Pilar Kesetiaan dalam Kedaulatan Monarki Melayu
Dalam khazanah budaya dan sistem politik tradisional Nusantara, terutama dalam konteks monarki Melayu, terdapat sebuah konsep yang melampaui sekadar kepatuhan politik: Menjunjung Duli. Frasa ini, kaya akan makna historis, filosofis, dan spiritual, merangkumi keseluruhan hubungan antara rakyat dan Raja, melambangkan loyalitas mutlak yang menjadi fondasi bagi kestabilan dan legitimasi kerajaan. Menjunjung duli bukanlah tindakan sepele; ia adalah pengakuan sah terhadap kedaulatan, atau yang dalam istilah Melayu disebut sebagai *Daulat*, yang diyakini berasal dari sumber Ilahi atau karisma suci yang inheren pada institusi Raja.
Kajian mendalam mengenai konsep menjunjung duli menuntut kita untuk menelusuri akar-akar sejarahnya, mulai dari kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha kuno hingga masuknya Islam yang kemudian memperkaya dan membentuk ulang interpretasi kedaulatan. Sepanjang berabad-abad, tindakan menjunjung duli telah menjadi penanda identitas peradaban Melayu, suatu sumpah setia yang diwariskan dari generasi ke generasi, menjadikannya bukan hanya adat istiadat tetapi juga prinsip hidup yang mengatur tatanan sosial dan hierarki kekuasaan. Ini adalah sebuah janji universal di dalam sempadan sebuah wilayah kedaulatan, bahwa perintah Raja adalah titah yang wajib dipatuhi, demi kesejahteraan bersama dan terjaganya keharmonisan alam semesta kerajaan.
Secara etimologi, frasa "menjunjung duli" terdiri dari dua kata kunci. Kata 'menjunjung' berarti mengangkat atau memikul sesuatu di atas kepala, menunjukkan penghormatan tertinggi, seolah-olah meletakkan perintah atau keberadaan Raja pada tempat yang paling suci dan mulia. Sementara kata 'duli' sendiri merujuk pada debu atau tanah yang menempel pada kaki Raja, atau lebih tepatnya, alas kaki Raja. Mengangkat debu kaki Raja ke atas kepala adalah metafora yang paling kuat untuk menunjukkan kerendahan hati yang paripurna dan pengakuan total atas superioritas dan otoritas sang Raja. Ini adalah penyerahan diri secara total kepada otoritas tertinggi.
Filosofi di balik tindakan menjunjung duli adalah pengakuan bahwa Raja atau Sultan adalah manifestasi kekuasaan Tuhan di bumi (Zillullah fil-Alam) atau setidaknya, pemegang mandat suci (Khalifah). Dalam tradisi Melayu yang dipengaruhi oleh Islam, kedaulatan Raja (Daulat) adalah takdir yang tidak boleh diganggu gugat. Kesetiaan yang diberikan rakyat harus bersifat tanpa syarat, bukan karena takut akan hukuman duniawi semata, tetapi karena takut melanggar perjanjian kosmik antara penguasa dan yang diperintah. Konsep ini adalah penyeimbang teologis terhadap potensi anarki sosial dan politik.
Menjunjung duli tidak dapat dipahami tanpa memahami konsep 'Daulat' dan lawannya, 'Durhaka'. Daulat adalah kesaktian, karisma, dan legitimasi spiritual yang melekat pada seorang Raja yang sah. Daulat melindungi Raja dari bencana dan memastikan kemakmuran negerinya. Apabila Daulat diakui oleh rakyat melalui tindakan menjunjung duli, maka terciptalah keseimbangan. Namun, jika kesetiaan ini dicabut atau dilanggar, maka orang tersebut dianggap 'Durhaka'.
Durhaka, dalam konteks Melayu lama, bukanlah sekadar pengkhianatan politik; ia adalah dosa spiritual. Hukuman bagi durhaka tidak hanya datang dari Raja (hukuman pancung atau buang negeri), tetapi juga diyakini akan datang dari alam, dari kutukan Daulat itu sendiri. Kisah-kisah epik seperti Hang Tuah dan Hang Jebat, meskipun kompleks, seringkali digunakan untuk mengilustrasikan batas tipis antara kesetiaan absolut dan kegilaan yang diakibatkan oleh keraguan terhadap perintah Raja. Hang Tuah memilih menjunjung duli, bahkan ketika ia merasa perintah itu salah, menunjukkan bahwa kesetiaan kepada institusi lebih utama daripada pertimbangan pribadi atau emosional.
Mahkota dan Keris: Simbol Daulat yang Mewajibkan Rakyat untuk Menjunjung Duli.
Menjunjung duli bukanlah sekadar konsep abstrak, melainkan terwujud dalam serangkaian ritual dan adat istiadat yang sangat ketat di dalam lingkungan istana (Balai Rong Seri). Protokol istana yang rumit dirancang untuk selalu menegaskan hierarki dan kewajiban menjunjung duli. Setiap gestur, setiap kata yang diucapkan, dan bahkan cara berpakaian di hadapan Raja adalah bagian dari manifestasi kesetiaan ini.
Salah satu elemen paling kentara dari praktik menjunjung duli adalah penggunaan Bahasa Istana (Bahasa Dalam) atau Bahasa Menyembah. Bahasa ini memastikan bahwa Raja selalu disapa dengan istilah kehormatan yang tinggi. Kata ganti diri untuk Raja (seperti 'Tuanku' atau 'Baginda') dan kata ganti untuk diri sendiri ('patik') berfungsi untuk secara struktural merendahkan penutur di hadapan kedaulatan. Perintah Raja disebut 'Titah', sementara perkataan biasa disebut 'Sabda'. Semua ini menciptakan sebuah ruang linguistik di mana Raja berada di atas tatanan biasa, dan setiap interaksi adalah tindakan menjunjung duli.
Bahkan ketika rakyat jelata memohon ampun, mereka akan memohon 'ampun duli tuanku', secara eksplisit menyebutkan 'duli' (debu kaki Raja), menekankan bahwa kesalahan mereka sangat kecil dibandingkan dengan kemuliaan Raja. Praktik ini memastikan bahwa pemisahan antara penguasa dan rakyat selalu jelas dan dihormati, menjaga integritas Daulat.
Di masa lalu, menjunjung duli diinstitusikan melalui sumpah setia kolektif, seringkali melibatkan air sumpah yang diminum oleh para pembesar dan panglima. Perjanjian ini, yang biasanya diletakkan di bawah pengawasan supernatural, memastikan bahwa setiap orang yang memegang jabatan di kerajaan terikat oleh kewajiban mutlak untuk menjunjung duli. Jika sumpah ini dilanggar, diyakini bencana tidak hanya menimpa individu tetapi juga keturunannya, sebuah mekanisme sosial yang kuat untuk memastikan kesetiaan tetap teguh.
Sumpah Setia ini merupakan tulang punggung sistem feodal kerajaan Melayu. Tanpa adanya janji untuk menjunjung duli, struktur kekuasaan akan runtuh. Para pembesar daerah, yang memiliki kekuasaan lokal, harus secara berkala memperbaharui janji ini di hadapan Sultan, memastikan bahwa kekuasaan mereka merupakan emanasi dari Daulat Raja, bukan kekuasaan independen. Pelaksanaan ritual ini di Balai Rong Seri, dengan segala kemegahan dan simbolisme, berfungsi sebagai penguatan psikologis dan sosial atas kedaulatan yang absolut.
Konsep menjunjung duli tidak muncul tiba-tiba; ia berevolusi seiring dengan perkembangan peradaban di Nusantara. Jauh sebelum Kesultanan Melaka, kerajaan-kerajaan besar seperti Sriwijaya dan Majapahit telah memiliki konsep serupa mengenai pengkultusan Raja (Dewa Raja), di mana Raja dianggap sebagai penitisan dewa. Ketika Islam datang, konsep ini tidak hilang, melainkan mengalami sinkretisme yang cerdas. Raja tidak lagi menjadi dewa, tetapi menjadi Bayangan Tuhan di Bumi (Zillullah fil-Alam), memegang amanah Ilahi.
Pergeseran dari Dewa Raja ke Zillullah fil-Alam memperkuat konsep menjunjung duli. Jika sebelumnya pengakuan datang dari otoritas mitologi Hindu-Buddha, kini legitimasi diperoleh dari syariat Islam, yang menekankan pentingnya ketaatan kepada *Ulil Amri* (pemegang kekuasaan). Dengan demikian, durhaka bukan hanya pengkhianatan kepada Raja, tetapi juga pengkhianatan terhadap perintah agama, yang membuat sanksi sosial dan spiritual menjadi jauh lebih berat. Inilah yang membuat janji untuk menjunjung duli begitu mengikat dan sakral di mata masyarakat Melayu.
Di Kesultanan Melaka, yang merupakan puncak peradaban maritim Melayu, konsep menjunjung duli diperkuat untuk menjaga keharmonisan antara kelas penguasa (Raja dan pembesar) dan kelas pedagang serta rakyat biasa. Kestabilan politik yang dijamin oleh kesetiaan rakyat terhadap Sultan (menjunjung duli) adalah kunci bagi keberhasilan Melaka sebagai pelabuhan entrepôt internasional. Para syahbandar dan laksamana, yang mengendalikan perdagangan dan militer, wajib menunjukkan kesetiaan yang tak berbelah bahagi. Pelanggaran terhadap prinsip menjunjung duli bisa berakibat fatal bagi seluruh jaringan perdagangan, sehingga konsep ini berfungsi sebagai alat kontrol sosial dan ekonomi yang sangat efektif.
Kesetiaan kepada Sultan Melaka tidak hanya dilakukan secara fisik; ia juga termaktub dalam hukum adat, terutama Hukum Kanun Melaka, di mana segala bentuk pengkhianatan atau ketidakpatuhan secara otomatis diinterpretasikan sebagai durhaka terhadap Daulat Raja. Tindakan menjunjung duli menjadi payung hukum dan moral yang menaungi seluruh aktivitas kerajaan, mulai dari diplomasi hingga penegakan keadilan.
Ikrar dan Sumpah Setia sebagai Bentuk Pengesahan Menjunjung Duli.
Menjunjung duli menciptakan sebuah iklim psikologis di mana otoritas Raja tidak pernah dipertanyakan di ruang publik. Hal ini memiliki dampak mendalam pada struktur sosial Melayu tradisional. Di satu sisi, ia menjamin stabilitas dan mencegah perebutan kekuasaan yang merusak. Di sisi lain, ia menuntut pengorbanan kebebasan berpendapat demi harmoni kolektif. Rakyat percaya bahwa ketaatan mutlak adalah kunci untuk mendapatkan keberkatan Raja, yang pada akhirnya akan menghasilkan *Rezeki* (kemakmuran) bagi seluruh negeri.
Dalam konteks Islam, peranan ulama sangat penting dalam memperkuat kewajiban menjunjung duli. Ulama bertindak sebagai penafsir syariat yang mengesahkan Daulat Raja, memastikan bahwa Raja bertindak sesuai dengan tuntunan agama. Ketika ulama mengakui Raja, maka penolakan terhadap Raja dianggap sebagai penolakan terhadap struktur keagamaan yang sah. Ini memberikan lapisan legitimasi moral yang mendalam, menjadikan tindakan menjunjung duli sebagai ibadah sekaligus kewajiban sipil.
Ketaatan kepada Raja adalah ketaatan kepada ketertiban, dan ketertiban adalah prasyarat bagi tegaknya keadilan sosial. Ulama mengajarkan bahwa Raja yang adil adalah anugerah, dan kesetiaan kepada Raja yang adil adalah jalan menuju masyarakat yang makmur (Baldatun Tayyibatun wa Rabbun Ghafur). Oleh karena itu, menjunjung duli menjadi sebuah tindakan yang sangat berharga dan dihormati dalam hierarki nilai masyarakat Melayu.
Meskipun menuntut kepatuhan mutlak, konsep menjunjung duli secara filosofis juga mencakup mekanisme umpan balik, meskipun ini dilakukan secara sangat halus dan melalui saluran non-konfrontatif. Raja juga memiliki kewajiban timbal balik, yaitu untuk memerintah dengan adil (*Adil*) dan bijaksana. Jika Raja menyimpang terlalu jauh dari keadilan, ada risiko hilangnya Daulat. Dalam sejarah Melayu, hilangnya Daulat (seperti yang diceritakan dalam Hikayat Raja-Raja Pasai) seringkali disebabkan oleh kezaliman Raja, yang kemudian membenarkan rakyat (atau pembesar) untuk berhenti menjunjung duli secara diam-diam.
Namun, mekanisme penolakan ini sangat jarang terjadi dan selalu dianggap sebagai peristiwa yang membawa malapetaka besar. Prinsip utamanya tetap bahwa rakyat harus berupaya keras untuk menjunjung duli, bahkan ketika ada ketidakpuasan, karena menjaga kedaulatan institusi monarki dianggap lebih penting daripada menghukum individu Raja yang mungkin lalai. Ini menunjukkan bahwa menjunjung duli adalah dedikasi kepada sistem, bukan hanya kepada pribadi.
Dalam konteks modern, di negara-negara yang masih memelihara sistem monarki konstitusional (seperti Malaysia dan beberapa kerajaan di Indonesia), konsep menjunjung duli telah mengalami transformasi yang signifikan tanpa kehilangan esensinya. Raja atau Sultan kini memerintah berdasarkan perlembagaan (konstitusi), dan kekuasaan eksekutif dipegang oleh pemerintah terpilih. Namun, kewajiban untuk menjunjung duli tetap relevan sebagai pilar persatuan dan simbol supremasi institusi negara.
Dalam sistem modern, Raja atau Yang di-Pertuan Agong bertindak sebagai payung kedaulatan dan lambang perpaduan negara. Menjunjung duli hari ini diartikan sebagai menghormati perlembagaan, menghormati institusi monarki sebagai penjaga adat istiadat, dan mengakui peran Raja sebagai pemersatu bangsa di tengah keragaman politik dan etnis. Kesetiaan ini bersifat apolitik, memastikan bahwa monarki tetap berada di atas persaingan partisan.
Tindakan menjunjung duli modern diwujudkan melalui kepatuhan kepada undang-undang, menghormati lambang-lambang negara, dan menjaga ketertiban umum. Ketika seseorang menyanjung tinggi institusi monarki, ia sedang menjalankan kewajiban menjunjung duli, meskipun kini tidak lagi harus secara harfiah mengangkat debu kaki Raja ke atas kepala. Ritual-ritual formal di istana, seperti upacara pertabalan dan perasmian, masih mempertahankan bahasa dan gestur tradisional untuk terus mengingatkan rakyat akan pentingnya kewajiban ini.
Tantangan terbesar bagi konsep menjunjung duli di era digital dan demokrasi adalah memastikan bahwa kesetiaan ini dipahami sebagai pengakuan terhadap sejarah dan kedaulatan, bukan sebagai penghalang terhadap kritik yang konstruktif atau partisipasi demokratis. Masyarakat kontemporer yang menjunjung tinggi kebebasan berbicara harus menyeimbangkan antara menghormati institusi monarki dengan hak-hak sipil.
Di sinilah makna menjunjung duli diadaptasi: ia menjadi komitmen untuk menjaga martabat institusi yang berfungsi sebagai benteng terakhir terhadap kekacauan sosial. Rakyat menjunjung duli Raja bukan karena dipaksa oleh sistem feodal, tetapi karena menghargai peran sejarah monarki dalam pembentukan identitas bangsa. Penafsiran ini memungkinkan konsep kuno tersebut untuk terus relevan dalam kerangka negara bangsa yang modern dan progresif.
Menjunjung duli adalah sebuah cerminan dari sistem nilai yang sangat menghargai hierarki, budi bahasa, dan harmoni. Ini bukan sekadar tindakan formalistik di hadapan Raja, melainkan sebuah pola pikir yang meresap ke dalam seluruh aspek kehidupan bermasyarakat. Ketika seseorang menunjukkan sopan santun yang luar biasa kepada orang tua atau pemimpin komunitas, ia sedang menerapkan prinsip umum dari menjunjung duli: yaitu penghormatan kepada otoritas dan pengalaman yang lebih tinggi.
Di balik kemegahan istana, menjunjung duli adalah pengajaran etika. Ia mengajarkan bahwa kuasa besar harus diiringi dengan tanggung jawab besar, dan ketaatan harus diiringi dengan keikhlasan. Raja harus menjunjung tinggi keadilan, dan rakyat harus menjunjung tinggi Raja. Siklus ketaatan dan keadilan inilah yang membentuk moralitas publik di kerajaan-kerajaan Melayu. Pelanggaran terhadap salah satu unsur akan merusak keharmonisan yang telah dibangun melalui perjanjian abadi ini.
Tanpa prinsip menjunjung duli, masyarakat Melayu diyakini akan kehilangan jangkar moralnya. Konsep ini adalah penangkal terhadap individualisme ekstrem yang mungkin merusak kerangka kolektif. Ia mengingatkan setiap individu bahwa mereka adalah bagian dari entitas yang lebih besar, dan kesuksesan pribadi harus selalu sejalan dengan kepentingan kedaulatan yang diwakili oleh Raja. Keikhlasan dalam menjunjung duli mencerminkan kedalaman karakter seseorang.
Setiap alat kebesaran diraja, mulai dari mahkota, keris kerajaan (pedang), hingga payung ubur-ubur kuning, berfungsi sebagai simbol kedaulatan yang harus dijunjung duli. Objek-objek ini bukan sekadar perhiasan; mereka adalah wadah fisik bagi Daulat. Ketika rakyat melihat lambang-lambang ini, mereka secara otomatis diingatkan akan sumpah setia dan kewajiban mereka. Upacara yang melibatkan perarakan alat kebesaran ini adalah cara visual dan teatrikal untuk memperbaharui janji menjunjung duli secara massal dan berkala.
Misalnya, warna kuning diraja, yang secara eksklusif digunakan oleh Raja dan institusinya, adalah penanda visual yang memisahkan kedaulatan dari hal-hal profan. Melihat warna kuning mengingatkan rakyat akan ketinggian martabat yang harus dihormati. Simbolisme yang kuat ini memastikan bahwa konsep menjunjung duli tetap hidup dalam kesadaran kolektif, terlepas dari perubahan zaman atau sistem politik.
Seiring berkembangnya pemikiran modern dan hak asasi manusia, konsep kepatuhan mutlak seperti menjunjung duli tidak luput dari kritik, terutama dari sudut pandang yang menekankan persamaan hak dan kebebasan individu. Kritik seringkali berpusat pada apakah konsep ini dapat diselaraskan dengan prinsip-prinsip demokrasi modern yang memerlukan pengawasan dan keseimbangan kekuasaan (checks and balances).
Perdebatan muncul ketika tindakan menjunjung duli diinterpretasikan sebagai larangan total terhadap kritik terhadap institusi monarki. Namun, para pendukung monarki konstitusional berpendapat bahwa menjunjung duli dalam era modern berarti menghormati institusi Raja yang netral, dan kritik yang ditujukan kepada pemerintah terpilih tidak boleh disamakan dengan durhaka terhadap Raja. Menjunjung duli harus dipisahkan dari politik partisan.
Adaptasi modern ini memungkinkan Raja untuk tetap menjadi sumber legitimasi moral bagi negara, sementara tanggung jawab atas keputusan politik yang kontroversial ditanggung oleh perdana menteri dan kabinet. Dengan demikian, rakyat dapat menjalankan hak demokratis mereka untuk memilih dan mengkritik, sambil tetap menjunjung duli kepada Raja sebagai simbol kedaulatan. Ini adalah keseimbangan yang rapuh namun penting untuk kelangsungan monarki konstitusional.
Penting untuk ditekankan bahwa menjunjung duli selalu menuntut ketulusan hati. Kepatuhan yang diberikan hanya karena takut hukuman fisik dianggap tidak sempurna. Ketulusan hati (ikhlas) dalam menjunjung duli memastikan bahwa kesetiaan tersebut bersifat abadi dan murni. Dalam hikayat-hikayat lama, Raja yang bijaksana selalu mencari kesetiaan yang tulus, bukan hanya kepatuhan yang dipaksakan. Inilah yang membedakan menjunjung duli dari penindasan; ia adalah kesepakatan sukarela yang didasarkan pada pengakuan terhadap kebenaran Daulat Raja.
Kesetiaan yang tulus ini melahirkan rasa hormat yang mendalam, yang kemudian terwujud dalam adat dan tingkah laku sehari-hari. Ia menciptakan suatu disiplin internal di mana individu secara otomatis menyaring kata-kata dan tindakan mereka demi menjaga kehormatan institusi monarki. Konsep ini mengajarkan pengendalian diri dan penghormatan sosial yang sangat diperlukan dalam masyarakat yang kompleks.
Menjunjung duli adalah tali yang mengikat masa lalu, masa kini, dan masa depan peradaban Melayu. Institusi monarki, yang dilegitimasi oleh tindakan menjunjung duli, telah bertahan melalui penjajahan, perang dunia, dan transisi ke negara bangsa modern. Tanpa kesetiaan yang diwariskan ini, banyak identitas nasional dan warisan budaya mungkin telah hilang.
Di banyak negara bekas jajahan, institusi Raja seringkali menjadi satu-satunya entitas yang tidak tunduk sepenuhnya pada penjajah. Raja, meskipun kekuasaan politiknya mungkin terbatas, tetap menjadi lambang kedaulatan yang tidak pernah diserahkan. Oleh karena itu, menjunjung duli kepada Raja adalah juga menjunjung duli kepada harga diri dan kemerdekaan bangsa. Ketika negara merdeka, monarki bertindak sebagai jembatan yang menghubungkan identitas pra-kolonial yang kaya dengan negara modern yang berdaulat.
Menjunjung duli menjamin bahwa nilai-nilai tradisi, adat istiadat, dan bahasa Melayu tetap terpelihara. Raja adalah pelindung adat, dan dengan menghormati Raja (menjunjung duli), rakyat secara tidak langsung menegaskan komitmen mereka terhadap pelestarian warisan budaya yang unik ini. Fungsi ini menjadi semakin vital di era globalisasi, di mana identitas budaya rentan terhadap erosi.
Protokol menjunjung duli, termasuk penggunaan Bahasa Istana, memastikan bahwa kosakata dan struktur bahasa Melayu klasik tetap digunakan dan dipahami. Upacara-upacara istana berfungsi sebagai museum hidup di mana istilah-istilah kuno, pakaian tradisional, dan musik kerajaan terus dipersembahkan. Rakyat yang menjunjung duli secara otomatis menjadi bagian dari upaya pelestarian budaya ini. Jika tidak ada yang menjunjung duli, bahasa dan adat istiadat istana akan menjadi relik sejarah yang mati.
Oleh karena itu, setiap ucapan ‘Daulat Tuanku’ atau setiap persembahan yang dilakukan di hadapan Sultan adalah penguatan aktif terhadap kesinambungan sejarah. Ini adalah pengakuan bahwa bangsa ini memiliki akar yang dalam, dan bahwa kedaulatan tidak dimulai dari masa kemerdekaan, tetapi berakar pada ribuan tahun tradisi kerajaan yang telah mendefinisikan wilayah ini.
Dalam idealisme kerajaan Melayu, tindakan menjunjung duli memiliki ikatan yang tak terpisahkan dengan harapan rakyat akan keadilan Raja. Rakyat bersedia memberikan kesetiaan total karena keyakinan bahwa Raja, sebagai pemegang mandat Ilahi, akan memerintah dengan adil. Konsep ini menempatkan beban moral yang berat di pundak Raja.
Prinsip dasarnya adalah bahwa kesetiaan (menjunjung duli) hanya dapat dipertahankan secara berkelanjutan jika Raja memenuhi kewajiban etika kekuasaannya. Raja yang zalim akan kehilangan Daulat, bukan karena pemberontakan, tetapi karena kutukan alamiah. Ketika Raja bertindak adil, Daulatnya bersinar terang, dan rakyat akan berlomba-lomba untuk menjunjung duli dengan ikhlas. Keadilan Raja adalah jaminan bahwa kesetiaan rakyat tidak akan disalahgunakan.
Kisah-kisah rakyat seringkali menampilkan Raja yang turun ke tengah rakyatnya, menyamar, untuk memastikan bahwa keadilan ditegakkan di tingkat akar rumput. Narasi-narasi ini memperkuat keyakinan bahwa Raja peduli dan layak untuk dijunjung duli. Rasa adil ini, yang seringkali bersifat paternalistik, menciptakan ikatan emosional yang kuat antara institusi monarki dan rakyat jelata, jauh melampaui ikatan politik formal.
Menjunjung duli dapat dilihat sebagai versi kuno dari kontrak sosial. Rakyat menyerahkan sebagian besar kebebasan individu mereka dan memberikan kesetiaan penuh, sebagai imbalan atas perlindungan, keadilan, dan kestabilan yang disediakan oleh Raja. Kontrak ini bersifat abadi, karena Daulat Raja diyakini diturunkan melalui darah dan tidak dapat dipindahtangankan kecuali dalam keadaan luar biasa yang melibatkan campur tangan Ilahi atau bencana besar.
Kontrak sosial ini diperbaharui dalam setiap upacara istiadat. Ketika rakyat bersorak 'Daulat Tuanku', mereka tidak hanya memuji Raja, tetapi juga secara kolektif menegaskan kembali janji mereka untuk menjunjung duli dan, pada saat yang sama, mengingatkan Raja akan kewajiban suci beliau untuk melindungi mereka. Menjunjung duli, pada intinya, adalah perjanjian dua pihak yang dijaga oleh kekuatan spiritual dan sejarah.
Konsep menjunjung duli adalah mahakarya filosofi politik Melayu yang berhasil menyatukan dimensi spiritual, historis, dan sosial dalam satu tindakan ketaatan. Ia adalah penegasan terhadap hierarki kosmik yang menempatkan Raja sebagai sumbu kekuasaan yang sah. Meskipun konteks politik telah berubah secara drastis dari sistem feodal murni ke monarki konstitusional, esensi dari menjunjung duli tetap abadi: yaitu penghargaan tertinggi terhadap institusi yang melambangkan kedaulatan, persatuan, dan sejarah bangsa.
Dalam kehidupan kontemporer, menjunjung duli adalah panggilan untuk menghormati sejarah, menjaga adat istiadat, dan memastikan bahwa simbol-simbol kedaulatan terus berfungsi sebagai jangkar moral bagi negara. Ini adalah tindakan patriotisme yang paling mendalam, mengakui bahwa tanpa fondasi kesetiaan yang diwakili oleh duli Raja, bangunan negara bangsa Melayu mungkin kehilangan inti spiritualnya. Oleh karena itu, kewajiban untuk menjunjung duli akan terus menjadi prinsip yang mengikat, memastikan kelangsungan warisan kedaulatan Raja di Nusantara.
Menjunjung duli bukan sekadar kepatuhan pasif, melainkan partisipasi aktif dalam pemeliharaan Daulat, suatu usaha kolektif yang menuntut kerendahan hati, integritas, dan pengakuan bahwa keberadaan individu terjalin erat dengan kemuliaan institusi monarki. Warisan ini adalah harta tak ternilai yang terus mendefinisikan identitas Melayu hingga hari ini.
Keagungan menjunjung duli terletak pada kemampuannya untuk bertahan melintasi zaman. Ia telah bertransformasi dari kewajiban feodal yang keras menjadi pengakuan tulus terhadap peran Raja sebagai simbol persatuan di tengah kompleksitas politik modern. Dengan setiap ucapan 'Daulat Tuanku,' dengan setiap ritual istiadat yang dilaksanakan, kita menyaksikan penegasan kembali ikatan keramat antara Raja dan Rakyat, ikatan yang telah menjaga kestabilan peradaban di semenanjung dan kepulauan ini selama berabad-abad. Kewajiban ini, yang merangkul sejarah, budaya, dan spiritualitas, adalah pilar yang tak tergoyahkan dalam menghadapi gelombang perubahan zaman.