks spiritual, raga dipandang sebagai kendaraan, sekaligus sebagai batasan. Ia adalah wadah bagi sukma untuk mengalami kehidupan di dunia nyata (dunia panca indra). Laku spiritual awal selalu dimulai dengan penataan raga: pengendalian hawa nafsu (makan, tidur, keinginan), yang disebut sebagai tirakat. Raga yang tidak terkontrol akan menjadi jangkar yang terlalu kuat, menghalangi pelepasan sukma.
Pengendalian raga melibatkan puasa, meditasi fisik (seperti yoga atau gerakan olah napas tertentu), dan membersihkan diri dari kotoran lahiriah maupun batiniah. Tanpa raga yang bersih dan terkendali, energi yang dibutuhkan untuk pemisahan tidak akan pernah terkumpul. Keseimbangan antara elemen fisik (tanah, air, api, angin) dalam raga adalah prasyarat mutlak.
Sukma adalah entitas energi yang memegang kesadaran, memori, emosi, dan identitas individu. Ketika seseorang melakukan meraga sukma, yang keluar adalah Sukma ini, sering kali disebut sebagai Raga Sukma atau Raga Astral. Sukma masih membawa jejak identitas fisik, memungkinkan individu untuk ‘melihat’ dan ‘merasakan’ alam dimensi lain, namun tidak terikat oleh jarak dan waktu. Sukma inilah yang menyimpan benang merah yang menghubungkannya kembali ke raga fisik, umumnya disebut sebagai tali perak atau tali emas.
Latihan pemurnian sukma berfokus pada pengolahan batin: menghilangkan rasa iri, dengki, dan ambisi duniawi yang berlebihan. Sukma harus berada dalam kondisi tenang (tentrem) dan jernih (wening). Kegagalan memurnikan sukma dapat mengakibatkan sukma menjadi liar atau terjebak dalam dimensi rendah yang dipenuhi energi negatif.
Di atas raga dan sukma, terdapat Rasa Sejati, atau sering pula disebut *Hawa Nafsu Suci* atau *Nur Ilahi* yang bersemayam dalam diri. Rasa Sejati adalah percikan ketuhanan yang ada pada setiap makhluk, yang menghubungkan individu langsung kepada Sang Pencipta (Gusti). Dalam konteks meraga sukma, Rasa Sejati adalah kompas etika dan energi pendorong yang murni.
Tujuan akhir meraga bukan hanya sekadar jalan-jalan astral, tetapi adalah perjalanan sukma menuju pengenalan dan penyatuan dengan Rasa Sejati. Rasa Sejati berfungsi sebagai pelindung utama, memastikan bahwa perjalanan sukma tetap berada di jalur kebaikan dan dapat kembali dengan selamat. Tanpa koneksi yang kuat dengan Rasa Sejati, praktik meraga hanyalah manifestasi kehendak ego (nafsu), yang sangat berbahaya dan tidak akan pernah mencapai kedalaman spiritual yang sesungguhnya. Inilah yang membedakan praktik mistis luhur dengan sekadar trik magis.
Meraga Sukma bukanlah praktik yang muncul tiba-tiba. Akar filosofisnya dapat ditelusuri jauh ke belakang, dalam khazanah spiritualitas pra-Islam Nusantara, terutama yang dipengaruhi oleh ajaran Hindu-Buddha Tantra dan konsep-konsep mistis Jawa kuno.
Dalam tradisi Yoga, dikenal konsep Pravritti (aktivitas) dan Nivritti (penghentian aktivitas). Meraga sukma dapat dilihat sebagai manifestasi dari upaya mencapai Nivritti total, di mana kesadaran dipisahkan dari indra fisik. Ajaran-ajaran kuno seperti yang tertulis dalam lontar-lontar di Bali dan Jawa Timur sering menggambarkan para resi atau pertapa yang mampu mencapai tingkatan siddhi (kekuatan spiritual) yang memungkinkan mereka melakukan perjalanan spiritual.
Dalam pewayangan, banyak tokoh yang dikisahkan memiliki kemampuan ini, seperti Bima saat mencari air kehidupan (Tirta Perwitasari) atau tokoh-tokoh yang mampu menjelma atau berpindah tempat dalam sekejap mata. Kisah-kisah ini berfungsi sebagai metafora, mengajarkan bahwa kemampuan menembus batas dimensi adalah hasil dari penaklukan diri dan laku prihatin yang amat berat. Penggunaan ajian atau mantra dalam cerita-cerita tersebut sering kali merujuk pada fokus dan konsentrasi total yang dibutuhkan untuk memisahkan sukma.
Ketika Islam masuk, praktik meraga sukma mengalami proses sinkretisme yang mendalam, terutama melalui jalur Tasawuf (Sufisme). Konsep perjalanan rohani (Mi'raj batin), atau istilah-istilah seperti fana’ (peleburan diri) dan baqa’ (kekekalan), memberikan bingkai baru bagi praktik ini. Para Wali Sanga dan penyebar Islam awal di Nusantara sering menggunakan terminologi lokal untuk menjelaskan konsep-konsep spiritual yang tinggi.
Dalam ajaran Sufi Jawa (kadang disebut Ilmu Makrifat), meraga sukma sering dihubungkan dengan pencarian Sirr (rahasia ilahi) yang tersembunyi. Perjalanan sukma dianggap sebagai upaya untuk membersihkan hijab (tabir) yang menutupi pandangan batin terhadap kebenaran hakiki. Praktik seperti dzikir nafas, yang mengintegrasikan pengendalian napas dengan pengulangan nama Tuhan, menjadi salah satu metode penting untuk mencapai kondisi getaran energi yang dibutuhkan agar sukma dapat lepas dari keterikatan fisik. Sinkretisme ini memastikan bahwa praktik meraga tetap berlandaskan pada etika agama dan filosofi spiritual yang luhur, menjauhkannya dari sekadar ilmu kesaktian tanpa makna.
Jalan menuju meraga sukma adalah jalan laku yang keras dan terstruktur. Tidak ada pil ajaib atau mantra instan. Ia menuntut ketekunan luar biasa (istiqomah) dan penyerahan diri (pasrah). Proses ini dapat dibagi menjadi tiga fase utama: persiapan fisik dan mental, pengumpulan energi (fokus), dan pelepasan (separasi).
Sebelum mencoba memisahkan sukma, praktisi harus memastikan bahwa raga dan batin telah siap. Tahap ini sering kali memakan waktu bertahun-tahun dan melibatkan serangkaian disiplin ketat:
Setelah tubuh dan pikiran mencapai tingkat kemurnian tertentu, praktisi mulai fokus pada pengumpulan energi halus, yang dalam tradisi Timur dikenal sebagai *prana* atau *chi*, atau di Jawa disebut sebagai *daya sejati*.
Ini adalah momen kritis. Ketika getaran mencapai puncaknya, tubuh terasa berat dan pada saat yang sama, terasa ringan. Terdapat dorongan kuat untuk ‘keluar’.
Proses ini melibatkan pemindahan kesadaran secara total dari otak fisik ke sukma. Para ahli sering mengajarkan teknik fokus pada satu titik, seperti suara detak jantung atau suara napas, hingga suara tersebut menghilang dan digantikan oleh keheningan mutlak (sirna). Saat sirna, terjadi lonjakan energi yang mendorong sukma keluar, seperti ditarik dari belakang atau didorong dari depan.
Pada saat pelepasan, praktisi mungkin merasakan sensasi jatuh, berputar, atau melayang. Penting untuk tidak panik. Rasa panik akan menyebabkan 'tarikan balik' yang keras dan bisa melukai sistem saraf halus. Keberanian dan kepasrahan total adalah kunci sukses di fase ini.
Ilmu meraga sukma seringkali dirahasiakan dan tidak diajarkan secara sembarangan. Hal ini bukan karena para guru kikir akan ilmu, tetapi karena risiko spiritual dan mental yang sangat besar bagi mereka yang tidak siap. Etika adalah perisai, dan tanpa etika, praktik ini menjadi bumerang.
Risiko terbesar bagi praktisi yang berhasil adalah munculnya ego spiritual (gumede). Ketika seseorang menyadari bahwa ia dapat melakukan hal yang tidak dapat dilakukan orang lain, muncul godaan untuk menggunakan kemampuan tersebut demi kepentingan pribadi atau pamer. Ego yang membengkak dapat menyebabkan beberapa hal buruk:
Etika meraga mengajarkan prinsip sepi ing pamrih, rame ing gawe (bekerja keras tanpa mengharapkan imbalan). Kemampuan ini harus digunakan untuk kebaikan bersama, mencari petunjuk kebijaksanaan, dan membantu sesama, bukan untuk memperkaya diri atau menunjukkan kehebatan.
Meraga sukma memberikan tekanan yang luar biasa pada sistem saraf. Jika praktisi memiliki riwayat gangguan mental atau fisik yang lemah, upaya pemisahan bisa berakibat fatal:
Oleh karena itu, guru sejati selalu menekankan bahwa persiapan hati dan niat harus 90% dari keseluruhan laku. Kekuatan spiritual harus dibangun dari dalam, bukan dari luar, agar perjalanan sukma menjadi aman dan bermanfaat.
Alt Text: Simbol alam semesta dalam konsep Kejawen.
Setelah sukma berhasil lepas, ia memasuki alam dimensi yang tak terhitung jumlahnya. Perjalanan ini didikte oleh tingkat kemurnian dan frekuensi getaran sukma itu sendiri. Alam yang lebih murni hanya dapat diakses oleh sukma yang berfrekuensi tinggi (murni), sementara sukma yang kotor akan terperangkap di lapisan bawah.
Tahap awal perjalanan sukma sering kali berada di Alam Papan Tengah, yang secara kasar dapat disamakan dengan lapisan energi yang masih sangat dekat dengan bumi. Di sini, segala sesuatu tampak serupa dengan dunia nyata, tetapi dengan kualitas energi yang berbeda. Ini adalah alam yang sering dihuni oleh sukma-sukma yang terikat pada dunia (arwah penasaran) dan berbagai entitas halus (jin, demit, lelembut).
Seorang praktisi meraga yang baru biasanya akan menguji kemampuannya dengan mengunjungi tempat-tempat fisik yang dikenal, melihat dari atas, atau bahkan mencoba berkomunikasi dengan makhluk halus yang menjaga tempat tersebut. Namun, para guru selalu memperingatkan agar tidak berlama-lama di alam ini, karena energinya masih berat dan sarat dengan tipuan indra dan godaan.
Dengan disiplin yang lebih tinggi, sukma dapat menembus lapisan astral menuju dimensi yang lebih murni:
Inti dari perjalanan ini bukanlah untuk mencari kesenangan atau penglihatan yang aneh, tetapi untuk memperoleh ilmu makrifat—pengetahuan langsung dan intuitif tentang kebenaran. Sukma kembali ke raga membawa pemahaman yang melampaui logika dan indra, mengubah cara pandang praktisi terhadap kehidupan secara mendasar.
Di era modern yang didominasi oleh sains dan logika material, konsep meraga sukma seringkali disamakan dengan fenomena psikologis seperti lucid dreaming atau Out-of-Body Experience (OOBE). Namun, para praktisi Kejawen berpendapat bahwa ada perbedaan mendasar antara pengalaman yang disengaja dan terstruktur ini dengan fenomena spontan.
OOBE (Pengalaman di Luar Tubuh) sering terjadi secara tidak sengaja, misalnya saat hampir mati (NDE) atau di bawah pengaruh trauma fisik. Sementara OOBE bisa merupakan manifestasi alami pelepasan sukma, meraga sukma adalah proses yang sepenuhnya disadari, dikendalikan, dan dimobilisasi melalui disiplin spiritual bertahun-tahun.
Lucid dreaming (mimpi sadar) terjadi di tingkat pikiran bawah sadar saat tidur. Praktisi meraga tidak tidur. Mereka berada dalam kondisi meditasi yang sangat dalam, yang disebut jagad dewa (sadar dewa), di mana raga fisik seperti mati, tetapi kesadaran batin tetap terjaga penuh. Ini adalah kondisi antara hidup dan mati, yang memerlukan kendali total atas sistem tubuh otonom.
Meskipun dunia bergerak cepat dan fokus pada hal-hal yang dapat dilihat, ajaran meraga sukma tetap relevan karena ia mengajarkan penguasaan diri dan pemahaman mendalam tentang realitas berlapis. Dalam dunia yang semakin bising, kemampuan untuk ‘menarik diri’ dan menemukan keheningan mutlak (sirna) adalah keterampilan yang sangat berharga.
Praktik ini mengingatkan bahwa sumber kekuatan sejati bukanlah akumulasi kekayaan atau kekuasaan, melainkan kualitas batin yang bersih. Kesinambungan ajaran ini tidak lagi ditekankan melalui praktik fisik yang terlalu ekstrem, melainkan melalui meditasi batin, olah rasa, dan penerapan etika Kejawen dalam kehidupan sehari-hari—sebagai landasan agar suatu hari nanti, jika kesempatan meraga datang, praktisi telah memiliki benteng spiritual yang kuat.
Keberhasilan Meraga Sukma sangat bergantung pada penguasaan Cakra dan jalur energi (Nadi atau Urut Saraf) dalam tubuh. Konsep ini, yang berakar kuat pada tradisi India dan telah diserap sempurna dalam Kejawen, menjelaskan bagaimana energi vital dapat dimanipulasi untuk memicu pelepasan sukma. Tidak cukup hanya membersihkan hati; energi harus diarahkan secara sadar.
Dalam ajaran spiritual Jawa kuno, energi dasar yang dorman di pangkal tulang belakang sering disebut sebagai Wong Sejati yang tertidur, atau analog dengan Kundalini. Untuk meraga, praktisi harus membangunkan dan menaikkan energi ini melalui jalur tengah (Sushumna Nadi). Pembangkitan ini bukanlah proses yang cepat; ia harus dilakukan secara bertahap melalui kontrol napas (olah napas) dan fokus pada cakra-cakra kunci.
Cakra dasar (Muladhara) harus dikunci agar energi fisik tetap stabil, sementara energi diarahkan ke cakra jantung (Anahata) untuk memurnikan emosi, dan yang terpenting, ke cakra Ajna (mata ketiga) dan Sahasrara (ubun-ubun). Pelepasan sukma seringkali terasa seperti dorongan kuat yang keluar melalui cakra ubun-ubun, seperti terlepasnya tutup botol yang bertekanan tinggi. Seluruh tubuh harus berfungsi sebagai transformator energi untuk memungkinkan transisi ini.
Proses ini memerlukan latihan pernapasan yang sangat spesifik, di mana napas ditarik perlahan, ditahan, dan dihembuskan dengan ritme yang teratur. Ritme ini menciptakan getaran internal yang memisahkan frekuensi raga dari frekuensi sukma. Kegagalan mengendalikan napas dapat menyebabkan hilangnya kesadaran atau, dalam kasus terburuk, kerusakan pada pusat energi tubuh.
Meskipun sukma terpisah, ia tidak pernah benar-benar putus dari raga fisik selama praktisi masih hidup. Mereka dihubungkan oleh apa yang sering disebut sebagai Tali Perak atau Tali Emas. Tali ini berfungsi sebagai saluran energi dan komunikasi dua arah, memastikan sukma dapat kembali dan raga tetap terjaga energinya.
Dalam perjalanan astral, Tali Perak ini terasa seperti kabel yang elastis dan bercahaya, membentang dari pusat sukma (seringkali di punggung bagian atas) menuju pusat energi raga. Praktisi harus selalu menyadari keberadaan tali ini. Jika sukma berjalan terlalu jauh atau terlalu lama di dimensi yang sangat padat energi negatif, tali ini bisa menipis atau melemah. Jika tali ini putus, sukma tidak dapat kembali ke tubuh fisik, yang menyebabkan kematian raga.
Penguatan Tali Perak adalah bagian integral dari laku meraga. Hal ini dilakukan melalui afirmasi batin dan perlindungan energi (pagar gaib) yang dipasang sebelum pelepasan. Perlindungan ini memastikan bahwa tidak ada entitas luar yang dapat memotong atau merusak koneksi vital ini selama sukma sedang menjelajah dimensi lain.
Setiap perjalanan sukma adalah unik, namun ada beberapa fenomena yang hampir selalu dialami oleh mereka yang berhasil mencapai tingkat separasi penuh dan terkontrol. Pemahaman terhadap fenomena ini penting agar praktisi tidak panik saat mengalaminya.
Sebelum separasi, sensasi getaran seluruh tubuh (vibrasi) terjadi. Sensasi ini bisa sangat intens, seolah-olah seluruh sel tubuh bergetar pada frekuensi tinggi. Bersamaan dengan ini, sering terjadi kondisi yang mirip dengan sleep paralysis (ketindihan), di mana raga fisik tidak bisa digerakkan sama sekali, meskipun kesadaran sudah penuh. Praktisi harus menyadari bahwa ini adalah mekanisme pertahanan alami tubuh untuk mencegah raga bergerak saat sukma keluar. Melawan paralisis ini justru akan menghambat proses pelepasan.
Salah satu pengalaman yang paling menggetarkan bagi seorang praktisi adalah ketika mereka berhasil berbalik dan melihat raga fisik mereka sendiri terbaring tak bergerak. Momen ini seringkali menjadi ujian kesiapan mental. Rasa takut, cemas, atau terkejut dapat menarik sukma kembali secara paksa. Melihat raga fisik dari perspektif luar memberikan pemahaman mendalam tentang ilusi materi dan betapa sementara tubuh itu.
Di tingkatan astral yang lebih tinggi, komunikasi tidak lagi terjadi melalui bahasa lisan. Sukma berinteraksi melalui telepati atau transfer informasi langsung dari pikiran ke pikiran (mind-to-mind transfer). Praktisi dapat mengakses apa yang disebut Akashic Records atau memori universal, di mana semua pengetahuan tentang masa lalu dan potensi masa depan tersimpan. Akses ke sana tidak didapatkan melalui kekuatan, melainkan melalui izin dan kemurnian niat. Pengetahuan yang didapat di sini seringkali berupa simbol, perasaan, atau intuisi murni yang harus diinterpretasikan dengan hati-hati saat kembali ke raga.
Di alam sukma, konsep jarak dan waktu tidak berlaku linier. Perjalanan dari satu benua ke benua lain dapat dilakukan dalam sekejap mata hanya dengan memfokuskan niat. Sukma yang terlatih mampu memanipulasi ruang astral. Namun, perjalanan cepat ini harus selalu dilakukan dengan kesadaran penuh, karena kecepatan tanpa kendali batin dapat menyebabkan sukma tersesat dalam pusaran energi.
Banyak ajaran leluhur menekankan bahwa tujuan meraga bukanlah kemampuan supranatural, melainkan sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi. Para guru spiritual selalu mengajarkan beberapa pedoman laku yang harus dipegang teguh.
Meraga sukma adalah upaya untuk menjawab pertanyaan fundamental tentang eksistensi: dari mana kita datang (sangkan) dan ke mana kita akan kembali (paran). Perjalanan astral memberikan bukti nyata bahwa kehidupan tidak berakhir dengan kematian fisik dan bahwa asal usul kita adalah dari alam energi yang lebih tinggi (Nur Ilahi).
Pemahaman ini menghilangkan rasa takut akan kematian, yang merupakan jangkar terkuat yang menahan sukma dalam raga. Ketika ketakutan lenyap, pelepasan menjadi lebih mudah. Ini adalah salah satu buah spiritual terpenting dari laku meraga.
Tidak disarankan mencoba meraga sukma tanpa bimbingan langsung dari seorang guru (kama guru) yang telah menguasai ilmu ini. Guru berfungsi sebagai 'penjamin' spiritual dan pelindung energi. Mereka memiliki kemampuan untuk memantau perjalanan sukma muridnya dari kejauhan dan dapat ‘menarik’ kembali sukma yang tersesat jika diperlukan.
Guru juga memastikan bahwa muridnya tidak hanya mengejar kesaktian, tetapi mengejar kebijaksanaan. Banyak laku batin yang bersifat personal dan hanya dapat diinstruksikan sesuai dengan karakter dan karma individu murid, sesuatu yang tidak bisa didapatkan dari buku atau teori semata.
Salah satu hasil yang paling konsisten dari laku meraga yang berhasil adalah munculnya rasa syukur yang mendalam atau narimo ing pandum. Setelah melihat luasnya alam semesta dan menyadari betapa kecilnya kehidupan fisik, masalah-masalah duniawi menjadi tidak berarti.
Rasa syukur ini menjadi fondasi etika. Seorang praktisi sejati yang kembali dari perjalanannya akan menjadi lebih rendah hati, lebih sabar, dan lebih berempati terhadap penderitaan sesama, karena ia telah menyaksikan kesatuan fundamental dari semua makhluk hidup di alam sukma.
Kembali ke raga fisik setelah meraga sukma seringkali lebih sulit daripada proses pelepasan itu sendiri. Sukma yang telah terbiasa dengan kebebasan dimensi lain harus menyesuaikan diri kembali dengan keterbatasan materi, indra fisik, dan hukum ruang waktu.
Ketika sukma memasuki kembali raga, ada periode penyesuaian yang dapat berlangsung dari beberapa menit hingga beberapa jam. Praktisi mungkin merasa linglung, pusing, atau indra mereka terasa terlalu sensitif terhadap cahaya dan suara. Ini disebut sebagai proses sinkronisasi ulang energi.
Sangat penting untuk tetap tenang dan melakukan grounding (membumikan diri) setelah kembali. Ini dapat dilakukan dengan menyentuh tanah, minum air hangat, atau melakukan olah napas sederhana. Kegagalan sinkronisasi yang baik dapat menyebabkan kebocoran energi, di mana energi halus keluar dari raga, membuat praktisi merasa lemas dan rentan terhadap penyakit.
Salah satu tantangan psikologis terbesar adalah godaan untuk terus melarikan diri ke alam sukma. Dunia astral seringkali terasa lebih nyata, lebih indah, dan lebih bebas daripada dunia fisik yang penuh dengan penderitaan dan batasan.
Para guru spiritual mengajarkan bahwa tugas sejati seorang manusia adalah di dunia nyata (ngawulo). Kemampuan meraga harus digunakan untuk memperkuat tindakan di dunia nyata, bukan untuk melarikan diri darinya. Kedewasaan spiritual diukur bukan dari seberapa sering seseorang bisa meraga, tetapi dari seberapa baik ia mengaplikasikan hikmah dari perjalanannya dalam kehidupan sehari-hari.
Setelah melihat realitas di luar materi, banyak hal di dunia fisik yang sebelumnya dianggap penting menjadi tidak berarti. Perubahan drastis ini dapat menyebabkan kesulitan dalam hubungan sosial atau pekerjaan. Praktisi harus belajar mengintegrasikan pengalaman spiritual yang mendalam dengan kewajiban duniawi mereka. Ini memerlukan keseimbangan (seimbang lahir batin) yang menjadi penentu apakah ilmu ini membawa berkah atau justru isolasi.
Meraga Sukma, jauh melampaui sekadar teknik, adalah sebuah metafora untuk pengembaraan batin yang mencari makna sejati. Ia adalah jembatan yang menghubungkan kesadaran fisik kita yang terbatas dengan kesadaran universal yang tak terbatas. Laku ini mengajarkan bahwa inti dari keberadaan kita adalah energi abadi, yang tidak terikat oleh kelahiran dan kematian.
Penguasaan ilmu meraga adalah penguasaan diri yang paripurna. Ia menuntut kejujuran batin, ketekunan, dan yang paling utama, niat yang murni untuk melayani kebenaran. Ilmu ini adalah warisan spiritual yang dijaga ketat oleh para leluhur, sebuah kunci untuk membuka gudang pengetahuan yang tersembunyi di balik tabir dimensi.
Bagi mereka yang memilih menapaki jalan sunyi ini, tantangan yang dihadapi akan sangat berat, tetapi hadiahnya adalah pemahaman hakiki tentang hubungan antara Sang Hamba (kawula) dan Sang Pencipta (Gusti). Meraga sukma adalah pengakuan bahwa hidup adalah perjalanan rohani, dan raga hanyalah stasiun persinggahan. Kesadaran sejati selalu menunggu untuk ditemukan, melampaui batas-batas tubuh, dalam keheningan sukma yang telah dimurnikan.
Proses ini menegaskan kembali prinsip bahwa kebijaksanaan tertinggi tidak ditemukan di luar, melainkan bersemayam di kedalaman hati setiap individu. Pencapaian tertinggi bukanlah perjalanan ke alam jauh, melainkan kembali ke pusat diri dengan membawa pencerahan, siap menjalani tugas hidup dengan penuh kesadaran dan kearifan.
Dalam tradisi Kejawen, khususnya yang berkaitan dengan Meraga Sukma, fokus utama bukanlah pada teknik fisik (meski penting), melainkan pada Olah Rasa. Rasa adalah stasiun terdekat menuju Rasa Sejati. Sebelum sukma bisa lepas, Rasa harus dimurnikan dari empat nafsu dasar yang selalu menjangkar kesadaran pada materi: Amarah, Lawwamah, Sufiyah, dan Mutmainnah. Meskipun Mutmainnah adalah nafsu yang tenang, ia pun harus dileburkan ke dalam Rasa Sejati agar tidak menjadi penghalang.
Olah Rasa berarti melatih kepekaan batin untuk membedakan antara suara hati nurani (petunjuk dari Rasa Sejati) dan bisikan nafsu (ego). Praktisi harus mencapai kondisi di mana ia mampu ‘mendengar’ tanpa telinga dan ‘melihat’ tanpa mata. Ini adalah kondisi waskita. Kemampuan waskita ini menjadi prasyarat karena di alam astral, indra fisik sama sekali tidak berguna, dan navigasi sepenuhnya bergantung pada intuisi dan kepekaan batin. Sukma yang belum terlatih dalam Olah Rasa akan mudah tertipu oleh ilusi dimensi astral, yang sering kali meniru bentuk-bentuk yang familiar namun memiliki maksud menyesatkan.
Selain puasa, ritual mandi suci memiliki peran penting dalam membersihkan lapisan energi luar (aura). Mandi kembang, mandi di tujuh sumber mata air, atau mandi pada waktu-waktu tertentu (seperti tengah malam) dilakukan untuk melepaskan ikatan energi negatif yang menempel pada raga. Energi negatif ini seringkali berupa akumulasi stres, dendam, atau pengaruh dari lingkungan yang buruk. Jika energi luar (aura) kotor, sukma akan sulit melepaskan diri karena lapisan raga terasa 'lengket' dan berat. Ini adalah persiapan yang harus diulang secara rutin.
Penetralan energi juga melibatkan penggunaan mantra atau doa-doa yang berfungsi sebagai frekuensi pembersih. Mantra yang diucapkan berulang kali dalam hening (dzikir) akan menciptakan resonansi di dalam tubuh, meningkatkan vibrasi, dan secara otomatis menjauhkan energi dengan frekuensi lebih rendah. Praktisi sejati tidak hanya mengandalkan kekuatan pribadinya, tetapi selalu memohon perlindungan dan kekuatan dari Gusti Yang Maha Agung, mengakui bahwa ilmu ini adalah anugerah, bukan hak.
Meraga Sukma juga menuntut harmoni total dengan alam semesta. Praktisi sering memilih tempat meditasi di lokasi yang masih murni (gunung, hutan, tepi laut) untuk menyerap energi alami bumi dan langit. Keharmonisan ini disebut ngemong alam—merawat alam. Keyakinan Kejawen mengajarkan bahwa alam semesta adalah manifestasi dari Gusti. Dengan merusak alam, kita merusak diri sendiri dan memutus koneksi energi yang dibutuhkan untuk mencapai Meraga Sukma.
Koneksi dengan alam juga mencakup penghormatan terhadap entitas penjaga tempat (dhanyang atau buyut). Sebelum melakukan laku di suatu tempat, praktisi wajib meminta izin secara batin, menunjukkan kerendahan hati dan mengakui keberadaan dimensi-dimensi yang saling bertumpuk. Tanpa kerendahan hati ini, perjalanan sukma dapat terganggu oleh entitas lokal yang merasa terganggu oleh niat egois.
Mereka yang mendalami meraga sukma secara etis tidak hanya mendapatkan pengalaman OOBE, tetapi mengalami transformasi spiritual total. Pandangan mereka terhadap dunia berubah dari materialistik menjadi holistik. Mereka mulai melihat setiap peristiwa, baik yang menyenangkan maupun menyakitkan, sebagai bagian dari skenario pembelajaran besar yang disebut takdir. Kedamaian batin (tentrem) menjadi kondisi permanen, tidak peduli apa yang terjadi di dunia luar.
Transformasi ini adalah tujuan sesungguhnya. Meraga Sukma adalah latihan untuk kematian; dengan melatih jiwa untuk lepas secara sadar, praktisi mempersiapkan diri untuk transisi akhir ketika raga mati. Mereka tidak lagi takut, karena mereka tahu bagaimana cara melepaskan diri secara damai. Mereka telah mencapai moksa batiniah, memastikan bahwa perjalanan pasca-kematian mereka akan menjadi perjalanan yang terarah menuju dimensi cahaya yang lebih tinggi, bukan terjebak dalam kebingungan di alam antara.
Oleh karena itu, meskipun banyak yang tertarik pada aspek kesaktiannya, para pemegang ilmu sejati selalu menekankan bahwa Meraga Sukma adalah ilmu tentang kesadaran, tentang kemanusiaan yang luhur, dan tentang penyatuan kembali dengan sumber Ilahi yang abadi. Disiplinnya adalah pengabdian, dan hasilnya adalah pencerahan yang tak ternilai harganya.