Pendahuluan: Definisi dan Urgensi Tindakan Menyita
Dalam spektrum penegakan hukum modern, tindakan **menyita** aset merupakan salah satu instrumen paling krusial dan berdaya guna yang dimiliki oleh negara. Tindakan ini tidak sekadar berfungsi sebagai mekanisme hukuman, tetapi juga sebagai alat pemulihan kerugian negara, pencegahan kejahatan lanjutan, dan penegasan supremasi hukum. Namun, kekuasaan untuk **menyita**—yang secara fundamental melanggar hak kepemilikan pribadi—harus dilaksanakan dengan prinsip kehati-hatian, proporsionalitas, dan ketaatan penuh pada prosedur hukum (due process).
Konsep **menyita** melampaui batas-batas hukum pidana murni. Ia juga diterapkan secara luas dalam konteks administratif, perdata, hingga kepailitan. Kejahatan kerah putih, terutama korupsi dan pencucian uang, telah mengubah lanskap peradilan, menuntut fokus dari menghukum individu menjadi memotong urat nadi finansial kejahatan tersebut. Ketika negara berhasil **menyita** hasil kejahatan, pesan yang disampaikan jelas: kejahatan tidak akan pernah menghasilkan keuntungan yang langgeng. Oleh karena itu, pemahaman mendalam mengenai kapan, bagaimana, dan mengapa negara berhak **menyita** merupakan esensi dari diskursus hukum kontemporer.
Gambar: Simbol Keadilan yang Mengawasi Proses Penyitaan Aset.
I. Landasan Hukum dan Filosofi Menyita Aset dalam Tindak Pidana
Tindakan **menyita** dalam hukum pidana bertujuan ganda: alat bukti (penyitaan probatoria) dan alat pemulihan (penyitaan rehabilitasi/perampasan). Secara filosofis, dasar penyitaan adalah doktrin bahwa tidak ada seorang pun yang boleh mengambil keuntungan dari tindak kejahatannya. Aset yang diperoleh dari kegiatan ilegal, atau yang digunakan sebagai sarana kejahatan, kehilangan status legitimasi kepemilikannya di mata hukum. Proses ini dikenal sebagai *forfeiture* atau perampasan, dan ia memiliki mekanisme yang sangat ketat untuk memastikan hak-hak terdakwa tidak terlanggar.
1.1. Perbedaan Mendasar: Penyitaan Barang Bukti vs. Penyitaan Hasil Kejahatan
Dalam kerangka hukum acara pidana, penyitaan memiliki dua kategori utama yang sering tumpang tindih namun secara prosedural berbeda, terutama dalam tujuan akhir dari barang yang **disita**.
A. Penyitaan Probatoria (Penyitaan Barang Bukti)
Penyitaan jenis ini dilakukan untuk keperluan pembuktian di pengadilan. Tujuannya adalah untuk mengamankan barang yang terkait langsung dengan tindak pidana—dikenal sebagai *corpus delicti* (objek kejahatan), *instrumentum delicti* (alat yang digunakan untuk kejahatan), atau barang yang dapat menerangkan terjadinya tindak pidana. Aset yang **disita** di sini mungkin tidak harus berupa uang atau barang mewah, tetapi bisa berupa dokumen, perangkat komunikasi, atau benda-benda yang memuat petunjuk. Setelah proses peradilan selesai, status akhir barang ini ditentukan: dikembalikan, dimusnahkan, atau dirampas untuk negara.
B. Penyitaan Rehabilitasi/Perampasan (Forfeiture)
Fokus dari penyitaan ini adalah kekayaan yang diperoleh secara ilegal (*producta sceleris*). Tujuan utamanya adalah pemulihan aset (asset recovery). Dalam konteks kejahatan terorganisasi, korupsi, dan pencucian uang, penyitaan ini menjadi senjata utama. Hukum membedakan dua pendekatan utama dalam perampasan:
- Perampasan *In Personam* (Terhadap Individu): Perampasan ini memerlukan adanya putusan pidana yang berkekuatan hukum tetap terhadap individu yang bersalah. Aset hanya dapat **disita** dan dirampas setelah terbukti bahwa individu tersebut melakukan kejahatan dan aset tersebut adalah hasilnya. Proses ini terikat erat pada pemidanaan.
- Perampasan *In Rem* (Terhadap Benda): Jenis ini memungkinkan negara untuk **menyita** aset yang diyakini berasal dari kejahatan tanpa harus terlebih dahulu menjatuhkan hukuman pidana terhadap pemiliknya. Fokus peradilannya adalah pada *aset itu sendiri*, bukan pada si pemilik. Pendekatan ini sangat efektif dalam kasus di mana pelaku kejahatan melarikan diri, meninggal dunia, atau tidak dapat diadili secara efektif, namun kekayaan ilegalnya harus tetap **disita** demi keadilan. Ini adalah mekanisme yang sering digunakan untuk menargetkan jaringan kejahatan transnasional.
1.2. Tantangan Yurisdiksi dalam Menyita Aset Lintas Batas
Seiring dengan globalisasi kejahatan, aset hasil korupsi dan kejahatan terorganisasi seringkali dipindahkan melintasi yurisdiksi melalui skema pencucian uang yang kompleks. Ini menimbulkan tantangan signifikan bagi upaya negara untuk **menyita** aset tersebut. Kerjasama internasional menjadi kunci, diatur oleh konvensi seperti UNCAC (United Nations Convention Against Corruption).
Prosedur untuk **menyita** aset di luar negeri melibatkan Mekanisme Bantuan Hukum Timbal Balik (Mutual Legal Assistance/MLA). Negara pemohon harus membuktikan kepada negara termohon bahwa aset tersebut memiliki kaitan yang kuat dengan kejahatan dan bahwa prosedur penyitaan di negara termohon harus dihormati. Kendala birokrasi, perbedaan sistem hukum (terutama antara sistem *common law* dan *civil law*), dan masalah kedaulatan sering memperlambat atau menggagalkan upaya untuk berhasil **menyita** kekayaan yang tersembunyi di luar negeri.
II. Prosedur Hukum dan Perlindungan Hak Tersangka (Due Process)
Kekuasaan negara untuk **menyita** aset tidak boleh menjadi kekuasaan yang absolut. Untuk menjaga keseimbangan antara kepentingan publik (memberantas kejahatan) dan hak individu (perlindungan kepemilikan), prosedur penyitaan diatur secara ketat oleh hukum acara. Prinsip *due process of law* menjamin bahwa tindakan **menyita** hanya dapat dilakukan berdasarkan perintah tertulis yang sah dan melalui prosedur yang transparan.
2.1. Syarat dan Mekanisme Penerbitan Surat Perintah Penyitaan
Tindakan **menyita** harus didasarkan pada kecurigaan yang masuk akal dan didukung oleh bukti awal. Dalam banyak yurisdiksi, penyidik harus mengajukan permohonan kepada hakim untuk mendapatkan surat penetapan penyitaan. Persyaratan yang harus dipenuhi meliputi:
- Keterkaitan Aset: Harus ada hubungan yang jelas antara aset yang akan **disita** dengan tindak pidana yang disangkakan.
- Urgensi: Kebutuhan untuk segera mengamankan aset agar tidak dipindahtangankan, dihilangkan, atau nilainya berkurang.
- Spesifikasi: Aset yang **disita** harus dijelaskan secara rinci dan spesifik (lokasi, jenis, jumlah).
Tanpa penetapan pengadilan yang sah, tindakan **menyita** dapat dianggap ilegal, dan aset yang telah **disita** dapat dibatalkan, bahkan jika kemudian terbukti aset tersebut memang hasil kejahatan. Penolakan terhadap prosedur yang benar seringkali menjadi celah hukum yang dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan.
2.2. Manajemen Aset yang Disita
Gambar: Simbol Kekayaan dan Aset Keuangan yang Rentan Disita.
Setelah aset berhasil **disita**, masalah pengelolaan aset muncul. Aset yang **disita** dapat berupa properti bergerak (kendaraan, kapal, perhiasan), properti tidak bergerak (tanah, bangunan), atau aset finansial yang volatil (saham, mata uang kripto). Jika aset dibiarkan tanpa pengelolaan, nilainya dapat merosot drastis, menyebabkan kerugian bagi negara (jika aset dirampas) atau bagi pemilik (jika aset dikembalikan).
Oleh karena itu, diperlukan lembaga khusus yang bertanggung jawab mengelola aset sitaan (misalnya, badan pengelola aset negara). Tugas badan ini mencakup:
- Pemeliharaan Fisik: Memastikan properti tetap dalam kondisi baik dan terlindungi dari kerusakan.
- Valuasi (Penilaian): Melakukan penilaian berkala untuk mencatat perubahan nilai aset, terutama aset finansial.
- Penjualan Dini (Interim Sale): Dalam kasus aset yang cepat busuk (seperti hasil pertanian) atau aset yang nilai depresiasinya tinggi (kendaraan mewah), dimungkinkan untuk menjual aset yang **disita** sebelum putusan inkrah, dengan hasil penjualan disimpan dalam rekening penampungan. Prosedur penjualan dini ini harus dilakukan dengan transparan dan mendapatkan persetujuan pengadilan untuk menjaga hak kepemilikan.
2.3. Perlindungan Pihak Ketiga yang Beritikad Baik
Salah satu dilema etis terbesar dalam penyitaan adalah ketika aset yang akan **disita** telah dialihkan atau dipegang oleh pihak ketiga yang tidak terlibat dalam kejahatan (bona fide third parties). Hukum harus menyediakan mekanisme yang kuat untuk melindungi hak-hak mereka. Pihak ketiga harus diberi kesempatan untuk membuktikan bahwa mereka memperoleh aset tersebut secara legal, dengan harga pasar, dan tanpa mengetahui bahwa aset tersebut berasal dari kejahatan (doktrin *innocent ownership*).
Jika terbukti pihak ketiga beritikad baik, aset tersebut harus dibebaskan dari upaya **menyita**. Proses pembuktian ini seringkali rumit, terutama dalam struktur kepemilikan korporasi yang berlapis dan penggunaan *shell companies* untuk menyamarkan asal-usul aset yang akan **disita**.
III. Penyitaan dalam Ranah Non-Pidana: Pajak, Utang, dan Administrasi
Meskipun sering dikaitkan dengan kejahatan berat, tindakan **menyita** juga merupakan alat penting dalam penegakan hukum perdata dan administrasi, terutama terkait kewajiban finansial terhadap negara atau kreditur. Di sini, dasar hukum penyitaan adalah kegagalan memenuhi kewajiban kontraktual atau kewajiban publik.
3.1. Penyitaan Aset oleh Fiskus (Otoritas Pajak)
Pajak adalah tulang punggung pembiayaan negara. Ketika wajib pajak gagal melunasi utang pajak yang telah ditetapkan secara sah dan final, otoritas perpajakan diberikan wewenang eksekutorial untuk **menyita** aset wajib pajak. Prosedur ini diatur oleh undang-undang penagihan pajak dengan surat paksa, yang memberikan otoritas kekuatan yang mirip dengan putusan pengadilan.
Tindakan **menyita** aset wajib pajak harus didahului dengan peringatan dan surat paksa yang sah. Aset yang dapat **disita** mencakup harta bergerak dan tidak bergerak, yang kemudian akan dilelang untuk menutupi tunggakan pajak dan biaya penagihan. Penyitaan ini memiliki implikasi ekonomi yang mendalam, karena dapat mempengaruhi likuiditas bisnis dan stabilitas finansial wajib pajak.
3.2. Penyitaan dalam Kepailitan dan Eksekusi Jaminan
Dalam hukum perdata, tindakan **menyita** terjadi ketika kreditur mencoba mengeksekusi jaminan atas utang yang gagal dibayar (misalnya, penyitaan hipotek atau fidusia). Dalam konteks kepailitan, begitu putusan pailit dijatuhkan, seluruh aset debitur (boedel pailit) secara otomatis **disita** dan berada di bawah penguasaan kurator.
Kurator memiliki mandat untuk mengelola dan melikuidasi aset yang **disita** tersebut demi kepentingan seluruh kreditur. Proses ini memastikan distribusi aset secara adil dan proporsional. Keputusan kurator untuk **menyita** dan melikuidasi aset harus diawasi oleh hakim pengawas untuk memastikan tidak ada penyimpangan dari prinsip-prinsip kepailitan yang adil.
IV. Tantangan Baru: Menyita Aset Digital dan Intangible
Evolusi teknologi finansial (FinTech) telah menciptakan tantangan baru yang signifikan bagi otoritas penegak hukum dalam upaya mereka untuk **menyita** aset. Kekayaan kini tidak lagi hanya berbentuk fisik, tetapi juga digital, nirtampak (intangible), dan terdesentralisasi.
4.1. Dilema Menyita Mata Uang Kripto (Cryptocurrency)
Mata uang kripto (seperti Bitcoin atau Ethereum) adalah tantangan terbesar dalam penyitaan modern karena sifatnya yang terdesentralisasi dan pseudonim. Kripto disimpan di dalam dompet digital yang diakses melalui kunci pribadi (private key). Untuk berhasil **menyita** kripto, penegak hukum harus memperoleh akses ke kunci pribadi tersebut—sesuatu yang seringkali dilindungi oleh enkripsi kuat atau bahkan tidak diketahui jika pelaku kejahatan telah menghancurkannya.
Ketika penegak hukum berhasil **menyita** kunci pribadi, aset tersebut dapat dipindahkan ke dompet yang dikendalikan oleh negara. Namun, jika aset tersebut tersebar di berbagai bursa global, proses penyitaan menjadi sangat rumit, memerlukan kerjasama lintas batas dan penerbitan perintah pengadilan kepada bursa-bursa yang mungkin beroperasi di yurisdiksi yang berbeda. Selain itu, volatilitas ekstrem kripto menuntut tindakan cepat setelah penyitaan untuk menghindari kerugian nilai yang substansial.
4.2. Penyitaan Data dan Hak Kekayaan Intelektual
Aset intangible lainnya yang semakin sering menjadi target penyitaan adalah data, server, dan hak kekayaan intelektual (HKI) yang digunakan untuk melakukan kejahatan (misalnya, server yang menyimpan materi pornografi anak, atau merek dagang palsu). **Menyita** server fisik memerlukan koordinasi teknis yang tinggi dan seringkali menimbulkan pertanyaan tentang yurisdiksi data yang tersimpan di *cloud* di negara lain.
Dalam konteks HKI, negara dapat **menyita** dan merampas hak merek, paten, atau ciptaan yang secara fundamental digunakan untuk memfasilitasi penipuan atau pelanggaran HKI skala besar. Tindakan ini memerlukan pemahaman hukum HKI yang mendalam, karena penyitaan harus membedakan antara penggunaan legal dan ilegal dari properti intelektual yang sama.
Gambar: Dokumen dan Proses Legalisasi Tindakan Menyita.
V. Dampak Sosial, Etika, dan Pengawasan Penyitaan
Efektivitas tindakan **menyita** harus diimbangi dengan pertimbangan etika dan dampak sosial. Penyitaan yang tidak proporsional atau dilaksanakan secara sembrono dapat merusak reputasi penegak hukum, menghancurkan kehidupan individu yang tidak bersalah, dan bahkan menimbulkan dampak buruk pada perekonomian lokal jika aset yang **disita** adalah perusahaan yang menyediakan lapangan kerja.
5.1. Prinsip Proporsionalitas dan Pengawasan Yudisial
Prinsip proporsionalitas menuntut bahwa kerugian yang ditimbulkan oleh tindakan **menyita** tidak boleh melebihi manfaat yang diperoleh dari penegakan hukum. Hakim harus memastikan bahwa aset yang **disita** sebanding dengan tingkat keparahan kejahatan yang dilakukan. Pengawasan yudisial yang ketat adalah mekanisme utama untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan untuk **menyita**.
Sistem banding dan praperadilan menjadi penting, memungkinkan tersangka atau pihak ketiga untuk menantang keabsahan surat perintah penyitaan atau mengklaim kembali aset yang **disita** secara tidak sah. Dalam sistem yang adil, proses untuk membebaskan aset yang **disita** harus cepat dan efisien jika terbukti tidak terkait dengan kejahatan.
5.2. Pemanfaatan Aset yang Dirampas
Ketika aset telah berhasil **disita** dan statusnya berubah menjadi dirampas untuk negara, muncul pertanyaan penting: bagaimana dana ini digunakan? Kebijakan modern cenderung mengarahkan dana hasil perampasan untuk dikembalikan kepada publik, baik melalui restitusi kepada korban (ganti rugi) atau melalui alokasi dana untuk memperkuat lembaga penegak hukum dan program pencegahan kejahatan.
Pemanfaatan dana secara transparan adalah kunci untuk memulihkan kepercayaan publik terhadap sistem peradilan. Jika dana yang **disita** digunakan untuk membiayai operasi anti-korupsi, hal itu menciptakan siklus penegakan hukum yang berkelanjutan, di mana kejahatan membiayai penindasannya sendiri. Ini memberikan insentif yang kuat bagi penegak hukum untuk secara agresif **menyita** dan merampas aset hasil kejahatan.
VI. Masa Depan Penyitaan Aset: Reformasi dan Adaptasi
Dalam menghadapi kompleksitas kejahatan modern, sistem hukum terus berevolusi. Reformasi yang bertujuan meningkatkan efisiensi dan keadilan dalam upaya **menyita** aset menjadi agenda utama di banyak negara.
6.1. Penguatan Perampasan Non-Konvensional
Masa depan penegakan hukum cenderung bergerak menuju penguatan perampasan aset non-konvensional, khususnya perampasan *in rem* dan perampasan berbasis kekayaan tak beralasan (*unexplained wealth orders* atau UWO). Mekanisme ini membalikkan beban pembuktian, menuntut individu untuk menjelaskan sumber kekayaan mereka yang tampak tidak sejalan dengan pendapatan legal mereka. Jika individu gagal memberikan penjelasan yang memuaskan, aset tersebut dapat **disita** berdasarkan kecurigaan bahwa aset tersebut adalah hasil kejahatan, bahkan tanpa dakwaan pidana yang spesifik.
6.2. Kapasitas Teknologi dan Pelatihan
Untuk efektif **menyita** aset digital dan melacak dana gelap yang bergerak cepat, lembaga penegak hukum harus berinvestasi besar-besaran dalam kapasitas teknologi. Ini mencakup pelatihan spesialis forensik digital, pengadaan alat analisis blockchain, dan pengembangan protokol cepat untuk membekukan aset kripto di bursa sebelum aset tersebut dapat dipindahkan ke luar jangkauan yurisdiksi. Kemampuan untuk secara cepat dan sah **menyita** kekayaan yang ada di dunia maya akan menentukan keberhasilan perang melawan kejahatan finansial di masa depan.
Kesimpulannya, tindakan **menyita** adalah inti dari respons negara terhadap kejahatan berbasis keuntungan. Dari sekadar barang bukti fisik hingga aset digital yang nirtampak, upaya **menyita** terus beradaptasi. Keseimbangan antara efektivitas penegakan hukum dan perlindungan hak asasi manusia akan selalu menjadi garis demarkasi yang harus dijaga oleh sistem peradilan global.
VII. Analisis Mendalam Mengenai Mekanisme Pemulihan Aset
7.1. Dasar Hukum Internasional dan Konvensi Anti Korupsi
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Korupsi (UNCAC) menyediakan kerangka kerja global yang mengikat negara-negara untuk memiliki mekanisme yang memadai guna **menyita** dan mengembalikan aset hasil korupsi. Pasal-pasal kunci dalam UNCAC mengatur tentang penyitaan sementara (freezing and seizure) dan perampasan (confiscation). UNCAC secara eksplisit mendorong negara-negara pihak untuk mengadopsi langkah-langkah yang memungkinkan perampasan tanpa keyakinan pidana (*non-conviction-based forfeiture*), mengakui kesulitan dalam memperoleh hukuman pidana bagi koruptor tingkat tinggi yang sering kali bersembunyi di balik kekebalan atau prosedur hukum yang bertele-tele.
A. Kewajiban Negara dalam Penyitaan Internasional
Ketika suatu negara meminta bantuan negara lain untuk **menyita** aset, negara termohon memiliki kewajiban untuk bertindak cepat, meskipun prosesnya harus tetap mematuhi hukum domestik termohon. Kewajiban ini mencakup:
- Penyitaan Sementara (Freezing): Menghentikan segala transaksi terhadap aset yang dicurigai untuk mencegah pemindahan lebih lanjut. Perintah pembekuan ini harus dikeluarkan segera setelah permintaan diterima, meskipun surat perintah penyitaan formal mungkin memerlukan waktu.
- Pelaksanaan Putusan Penyitaan: Jika negara pemohon telah memperoleh putusan perampasan yang sah, negara termohon wajib mengakui dan melaksanakan putusan tersebut, atau memulai proses perampasan baru di yurisdiksinya berdasarkan bukti yang diserahkan.
- Pengembalian Aset: Aset yang berhasil **disita** dan dirampas harus dikembalikan ke negara pemohon, terutama jika aset tersebut merupakan hasil kejahatan korupsi atau pencucian uang yang melibatkan dana publik. Mekanisme pengembalian ini harus transparan dan efisien.
7.2. Interaksi Hukum Acara Pidana dengan Hukum Pencegahan Pencucian Uang
Upaya untuk **menyita** aset sangat didukung oleh Rejim Anti Pencucian Uang (AML) dan Kontra Pembiayaan Terorisme (CFT). Hukum pencucian uang mendefinisikan perbuatan memindahkan, menyamarkan, atau menyembunyikan hasil kejahatan sebagai tindak pidana tersendiri. Ini memungkinkan penegak hukum untuk **menyita** dana di berbagai tahapan proses pencucian uang, tidak hanya pada saat kejahatan asal (predicate crime) terjadi.
A. Tracing dan Tindak Lanjut
Proses untuk berhasil **menyita** aset melibatkan teknik *tracing* (pelacakan) aset yang sangat canggih. Pelacakan ini berupaya memecahkan lapisan-lapisan kepemilikan dan transaksi untuk mengidentifikasi kekayaan yang berasal dari kejahatan. Tanpa kemampuan *tracing* yang kuat, upaya untuk **menyita** aset tersembunyi akan sia-sia. Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM) yang diproses oleh unit intelijen keuangan menjadi titik awal krusial untuk mengidentifikasi pergerakan dana yang harus segera **disita** sebelum hilang.
Ketika dana hasil kejahatan telah bercampur (*commingled*) dengan dana legal, hukum harus menentukan proporsi yang sah untuk **menyita** hanya bagian ilegalnya, memastikan bahwa hak atas kekayaan legal tetap dihormati. Ini merupakan tantangan akuntansi forensik yang signifikan.
7.3. Aspek Praktis Penyitaan Properti Tidak Bergerak
Penyitaan properti tidak bergerak (seperti tanah, rumah, apartemen) memerlukan prosedur administrasi yang spesifik untuk memastikan penyitaan tersebut diakui secara legal. Otoritas penegak hukum harus segera mendaftarkan perintah **menyita** ke kantor pertanahan atau register properti yang relevan (misalnya, membuat catatan *sita* pada sertifikat kepemilikan). Tujuan dari pendaftaran ini adalah memberikan pemberitahuan publik bahwa properti tersebut sedang dalam sengketa hukum dan mencegah pemilik melakukan penjualan atau pengalihan hak secara diam-diam. Jika penjualan tetap dilakukan, transaksi tersebut dapat dibatalkan karena dilakukan di bawah status sita.
A. Biaya Pemeliharaan dan Risiko Litigasi
Satu aspek yang sering diabaikan adalah biaya yang dikeluarkan oleh negara untuk memelihara properti yang **disita**. Properti harus diasuransikan, pajak properti harus dibayar, dan pemeliharaan dasar harus dilakukan. Jika properti tersebut dibiarkan rusak selama proses litigasi yang panjang, nilai jualnya akan anjlok, merugikan negara atau korban yang menantikan restitusi. Keputusan apakah properti harus dijual dini atau dikelola hingga putusan akhir adalah pertimbangan ekonomi dan hukum yang rumit.
7.4. Peran Teknologi dalam Pendokumentasian Penyitaan
Proses penyitaan modern semakin bergantung pada teknologi untuk mendokumentasikan dan memverifikasi aset yang **disita**. Penggunaan fotografi resolusi tinggi, pemindaian 3D, dan *blockchain* untuk mencatat rantai kustodi (chain of custody) aset digital dan fisik meningkatkan integritas proses penyitaan. Dokumen penyitaan kini seringkali harus mencakup hash digital atau stempel waktu untuk membuktikan bahwa aset yang **disita** pada hari X adalah aset yang sama yang disajikan di pengadilan pada hari Y. Ini sangat penting untuk menghadapi litigasi kompleks di mana pembela mencoba meragukan keaslian barang bukti yang **disita**.