Kehidupan adalah serangkaian perubahan yang konstan, sebuah arus tak terhindarkan yang menuntut kita untuk selalu beradaptasi. Kemampuan untuk menyikapi dinamika ini, baik berupa krisis mendadak, perubahan sosial jangka panjang, atau tekanan emosional harian, adalah penentu utama kualitas hidup dan kesejahteraan mental kita. Menyikapi bukan sekadar reaksi pasif; ia adalah tindakan proaktif yang melibatkan pemahaman mendalam tentang diri sendiri dan lingkungan. Ini adalah seni mengelola respons internal terhadap stimulus eksternal yang sering kali berada di luar kendali kita.
Di era modern yang ditandai oleh kecepatan informasi dan ketidakpastian global, kebutuhan untuk memiliki kerangka kerja yang solid dalam menyikapi segala hal—mulai dari kegagalan karier hingga pandemi—menjadi semakin krusial. Artikel ini akan mengupas tuntas pilar-pilar strategis, filosofis, dan psikologis yang memungkinkan kita untuk tidak hanya bertahan (survival) tetapi juga berkembang (thrive) di tengah badai kehidupan. Kita akan melihat bagaimana pola pikir (mindset), ketangguhan emosional (resilience), dan metode praktis dapat diintegrasikan untuk membentuk respons yang sehat dan konstruktif terhadap setiap tantangan yang kita hadapi.
Dalam konteks psikologi adaptasi, menyikapi merujuk pada upaya kognitif dan perilaku yang dilakukan individu untuk mengelola tuntutan spesifik eksternal dan/atau internal yang dinilai membebani atau melebihi sumber daya yang dimiliki individu. Proses ini jauh lebih kompleks daripada hanya 'menerima'. Menyikapi melibatkan penilaian (appraisal) terhadap situasi, pemilihan strategi, dan evaluasi berkelanjutan terhadap efektivitas strategi tersebut. Ini berarti kita tidak hanya berhadapan dengan masalah itu sendiri, tetapi juga berhadapan dengan perasaan, pikiran, dan konsekuensi yang ditimbulkannya.
Dua jenis utama cara menyikapi yang diakui dalam studi psikologi adalah: Coping Berfokus pada Masalah (Problem-Focused Coping), di mana upaya diarahkan untuk mengubah situasi yang menekan; dan Coping Berfokus pada Emosi (Emotion-Focused Coping), di mana upaya diarahkan untuk mengubah respons emosional terhadap tekanan, terutama ketika masalah itu sendiri tidak dapat diubah.
Sebelum melangkah pada strategi praktis, penting untuk membangun fondasi mental yang kuat. Cara kita memandang kesulitan akan sangat menentukan efektivitas respons kita dalam menyikapinya. Dua kerangka kerja utama, yakni Stoicism dan Growth Mindset, menawarkan landasan yang kokoh.
Filosofi Stoicism mengajarkan bahwa kunci ketenangan terletak pada pembedaan tegas antara hal-hal yang dapat kita kendalikan dan yang tidak. Ini adalah alat fundamental dalam menyikapi ketidakpastian. Kita tidak dapat mengendalikan cuaca, tindakan orang lain, atau hasil akhir dari sebuah proyek, tetapi kita sepenuhnya dapat mengendalikan respons kita, penilaian kita, dan upaya yang kita curahkan.
Dalam konteks menyikapi kegagalan dan kritik, pola pikir yang dikembangkan oleh Carol Dweck sangat relevan. Jika pola pikir tetap (Fixed Mindset) melihat kegagalan sebagai bukti kekurangan intrinsik, Pola Pikir Bertumbuh (Growth Mindset) melihat kegagalan sebagai informasi yang vital untuk pembelajaran dan perkembangan di masa depan.
Pola pikir bertumbuh memungkinkan kita menyikapi kesulitan sebagai tantangan yang dapat diatasi melalui usaha dan strategi yang lebih baik, bukan sebagai batasan yang permanen. Hal ini menumbuhkan resiliensi; kita bangkit lebih cepat karena fokus kita beralih dari 'saya gagal' menjadi 'strategi ini tidak berhasil; apa yang bisa saya pelajari?'
Resiliensi didefinisikan sebagai kemampuan untuk pulih dari kesulitan dan beradaptasi secara positif dalam menghadapi tekanan yang signifikan. Resiliensi bukanlah sifat bawaan yang dimiliki oleh sebagian orang saja, melainkan serangkaian keterampilan yang dapat dipelajari dan diperkuat. Resiliensi adalah inti dari cara kita menyikapi krisis. Individu yang resilient cenderung menggunakan kombinasi strategi coping yang fleksibel, beralih antara fokus masalah dan fokus emosi sesuai kebutuhan situasi.
Era digital telah membawa manfaat luar biasa, namun juga tantangan psikologis yang unik. Kemampuan untuk menyikapi hiperkonektivitas, disinformasi, dan tekanan digital adalah kunci kesehatan mental di abad ini.
Kita dibanjiri notifikasi, berita, dan opini setiap detik. Otak manusia tidak berevolusi untuk memproses volume data secepat ini. Ketika kita gagal menyikapi volume ini, hasilnya adalah kelelahan keputusan (decision fatigue) dan kecemasan yang konstan.
Munculnya AI telah menimbulkan kecemasan massal terkait masa depan pekerjaan. Respons yang sehat bukanlah menolak teknologi, melainkan menyikapinya melalui upskilling dan adaptasi peran.
Ini menuntut pergeseran fokus dari tugas-tugas yang dapat diotomatisasi (rutin, berbasis data) menuju keterampilan yang unik bagi manusia (kreativitas, empati, pemikiran kritis, dan manajemen kompleksitas hubungan). Kita harus melihat AI sebagai alat kolaborasi, bukan pengganti total. Kemampuan untuk berinteraksi dan mengarahkan AI akan menjadi kompetensi inti di masa depan.
Fear of Missing Out (FOMO) adalah manifestasi digital dari perbandingan sosial. Untuk menyikapi tekanan ini:
Stres bukanlah hal baru, tetapi intensitas dan sumber stres di kehidupan modern seringkali bersifat kronis dan difus. Strategi menyikapi stres harus holistik, mencakup aspek fisik, mental, dan emosional.
Burnout, yang kini diakui sebagai fenomena pekerjaan oleh WHO, adalah hasil dari stres kronis yang tidak berhasil diatasi (unmanaged stress). Menyikapi burnout memerlukan pengakuan dini terhadap gejalanya (sinisme, kelelahan, dan penurunan efikasi diri) dan perubahan struktural dalam cara kerja dan batasan diri.
Mindfulness (Kesadaran Penuh) adalah alat yang sangat efektif untuk menyikapi emosi yang sulit. Alih-alih menekan atau bereaksi impulsif terhadap emosi negatif (kecemasan, kemarahan), mindfulness mengajarkan kita untuk mengamati emosi tersebut tanpa penilaian, mengakui keberadaannya sebagai data, dan membiarkannya berlalu tanpa menguasai diri kita.
Praktik ini menciptakan jeda penting antara stimulus (peristiwa pemicu stres) dan respons (tindakan kita). Dalam jeda kecil itulah terletak kekuatan kita untuk memilih bagaimana kita akan menyikapi situasi tersebut.
Terapi Perilaku Kognitif (CBT) menyediakan kerangka kerja untuk menyikapi distorsi kognitif—pola pikir irasional yang memperburuk stres. Teknik kuncinya adalah:
Rasa takut akan kegagalan sering kali melumpuhkan inisiatif dan menghalangi pertumbuhan. Cara kita menyikapi kesalahan dan kritik menentukan apakah kita akan stagnan atau maju.
Dalam pola pikir Bertumbuh, kegagalan bukan akhir, melainkan bagian dari proses iterasi. Ketika kita menyikapi hasil yang buruk, penting untuk memisahkan hasil dari nilai diri kita. Kegagalan adalah umpan balik tentang strategi, bukan penilaian permanen tentang kemampuan diri.
Langkah-langkah praktis dalam menyikapi kegagalan:
Kritik adalah cermin yang, meskipun terkadang buram, dapat memberikan wawasan penting. Tantangannya adalah memfilter kritik destruktif dari yang konstruktif.
Untuk menyikapi kritik, berikan diri Anda waktu jeda. Jangan merespons segera. Tanyakan: “Apakah ada sedikit kebenaran di balik kritik ini, meskipun disampaikan dengan cara yang buruk?” Jika ya, fokuskan pada konten, bukan pada cara penyampaian. Jika kritik sepenuhnya tidak berdasar atau destruktif, terapkan dikotomi kontrol: lepaskan apa yang orang lain pikirkan tentang Anda (eksternal) dan pertahankan penilaian diri Anda (internal).
Perfectionism adalah sumber utama kecemasan dan penundaan. Kehidupan jarang berjalan sesuai rencana yang sempurna. Menyikapi ketidaksempurnaan berarti mengakui bahwa 'baik' sudah cukup, dan mencari hasil yang sempurna seringkali mencegah kita mencapai hasil yang baik sama sekali. Praktikkan ‘Aksi Tidak Sempurna’ (Imperfect Action) untuk mengatasi penundaan yang disebabkan oleh ketakutan akan kegagalan sempurna.
Interaksi sosial, baik di lingkungan pribadi maupun profesional, adalah sumber kebahagiaan terbesar sekaligus tantangan yang paling sering memicu stres. Cara yang efektif untuk menyikapi konflik dan perbedaan pendapat sangat vital untuk kesejahteraan kolektif.
Asertivitas adalah kunci untuk menyatakan kebutuhan dan batasan tanpa bersikap agresif (menyerang) atau pasif (menghindar). Ketika menyikapi perselisihan, fokus harus tetap pada masalah, bukan pada menyerang karakter individu. Gunakan pernyataan "Saya merasa..." daripada "Kamu selalu...".
Mengidentifikasi dan menyikapi hubungan yang beracun (toxic) adalah tindakan menjaga diri yang krusial. Batasan diri (boundaries) adalah garis tak terlihat yang kita buat untuk melindungi energi dan nilai-nilai kita. Dalam konteks hubungan yang merugikan:
Empati—kemampuan untuk memahami dan berbagi perasaan orang lain—adalah elemen penting dalam menyikapi perbedaan pandangan yang muncul dari latar belakang yang beragam. Sebelum mengambil kesimpulan atau bereaksi, cobalah berdiri di posisi orang lain. Praktik perspektif ini mengurangi kecenderungan kita untuk melompat ke penilaian cepat dan meningkatkan kemungkinan respons yang lebih berbelas kasih dan efektif.
Gejolak ekonomi, otomatisasi, dan pasar kerja yang terus berubah menciptakan kecemasan finansial dan karier. Menyikapi ketidakpastian ini membutuhkan perencanaan strategis jangka panjang dan kemauan untuk belajar secara terus menerus.
Spesialisasi yang kaku menjadi kurang relevan di dunia yang berubah cepat. Kemampuan untuk menyikapi pergeseran pasar adalah dengan menjadi ‘T-Shaped Professional’: memiliki kedalaman keahlian (vertikal) sekaligus breadth (horizontal) atau keterampilan luas yang dapat diterapkan di berbagai bidang (misalnya, komunikasi, pemecahan masalah, atau literasi data). Fleksibilitas ini menjamin bahwa Anda akan selalu relevan, terlepas dari teknologi apa yang dominan.
Ketakutan akan kekurangan finansial seringkali jauh lebih besar daripada realitasnya. Menyikapi ketakutan ini harus dimulai dengan membangun ‘bantalan resiliensi finansial’:
Kurva pembelajaran tidak lagi berakhir setelah lulus kuliah; kurva itu sekarang harus terus menanjak. Menyikapi pasar kerja yang dinamis berarti berinvestasi secara rutin pada keterampilan baru. Ini tidak hanya berarti mengambil kursus formal, tetapi juga mengembangkan rasa ingin tahu, membaca jurnal industri, dan mencari mentor yang dapat membimbing Anda dalam transisi karier. Kemauan untuk 'belajar untuk tidak belajar' (unlearn) dan kembali belajar (relearn) adalah kompetensi abad ke-21 yang vital.
Bagian ini menyajikan strategi yang dapat diterapkan segera untuk memperkuat kemampuan menyikapi berbagai situasi kompleks, menekankan pada integrasi antara teori kognitif dan praktik harian.
Metacognition adalah kesadaran dan pemahaman tentang proses berpikir diri sendiri. Ini adalah kemampuan untuk mundur selangkah dan mengamati bagaimana kita merespons suatu situasi. Dalam menyikapi tekanan, metacognition memungkinkan kita untuk menangkap bias kognitif dan jalur pikiran yang tidak produktif sebelum mereka memicu respons emosional yang berlebihan. Contohnya, saat merasa marah, tanyakan: "Mengapa saya berpikir ini adalah ancaman? Apakah respons saya saat ini bermanfaat?"
Latihan metacognition:
Ketika dunia luar terasa kacau—misalnya selama krisis global atau transisi besar—otak kita mencari stabilitas. Struktur dan rutinitas adalah jangkar yang paling dapat diandalkan. Ini adalah cara proaktif untuk menyikapi ketidakpastian dengan mengendalikan hal-hal kecil yang masih bisa dikelola.
Rutinitas pagi, jadwal kerja yang konsisten, dan waktu yang didedikasikan untuk olahraga atau meditasi menciptakan rasa prediktabilitas. Meskipun kita tidak bisa mengendalikan berita ekonomi atau politik, kita bisa mengendalikan pukul berapa kita bangun dan apa yang kita makan untuk sarapan. Kontrol kecil ini menghasilkan efek domino pada rasa kontrol diri yang lebih besar.
Seringkali, ketidakmampuan kita untuk menyikapi suatu masalah datang dari penilaian risiko yang terlalu dibesar-besarkan (catastrophizing). Pikiran cenderung melompat ke skenario terburuk.
Teknik tiga kolom (terinspirasi dari Stoicism/CBT) untuk menyikapi risiko:
| Kolom 1: Skenario Terburuk | Kolom 2: Probabilitas Realistis | Kolom 3: Rencana Mitigasi (Jika Terjadi) |
|---|---|---|
| Saya akan dipecat, kehilangan rumah, dan tidak pernah menemukan pekerjaan lagi. | Sangat rendah (0.5%). Kemungkinan realistis: proyek tertunda, perlu mencari klien baru. | Jika dipecat, saya memiliki 6 bulan dana darurat. Saya akan segera menghubungi jaringan profesional saya. |
Dengan menyikapi ketakutan secara logis dan menyusun rencana darurat (Kolom 3), kita membebaskan diri dari paralisasi yang disebabkan oleh kecemasan yang tidak beralasan.
Manusia adalah makhluk sosial. Menyikapi tekanan hidup sendirian adalah resep untuk kegagalan resiliensi. Jaringan sosial berfungsi sebagai katup pengaman. Dukungan tidak hanya berarti menerima bantuan, tetapi juga memberi bantuan, yang meningkatkan rasa tujuan dan koneksi.
Ketika Anda menghadapi kesulitan, jangan gunakan strategi 'menghindar' (avoidance coping) di mana Anda menarik diri. Sebaliknya, libatkan sistem dukungan Anda. Ini bisa berupa konsultasi profesional (terapis), berbicara dengan teman tepercaya, atau bergabung dengan kelompok dukungan yang menghadapi tantangan serupa.
Penyikapan jangka panjang yang efektif tidak hanya berfokus pada pemadaman api harian, tetapi juga pada penjajaran tindakan kita dengan nilai-nilai inti dan tujuan hidup yang lebih besar. Ini memberikan arah ketika kita merasa tersesat.
Dalam teori Akseptansi dan Komitmen (ACT), tujuan utama adalah bertindak sesuai dengan nilai-nilai pribadi, bahkan saat menghadapi rasa sakit emosional. Ketika kita harus menyikapi keputusan sulit, bertanya, "Tindakan mana yang paling sesuai dengan nilai-nilai saya (misalnya, kejujuran, pertumbuhan, keluarga)?" akan memberikan kejelasan dan mengurangi penyesalan di masa depan.
Nilai adalah pilihan tentang bagaimana kita ingin hidup; mereka bukan tujuan yang dapat dicapai. Mereka adalah kompas yang membantu kita menavigasi. Ketika kita menyimpang dari nilai-nilai kita, kita mulai merasa hampa, terlepas dari seberapa sukses kita secara eksternal. Resiliensi sejati terletak pada kemampuan untuk terus berjalan menuju nilai-nilai tersebut, bahkan di tengah rintangan.
Salah satu tantangan terbesar era modern adalah dorongan konstan untuk bergegas menuju masa depan atau terperangkap dalam penyesalan masa lalu. Kegagalan menyikapi momen saat ini (the present moment) adalah sumber utama kecemasan.
Praktik kehadiran (presence) melalui meditasi, makan penuh perhatian (mindful eating), atau aktivitas berbasis sensorik lainnya melatih otak untuk tetap berlabuh di sini dan saat ini. Ketika pikiran mulai melayang ke ketakutan hipotetis masa depan, kehadiran bertindak sebagai tali yang menarik kita kembali, memungkinkan kita untuk berinteraksi dengan realitas yang ada, bukan dengan bayangan ketakutan yang kita ciptakan.
Optimisme pragmatis bukanlah keyakinan naif bahwa semuanya akan baik-baik saja. Sebaliknya, ini adalah keyakinan bahwa meskipun kesulitan akan datang, kita memiliki sumber daya dan kemampuan untuk menyikapi dan mengatasinya. Ini adalah keseimbangan antara menerima kenyataan pahit (realisme) sambil mempertahankan harapan (optimisme) dan mengambil tindakan konkret (pragmatisme).
Dalam menyikapi tantangan global seperti krisis iklim atau ketidakstabilan sosial, optimisme pragmatis mendorong keterlibatan dan kontribusi aktif, alih-alih sikap pasif dan menyerah. Ini adalah pandangan bahwa masalah itu nyata, tetapi solusinya juga ada, dan peran kita adalah bagian dari solusi tersebut.
Seni menyikapi kehidupan adalah proses yang berkelanjutan, bukan tujuan akhir. Ini adalah tentang mengembangkan fleksibilitas psikologis—kemampuan untuk tetap terhubung dengan saat ini, menerima pikiran dan perasaan yang sulit, dan tetap bertindak sesuai dengan nilai-nilai yang kita yakini, bahkan ketika situasinya menantang. Individu yang berhasil menyikapi secara efektif adalah mereka yang tidak menghindari kesulitan, tetapi yang mendekatinya dengan rasa ingin tahu, keberanian, dan kesiapan untuk belajar.
Dari menghadapi tekanan teknologi yang masif, krisis finansial, hingga konflik interpersonal terkecil, semua menuntut fondasi yang sama: kesadaran diri yang tajam, sistem dukungan yang kuat, dan pola pikir yang melihat setiap hambatan bukan sebagai tembok akhir, melainkan sebagai anak tangga yang menuntut peningkatan kemampuan. Dengan mengintegrasikan prinsip-prinsip resiliensi, Stoicism, dan Growth Mindset ke dalam respons harian kita, kita mengubah cara kita menyikapi dunia, dari korban yang bereaksi menjadi arsitek yang merancang respons yang terukur dan bermakna.
Pada akhirnya, kualitas hidup kita tidak ditentukan oleh apa yang terjadi pada kita, tetapi oleh cara kita memilih untuk menyikapi apa yang terjadi pada kita. Latihan yang konsisten dari keterampilan-keterampilan ini memastikan bahwa kita tidak hanya bertahan hidup, tetapi mencapai kehidupan yang penuh makna dan tangguh, siap untuk menghadapi gelombang apa pun yang dilemparkan masa depan kepada kita.
Memahami dan menerapkan strategi menyikapi adalah warisan mental yang paling berharga yang dapat kita tanamkan dalam diri kita sendiri, memastikan bahwa kita terus bergerak maju dengan ketenangan dan tujuan, apa pun kondisinya. Kemampuan ini adalah manifestasi paling murni dari kemandirian dan kebebasan batin.
Fleksibilitas psikologis, yang merupakan hasil akhir dari penyikapan yang efektif, bukanlah ketidakmampuan untuk merasa sakit, melainkan kemampuan untuk merasa sakit (emosi negatif) dan tetap melakukan apa yang penting. Ini berarti ketika kita menghadapi kerugian besar—misalnya kehilangan pekerjaan, sakit, atau perpisahan—kita mengakui rasa sakit tersebut (Emotion-Focused Coping), tetapi kita tidak membiarkan rasa sakit itu menghalangi tindakan kita yang berorientasi pada nilai (Problem-Focused Coping). Kita mungkin merasa sedih saat mencari pekerjaan baru, tetapi kesedihan itu tidak menghentikan kita mengirimkan lamaran. Menyikapi dengan fleksibilitas berarti berpegangan pada nilai (bertumbuh) sambil membawa serta beban emosi (menerima).
Perbedaan antara reaksi dan respons adalah inti dari penyikapan yang matang. Reaksi bersifat impulsif, didorong oleh amigdala (pusat emosi), dan seringkali memperburuk situasi. Respons bersifat proaktif, melibatkan korteks prefrontal (pusat pemikiran rasional), dan didasarkan pada pilihan sadar. Individu yang terampil dalam menyikapi telah melatih jeda ini. Jeda singkat ini, antara apa yang terjadi dan bagaimana kita bertindak, adalah ruang di mana kebebasan sejati berada. Pelatihan untuk memperpanjang jeda ini adalah praktik harian, mulai dari merespons email yang mengganggu hingga menghadapi kemacetan lalu lintas.
Ketika kita membahas menyikapi krisis besar (seperti bencana alam atau kesulitan finansial yang parah), dukungan sosial bertindak sebagai buffer terbesar terhadap gangguan kesehatan mental. Ini bukan hanya tentang dukungan emosional, tetapi juga dukungan instrumental (bantuan praktis), dukungan informasi (nasihat), dan dukungan afirmatif (validasi perasaan). Oleh karena itu, investasi dalam hubungan interpersonal, bahkan saat keadaan sedang baik, adalah strategi penyikapan preventif yang paling penting. Memiliki lima orang yang dapat dihubungi saat krisis adalah lebih berharga daripada semua uang di dunia, karena mereka adalah jaring pengaman yang memungkinkan kita untuk mengambil risiko yang diperlukan untuk pertumbuhan.
Paradoksnya, salah satu alat paling kuat untuk menyikapi kekurangan atau ketidakpuasan adalah praktik syukur. Syukur menggeser fokus perhatian dari apa yang kurang (defisit) ke apa yang sudah ada (kelimpahan). Ini bukan penyangkalan terhadap masalah, tetapi penyeimbangan perspektif. Ketika kita menghadapi kesulitan finansial, bersyukur atas kesehatan atau jaringan dukungan yang masih ada mencegah spiral keputusasaan. Secara neurologis, praktik syukur telah terbukti mengurangi kadar hormon stres kortisol, yang membantu menjaga kejernihan kognitif yang diperlukan untuk Problem-Focused Coping yang efektif.
Penyikapan tidak hanya melibatkan pikiran; tubuh memainkan peran vital. Ketika dihadapkan pada pemicu stres, respons ‘fight or flight’ menyebabkan otot tegang, pernapasan dangkal, dan detak jantung meningkat. Menyikapi ini secara fisik melibatkan teknik seperti pernapasan diafragma, relaksasi otot progresif, dan olahraga teratur. Olahraga, khususnya, adalah pelepasan stres alami yang paling efektif, karena secara harfiah membakar kelebihan hormon stres dan meningkatkan produksi endorfin. Dengan mengelola respons fisik terhadap stres, kita memberikan otak kemampuan yang lebih besar untuk berpikir jernih dan merencanakan respons yang tepat.
Dalam peran kepemimpinan, baik di rumah atau di tempat kerja, menyikapi situasi sering kali berarti mengambil keputusan di bawah tekanan informasi yang tidak lengkap. Kepemimpinan yang efektif dalam krisis didasarkan pada keberanian untuk membuat keputusan, mengkomunikasikannya dengan transparan, dan bertanggung jawab atas hasilnya, terlepas dari apakah hasilnya positif atau negatif. Kegagalan untuk membuat keputusan (paralysis by analysis) adalah bentuk penyikapan yang paling merugikan, karena menyerahkan kontrol kepada keadaan luar. Keputusan terbaik adalah musuh dari tindakan yang diperlukan. Dalam krisis, keputusan yang ‘cukup baik’ dan dieksekusi dengan cepat sering kali lebih unggul daripada menunggu keputusan ‘sempurna’ yang datang terlambat.
Seumur hidup, kita dihadapkan pada transisi kehidupan yang tak terhindarkan: dari masa remaja ke dewasa, dari karier aktif ke masa pensiun, dan akhirnya menghadapi mortalitas. Menyikapi transisi ini dengan baik memerlukan penerimaan terhadap perubahan peran dan batasan fisik. Hal ini sering membutuhkan pengembangan identitas baru yang tidak lagi terikat pada peran lama (misalnya, identitas yang tidak hanya berbasis pada pekerjaan). Penerimaan bahwa hidup adalah siklus perubahan dan kerugian membantu kita fokus pada apa yang dapat kita tambahkan pada fase berikutnya, daripada berpegangan erat pada apa yang harus dilepaskan dari fase sebelumnya. Pengembangan tujuan berbasis komunitas atau spiritual seringkali menjadi kunci resiliensi di usia tua.
Kita semua membawa cerita tentang diri kita sendiri—narasi tentang masa lalu kita, kemampuan kita, dan kegagalan kita. Jika narasi ini didominasi oleh trauma, kesalahan, atau rasa ketidakberdayaan, maka kemampuan kita untuk menyikapi tantangan di masa depan akan terhambat. Salah satu strategi terapeutik yang kuat adalah ‘Re-authoring’ atau menceritakan kembali kisah hidup kita. Ini berarti mengenali bahwa kita adalah penulis dan editor dari kisah kita. Kita tidak bisa mengubah fakta masa lalu, tetapi kita bisa mengubah makna yang kita berikan padanya, menyoroti momen-momen kekuatan dan pembelajaran alih-alih hanya berfokus pada rasa sakit. Kisah baru yang berdaya memberdayakan kita untuk menghadapi babak kehidupan berikutnya dengan kekuatan yang baru ditemukan.