Tindakan menjebloskan, dalam konteks hukum dan sosial, merujuk pada proses formal penempatan seseorang ke dalam institusi penahanan, baik itu berupa penahanan sementara (selama investigasi atau persidangan) maupun pemenjaraan definitif setelah putusan pengadilan. Kata ini sarat makna, mencerminkan transisi drastis dari kebebasan sipil menuju pembatasan total atas hak-hak dasar, sebuah tindakan yang hanya boleh dilakukan oleh negara melalui otoritas hukum yang sah. Proses ini adalah manifestasi paling nyata dari kekuasaan negara dalam menegakkan hukum pidana dan memberikan keadilan.
Kajian mendalam mengenai praktik menjebloskan tidak hanya terbatas pada prosedur administratif di kepolisian, kejaksaan, atau pengadilan, melainkan juga menyentuh akar filosofis mengapa masyarakat memilih penjara sebagai bentuk hukuman yang dominan, serta bagaimana dampaknya bergema jauh melampaui terali besi. Pemahaman komprehensif terhadap mekanisme ini memerlukan penelusuran terhadap aspek-aspek legalitas, etika, sosiologi kriminal, hingga ekonomi politik dalam sistem koreksional. Ini adalah titik di mana teori keadilan bertemu dengan realitas yang seringkali brutal dari penegakan hukum.
Prinsip legalitas harus selalu menjadi pondasi sebelum tindakan penahanan dilakukan.
Dalam negara hukum, tindakan membatasi kebebasan seseorang harus memiliki dasar hukum yang kuat dan eksplisit. Tidak boleh ada kekuasaan sewenang-wenang (willekeur). Di Indonesia, prinsip ini termaktub dalam berbagai peraturan, mulai dari Undang-Undang Dasar hingga Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Proses menjebloskan seseorang ke balik jeruji besi dibagi menjadi beberapa tahapan kritis, masing-masing dengan batasan waktu, wewenang, dan persyaratan yang ketat.
Tahap awal di mana seseorang dapat kehilangan kebebasannya adalah selama proses penyelidikan dan penyidikan. Kekuasaan untuk melakukan penahanan bersifat diskresioner, tetapi harus didasarkan pada dua syarat utama: syarat subjektif dan syarat objektif. Syarat objektif berkaitan dengan jenis tindak pidana yang diancamkan, biasanya yang ancaman hukumannya di atas lima tahun penjara atau beberapa tindak pidana khusus. Syarat subjektif adalah kekhawatiran yang beralasan bahwa tersangka akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti, atau mengulangi tindak pidana. Keputusan untuk menjebloskan seseorang ke dalam Rumah Tahanan Negara (Rutan) pada tahap ini adalah salah satu tindakan paling invasif yang dapat dilakukan oleh aparat penegak hukum sebelum adanya vonis bersalah.
Waktu penahanan pada tahap penyidikan dan penuntutan sangat dibatasi. Aparat harus memastikan bahwa penahanan tidak berubah menjadi hukuman sebelum persidangan. Perpanjangan penahanan harus diajukan secara bertingkat, dari penyidik, penuntut umum, hingga pengadilan negeri. Kontrol ketat ini dirancang untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan, memastikan bahwa hak asasi manusia tersangka tetap dihormati meskipun statusnya sebagai orang yang dicurigai. Kegagalan mematuhi batas waktu ini dapat mengakibatkan penahanan yang tidak sah, membuka pintu bagi gugatan praperadilan yang bertujuan membatalkan penahanan tersebut.
Mekanisme praperadilan adalah katup pengaman (safety valve) dalam sistem hukum acara pidana. Jika seseorang merasa tindakan menjebloskan dirinya (penangkapan dan penahanan) dilakukan secara tidak sah, ia berhak mengajukan permohonan praperadilan. Lembaga ini berfungsi sebagai pengawasan terhadap kewenangan penyidik dan penuntut umum. Keputusan hakim praperadilan dapat membatalkan penahanan, yang secara efektif ‘mengeluarkan’ kembali tersangka dari Rutan, meskipun proses penyidikan kasus utamanya tetap berjalan. Kekuatan praperadilan menegaskan bahwa formalitas dan legalitas prosedur adalah sama pentingnya dengan materiil kasus itu sendiri.
Perdebatan mengenai perluasan objek praperadilan selalu relevan, terutama dalam kasus-kasus sensitif. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa setiap langkah menuju pemenjaraan, sekecil apapun, selalu didasarkan pada prosedur yang adil dan transparan. Prinsip praduga tak bersalah harus dipertahankan secara utuh, dan penahanan harus selalu menjadi opsi terakhir, bukan tindakan pertama.
Tindakan menjebloskan yang definitif terjadi setelah pengadilan memutuskan bahwa terdakwa bersalah (inkracht van gewijsde) dan menjatuhkan pidana penjara. Pada titik ini, status seseorang berubah dari tahanan (di Rutan) menjadi narapidana (di Lembaga Pemasyarakatan/Lapas). Putusan pengadilan harus didasarkan pada keyakinan hakim yang didukung oleh minimal dua alat bukti yang sah. Ini adalah kulminasi dari seluruh proses peradilan, di mana kedaulatan hukum ditegakkan melalui sanksi yang paling keras: perampasan kebebasan.
Filosofi di balik vonis ini bukan hanya tentang memisahkan pelaku dari masyarakat (inkapasitasi), tetapi juga tentang retribusi, deterensi (pencegahan), dan, idealnya, rehabilitasi. Namun, seringkali fokus utama masyarakat adalah pada aspek retribusi—memastikan bahwa pelaku membayar atas kejahatannya. Perbedaan antara vonis penjara, kurungan, dan denda sangat penting dipahami, meskipun pada akhirnya, hanya pidana penjara yang mewujudkan makna sesungguhnya dari ‘menjebloskan’ secara jangka panjang.
Keputusan untuk menjebloskan seseorang ke penjara tidak pernah diambil dalam kevakuman moral. Ia didukung oleh berbagai teori pemidanaan yang telah berkembang sepanjang sejarah hukum. Memahami teori-teori ini penting untuk mengevaluasi apakah sistem koreksional yang ada saat ini sudah efektif dan adil.
Teori ini berakar pada prinsip bahwa hukuman harus dijatuhkan semata-mata karena kejahatan telah dilakukan (Jus talionis). Penjara adalah cara untuk memastikan bahwa penderitaan yang ditimbulkan oleh kejahatan dibayar setara dengan penderitaan yang dialami pelaku. Fokus utamanya adalah keadilan masa lalu; seberapa pantas hukuman itu berdasarkan tingkat kesalahan (moralitas) pelaku. Bagi penganut retributif, menjebloskan seseorang adalah penegasan moral bahwa tindakan kriminal adalah salah dan harus dihukum, terlepas dari apakah hukuman tersebut akan menghasilkan perubahan perilaku di masa depan atau tidak.
Teori retributif memberikan kepastian hukum dan rasa kepuasan moral bagi korban dan masyarakat. Namun, kritik utama terhadap teori ini adalah kecenderungannya untuk mengabaikan faktor-faktor rehabilitasi dan sosial yang melatarbelakangi kejahatan. Sistem yang terlalu retributif berisiko menjadi sistem yang kejam dan kurang manusiawi, hanya berorientasi pada penderitaan.
Berbeda dengan retributif, teori utilitarian melihat hukuman sebagai sarana mencapai tujuan yang lebih besar, yaitu mencegah kejahatan di masa depan. Ada dua sub-kategori utama dalam utilitarianisme:
Jika retributif melihat ke belakang, utilitarian melihat ke depan. Tindakan menjebloskan dinilai berdasarkan manfaatnya bagi keselamatan dan ketertiban sosial secara keseluruhan. Namun, teori ini sering dikritik karena dapat membenarkan hukuman yang sangat berat, bahkan mungkin tidak proporsional, demi mencapai deterensi yang maksimal, berpotensi mengorbankan hak individu demi kepentingan kolektif.
Teori rehabilitatif berpendapat bahwa tujuan utama pemenjaraan bukanlah membalas atau menakuti, melainkan memperbaiki pelaku kejahatan agar dapat kembali menjadi anggota masyarakat yang produktif. Menjebloskan seseorang harus dilihat sebagai kesempatan untuk pendidikan ulang, terapi, dan pembangunan keterampilan. Dalam pandangan ini, Lapas seharusnya menjadi institusi koreksi (pemasyarakatan), bukan sekadar tempat penahanan. Pendekatan restoratif, yang merupakan evolusi dari rehabilitatif, bahkan lebih jauh lagi, menekankan pada perbaikan kerugian yang dialami korban dan komunitas, daripada hanya fokus pada hukuman terhadap pelaku.
Meskipun ideal secara kemanusiaan, teori rehabilitatif sering menemui kendala di lapangan, terutama dalam sistem Lapas yang kelebihan kapasitas dan kekurangan sumber daya. Realitasnya, bagi banyak narapidana, penjara justru menjadi ‘sekolah’ kejahatan yang memperburuk prospek mereka untuk reintegrasi.
Dampak dari tindakan menjebloskan tidak berhenti pada si pelaku itu sendiri. Ia menciptakan riak sosial dan ekonomi yang meluas, memengaruhi keluarga, komunitas, dan stabilitas finansial dalam jangka waktu yang panjang. Studi-studi sosiologis menunjukkan bahwa pemenjaraan memiliki efek intergenerasi yang signifikan.
Begitu seseorang dijebloskan ke dalam Lapas, ia membawa label yang sangat berat: mantan narapidana. Stigma ini seringkali lebih merusak daripada pidana penjara itu sendiri. Setelah bebas, mantan narapidana menghadapi diskriminasi akut dalam mencari pekerjaan, perumahan, dan bahkan dalam interaksi sosial. Hilangnya hak politik (di beberapa yurisdiksi) dan penolakan sosial memperkuat isolasi, sering kali mendorong mereka kembali ke lingkungan kriminal—sebuah fenomena yang dikenal sebagai residivisme.
Di dalam penjara, narapidana mengalami ‘mortifikasi diri’ (self-mortification), sebuah proses di mana identitas sipil mereka terkikis dan digantikan oleh identitas narapidana, yang dikelola secara totaliter oleh sistem Lapas. Hilangnya privasi, otonomi, dan kontak reguler dengan dunia luar menyebabkan trauma psikologis yang mendalam, termasuk depresi, kecemasan, dan Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD).
Salah satu konsekuensi paling menyakitkan dari menjebloskan pencari nafkah utama adalah kehancuran finansial keluarga yang ditinggalkan. Keluarga sering kali kehilangan pendapatan, menghadapi kesulitan membayar sewa atau cicilan, dan harus menanggung biaya tak terduga terkait kunjungan dan bantuan hukum. Anak-anak dari narapidana sering kali mengalami kesulitan akademis dan psikologis karena absennya orang tua. Dalam konteks kemiskinan struktural, pemenjaraan dapat memperburuk lingkaran setan kemiskinan, memastikan bahwa generasi berikutnya juga berisiko tinggi terjerumus dalam sistem peradilan pidana.
Sistem hukum seringkali gagal mempertimbangkan dampak ekonomi kolektif ini saat menjatuhkan vonis. Fokusnya adalah pada keadilan individu, namun biaya sosial dari hukuman yang berorientasi pada penjara sangat tinggi dan ditanggung oleh pembayar pajak dan masyarakat secara keseluruhan.
Tingginya angka tindakan menjebloskan, khususnya untuk kasus-kasus ringan atau terkait narkotika, telah menyebabkan krisis kapasitas di Lapas di berbagai negara, termasuk Indonesia. Overcrowding (kelebihan kapasitas) merusak tujuan rehabilitasi secara fundamental. Lingkungan yang terlalu padat menghasilkan kondisi hidup yang tidak manusiawi, penyebaran penyakit, meningkatnya kekerasan antar narapidana, dan minimnya akses terhadap program-program pembinaan yang seharusnya disediakan.
Ketika Lapas beroperasi jauh di atas kapasitas idealnya, fokus manajemen beralih dari koreksi menjadi kontrol semata. Petugas pemasyarakatan menjadi kewalahan, yang pada gilirannya dapat meningkatkan risiko praktik korupsi, penyalahgunaan wewenang, dan pelecehan hak asasi manusia di balik jeruji besi. Overcrowding adalah bukti nyata bahwa pendekatan retributif dan inkapasitasi telah mendominasi, sementara rehabilitasi hanya menjadi jargon.
Realitas penjara seringkali menjauh dari cita-cita rehabilitasi.
Mengingat biaya sosial, ekonomi, dan kemanusiaan yang tinggi dari pemenjaraan, sistem hukum modern terus mencari alternatif yang efektif untuk kejahatan non-kekerasan. Filosofi dasarnya adalah bahwa tidak semua pelaku kejahatan memerlukan perampasan kebebasan fisik, dan bahwa hukuman yang lebih berbasis komunitas mungkin lebih efektif dalam mencegah residivisme.
Keadilan restoratif berfokus pada perbaikan kerugian dan rekonsiliasi antara pelaku, korban, dan komunitas. Alih-alih menjebloskan pelaku ke sistem yang terpisah, pendekatan ini mendorong pertanggungjawaban melalui mediasi dan kesepakatan pemulihan. Bentuk hukuman dapat berupa kerja sosial, ganti rugi finansial kepada korban, atau program edukasi intensif. Untuk tindak pidana tertentu, terutama yang melibatkan konflik antar komunitas atau kerusakan properti, restorative justice menawarkan jalan keluar yang lebih bermakna daripada hukuman penjara tradisional, yang seringkali meninggalkan korban merasa tidak terwakili.
Implementasi restorative justice memerlukan perubahan paradigma besar dalam pelatihan aparat penegak hukum, dari mentalitas penghukuman (retribusi) menjadi mentalitas pemulihan dan mediasi. Keberhasilannya sangat bergantung pada kesediaan korban untuk berpartisipasi dan pada komitmen pelaku untuk bertanggung jawab secara pribadi atas perbuatannya.
Hukuman berbasis komunitas mencakup berbagai sanksi yang memungkinkan pelaku tetap berada di masyarakat sambil menjalani pengawasan dan pembatasan ketat. Contohnya termasuk masa percobaan (probation), pengawasan elektronik (electronic monitoring/house arrest), dan wajib lapor yang intensif. Hukuman ini bertujuan mencapai deterensi khusus tanpa mengganggu stabilitas pekerjaan dan keluarga pelaku, yang sangat penting untuk rehabilitasi yang sukses.
Pendekatan ini jauh lebih hemat biaya dibandingkan membiayai Lapas yang mahal. Selain itu, dengan menjaga ikatan sosial pelaku tetap utuh, peluang reintegrasi berhasil jauh lebih tinggi. Tantangannya terletak pada kebutuhan akan infrastruktur pengawasan yang kuat dan sumber daya untuk program rehabilitasi psikologis dan keterampilan yang efektif di luar Lapas.
Salah satu penyebab utama overkapasitas Lapas di banyak negara adalah pemenjaraan individu yang terkait dengan penggunaan atau kepemilikan narkotika dalam jumlah kecil. Banyak ahli hukum dan kesehatan masyarakat berargumen bahwa tindakan menjebloskan pengguna narkoba adalah tindakan kontraproduktif yang memperlakukan masalah kesehatan publik sebagai masalah kriminal. Program diversi, yang mengalihkan pengguna narkoba dari penjara ke pusat rehabilitasi, terbukti lebih efektif dalam mengurangi tingkat residivisme dan menghemat anggaran negara.
Pergeseran fokus ini menuntut keberanian politik untuk mereformasi undang-undang narkotika yang selama ini sangat represif. Ketika Lapas diisi oleh orang-orang yang seharusnya mendapatkan perawatan medis, Lapas kehilangan fokusnya untuk menahan pelaku kejahatan serius dan berbahaya, yang pada akhirnya mengurangi efektivitas sistem koreksional secara keseluruhan.
Etika adalah kompas yang memandu bagaimana negara harus menggunakan kekuatan untuk merampas kebebasan warga negaranya. Setiap kali seorang hakim atau jaksa membuat keputusan untuk menjebloskan seseorang, mereka berhadapan dengan dilema moral yang mendasar.
Prinsip proporsionalitas menuntut agar hukuman yang dijatuhkan harus sebanding dengan beratnya kejahatan yang dilakukan. Hukuman yang terlalu berat untuk kejahatan ringan dianggap tidak etis dan tidak adil. Tantangan muncul ketika kejahatan non-kekerasan memiliki dampak ekonomi yang besar. Misalnya, apakah hukuman untuk korupsi yang melibatkan miliaran rupiah harus sebanding dengan hukuman untuk kekerasan fisik, atau apakah kerugian sosial yang ditimbulkannya membenarkan pemenjaraan jangka panjang?
Penerapan prinsip proporsionalitas memerlukan diskresi yang hati-hati oleh hakim dan pembuat kebijakan hukum untuk menghindari pemenjaraan massal (mass incarceration) untuk pelanggaran-pelanggaran kecil, praktik yang secara historis terbukti tidak proporsional dan seringkali menargetkan kelompok minoritas atau kelompok rentan secara ekonomi.
Meskipun seseorang telah dijebloskan karena kejahatan, statusnya sebagai manusia dan warga negara tidak hilang sepenuhnya. Konstitusi dan hukum internasional (seperti Standar Minimum PBB untuk Perlakuan Narapidana, atau Aturan Nelson Mandela) menjamin bahwa narapidana berhak atas perlakuan manusiawi, termasuk akses terhadap makanan, perawatan kesehatan, dan lingkungan yang aman. Setiap kondisi di Lapas yang melanggar standar ini—seperti penyiksaan, penelantaran medis, atau penempatan di sel isolasi yang berkepanjangan—adalah pelanggaran etika dan hukum yang serius.
Tanggung jawab negara tidak hanya berhenti pada tindakan menjebloskan, tetapi berlanjut sepanjang durasi hukuman. Kegagalan Lapas dalam menyediakan lingkungan yang bermartabat justru akan menghambat rehabilitasi dan menciptakan lebih banyak masalah sosial setelah narapidana dibebaskan.
Kritik paling tajam terhadap tindakan menjebloskan adalah bahwa proses ini seringkali tidak netral dan dipengaruhi oleh bias struktural. Studi statistik di berbagai negara menunjukkan adanya disparitas rasial, sosial, dan ekonomi dalam tingkat penangkapan, penuntutan, dan vonis. Individu dari latar belakang ekonomi rendah, yang tidak mampu menyewa pengacara berkualitas atau membayar denda, lebih mungkin dijebloskan ke penjara dibandingkan dengan mereka yang memiliki sumber daya lebih.
Keadilan struktural menuntut pengakuan bahwa kemiskinan dan marginalisasi seringkali menjadi akar dari perilaku kriminal. Oleh karena itu, sistem yang mengandalkan pemenjaraan untuk menyelesaikan masalah sosial yang kompleks dianggap gagal secara etis. Reformasi harus fokus pada pengurangan diskresi yang memungkinkan bias masuk ke dalam proses hukum dan pada peningkatan akses terhadap bantuan hukum yang kompeten bagi semua lapisan masyarakat.
Untuk memastikan bahwa kekuasaan untuk menjebloskan tidak disalahgunakan, sistem hukum memerlukan mekanisme pengawasan dan akuntabilitas yang kokoh, melibatkan berbagai lembaga, mulai dari internal kelembagaan hingga pengawasan eksternal oleh masyarakat sipil.
Putusan pengadilan tingkat pertama yang menjebloskan seseorang tidak serta merta final. Terdakwa memiliki hak untuk mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi dan kasasi ke Mahkamah Agung. Mekanisme ini memastikan bahwa kesalahan interpretasi hukum, pelanggaran prosedur, atau penetapan pidana yang tidak proporsional dapat dikoreksi. Proses pemeriksaan ulang ini adalah elemen vital dari due process of law, yang menjamin bahwa tidak ada seorang pun yang dijebloskan berdasarkan kesalahan hukum yang mendasar.
Di luar mekanisme peradilan formal, lembaga independen seperti Ombudsman dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) memainkan peran penting dalam mengawasi praktik penahanan dan Lapas. Mereka menyelidiki keluhan mengenai perlakuan tidak manusiawi, pungutan liar, atau penahanan yang melanggar prosedur. Laporan-laporan mereka seringkali menjadi katalisator bagi reformasi kebijakan, menyoroti area di mana tindakan menjebloskan telah melampaui batas kewajaran etika dan hukum.
Media dan masyarakat sipil bertindak sebagai ‘mata’ publik yang mengawasi proses hukum. Liputan investigatif mengenai kondisi Lapas, kasus salah tangkap, atau proses peradilan yang meragukan memaksa sistem untuk lebih transparan dan akuntabel. Tanpa pengawasan publik, risiko penyalahgunaan kekuasaan untuk menjebloskan individu tertentu demi kepentingan politik atau ekonomi akan meningkat secara drastis.
Masa depan sistem peradilan pidana harus diarahkan pada pengurangan ketergantungan pada pemenjaraan sebagai solusi utama untuk semua masalah sosial. Reformasi Lapas dan penegakan hukum perlu dilakukan secara holistik.
Diperlukan peninjauan ulang terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan undang-undang sektoral lainnya untuk mengurangi jumlah tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara minimum yang tinggi. Kebijakan ini harus mendukung hukuman alternatif untuk kejahatan ringan dan menengah, dan memperkuat posisi hakim dalam memberikan pidana yang lebih kreatif dan rehabilitatif, alih-alih hanya berpegangan pada vonis pemenjaraan yang kaku.
Contohnya, di beberapa negara maju, hakim kini memiliki wewenang lebih besar untuk menangguhkan hukuman penjara dengan syarat bahwa terpidana harus menjalani pengobatan atau pelatihan kerja secara intensif. Pendekatan ini mengakui bahwa tujuan sejati dari tindakan menjebloskan haruslah keamanan publik yang berkelanjutan, yang hanya dapat dicapai melalui rehabilitasi, bukan hukuman yang seumur hidup menjebak seseorang dalam lingkaran kriminal.
Kualitas keputusan untuk menjebloskan seseorang sangat bergantung pada profesionalisme penyidik, jaksa, dan hakim. Pelatihan yang berkelanjutan mengenai etika, hak asasi manusia, dan alternatif pemidanaan sangat krusial. Aparat harus dilatih untuk melihat tersangka bukan hanya sebagai objek yang harus dihukum, tetapi sebagai individu yang memiliki hak dan potensi untuk berubah. Dalam konteks Lapas, petugas pemasyarakatan harus diubah perannya dari penjaga menjadi edukator dan fasilitator perubahan.
Tindakan menjebloskan harus diikuti oleh proses reintegrasi yang terstruktur dan didanai dengan baik. Program setelah pembebasan, termasuk bantuan pencarian kerja, konseling psikologis, dan dukungan perumahan, adalah kunci untuk memutus rantai residivisme. Jika negara hanya fokus pada penahanan dan mengabaikan fase pembebasan, maka biaya yang dikeluarkan untuk sistem penjara hanya akan menjadi investasi yang sia-sia karena sebagian besar mantan narapidana akan kembali dijebloskan di kemudian hari.
Kesuksesan reintegrasi sering kali memerlukan kemitraan kuat antara pemerintah, sektor swasta (yang perlu didorong untuk mempekerjakan mantan narapidana), dan organisasi non-pemerintah. Penerimaan sosial adalah komponen non-hukum terpenting yang menentukan apakah seorang mantan narapidana akan mampu menjadi warga negara yang patuh hukum.
Tindakan menjebloskan seseorang ke penjara merupakan cerminan paling jelas dari nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan yang dipegang oleh suatu masyarakat. Sebagai bentuk sanksi yang paling ekstrem yang dapat diberikan negara, ia harus dilakukan dengan kehati-hatian, didasarkan pada legalitas yang sempurna, dan dijiwai oleh tujuan rehabilitasi yang jelas. Jika Lapas hanya berfungsi sebagai ‘tempat parkir’ bagi masalah sosial, dan jika proses menjebloskan hanya didorong oleh balas dendam publik, maka sistem peradilan pidana telah gagal dalam misinya yang lebih tinggi.
Mencapai keadilan sejati dalam konteks pemenjaraan memerlukan lebih dari sekadar prosedur hukum yang ketat. Ini menuntut komitmen etis untuk memperlakukan setiap individu, bahkan yang bersalah, dengan martabat, dan kesediaan untuk mencari solusi kreatif yang mengatasi akar penyebab kejahatan. Masa depan yang lebih adil adalah masa depan di mana tindakan menjebloskan menjadi intervensi yang terukur dan terakhir, bukan respons otomatis pertama, demi menciptakan masyarakat yang lebih aman, inklusif, dan korektif.