Kementerian Penerangan (Menpen): Gerbang Narasi Nasional, Dari Revolusi hingga Reformasi
Visualisasi fungsi sentralisasi informasi oleh Kementerian Penerangan.
Kementerian Penerangan, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Menpen, adalah salah satu institusi paling berpengaruh dalam sejarah politik dan sosial Indonesia. Berdiri sejak masa-masa awal kemerdekaan, kementerian ini tidak sekadar bertugas menyebarluaskan informasi pemerintah, namun juga memegang peran vital sebagai pembuat narasi, pengawal ideologi, dan regulator tunggal seluruh denyut nadi komunikasi massa di Tanah Air. Menpen adalah cerminan langsung dari dinamika kekuasaan: dari alat propaganda revolusioner di masa perjuangan, menjadi tiang pancang kontrol ideologi yang sangat kuat selama Orde Baru, hingga akhirnya dibubarkan sebagai simbol sentralisasi otoritas di era Reformasi.
Kajian mendalam terhadap Menpen memerlukan pemahaman bukan hanya tentang struktur birokrasinya, tetapi juga filosofi politik yang mendasari setiap kebijakan komunikasinya. Sejak awal pendiriannya, kementerian ini ditempatkan pada posisi yang unik, yaitu di persimpangan antara kebutuhan akan pembangunan infrastruktur komunikasi, desakan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa melalui informasi, dan keharusan untuk memastikan bahwa pesan-pesan negara disampaikan secara seragam, tanpa distorsi, dan sesuai dengan garis politik yang ditetapkan oleh pemerintah pusat. Perjalanan institusi ini adalah studi kasus mengenai bagaimana kekuasaan menggunakan media sebagai instrumen utama untuk membentuk kesadaran kolektif, memelihara stabilitas, dan mengarahkan jalannya pembangunan nasional.
I. Fondasi dan Peran Awal (Masa Revolusi dan Orde Lama)
Sejarah Kementerian Penerangan bermula segera setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Dalam Kabinet Presidensial yang pertama, fungsi penerangan langsung diintegrasikan sebagai kementerian mandiri. Ini menunjukkan bahwa para pendiri bangsa menyadari betul betapa krusialnya peran komunikasi dan propaganda dalam situasi revolusioner. Di tengah gempuran agresi militer Belanda dan ancaman disintegrasi, penerangan bukanlah kemewahan, melainkan senjata strategis untuk mempertahankan moral publik, menyatukan berbagai suku dan golongan, serta menyampaikan legitimasi negara baru kepada dunia internasional.
1. Propaganda Revolusioner dan Pembangunan Identitas
Pada fase awal, Menpen bertindak sebagai juru bicara tunggal Republik Indonesia yang baru lahir. Tugas utamanya adalah melawan propaganda Belanda yang secara sistematis berusaha mendelegitimasi keberadaan Indonesia. Radio Republik Indonesia (RRI), yang berada di bawah kendali Menpen, menjadi medium vital. RRI tidak hanya menyiarkan berita dan pidato, tetapi juga menjadi sarana untuk menyebarkan ideologi Pancasila dan semangat persatuan. Staf Menpen pada masa itu sering kali adalah para pejuang intelektual dan jurnalis yang bergerak cepat, kadang bergerilya, memastikan informasi tetap mengalir meskipun di bawah tekanan militer yang berat.
Di bawah kepemimpinan para Menpen awal, fokus diletakkan pada penyampaian informasi pembangunan, sosialisasi kebijakan politik luar negeri yang bebas aktif, dan edukasi massal. Namun, karena kondisi politik yang sangat dinamis dan seringnya pergantian kabinet di era Demokrasi Parlementer, kebijakan penerangan cenderung tidak stabil. Meskipun demikian, benih-benih kontrol negara atas media sudah mulai tertanam, didorong oleh premis bahwa dalam negara yang baru merdeka, stabilitas politik dan kesatuan ideologis harus didahulukan di atas segalanya.
2. Eksperimen Komunikasi Politik Era Orde Lama
Memasuki era Demokrasi Terpimpin di bawah Presiden Sukarno, peran Menpen mengalami intensifikasi ideologis. Menpen menjadi alat utama untuk menggemakan konsep *Manipol/USDEK* dan narasi anti-imperalisme. Media massa, termasuk pers nasional, didorong untuk menjadi "alat revolusi." Konsekuensinya, Menpen memiliki wewenang besar untuk membatasi atau membubarkan publikasi yang dianggap kontra-revolusioner atau yang menyimpang dari garis politik yang ditetapkan. Sentralisasi media diperkuat, dan fokus ditekankan pada penggunaan RRI dan TVRI (yang muncul kemudian) sebagai corong tunggal negara. Di sini, fungsi Menpen bertransisi dari sekadar penyebar informasi menjadi komandan orkestra media nasional.
Pada masa ini, muncul pembenaran filosofis bahwa kebebasan pers harus diletakkan dalam konteks kepentingan nasional yang lebih besar. Bagi Menpen, tugas utamanya adalah memastikan bahwa setiap berita dan opini berkontribusi pada pencapaian tujuan revolusi, bukan sekadar menyediakan platform bagi perbedaan pendapat yang dapat memicu perpecahan. Kebijakan ini, meskipun berakar pada semangat nasionalisme, meletakkan fondasi bagi pola kontrol media yang akan mencapai puncaknya di periode berikutnya.
II. Menpen sebagai Pilar Kontrol Sentralistik Orde Baru (1966-1998)
Jika pada Orde Lama Menpen adalah alat revolusi, maka di masa Orde Baru, Menpen bertransformasi menjadi pilar utama stabilitas politik dan hegemoni ideologi yang tak tertandingi. Periode ini menandai puncak kekuasaan dan jangkauan institusi Menpen, yang dipimpin oleh tokoh-tokoh kuat yang mampu mengintegrasikan kebijakan komunikasi dengan strategi politik jangka panjang pemerintah.
1. Harmonisasi Pembangunan dan Keamanan
Di bawah rezim Orde Baru, fungsi Menpen secara eksplisit diartikulasikan sebagai fasilitator pembangunan nasional dan pengaman stabilitas. Kementerian ini bertanggung jawab memastikan bahwa semua bentuk komunikasi, dari media massa formal hingga komunikasi antarpersonal, mendukung program Lima Tahun Pembangunan (Pelita) dan menguatkan ideologi Pancasila. Ada dua pilar utama Menpen di era ini: sosialisasi informasi pembangunan (seperti program KB, pertanian, dan kesehatan) dan pengawasan ketat terhadap konten yang berpotensi subversif.
Menpen berhasil menciptakan sistem komunikasi yang sangat terpusat. TVRI menjadi satu-satunya stasiun televisi nasional selama puluhan tahun, menjamin keseragaman informasi visual dari Sabang sampai Merauke. Program berita TVRI, khususnya "Dunia Dalam Berita," adalah ritual harian yang berfungsi sebagai alat indoktrinasi yang efektif, memastikan bahwa hanya narasi tunggal pemerintah yang diterima oleh masyarakat luas. Konten berita disusun sedemikian rupa sehingga selalu menampilkan keberhasilan pemerintah dan mereduksi isu-isu kritis atau konflik menjadi marginal.
2. Senjata Regulasi: SIUPP dan Mekanisme Lisensi Pers
Salah satu instrumen kontrol paling ampuh yang dimiliki Menpen di bawah kepemimpinan Menteri seperti Harmoko adalah Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). SIUPP bukan hanya sekadar lisensi bisnis; ia adalah kartu hidup atau mati bagi setiap perusahaan media cetak. Wewenang penuh Menpen untuk mencabut SIUPP tanpa proses pengadilan yang rumit menjadikan pers nasional berada dalam kondisi "ketakutan yang terlembaga" (institutionalized fear).
Pencabutan SIUPP, yang seringkali dilakukan melalui keputusan mendadak yang dikenal sebagai *pembreidelan*, menjadi sanksi terberat yang efektif mencegah kritik terbuka terhadap pemerintah. Surat kabar dan majalah harus melakukan sensor diri (self-censorship) secara ketat, menghindari liputan sensitif mengenai korupsi pejabat, isu suksesi kepemimpinan, atau kritik terhadap militer. Menpen menggunakan alasan "menjaga stabilitas dan kesatuan bangsa" sebagai payung hukum untuk tindakan represif ini, mendefinisikan batas-batas kebebasan pers yang sangat sempit, yang sering disebut sebagai "kebebasan yang bertanggung jawab" atau *keterbukaan terbatas*.
Pembatasan ini merembes hingga ke pemilihan bahasa. Menpen mengeluarkan panduan verbal (dikenal sebagai "pedoman penulisan") yang mengatur bagaimana peristiwa sensitif harus dilaporkan, misalnya, penggunaan istilah yang wajib bagi kelompok oposisi, demonstran, atau isu-isu ekonomi tertentu. Fungsi Menpen dalam konteks ini melampaui regulasi teknis; ia adalah penjaga bahasa politik resmi negara.
3. Orde Baru dan Pengendalian Media Visual
Selain pers cetak dan RRI, Menpen juga mengendalikan industri film dan pertelevisian. Lembaga Sensor Film (LSF), meskipun berada di bawah koordinasi kementerian lain, bekerja erat dengan Menpen untuk memastikan konten visual, baik film impor maupun domestik, bebas dari unsur yang dianggap merusak moral, menyinggung SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan), atau mengandung kritik politik terselubung. Film-film yang bertema sejarah wajib mengikuti interpretasi resmi pemerintah mengenai peristiwa masa lalu, khususnya narasi anti-PKI.
Ketika televisi swasta mulai diperkenalkan pada akhir 1980-an (seperti RCTI), Menpen tetap memastikan bahwa kendali konten berada di tangan negara. Stasiun-stasiun swasta diwajibkan untuk merelai siaran berita TVRI pada jam-jam utama. Mekanisme ini memastikan bahwa meskipun saluran hiburan bertambah, pesan inti dan narasi politik pemerintah tetap terdistribusikan secara monopolistik ke seluruh rumah tangga. Hal ini menunjukkan kepiawaian Menpen dalam mengadaptasi metode kontrol di tengah mulai tumbuhnya liberalisasi media.
III. Jangkauan dan Infrastruktur: Menpen di Lapisan Masyarakat
Kekuasaan Menpen tidak hanya terasa di Ibu Kota atau di kalangan jurnalis profesional; jangkauannya meluas hingga ke pelosok desa melalui infrastruktur komunikasi dan program khusus yang dirancang untuk menggapai masyarakat akar rumput. Ini adalah dimensi Menpen sebagai agen pembangunan yang sesungguhnya.
1. RRI dan Siaran Pedesaan
Radio Republik Indonesia (RRI) adalah tulang punggung operasional Menpen dalam hal jangkauan geografis. RRI memiliki stasiun di hampir setiap ibu kota provinsi dan kabupaten, memastikan bahwa pesan pemerintah dapat diterima bahkan di wilayah yang sulit dijangkau. Program andalan Menpen yang dijalankan melalui RRI adalah "Siaran Pedesaan."
Siaran Pedesaan dirancang untuk memberikan informasi praktis mengenai pertanian, kesehatan masyarakat, program Keluarga Berencana (KB), dan praktik sanitasi. Meskipun program ini memiliki manfaat nyata dalam meningkatkan kualitas hidup masyarakat desa, ia juga berfungsi sebagai saluran ideologi. Pesan pembangunan selalu disandingkan dengan pesan loyalitas terhadap Pancasila dan kepemimpinan nasional. Hal ini menunjukkan integrasi sempurna antara fungsi edukasi, pembangunan, dan kontrol politik dalam tubuh Menpen.
2. Kelompok Pendengar, Pembaca, dan Pemirsa (KP3)
Untuk memastikan bahwa pesan-pesan yang disiarkan oleh RRI dan TVRI benar-benar dipahami dan diterapkan, Menpen membentuk jaringan Kelompok Pendengar, Pembaca, dan Pemirsa (KP3) di tingkat desa. KP3 berfungsi sebagai mata dan telinga kementerian di lapangan. Mereka adalah kader-kader yang bertugas mendiskusikan materi siaran, memberikan umpan balik kepada pemerintah (yang sering kali difilter), dan yang paling penting, menjadi agen sosialisasi program pemerintah secara tatap muka.
Sistem KP3 adalah manifestasi dari filosofi komunikasi dua arah yang diklaim oleh Menpen, namun dalam praktiknya lebih bersifat mobilisasi sosial. Jaringan ini sangat efektif dalam menyebarkan pesan seragam, mulai dari alasan mengapa masyarakat harus ikut pemilu, hingga ajakan untuk meninggalkan praktik pertanian tradisional. Melalui KP3, Menpen berhasil menciptakan struktur komunikasi yang meminimalkan masuknya informasi alternatif atau kritis.
3. Pendidikan Moral Pancasila (P4) dan Penerangan
Meskipun P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) secara formal di bawah koordinasi lembaga lain, Menpen memainkan peran sentral dalam sosialisasi dan visualisasi nilai-nilai P4 melalui media massa. Setiap siaran dan publikasi diwajibkan mencerminkan nilai-nilai Pancasila. Menpen memastikan bahwa media tidak hanya melaporkan fakta, tetapi juga menafsirkan fakta tersebut dalam kerangka moral dan ideologi yang telah ditetapkan oleh negara.
Keterlibatan Menpen dalam P4 menunjukkan bahwa institusi ini tidak hanya mengatur infrastruktur media, tetapi juga mengendalikan isi dan interpretasi ideologis dari seluruh wacana publik. Media dipandang sebagai sarana untuk mendidik warga negara menjadi subjek yang loyal dan patuh, dan Menpen adalah wasit tertinggi yang memutuskan apa yang pantas dan apa yang tidak pantas dikonsumsi oleh publik.
IV. Krisis dan Tuntutan Keterbukaan (Menjelang Reformasi)
Menjelang dekade 1990-an, kontrol ketat Menpen mulai menghadapi tantangan serius. Globalisasi informasi, munculnya teknologi komunikasi baru (internet dan parabola), serta meningkatnya kesadaran politik di kalangan masyarakat urban, mulai mengikis efektivitas sistem sentralisasi yang telah dibangun Orde Baru.
1. Tekanan Media Swasta dan Teknologi Baru
Pada awal 1990-an, meskipun berada di bawah pengawasan ketat, pertumbuhan media swasta di sektor cetak dan penyiaran (khususnya radio dan televisi lokal) menciptakan lanskap media yang lebih kompleks. Masyarakat, terutama di kota-kota besar, mulai mencari alternatif di luar berita resmi TVRI dan RRI. Media swasta, meskipun terpaksa tunduk pada SIUPP, mulai mengeksplorasi batas-batas "kebebasan yang bertanggung jawab" untuk menarik audiens.
Munculnya teknologi parabola dan akses internet (meskipun terbatas) juga merupakan ancaman eksistensial bagi Menpen. Informasi yang disiarkan dari luar negeri, yang bebas dari kontrol SIUPP, mulai masuk ke rumah tangga. Menpen berusaha keras untuk membatasi akses ini, misalnya melalui regulasi ketat terhadap kepemilikan parabola, namun upaya ini pada akhirnya terbukti mustahil dihentikan seiring dengan laju perkembangan teknologi global.
2. Kasus Pembreidelan Signifikan
Meskipun tekanan semakin besar, Menpen menunjukkan bahwa mereka tidak ragu untuk menggunakan kekuasaan penuhnya hingga saat-saat terakhir. Kasus pencabutan SIUPP majalah berita mingguan *Tempo*, *Editor*, dan tabloid *Detik* pada tahun 1994 menjadi tonggak penting. Ketiga media ini dibreidel karena meliput isu sensitif mengenai pembelian kapal perang bekas Jerman Timur, yang melibatkan konflik antara menteri-menteri senior. Tindakan ini memicu reaksi keras dari komunitas pers dan intelektual, menunjukkan bahwa publik tidak lagi menerima justifikasi stabilitas sebagai pembenaran untuk represi media.
Insiden ini mempertegas posisi Menpen sebagai garda terdepan represi politik Orde Baru. Ironisnya, tindakan represif ini justru mempercepat tumbuhnya gerakan perlawanan pers bawah tanah dan digital yang kelak menjadi basis gerakan Reformasi. Menpen, yang seharusnya menjadi komunikator, kini semakin terlihat sebagai benteng yang rapuh melawan arus kebebasan informasi.
V. Pembubaran Menpen dan Lahirnya Regulasi Media Demokratis
Kejatuhan rezim Orde Baru pada tahun 1998 secara langsung menempatkan Kementerian Penerangan sebagai salah satu simbol utama otoritarianisme yang harus segera dihilangkan. Institusi yang telah berdiri selama lebih dari lima dekade ini dianggap sebagai representasi dari kontrol negara yang berlebihan terhadap ruang publik.
1. Keputusan Pembubaran
Setelah Reformasi, tuntutan untuk menghapuskan Kementerian Penerangan menjadi agenda politik yang mendesak. Pembubaran Menpen adalah langkah fundamental untuk mendemokratisasi ruang media Indonesia. Institusi ini secara resmi dibubarkan pada tahun 1999 di bawah kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid. Pembubaran ini bukan hanya perubahan nama, melainkan perombakan filosofi mendasar tentang hubungan antara negara dan pers.
Dengan dibubarkannya Menpen, kekuasaan negara untuk memberikan dan mencabut SIUPP secara sepihak pun berakhir. Media cetak dan elektronik kini beroperasi di bawah prinsip kebebasan pers yang dijamin konstitusi, di mana regulasi lebih ditekankan pada aspek teknis dan etika penyiaran, bukan kontrol ideologis. Ini adalah momen bersejarah yang mengubah total lanskap komunikasi Indonesia, melepaskan pers dari belenggu rezim birokrasi yang membatasi.
2. Pewarisan Fungsi dan Transformasi Institusional
Meskipun Menpen dibubarkan, fungsi-fungsinya tidak hilang sepenuhnya. Fungsi-fungsi tersebut didistribusikan ke berbagai lembaga baru yang dirancang untuk beroperasi dengan prinsip akuntabilitas dan non-sentralisasi. Pembagian ini menghasilkan lahirnya institusi-institusi penting yang menopang sistem media yang lebih demokratis:
A. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo)
Fungsi teknis dan pembangunan infrastruktur komunikasi, serta regulasi telekomunikasi, diwariskan kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika. Kominfo berfokus pada pembangunan TIK, pengelolaan spektrum frekuensi, dan administrasi umum. Perannya lebih bersifat teknokratis dan tidak lagi memiliki wewenang untuk mencabut izin media berdasarkan konten politik.
B. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)
Fungsi pengawasan konten penyiaran (radio dan televisi) kini dialihkan kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). KPI adalah lembaga independen yang anggotanya dipilih oleh DPR, bukan ditunjuk langsung oleh Presiden atau Menteri. KPI bertugas menjaga etika penyiaran, melindungi kepentingan publik (termasuk perlindungan anak), dan memastikan keragaman kepemilikan media. Perpindahan otoritas pengawasan konten dari Menpen yang eksekutif ke KPI yang independen adalah inti dari reformasi media.
C. Undang-Undang Pers dan Dewan Pers
Setelah pembubaran Menpen, lahirlah Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Undang-undang ini menjamin kebebasan pers dan menempatkan tanggung jawab etika dan profesionalisme pada Dewan Pers. Dewan Pers, sebuah lembaga mandiri yang terdiri dari unsur masyarakat pers, bertugas menyelesaikan sengketa jurnalistik, merumuskan kode etik, dan menjaga kemerdekaan pers dari intervensi pemerintah. Dengan demikian, pers Indonesia beralih dari diatur oleh Menpen menjadi diatur oleh dirinya sendiri (self-regulation).
VI. Warisan Filosofis dan Tantangan Pasca-Menpen
Meskipun Menpen telah tiada, warisan dan dampak jangka panjang dari institusi ini masih relevan dalam konteks media kontemporer Indonesia. Masa jaya Menpen mengajarkan banyak hal tentang hubungan antara informasi, kekuasaan, dan masyarakat.
1. Dualitas Peran: Pembangunan vs. Kontrol
Warisan terpenting Menpen adalah dualitas peran yang dimainkannya. Di satu sisi, Menpen adalah motor utama sosialisasi program pembangunan, mencapai wilayah terpencil dengan informasi yang mengubah perilaku. Di sisi lain, ia adalah simbol dari sensor dan kontrol politik yang mematikan inisiatif dan kritik. Dualitas ini menciptakan persepsi yang kompleks di masyarakat: bahwa informasi pemerintah adalah penting dan harus diterima, tetapi juga harus dicurigai karena selalu mengandung agenda tersembunyi.
Filosofi komunikasi Menpen bahwa "media harus membangun, bukan merusak" masih bergema di kalangan birokrat tertentu, bahkan setelah Reformasi. Hal ini kadang-kadang memicu ketegangan ketika pemerintah pasca-Menpen berusaha melakukan intervensi terhadap konten media dengan alasan "stabilitas" atau "moralitas," menunjukkan betapa sulitnya menghapus total budaya kontrol yang diwariskan oleh institusi tersebut.
2. Memori Pembreidelan dan Etika Pers
Memori kolektif pers nasional terhadap era SIUPP dan ancaman pembreidelan telah membentuk etika dan profesionalisme jurnalistik pasca-Reformasi. Keengganan untuk kembali ke masa lalu telah menjadi pendorong bagi jurnalis untuk menjaga integritas dan melawan segala bentuk upaya intervensi politik atau ekonomi. Reformasi menuntut pers untuk beralih dari status "alat negara" menjadi "pilar demokrasi keempat."
Namun, dalam era digital saat ini, tantangan Menpen telah berganti wujud. Jika dahulu Menpen mengontrol informasi melalui sentralisasi izin, kini tantangannya adalah mengelola banjir informasi yang tidak terverifikasi (hoaks), di mana peran negara adalah melindungi masyarakat dari disinformasi, tanpa kembali menjadi sensor sentralistik. Batasan antara regulasi yang sah dan sensor yang represif menjadi semakin kabur di tengah desakan untuk menjaga ruang digital yang bersih.
3. Kontrol Non-Birokratis
Dengan hilangnya Menpen, kontrol terhadap media tidak sepenuhnya sirna, tetapi bergeser ke bentuk-bentuk non-birokratis. Di era pasca-Menpen, pengaruh ekonomi (kepemilikan media oleh konglomerat yang terafiliasi politik) dan tekanan pasar telah menggantikan sensor negara. Pers yang bebas dari ancaman SIUPP kini berhadapan dengan ancaman independensi yang disebabkan oleh kepentingan pemilik modal dan iklan. Ini adalah tantangan baru yang harus dihadapi oleh KPI dan Dewan Pers, menunjukkan bahwa meskipun simbol kontrol telah tumbang, perjuangan untuk kemerdekaan pers yang sejati terus berlanjut.
Kementerian Penerangan telah menutup lembaran sejarahnya sebagai sebuah institusi birokratis yang formal. Namun, ia akan selalu dikenang sebagai institusi yang secara fundamental membentuk cara pandang bangsa Indonesia terhadap komunikasi massa, peran media dalam politik, dan batas-batas antara informasi yang melayani negara dan informasi yang melayani publik. Transformasi dari Menpen menjadi Kominfo, KPI, dan Dewan Pers mencerminkan kemajuan besar Indonesia dari otoritarianisme menuju demokrasi yang menjunjung tinggi hak warga negara atas informasi yang bebas dan beragam.
Refleksi atas Menpen juga harus mencakup pengakuan bahwa komunikasi pemerintah adalah fungsi vital yang tidak bisa hilang. Setelah pembubarannya, timbul tantangan baru mengenai bagaimana pemerintah dapat efektif menyosialisasikan kebijakan tanpa kembali menggunakan metode kontrol yang bersifat memaksa. Era kini menuntut pendekatan komunikasi yang persuasif, transparan, dan berbasis dialog, jauh berbeda dari metode komando yang pernah menjadi ciri khas operasional Menpen selama puluhan tahun.
Keseluruhan narasi Menpen adalah kisah tentang kekuatan informasi: bagaimana ia dapat digunakan untuk membangun negara yang tercerahkan, tetapi juga bagaimana ia dapat disalahgunakan untuk melanggengkan kekuasaan. Pelajaran dari era Menpen adalah peringatan abadi bagi setiap generasi bahwa kebebasan informasi adalah prasyarat, bukan hasil, dari pembangunan nasional yang berkelanjutan dan demokratis.