Konsep merabut, sebuah kata kerja yang menyimpan energi dan kecepatan, melampaui sekadar definisi fisik ‘mengambil dengan paksa’ atau ‘mencabut tiba-tiba’. Dalam konteks eksistensi manusia, merabut adalah tindakan fundamental yang mendefinisikan perjuangan kita melawan keterbatasan, kerentanan, dan hukum alam yang tak terhindarkan. Merabut adalah upaya untuk menegaskan kehendak bebas di tengah arus determinisme, baik itu merabut kesempatan, merabut kedaulatan atas diri sendiri, atau yang paling penting, merabut waktu dari cengkeraman kronologis yang tak henti.
Artikel ini akan menyelami spektrum luas dari tindakan merabut, menganalisis bagaimana ia membentuk sejarah individu dan kolektif. Kita akan melihat bagaimana kebutuhan mendesak untuk merabut—baik secara harfiah maupun metaforis—telah menjadi motor penggerak peradaban, inovasi, dan krisis identitas modern. Merabut bukan sekadar aksi, melainkan sebuah filosofi tindakan yang menuntut keberanian untuk menginterupsi status quo, menolak pasivitas, dan mengklaim apa yang dirasa berhak, bahkan jika klaim tersebut harus direbut dari tangan takdir itu sendiri.
Merabut adalah intervensi aktif, sebuah penolakan pasifitas di hadapan nasib.
Dalam sejarah filsafat, waktu selalu menjadi entitas yang cair dan sulit dipahami. Bagi manusia modern, pergulatan terbesar yang berkaitan dengan tindakan merabut adalah upaya untuk merabut waktu itu sendiri. Kita tidak bisa benar-benar menghentikan waktu (Chronos), namun kita terus-menerus berusaha merabut momen yang berarti (Kairos). Merabut waktu adalah upaya untuk memaksimalkan, mengoptimalkan, dan memberi bobot luar biasa pada setiap detik yang berjalan, sebuah respons langsung terhadap kesadaran fana yang menekan.
Masyarakat kontemporer didominasi oleh ideologi produktivitas yang ekstrim. Ini bukan hanya tentang bekerja lebih banyak, tetapi tentang 'merabut' nilai maksimum dari setiap unit waktu yang tersedia. Aplikasi manajemen waktu, teknik pomodoro, dan daftar tugas yang tak berkesudahan adalah manifestasi dari upaya kolektif ini. Kita mencoba merampas kembali jam-jam yang 'dicuri' oleh tidur, rekreasi pasif, atau bahkan sekadar refleksi tanpa tujuan. Obsesi ini lahir dari ketakutan mendalam bahwa jika kita tidak merabut waktu, waktu akan merampas segalanya dari kita.
Ketakutan ini, yang terkadang disebut temporal scarcity, mendorong individu untuk mengisi setiap celah. Busur waktu yang kosong dianggap sebagai pemborosan, sebuah kegagalan moral dalam budaya kapitalis modern. Merabut waktu melalui multitasking adalah ilusi merampas dua hal sekaligus, padahal yang sering terjadi adalah merampas kualitas dan kehadiran penuh (mindfulness) dari kedua tugas tersebut. Psikolog dan sosiolog melihat fenomena ini sebagai kecemasan yang mendera, di mana individu tidak lagi menikmati proses tetapi hanya fokus pada output yang telah direbut. Esensi dari kehidupan, sering kali, justru terdapat pada momen-momen yang tidak direbut, yang dibiarkan mengalir bebas.
Namun, dalam konteks profesional yang kompetitif, tindakan merabut waktu yang efisien bisa menjadi pembeda antara sukses dan kegagalan. Para inovator dan pionir adalah mereka yang secara efektif merabut jam-jam awal atau larut malam, memanfaatkan energi yang tidak dimiliki kompetitor, demi mencuri keunggulan. Tindakan merabut ini memerlukan disiplin yang brutal dan pengorbanan sosial yang signifikan. Itu adalah sebuah taruhan eksistensial: seberapa banyak dari 'sekarang' yang rela kita korbankan demi 'masa depan' yang kita rebut?
Jika Chronos adalah waktu yang linear, Kairos adalah waktu yang diisi dengan kualitas, momen yang tepat, atau peluang emas. Merabut Kairos adalah seni mengetahui kapan harus bertindak tegas, kapan harus menyela, dan kapan harus mengklaim ruang dalam sebuah narasi yang lebih besar. Dalam retorika kuno, Kairos adalah keunggulan situasional. Seorang orator yang efektif tahu bagaimana merabut perhatian audiens pada momen yang paling rentan, menyuntikkan argumen yang menentukan saat resistensi pendengar berada di titik terendah.
Seni merabut Kairos menuntut sensitivitas yang tinggi terhadap lingkungan dan dinamika sosial. Ini bukan tentang kekuatan fisik, tetapi tentang kekuatan intuisi dan kecepatan respons. Dalam dunia pasar saham, merabut Kairos berarti melakukan transaksi pada sepersekian detik sebelum tren menjadi jelas bagi massa. Dalam hubungan pribadi, itu berarti menemukan kata-kata yang tepat pada saat konflik memuncak untuk merabut kembali harmoni dan pengertian. Kegagalan untuk merabut Kairos sering kali menghasilkan penyesalan abadi, perasaan bahwa 'seandainya aku bertindak saat itu,' menandakan momen yang hilang selamanya.
Merabut Kairos juga memiliki dimensi etis. Apakah kita merabut momen itu untuk keuntungan pribadi yang merugikan orang lain, atau apakah kita merabutnya untuk menciptakan perubahan positif yang sangat dibutuhkan? Tindakan merabut momen yang krusial ini memerlukan kesadaran mendalam akan konsekuensi. Ketika seorang aktivis merabut mikrofon untuk menyuarakan kebenaran yang tidak populer, ia merabut panggung dari narasi dominan, menciptakan celah di mana realitas baru dapat diintrodusikan.
Perbedaan mendasar antara merabut Chronos (dengan paksa memaksa efisiensi) dan merabut Kairos (dengan bijak memanfaatkan peluang) terletak pada ketenangan. Merabut Chronos sering kali dilakukan dengan tergesa-gesa dan stres; sementara merabut Kairos dilakukan dengan ketajaman dan ketenangan yang memungkinkan pengenalan momen yang tepat.
Jauh sebelum ada internet atau media sosial, manusia telah bergulat dengan tantangan merabut identitas dari cetakan sosial yang kaku. Identitas sering kali diberikan, dipaksakan, atau diwariskan. Tindakan merabut dalam konteks ini adalah sebuah pemberontakan eksistensial, sebuah upaya untuk mendefinisikan diri sendiri, menolak label-label yang telah ditetapkan oleh keluarga, masyarakat, atau sejarah.
Merabut identitas dimulai dengan penolakan terhadap narasi yang diwariskan. Bagi banyak kelompok minoritas atau individu yang terpinggirkan, identitas adalah medan pertempuran yang harus direbut. Mereka harus merabut hak untuk mendefinisikan diri mereka sendiri dari stereotip dan prasangka yang telah mengakar. Proses ini sering kali menyakitkan karena melibatkan pemutusan ikatan dengan ekspektasi orang-orang terdekat.
Dalam psikoanalisis, proses ini dapat dilihat sebagai merabut kendali dari superego yang terlalu menekan atau dari trauma masa lalu yang terus mendikte perilaku. Merabut diri dari trauma berarti secara aktif mengklaim bahwa pengalaman menyakitkan tidak lagi memiliki hak untuk menentukan masa depan. Ini adalah tindakan merampas kembali kontrol emosional dan naratif.
Seni adalah salah satu arena paling subur untuk tindakan merabut identitas. Seniman merabut bentuk dari kekakuan, merabut makna dari klise, dan merabut suara dari kebisuan yang dipaksakan. Setiap karya seni yang orisinal adalah hasil dari merabut, sebuah pencurian estetika dari alam yang pasif atau tradisi yang membatasi. Mereka merabut esensi kemanusiaan dan mempresentasikannya dalam cara yang segar, menantang persepsi yang ada.
Merabut identitas adalah proses yang berkelanjutan, bukan tujuan akhir. Setiap kali kita membuat pilihan yang bertentangan dengan ekspektasi eksternal namun sejalan dengan nilai-nilai internal kita, kita sedang merabut segmen baru dari keotentikan diri kita.
Di era digital, tindakan merabut identitas menjadi lebih kompleks karena musuh yang dihadapi tidak lagi hanya masyarakat fisik, tetapi juga algoritma tak terlihat. Algoritma berusaha merabut keunikan kita dengan menempatkan kita dalam kategori yang dapat diprediksi, mengunci kita dalam 'gelembung filter' yang membatasi pandangan dunia kita. Identitas yang ditawarkan oleh media sosial adalah identitas yang telah diedit, difilter, dan disajikan untuk konsumsi, bukan identitas yang direbut melalui perjuangan otentik.
Merabut diri dari gelembung filter berarti secara sadar mencari informasi yang menantang pandangan kita, menolak untuk tunduk pada umpan balik yang menguatkan ego semata. Ini adalah tindakan merampas kembali kedaulatan mental dari mesin yang dirancang untuk menjaga kita tetap nyaman dan dapat diprediksi. Bagi generasi ini, tindakan merabut yang paling revolusioner mungkin adalah mematikan notifikasi, meletakkan gawai, dan secara fisik merebut kembali waktu dan ruang untuk pemikiran bebas yang tidak termoderasi.
Pada tingkat makro, tindakan merabut membentuk sejarah politik dan ekonomi. Sejarah peradaban adalah rangkaian panjang perebutan kekuasaan, wilayah, dan sumber daya—semuanya adalah manifestasi besar dari tindakan merabut. Dari penaklukan teritorial hingga perebutan pangsa pasar global, dorongan untuk merabut kendali adalah inti dari konflik manusia.
Konsep kedaulatan adalah hak untuk merabut dan mempertahankan kontrol atas wilayah dan penduduk. Kolonialisme, misalnya, adalah tindakan merabut yang massif dan sistematis, di mana bangsa-bangsa kuat merabut tanah, sumber daya, dan bahkan kemanusiaan dari bangsa yang lemah. Dalam konteks ini, merabut adalah sinonim dengan penindasan dan eksploitasi.
Namun, respons terhadap kolonialisme juga merupakan tindakan merabut. Gerakan kemerdekaan adalah upaya heroik untuk merabut kembali kedaulatan, martabat, dan hak untuk menentukan nasib sendiri dari penjajah. Ini adalah merabut yang dibenarkan oleh moralitas dan keadilan, sebuah penegasan bahwa hak asasi manusia tidak dapat dicabut.
Di tingkat lokal, perjuangan masyarakat adat untuk merabut kembali hak atas tanah leluhur mereka dari kepentingan korporasi adalah contoh berkelanjutan dari tindakan merabut yang vital. Tanah bukan hanya aset ekonomi; ia adalah wadah memori, spiritualitas, dan identitas. Kehilangan tanah berarti merabut akar eksistensial mereka, sehingga perjuangan untuk merabutnya kembali adalah perjuangan untuk mempertahankan jiwa kolektif.
Di era modern, merabut pengetahuan dan teknologi telah menggantikan merabut teritori sebagai sumber daya strategis utama. Hak kekayaan intelektual (HKI) adalah mekanisme yang dirancang untuk melindungi kepemilikan atas ide, namun sering kali ia menciptakan tembok yang membatasi akses. Tindakan 'merabut' dalam konteks ini bisa berupa upaya untuk mendekolonisasi pengetahuan, membuat data terbuka, atau menantang paten yang dianggap menghambat kemajuan global, terutama di bidang kesehatan dan energi.
Para peretas (hacktivists), misalnya, sering mengklaim bahwa tindakan mereka adalah upaya untuk merabut kembali informasi yang seharusnya menjadi milik publik dari cengkeraman institusi yang menyembunyikannya. Meskipun metodenya kontroversial, motivasi utamanya adalah merebut kembali kebebasan informasi, sebuah sumber daya vital dalam masyarakat berbasis data.
Waktu adalah aset yang paling dicoba untuk direbut, dipadatkan, dan dimanfaatkan secara maksimal.
Tindakan merabut jarang sekali netral. Ia selalu membawa beban moral dan implikasi psikologis yang mendalam. Kapan merabut menjadi tindakan heroik, dan kapan ia menjadi tindakan egois atau destruktif? Jawabannya terletak pada niat dan objek yang direbut.
Dalam psikologi positif, ada dorongan untuk merabut kebahagiaan. Ini berarti secara proaktif menciptakan kondisi yang kondusif untuk kesejahteraan, tidak menunggu kebahagiaan datang secara pasif. Merabut kebahagiaan adalah upaya untuk mengklaim otonomi emosional, menolak gagasan bahwa nasib menentukan suasana hati kita.
Sebaliknya, ada juga upaya untuk merabut rasa sakit. Ini bisa menjadi mekanisme koping yang sehat, seperti merabut makna dari penderitaan (seperti yang diajarkan oleh Viktor Frankl), atau bisa menjadi tindakan destruktif, yaitu merampas hak seseorang untuk merasakan kesedihan yang diperlukan untuk proses penyembuhan. Misalnya, masyarakat yang menuntut kebahagiaan instan sering kali merampas hak individu untuk berduka secara alami.
Perbedaan antara merabut kebahagiaan yang otentik dan merabut kesenangan yang dangkal (hedonisme instan) terletak pada keberlanjutan. Kebahagiaan yang direbut secara otentik berasal dari tindakan yang berakar pada nilai-nilai, sementara kesenangan yang direbut seringkali bersifat transien dan memerlukan perebutan berulang.
Ketika merabut melibatkan pengambilan dari pihak lain, dilema etis muncul. Dalam teori permainan, merabut yang rasional mungkin adalah merabut sumber daya sebelum orang lain melakukannya (dilema tahanan). Namun, dalam masyarakat yang adil, tindakan merabut yang merugikan orang lain harus dibatasi oleh hukum dan moralitas.
Namun, bagaimana dengan merabut peluang? Dalam lingkungan yang terbatas, kesuksesan satu orang sering kali dilihat sebagai kegagalan orang lain. Para pengusaha yang agresif sering kali dituduh 'merabut' ide, pekerja berbakat, atau klien dari pesaing. Dalam kapitalisme yang kejam, merabut yang cepat dan efisien sering kali dihargai. Namun, jika tindakan merabut ini melewati batas keadilan (misalnya, merampas hak pekerja atau merusak lingkungan), maka ia kehilangan legitimasi moralnya.
Oleh karena itu, tindakan merabut memerlukan pertimbangan etis yang mendalam: Apakah yang direbut itu adalah sesuatu yang tidak adil dipertahankan oleh pihak lain (seperti hak-hak sipil, kebebasan), atau apakah itu adalah aset yang secara sah dimiliki orang lain? Hanya ketika objek yang direbut adalah keadilan atau kebebasan yang tertahan, tindakan merabut mencapai status luhur dan revolusioner.
Isu keberlanjutan lingkungan adalah pergulatan tentang siapa yang berhak merabut sumber daya bumi. Generasi sekarang dituduh 'merabut' masa depan generasi mendatang dengan mengonsumsi sumber daya secara berlebihan dan merusak ekosistem. Tindakan merabut ini didorong oleh pandangan jangka pendek dan ketidakmampuan untuk melihat konsekuensi di luar rentang hidup individu.
Eksploitasi hutan, penangkapan ikan secara destruktif, dan emisi karbon yang tidak terkendali adalah tindakan merabut yang berdampak global. Kita merabut kapasitas bumi untuk meregenerasi diri, merampas keanekaragaman hayati, dan merampas iklim yang stabil dari anak cucu kita. Pergulatan melawan perubahan iklim pada dasarnya adalah upaya untuk merabut kembali kontrol atas lingkungan hidup kita dari cengkeraman industri ekstraktif dan konsumsi yang tidak bertanggung jawab.
Diperlukan kesadaran kolektif untuk menolak godaan merabut kekayaan instan yang merusak. Merabut kembali keberlanjutan menuntut kita untuk mengubah definisi kesuksesan dari akumulasi materi menjadi keseimbangan ekologis. Ini adalah bentuk merabut yang paling sulit karena musuhnya adalah kebiasaan konsumtif kita sendiri.
Merabut dalam konteks lingkungan juga bisa berarti merabut kembali ruang publik dari urbanisasi yang tak terkendali, memastikan bahwa ruang hijau dan akses ke alam tetap menjadi hak yang direbut dan dijaga oleh masyarakat, bukan dikuasai oleh pengembang properti semata. Ini adalah pertarungan untuk merabut kualitas hidup.
Untuk melangkah maju, kita harus merumuskan ulang apa yang layak untuk direbut. Jika dahulu fokusnya adalah merabut kekuasaan atau harta benda, kini fokus harus beralih pada merabut integritas, otentisitas, dan kesehatan mental. Tindakan merabut yang paling bermakna adalah merabut hal-hal yang tidak dapat diperdagangkan di pasar bebas.
Ketika merabut diarahkan pada klaim atas hal-hal yang bersifat luhur dan etis, ia menjadi motor transformasi. Ia adalah pengakuan bahwa hidup bukanlah sesuatu yang diberikan secara cuma-cuma, melainkan serangkaian upaya proaktif untuk mengukir makna di atas kanvas kekosongan.
Untuk benar-benar memahami dimensi merabut yang berkelanjutan dalam eksistensi manusia, kita harus melihatnya sebagai sebuah epos tanpa akhir, sebuah siklus dialektis di mana setiap tindakan perebutan melahirkan reaksi, kontra-perebutan, dan sintesis baru. Sifat dari merabut, dalam kedalaman maknanya, menyoroti relasi fundamental antara hasrat (desire) dan ketersediaan (scarcity). Jika segala sesuatu berlimpah, tidak akan ada kebutuhan untuk merabut; tindakan merabut hanya lahir dari kesadaran akan keterbatasan, baik itu keterbatasan waktu, sumber daya, atau penerimaan sosial.
Filsafat eksistensial, khususnya melalui karya Jean-Paul Sartre dan Albert Camus, dapat diterjemahkan sebagai panggilan untuk merabut makna dari alam semesta yang absurd dan tak peduli. Kita terlempar (thrownness) ke dalam keberadaan tanpa tujuan bawaan. Oleh karena itu, tugas manusia adalah merabut esensi keberadaan melalui tindakan dan pilihan bebas. Setiap pilihan yang kita buat adalah sebuah tindakan merabut: merabut definisi kita dari kekosongan, merabut nilai-nilai yang kita anut dari ketiadaan moral universal.
Sartre berargumen bahwa kita 'dikutuk untuk bebas'. Kebebasan ini menuntut kita untuk merabut tanggung jawab atas setiap aspek diri kita, menolak untuk menyalahkan nasib atau kondisi eksternal. Ketika seseorang menolak peran yang dipaksakan masyarakat—misalnya, menolak peran sebagai pegawai biasa atau anak yang patuh—ia secara radikal merabut kembali otonominya. Tindakan merabut ini adalah puncak dari keaslian (authenticity), sebuah penolakan untuk hidup dalam kondisi 'itikad buruk' (bad faith).
Camus, dengan konsep pemberontakannya, juga berbicara tentang merabut. Pemberontakan melawan absurditas, meski sia-sia dalam skala kosmik, adalah tindakan manusia yang paling mulia. Merabut kehormatan dari kesia-siaan hidup. Ini bukan tentang memenangkan pertarungan melawan alam semesta, tetapi tentang merabut martabat dalam pertarungan itu sendiri. Merabut bukan lagi tentang kepemilikan, tetapi tentang proses penegasan diri.
Sejarah sering kali ditulis oleh para pemenang, yang telah berhasil merabut narasi dan memori kolektif. Kelompok-kelompok yang ditaklukkan sering kali harus berjuang keras untuk merabut kembali sejarah mereka yang hilang atau dimanipulasi. Merabut memori melibatkan penggalian arsip yang tersembunyi, mendengarkan suara-suara yang dibungkam, dan menantang versi kejadian yang dominan.
Contohnya adalah perjuangan untuk merabut pengakuan atas genosida atau trauma kolektif. Ketika suatu negara atau kelompok menolak mengakui kejahatan masa lalu, mereka sedang berusaha merabut fakta historis dari korban. Sebaliknya, upaya korban untuk mendokumentasikan dan menyuarakan kebenaran adalah tindakan merabut yang esensial, sebuah klaim bahwa rasa sakit dan pengalaman mereka memiliki tempat yang tak terbantahkan dalam catatan sejarah.
Dalam skala pribadi, merabut memori juga penting. Seseorang yang menderita amnesia traumatis harus berjuang untuk merabut kembali potongan-potongan masa lalunya untuk membangun identitas yang utuh. Terapi dan refleksi adalah alat untuk merabut kembali kepingan realitas yang telah direnggut oleh mekanisme pertahanan diri.
Konsep merabut tidak hanya berlaku untuk perang, revolusi, atau krisis eksistensial. Ia termanifestasi dalam keputusan-keputusan kecil kita setiap hari, yang membentuk pola hidup kita dan hubungan kita dengan dunia.
Di lingkungan urban yang padat dan bising, merabut ruang pribadi dan keheningan adalah komoditas mewah yang semakin sulit didapatkan. Kebisingan konstan, baik dari lalu lintas maupun notifikasi digital, terus-menerus merampas kapasitas kita untuk berpikir jernih dan beristirahat. Oleh karena itu, mencari dan menciptakan keheningan adalah tindakan merabut yang diperlukan untuk kesehatan mental. Ini adalah pertahanan diri melawan invasi sensorik yang tak henti.
Merabut ruang fisik bisa sesederhana mengunci pintu kantor, atau mencari sudut terpencil di taman yang ramai. Dalam hal ini, merabut adalah tindakan penentuan batas (boundary setting), sebuah klaim tegas: 'Ini adalah milikku, dan kau tidak boleh memasukinya tanpa izin.' Tindakan ini penting karena tanpa batas yang jelas, kita rentan terhadap perebutan terus-menerus oleh tuntutan eksternal.
Masyarakat utilitarian, yang sangat fokus pada hasil dan efisiensi, sering kali merampas seni dan aktivitas rekreasi dari nilai intrinsiknya. Seni dipaksa menjadi alat untuk tujuan lain: investasi, status sosial, atau propaganda. Tindakan merabut seni kembali ke ranah kesenangan murni, ke ranah estetika yang tidak memiliki tujuan praktis, adalah tindakan perlawanan budaya.
Ketika seseorang melukis hanya karena keinginan untuk melukis, tanpa memikirkan pameran atau penjualan, ia sedang merabut seni dari belenggu kapitalisme. Merabut ini mengembalikan seni ke peran primernya: sebagai refleksi jiwa manusia dan sebagai ruang di mana tindakan bebas dan tanpa pamrih diperbolehkan.
Dalam hubungan antarmanusia, merabut terjadi dalam perebutan kendali, perhatian, dan kasih sayang. Dinamika ini halus namun kuat, mendefinisikan batas-batas emosional dan kekuasaan dalam setiap interaksi.
Di era informasi berlebih, perhatian adalah sumber daya paling langka. Kita terus-menerus bersaing dan merabut perhatian orang lain melalui narasi yang dramatis, presentasi yang menarik, atau konflik emosional. Media sosial dirancang sebagai mesin perebut perhatian terbesar dalam sejarah, menggunakan ilmu saraf untuk merampas fokus kita dari dunia nyata ke layar digital.
Dalam hubungan, individu yang merasa terabaikan mungkin mencoba merabut perhatian melalui drama atau krisis. Meskipun ini adalah bentuk merabut yang tidak sehat, itu mencerminkan kebutuhan dasar manusia untuk diakui. Tindakan yang lebih sehat adalah merabut perhatian secara otentik, yaitu dengan menjadi menarik melalui integritas dan kedalaman, bukan manipulasi.
Dalam keluarga, konflik generasi sering kali merupakan pertarungan untuk merabut otoritas. Anak-anak remaja berjuang untuk merabut otonomi dari orang tua yang protektif. Orang tua yang menua mungkin merasa anak-anak dewasa mereka merabut peran pengambil keputusan mereka. Setiap fase kehidupan menuntut penyesuaian dalam siapa yang merabut dan siapa yang melepaskan kendali.
Merabut otonomi anak adalah langkah yang diperlukan menuju kematangan. Proses ini memerlukan negosiasi, namun inti dari tindakan ini adalah klaim bahwa individu tersebut kini berhak atas kedaulatan dirinya sendiri. Jika perebutan ini tidak berhasil, individu tersebut mungkin selamanya terperangkap dalam ketergantungan, gagal merabut potensi penuhnya.
Dari waktu yang kronologis hingga identitas psikologis, dari kedaulatan politik hingga keheningan pribadi, tindakan merabut adalah sebuah keniscayaan. Kita hidup dalam dunia yang ditandai oleh ketidaksempurnaan, kekurangan, dan keterbatasan. Dalam kondisi ini, pasivitas adalah kemewahan yang tidak bisa kita nikmati. Untuk hidup sepenuhnya, kita harus menjadi pelaku aktif, merangkul energi yang terkandung dalam kata 'merabut'.
Merabut bukanlah sekadar agresi; ia adalah afirmasi yang mendalam. Ia adalah deklarasi bahwa kita menolak untuk menjadi daun yang terbawa arus takdir tanpa perlawanan. Merabut adalah jembatan antara potensi dan aktualisasi, antara harapan dan realitas. Tantangan etis bagi setiap individu adalah mengarahkan dorongan bawaan untuk merabut ini menuju tujuan yang membebaskan, bukan yang menindas.
Pada akhirnya, esensi dari perjuangan manusia adalah kemampuan untuk merumuskan kembali tindakan merabut, mengubahnya dari tindakan pengambilan paksa menjadi tindakan penciptaan yang berani. Merabut waktu bukan untuk mengisinya dengan kesibukan yang sia-sia, tetapi untuk mengisinya dengan makna yang dipilih. Merabut identitas bukan untuk menyakiti orang lain, tetapi untuk membebaskan diri sendiri. Ketika kita berhasil merabut esensi keberadaan dari hiruk pikuk dan keacuhan, barulah kita dapat mengatakan bahwa kita telah benar-benar hidup.
Pergulatan untuk merabut terus berlanjut. Ini adalah tugas seumur hidup, sebuah panggilan untuk tetap waspada terhadap momen Kairos, untuk berani menantang narasi yang membatasi, dan untuk secara gigih mengklaim ruang, waktu, dan makna yang kita yakini adalah hak kita untuk miliki dan definisikan.