Menista: Analisis Komprehensif Batasan Ekspresi, Hukum, dan Dimensi Sosiopolitik
Konsep menista selalu berada di persimpangan yang rumit antara kebebasan fundamental manusia dan perlindungan nilai-nilai sakral serta ketertiban umum. Kajian ini menggali kedalaman istilah tersebut, meninjau implikasinya dalam konteks hukum pidana, dinamika sosial, hingga perdebatan filosofis abadi tentang batas-batas toleransi dan ekspresi.
Gambar 1.1: Keseimbangan dinamis antara kebebasan berekspresi dan kebutuhan perlindungan nilai-nilai sosial dan hukum.
I. Definisi, Etimologi, dan Spektrum Menista
Kata "menista" dalam bahasa Indonesia memiliki akar makna yang berkaitan erat dengan tindakan merendahkan, menghina, atau merusak martabat, terutama terhadap sesuatu yang dianggap suci, sakral, atau mulia oleh suatu kelompok masyarakat. Dalam diskursus kontemporer, istilah ini seringkali merujuk pada tiga spektrum utama: penistaan agama (blasphemy), penghinaan terhadap otoritas atau simbol negara, dan penghinaan terhadap pribadi (defamation), meskipun konteks hukum paling sensitif biasanya terfokus pada ranah spiritual dan keimanan kolektif.
1.1. Perbedaan Terminologi: Penistaan, Penghinaan, dan Kritik
Penting untuk membedakan antara "menista" (sebagai tindakan yang merusak kehormatan objek sakral atau publik secara sengaja), "menghina" (merendahkan martabat individu), dan "kritik" (evaluasi konstruktif atau destruktif terhadap kebijakan atau ide). Penistaan, khususnya dalam konteks keagamaan, seringkali memerlukan unsur kesengajaan atau niat jahat untuk menimbulkan permusuhan atau kebencian terhadap suatu keyakinan, bukan sekadar ketidaksetujuan intelektual atau perbedaan pendapat teologis. Batas tipis ini merupakan sumber utama perdebatan yudisial dan sosial.
Dalam banyak yurisdiksi, penistaan berfokus pada dampak kolektif—yakni, potensi tindakan tersebut memicu kerusuhan sosial, mengganggu ketertiban umum, atau melukai perasaan mayoritas penganut agama. Sebaliknya, kritik yang sah biasanya ditujukan pada institusi, dogma, atau interpretasi, dan tidak diarahkan untuk merendahkan eksistensi dasar keyakinan itu sendiri atau simbol-simbol sakral yang dihormati secara luas. Kesulitan terbesar adalah menentukan kapan kritik yang tajam melampaui batas dan bertransformasi menjadi penistaan yang diatur oleh hukum pidana.
1.2. Dimensi Sejarah Hukum Penistaan (Blasphemy Law)
Hukum penistaan bukanlah fenomena modern; ia memiliki sejarah yang sangat panjang, berakar pada hukum kuno dan tradisi agama-agama besar. Di Eropa abad pertengahan, penistaan seringkali dianggap sebagai tindak pidana yang sangat serius, setara dengan pengkhianatan, karena dianggap merusak kontrak suci antara individu dan Tuhan, serta melemahkan otoritas gereja yang saat itu erat terjalin dengan negara. Hukuman yang diterapkan sangat berat, seringkali melibatkan penganiayaan fisik hingga hukuman mati.
Perkembangan menuju era modern dan munculnya negara sekuler secara bertahap mengurangi fokus hukum pidana dari perlindungan Tuhan (aspek teologis) menjadi perlindungan ketertiban umum dan hak penganut agama untuk beribadah tanpa gangguan (aspek sosiologis). Meskipun demikian, di banyak negara, termasuk Indonesia, undang-undang penistaan tetap dipertahankan, berfungsi sebagai katup pengaman sosial untuk mencegah konflik antarumat beragama.
Evolusi hukum ini menunjukkan pergeseran paradigma: dari menjaga kemurnian dogma agama menjadi menjaga kerukunan sosial. Namun, kritikus berpendapat bahwa undang-undang tersebut, meskipun beroperasi di bawah payung ketertiban umum, pada praktiknya seringkali digunakan untuk membungkam minoritas atau pihak yang berseberangan dengan interpretasi agama mayoritas, sehingga membatasi pluralisme intelektual.
Konsep menista juga terkait erat dengan apa yang disebut sebagai *Slander of Religion* atau penghinaan terhadap agama. Dalam konteks ini, tidak hanya objek sakral yang dilindungi, tetapi juga perasaan emosional dan spiritual dari komunitas penganutnya. Definisi yang luas ini memungkinkan penafsiran hukum yang sangat subjektif, di mana apa yang dianggap sebagai ekspresi seni atau perbedaan pandangan oleh satu pihak dapat dengan mudah dikategorikan sebagai tindakan pidana oleh pihak lain yang merasa terhina secara mendalam.
II. Menista dalam Bingkai Hukum Pidana Indonesia
Di Indonesia, pengaturan mengenai penistaan, khususnya yang berkaitan dengan agama, berpusat pada regulasi yang dikenal sebagai Undang-Undang Nomor 1/PNPS/ Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Regulasi ini diperkuat oleh ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), khususnya Pasal 156a, yang mengatur ancaman pidana bagi mereka yang secara sengaja di muka umum menyatakan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.
2.1. Telaah Kritis UU PNPS 1965 dan Pasal 156a KUHP
UU PNPS 1965 memberikan batasan eksplisit terhadap agama-agama resmi yang diakui di Indonesia, dan fungsinya adalah sebagai landasan preventif negara dalam menjaga kerukunan. Pasal 156a KUHP, yang sering menjadi pasal utama dalam kasus-kasus penistaan, mensyaratkan adanya tiga unsur utama: (1) perbuatan dilakukan di muka umum; (2) perbuatan tersebut menyatakan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan; dan (3) ditujukan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.
Salah satu poin kontroversial dari pasal ini adalah konsep 'niat jahat' (mens rea). Apakah terdakwa harus memiliki niat spesifik untuk menghina atau cukup dengan niat untuk melakukan perbuatan yang secara objektif dapat diinterpretasikan sebagai penghinaan? Putusan-putusan yudisial di Indonesia menunjukkan kecenderungan bahwa penekanan seringkali diberikan pada dampak sosial yang timbul (keresahan dan potensi kerusuhan), dibandingkan pada pembuktian niat intrinsik pelaku. Hal ini membuat pasal tersebut sangat rentan terhadap tekanan publik dan politisasi isu agama.
2.2. Peran Mahkamah Konstitusi dalam Uji Materi
Eksistensi UU PNPS 1965 telah berulang kali diuji di Mahkamah Konstitusi (MK) Indonesia oleh berbagai pihak yang menganggapnya bertentangan dengan jaminan konstitusional mengenai kebebasan beragama (Pasal 28E UUD 1945) dan kebebasan berekspresi. Namun, MK secara konsisten menolak permohonan pembatalan, dengan argumentasi bahwa undang-undang tersebut berfungsi sebagai perlindungan kolektif terhadap keyakinan publik dan alat untuk menjaga stabilitas sosial di tengah masyarakat yang sangat majemuk dan sensitif terhadap isu keagamaan.
MK berpendapat bahwa kebebasan berekspresi bukanlah kebebasan absolut tanpa batas. Batas-batas tersebut, menurut MK, ditemukan ketika ekspresi seseorang mulai melanggar hak asasi orang lain, khususnya hak mereka untuk menjalankan keyakinan tanpa ancaman penghinaan. Interpretasi ini menempatkan perlindungan terhadap kerukunan beragama di atas kebebasan individu untuk mengkritik atau mempertanyakan dogma secara terbuka, sebuah posisi yang secara filosofis dipertanyakan oleh pegiat hak asasi manusia.
2.3. Digitalisasi Penistaan: UU ITE dan Dampaknya
Di era digital, kasus menista tidak lagi terbatas pada media cetak atau pidato publik, tetapi telah meluas secara eksponensial melalui media sosial dan platform daring. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), khususnya pasal-pasal yang terkait dengan penyebaran kebencian dan informasi bermuatan SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan), menjadi instrumen hukum tambahan yang efektif menjerat pelaku penistaan di dunia maya.
Penggunaan UU ITE dalam kasus penistaan mempercepat proses hukum dan memperluas jangkauan definisi "di muka umum" menjadi "dapat diakses publik secara elektronik." Meskipun tujuannya adalah membatasi ujaran kebencian, kritikus menyoroti bahwa penggunaan UU ITE yang longgar dapat mengarah pada kriminalisasi perbedaan pendapat atau bahkan satir keagamaan. Kecepatan penyebaran informasi melalui internet juga berarti bahwa satu unggahan yang problematis dapat memicu reaksi sosial dan tuntutan hukum yang jauh lebih besar dibandingkan penghinaan lisan tradisional.
Kompleksitas hukum di Indonesia semakin diperparah oleh adanya tumpang tindih regulasi. Selain KUHP dan UU ITE, regulasi daerah dan fatwa keagamaan tertentu kadang-kadang memberikan tekanan tambahan terhadap aparat penegak hukum. Dalam banyak kasus, proses peradilan tidak semata-mata didasarkan pada analisis yuridis murni, tetapi juga dipengaruhi kuat oleh opini publik, demonstrasi massa, dan rekomendasi dari lembaga keagamaan yang diakui negara. Oleh karena itu, hukum penistaan di Indonesia bukan hanya masalah teks undang-undang, tetapi juga refleksi dari dinamika kekuasaan sosial dan politik yang saling bersinggungan.
Interpretasi yudisial terhadap Pasal 156a cenderung menerapkan pendekatan pencegahan konflik (prevention of harm) secara lebih ketat daripada pendekatan kebebasan berpendapat (freedom of speech). Dalam konteks pluralitas Indonesia, pengadilan seringkali berargumen bahwa kerugian yang ditimbulkan oleh penistaan bukanlah kerugian individual, melainkan kerugian kolektif terhadap ikatan sosial bangsa, yang memerlukan intervensi pidana segera demi menjaga persatuan dan kesatuan nasional. Argumen ini, meski sah secara konstitusional, seringkali memicu perdebatan sengit tentang hak-hak minoritas dan hak untuk tidak percaya.
III. Menista sebagai Fenomena Sosiologis: Konflik, Stigmatisasi, dan Reaksi Massa
Di luar ranah hukum, tindakan menista memiliki implikasi sosiologis yang mendalam, berfungsi sebagai pemicu konflik horizontal dan vertikal. Dalam masyarakat yang identitas primernya sangat terikat pada afiliasi agama, serangan terhadap simbol atau keyakinan sakral seringkali dipersepsikan sebagai serangan terhadap identitas kolektif, memicu reaksi emosional yang kuat dan terorganisir.
3.1. Hubungan Antara Sakralitas dan Identitas Kelompok
Sosiolog Émile Durkheim menyoroti pentingnya kategori 'sakral' (suci) dalam pembentukan kohesi sosial. Objek atau ide yang dianggap sakral adalah cerminan dari masyarakat itu sendiri—nilai-nilai yang menyatukan dan mendefinisikan kelompok. Oleh karena itu, tindakan menista terhadap simbol sakral dianggap merobek kain sosial (social fabric) yang mengikat komunitas tersebut. Reaksi massa yang muncul setelah kasus penistaan seringkali bukan hanya respons terhadap penghinaan itu sendiri, tetapi juga manifestasi dari kebutuhan untuk mempertahankan batas-batas identitas kelompok di hadapan ancaman eksternal atau internal.
Dalam konteks Indonesia, di mana agama memiliki peran sentral dalam politik dan kehidupan sehari-hari, kasus penistaan dengan cepat bertransformasi dari isu pidana menjadi isu politik identitas. Hal ini mengakibatkan mobilisasi massa yang melintasi batas-batas ras atau suku, bersatu di bawah bendera keyakinan yang merasa terancam. Stigmatisasi terhadap pelaku penistaan seringkali tidak berhenti pada individu, tetapi meluas menjadi generalisasi terhadap kelompok afiliasinya, baik itu kelompok minoritas, intelektual, atau sekuler.
3.2. Psikologi Kerumunan dan Penyebaran Kemarahan
Fenomena menista sangat dipengaruhi oleh psikologi kerumunan. Ketika sebuah informasi yang dianggap menista tersebar, terutama melalui saluran digital, ia memicu 'kemarahan moral' yang cepat dan masif. Dalam kerumunan virtual maupun nyata, emosi kolektif cenderung mengalahkan rasionalitas individu. Hal ini diperburuk oleh bias konfirmasi, di mana penganut suatu keyakinan hanya mencari informasi yang memperkuat persepsi bahwa tindakan tersebut adalah serangan yang disengaja dan jahat.
Teknologi digital berperan sebagai akselerator. Pesan kebencian dan seruan untuk bertindak menyebar tanpa melalui saringan kritis. Perasaan terhina (being offended) menjadi mata uang sosial yang dapat dimonetisasi secara politik. Akibatnya, kasus penistaan seringkali menjadi katalisator bagi konflik yang telah lama terpendam, memberikan legitimasi bagi kelompok-kelompok garis keras untuk menegakkan otoritas moral mereka di ruang publik, seringkali mendikte penegakan hukum melalui tekanan massa.
3.3. Menista dan Dinamika Kekuasaan Mayoritas-Minoritas
Secara global, undang-undang penistaan paling sering digunakan untuk melindungi keyakinan mayoritas dari kritik atau tantangan minoritas atau pemikir heterodoks. Di Indonesia, meskipun hukum secara teoretis melindungi semua agama yang diakui, pada praktiknya, kelompok minoritas dan aliran kepercayaan lokal seringkali menjadi korban, dituduh melakukan 'penyalahgunaan' agama jika praktik mereka menyimpang dari ortodoksi yang diterima oleh mayoritas.
Penggunaan hukum menista oleh mayoritas dapat menciptakan efek 'pendinginan' (chilling effect) terhadap kebebasan berpendapat. Individu, intelektual, dan seniman menjadi sangat berhati-hati dalam mendiskusikan atau mengkritik isu agama karena takut dituntut pidana. Efek ini menghambat dialog antariman yang sehat dan membatasi perkembangan diskursus teologis atau filosofis yang kritis, yang seharusnya menjadi ciri masyarakat demokratis yang terbuka.
Sosiologi konflik mengajarkan bahwa penistaan adalah lebih dari sekadar perkataan; itu adalah perebutan narasi moral dan legitimasi. Siapa yang berhak mendefinisikan apa yang sakral? Siapa yang berhak merasa terhina? Dalam banyak kasus, pihak yang memiliki kekuatan institusional dan mobilisasi massa yang lebih besar adalah yang berhasil memaksakan definisi mereka. Hal ini menciptakan lingkungan di mana sensitivitas kolektif menjadi kriteria hukum utama, menggeser prinsip-prinsip objektivitas dan kepastian hukum.
Analisis sosiologis juga harus mencakup peran media arus utama dan media sosial dalam membingkai kasus penistaan. Media seringkali terjebak antara kebutuhan melaporkan fakta dan kebutuhan untuk tidak memperburuk situasi. Pembingkaian (framing) yang sensasional atau bias dapat memperkuat polarisasi, mengubah seorang individu yang dituduh menjadi simbol musuh publik, sehingga memperkuat siklus kemarahan dan tuntutan hukuman maksimal. Fenomena ini menegaskan bahwa penistaan adalah konstruksi sosial yang sangat bergantung pada interpretasi dan penyebaran informasi di masyarakat.
IV. Kebebasan Berekspresi dan Hukum Menista: Tinjauan Internasional
Sementara banyak negara memiliki hukum yang mengatur penistaan atau ujaran kebencian, komunitas internasional, terutama melalui instrumen Hak Asasi Manusia (HAM), memiliki pandangan yang cenderung membatasi penerapan hukum penistaan agama, mengutamakan kebebasan berkeyakinan dan berekspresi.
4.1. ICCPR dan Batas-Batas Kebebasan Berekspresi
Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang diratifikasi oleh Indonesia, menjamin hak atas kebebasan berekspresi (Pasal 19) dan kebebasan beragama (Pasal 18). Namun, ICCPR juga mengakui bahwa hak-hak ini dapat dibatasi oleh hukum jika diperlukan untuk perlindungan keamanan nasional, ketertiban umum, kesehatan atau moral publik, atau hak dan kebebasan orang lain (Pasal 19(3) dan Pasal 20).
Pasal 20 ICCPR secara spesifik melarang 'advokasi kebencian nasional, ras atau agama yang merupakan hasutan untuk diskriminasi, permusuhan atau kekerasan.' Poin krusial di sini adalah kata 'hasutan' (incitement). Standar internasional cenderung membedakan antara tindakan yang menghina (offensive speech) dan tindakan yang secara langsung menghasut kekerasan (incitement to violence). Hukum penistaan, yang seringkali mengkriminalisasi penghinaan tanpa harus ada unsur hasutan langsung terhadap kekerasan, dianggap oleh banyak ahli HAM PBB sebagai terlalu luas dan berpotensi melanggar kebebasan berekspresi.
4.2. Resolusi Dewan HAM PBB dan Upaya Global
Selama bertahun-tahun, negara-negara anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) berupaya mendorong resolusi PBB yang secara eksplisit melarang 'pencemaran nama baik agama.' Upaya ini, meskipun mendapatkan dukungan di beberapa forum, ditentang keras oleh negara-negara Barat dan organisasi HAM, yang khawatir bahwa resolusi tersebut akan melegitimasi hukum penistaan yang represif dan digunakan untuk menekan minoritas agama dan perbedaan pendapat politik.
Pada akhirnya, PBB mengadopsi pendekatan konsensus yang bergeser dari perlindungan agama (sebagai entitas) menuju perlindungan penganut agama (sebagai individu). Fokus internasional kini lebih condong pada penerapan Pasal 20 ICCPR—yaitu, memerangi ujaran kebencian yang mengarah pada kekerasan dan diskriminasi, alih-alih mengkriminalkan kritik atau penghinaan terhadap dogma itu sendiri.
4.3. Komparasi Hukum: Sekuler vs. Teokratis
Terdapat perbedaan mencolok dalam penanganan penistaan di berbagai negara. Negara-negara sekuler yang menjunjung tinggi Amandemen Pertama (seperti AS) umumnya tidak memiliki undang-undang penistaan agama federal, menganggap bahwa pasar ide harus bebas, betapapun ofensifnya ide tersebut, selama tidak menghasut kekerasan langsung. Sebaliknya, negara-negara dengan sistem hukum yang bersumber dari agama (seperti Pakistan atau Iran) memiliki undang-undang penistaan yang sangat ketat, di mana hukuman mati dapat diterapkan.
Indonesia berada di tengah spektrum ini—sebagai negara berideologi Pancasila yang mengakui keberadaan Tuhan dan mengakui enam agama resmi, hukum penistaan berfungsi sebagai kompromi politik. Namun, penerapan yang seringkali bersifat subjektif menempatkan Indonesia lebih dekat ke model di mana sensitivitas kolektif memiliki bobot hukum yang sangat besar, terkadang mengabaikan prinsip-prinsip due process dan hak pembelaan yang adil.
Perspektif HAM menegaskan bahwa melindungi hak individu untuk memegang keyakinan (atau tidak percaya) berbeda dengan melindungi agama dari kritik atau penghinaan. Kepercayaan dapat dikritik; individu yang memegang kepercayaan tidak boleh didiskriminasi atau diserang. Ketika hukum penistaan mencampuradukkan kedua hal ini, ia gagal memenuhi standar HAM internasional karena memprioritaskan perlindungan dogma atas kebebasan individu untuk berdiskusi dan mempertanyakan.
Debat mengenai 'Kerusakan Reputasi' Agama juga menjadi isu. Dalam perspektif hukum sekuler, entitas agama tidak dapat memiliki reputasi yang dapat dicemarkan seperti halnya individu atau perusahaan. Namun, dalam konteks sosial yang sensitif, pencemaran nama baik agama dianggap sebagai kerugian substansial terhadap kehormatan kolektif. Upaya untuk mereformasi hukum penistaan harus menavigasi jurang pemisah ini: bagaimana cara mengatasi rasa sakit emosional dan kerusakan sosial yang nyata tanpa mengorbankan pilar utama demokrasi, yaitu kebebasan berbicara yang kritis.
V. Filsafat Batas Ekspresi: Menista dan Prinsip Kerusakan John Stuart Mill
Perdebatan mengenai hukum menista tidak dapat dilepaskan dari pertanyaan filosofis tentang batasan otoritas negara terhadap kebebasan individu. Karya-karya filsuf liberal, khususnya John Stuart Mill, memberikan kerangka kerja yang kuat untuk menganalisis masalah ini.
5.1. Prinsip Kerusakan (Harm Principle) dan Batasan Ekspresi
Dalam *On Liberty*, Mill mengemukakan Prinsip Kerusakan: satu-satunya tujuan di mana kekuasaan dapat dilakukan secara sah atas anggota masyarakat yang beradab, yang bertentangan dengan kehendaknya, adalah untuk mencegah kerugian bagi orang lain. Penerapan Prinsip Kerusakan terhadap kasus menista sangat rumit. Apakah perasaan yang terluka, atau penghinaan emosional, dapat diklasifikasikan sebagai 'kerugian' yang cukup signifikan untuk membenarkan intervensi pidana?
Dalam pandangan liberal klasik, ekspresi yang hanya bersifat ofensif atau menghina (tanpa secara langsung menghasut kekerasan atau pelanggaran hak fisik) harus ditoleransi. Mill berargumen bahwa membiarkan semua gagasan, bahkan yang paling tidak populer dan ofensif, dipertukarkan di ruang publik adalah penting bagi pencarian kebenaran dan kemajuan sosial. Jika kita membungkam pandangan yang ofensif, kita kehilangan kesempatan untuk mengujinya atau menguji pandangan kita sendiri.
5.2. Toleransi Radikal dan Pasar Ide
Konsep ‘pasar bebas ide’ (marketplace of ideas) mengasumsikan bahwa dalam persaingan bebas, ide terbaik akan menang. Dalam konteks menista, ini berarti bahwa pandangan yang menantang atau bahkan merendahkan keyakinan agama harus dibiarkan beredar agar kebenaran teologis dapat dipertahankan melalui dialog, bukan melalui pemaksaan negara. Hukuman pidana, dalam pandangan ini, tidak hanya melanggar kebebasan berekspresi, tetapi juga merendahkan keyakinan itu sendiri, menyiratkan bahwa keyakinan tersebut terlalu rapuh untuk menahan kritik.
Namun, kritikus Millian berpendapat bahwa pasar ide tidak selalu berjalan adil. Dalam konteks di mana kekuasaan mayoritas sangat dominan, suara minoritas yang kritis dapat dengan mudah dihancurkan, dan penghinaan yang terus-menerus dapat menciptakan lingkungan permusuhan yang meluas, yang pada akhirnya mengakibatkan kerugian substantif (diskriminasi, kekerasan fisik). Oleh karena itu, batasan diperlukan untuk melindungi yang rentan.
5.3. Etika Tanggung Jawab dalam Berbicara
Meskipun terdapat jaminan kebebasan berekspresi, filsafat etika menuntut adanya tanggung jawab sosial. Kebebasan tidak berarti lisensi untuk bertindak tanpa konsekuensi etis. Pemikir seperti Isaiah Berlin menekankan bahwa kebebasan positif (kebebasan untuk mencapai potensi diri) harus diimbangi dengan kesadaran akan hak-hak orang lain. Dalam kasus menista, tanggung jawab etis menuntut pelaku mempertimbangkan potensi dampak sosial dan emosional dari kata-kata mereka, meskipun secara hukum mereka mungkin dibenarkan.
Perbedaan antara kritik yang bertanggung jawab (yang bertujuan memperbaiki atau memahami) dan penistaan yang merusak (yang bertujuan menghina atau memprovokasi) terletak pada intensi dan metode. Masyarakat yang dewasa harus mampu membedakan keduanya, tetapi ketika batasan ini kabur, hukum seringkali menjadi penengah yang buruk, cenderung mengkriminalisasi niat yang ambigu.
Filsafat post-modern juga memberikan perspektif, melihat menista sebagai bagian dari perang narasi. Apa yang dianggap sakral di satu tempat adalah sekadar teks atau ide di tempat lain. Penistaan terjadi ketika satu narasi (biasanya yang dominan) merasa terancam oleh narasi alternatif, dan menggunakan mekanisme hukum yang ada untuk mempertahankan hegemoninya. Pertanyaannya bukan lagi tentang benar atau salah secara absolut, melainkan tentang siapa yang memiliki kekuasaan untuk mendefinisikan realitas dan moralitas publik.
Para pemikir kontemporer mengajukan konsep 'dignitas' (martabat) sebagai batasan penting. Martabat individu dan kolektif harus dilindungi. Jika suatu ucapan tidak hanya menyerang ide, tetapi secara fundamental merendahkan martabat suatu kelompok—menempatkan mereka pada posisi inferior atau tidak layak—maka intervensi hukum mungkin dibenarkan. Namun, penentuan apakah martabat diserang oleh kritik atau oleh penghinaan murni tetap menjadi masalah interpretasi yang memerlukan kehati-hatian yudisial yang ekstrem, menghindari jebakan emosionalitas massa.
VI. Tantangan Kontemporer dan Menuju Masyarakat yang Lebih Toleran
Di tengah gelombang globalisasi dan informasi tanpa batas, isu menista menghadapi tantangan baru, menuntut pendekatan kebijakan yang lebih inovatif dan tidak hanya bergantung pada solusi pidana.
6.1. Menista dan Krisis Misinformasi
Media sosial adalah lahan subur bagi penyebaran tuduhan penistaan yang seringkali didasarkan pada potongan video yang diedit, konteks yang dihilangkan, atau terjemahan yang salah. Krisis misinformasi ini mempercepat mobilisasi sosial, karena kemarahan yang dihasilkan didasarkan pada realitas yang terdistorsi. Dalam banyak kasus, individu dituntut bukan karena penistaan yang disengaja, melainkan karena penyebaran informasi yang salah yang kemudian diinterpretasikan sebagai penistaan oleh massa yang terprovokasi.
Tantangan bagi penegak hukum adalah bagaimana menahan laju penyebaran narasi provokatif tersebut, sekaligus memastikan bahwa proses hukum tidak menjadi alat untuk menekan mereka yang sekadar berbagi tanpa niat jahat. Ini memerlukan edukasi literasi digital yang masif, mengajarkan masyarakat untuk memverifikasi informasi sebelum bereaksi terhadap tuduhan yang sangat sensitif.
6.2. Reformasi Hukum Menuju Ujaran Kebencian Berbasis Bukti
Banyak organisasi HAM dan ahli hukum menyarankan bahwa solusi terbaik untuk mengatasi sensitivitas sosial terkait menista bukanlah menghapuskan perlindungan sama sekali, melainkan memindahkannya dari kategori 'penghinaan terhadap agama' menjadi 'ujaran kebencian' (hate speech) yang secara eksplisit memenuhi standar ICCPR Pasal 20.
Reformasi ini berarti hukum harus berfokus pada: (1) Niat jahat untuk menghasut diskriminasi, permusuhan, atau kekerasan; (2) Konteks sosial dan kemungkinan terjadinya kerugian nyata; dan (3) Target yang jelas, yaitu kelompok atau individu, bukan dogma atau teks suci. Dengan fokus pada hasutan kekerasan, undang-undang menjadi lebih terukur dan tidak mudah disalahgunakan untuk menekan kritik teologis yang sah.
6.3. Solusi Jangka Panjang: Pendidikan Pluralisme dan Dialog
Pada akhirnya, efektivitas hukum pidana dalam mengatasi masalah menista sangat terbatas. Hukuman dapat menghentikan tindakan, tetapi tidak menghilangkan akar masalahnya—yaitu, kurangnya pemahaman, rendahnya toleransi, dan polarisasi sosial. Solusi jangka panjang harus bersifat edukatif dan kultural.
Pendidikan pluralisme harus diintegrasikan secara mendalam dalam kurikulum nasional, menekankan bukan hanya pengakuan terhadap keberagaman, tetapi juga apresiasi terhadap perbedaan teologis dan filosofis. Dialog antariman yang tulus, yang berani membahas isu-isu sensitif tanpa rasa takut akan kriminalisasi, adalah kunci untuk membangun ketahanan sosial terhadap provokasi. Ketika masyarakat memiliki mekanisme non-hukum yang kuat untuk menyelesaikan konflik interpretasi, ketergantungan pada Pasal 156a akan berkurang secara signifikan.
Pendekatan mediasi dan restoratif justice juga relevan. Daripada selalu mengarahkan kasus penistaan ke pengadilan pidana yang seringkali mempolitisasi konflik, mekanisme penyelesaian sengketa berbasis komunitas dapat digunakan. Mekanisme ini bertujuan untuk memulihkan kerukunan, memahami motif pelaku, dan memastikan bahwa korban kolektif merasa didengar, tanpa harus menuntut hukuman penjara yang berat. Penerapan restoratif justice dalam kasus-kasus sensitif memerlukan keberanian yudisial, tetapi menawarkan jalan keluar dari siklus polarisasi dan retribusi.
Kajian mendalam tentang menista harus selalu mengingatkan kita bahwa kekuatan ekspresi dan sensitivitas keyakinan adalah dua sisi mata uang masyarakat yang majemuk. Menjaga keseimbangan antara kebebasan dan tanggung jawab adalah tugas abadi setiap negara demokratis, tugas yang menuntut kecerdasan hukum, kedewasaan sosial, dan komitmen teguh terhadap prinsip-prinsip kemanusiaan yang universal. Kegagalan mencapai keseimbangan ini akan selalu menjadikan hukum penistaan sebagai pedang bermata dua: alat perlindungan bagi yang satu, dan ancaman bagi yang lain.
6.4. Analisis Mendalam Mengenai Konsekuensi Ekonomi dan Sosial dari Kriminalisasi Penistaan
Konsekuensi dari kriminalisasi menista meluas melampaui kerugian individual yang dialami terdakwa. Secara ekonomi dan sosial, kasus-kasus penistaan publik seringkali merugikan iklim investasi dan pariwisata. Ketika suatu negara dianggap memiliki stabilitas sosial yang rapuh atau sistem hukum yang mudah dipengaruhi oleh mobilisasi massa berbasis agama, hal itu dapat menahan minat investor asing. Kasus-kasus besar penistaan seringkali diikuti oleh demonstrasi yang melumpuhkan aktivitas ekonomi di pusat-pusat kota, menciptakan ketidakpastian yang merusak pasar.
Selain itu, terdapat kerugian intelektual. Ketika para cendekiawan, teolog, atau seniman merasa terancam oleh hukum penistaan yang ambigu, mereka cenderung melakukan sensor diri. Ini menyebabkan stagnasi diskursus intelektual, terutama dalam bidang-bidang sensitif seperti filsafat agama, perbandingan agama, atau sejarah kritik tekstual. Masyarakat kehilangan kesempatan untuk berkembang melalui kritik internal dan refleksi diri. Inovasi sosial dan pemikiran kritis terhambat, yang pada akhirnya melemahkan kapasitas masyarakat untuk menanggapi tantangan global secara cerdas dan adaptif.
6.5. Peran Negara dalam Mencegah Eskalasi Konflik
Negara memiliki tanggung jawab primer untuk memastikan bahwa kasus menista tidak dieskalasi menjadi konflik komunal. Hal ini memerlukan intervensi dini oleh aparat keamanan dan intelijen untuk memisahkan provokasi awal dari respons massa yang terorganisir. Penting bagi pejabat publik untuk menahan diri dari pernyataan yang memperkeruh suasana atau yang secara prematur mengadili pelaku di ruang publik, sebelum proses hukum berjalan. Netralitas negara dalam menanggapi tuduhan penistaan adalah prasyarat untuk keadilan.
Sayangnya, dalam banyak kasus, politisi sering menggunakan isu menista sebagai alat kampanye atau mobilisasi elektoral, memperparah polarisasi dan menjadikan hukum pidana sebagai instrumen politik. Praktik ini secara fundamental merusak integritas hukum dan keadilan, mengubah persidangan menjadi tontonan politik, alih-alih proses pencarian kebenaran yang objektif. Untuk membangun masyarakat yang tahan terhadap isu menista, diperlukan komitmen politik yang kuat untuk mendekriminalisasi isu agama dari arena politik praktis, dan mengembalikannya ke ranah etika, spiritual, dan dialog publik yang terbuka.
6.6. Analisis Mendalam Mengenai Konsep Niat Jahat (Mens Rea) dalam Pembuktian Penistaan
Dalam teori hukum pidana, pembuktian niat jahat (*mens rea*) adalah esensial. Pasal 156a KUHP mensyaratkan bahwa perbuatan dilakukan 'secara sengaja' dengan tujuan permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan. Namun, dalam praktik peradilan, seringkali sulit untuk menembus pikiran terdakwa dan membuktikan intensi yang sebenarnya. Pengadilan seringkali bergantung pada interpretasi objektif terhadap dampak perbuatan: jika perbuatan tersebut secara umum menyebabkan keresahan atau dianggap menista oleh mayoritas, maka niat jahat diasumsikan telah ada.
Masalahnya terletak pada membedakan antara 'sengaja melakukan perbuatan' (misalnya, sengaja mengucapkan suatu kalimat) dan 'sengaja menista' (memiliki tujuan utama untuk menghina dan memprovokasi permusuhan). Jika seseorang melakukan kritik teologis yang didasarkan pada riset ilmiah atau perbedaan interpretasi, tetapi kritik tersebut secara tidak sengaja menyinggung perasaan keagamaan, apakah niat jahat penistaan telah terpenuhi? Para penuntut sering berargumen bahwa dalam kasus sensitivitas keagamaan, niat jahat dapat diturunkan dari kesadaran pelaku bahwa tindakannya kemungkinan besar akan menyebabkan kerugian, terlepas dari tujuan utamanya.
Pendekatan ini—mengganti niat menghina dengan kesadaran akan potensi dampak—membuat hukum penistaan sangat luas dan berisiko. Hukum seharusnya menghukum kejahatan yang dilakukan dengan maksud buruk, bukan kesalahan komunikasi atau kecerobohan dalam memilih kata. Diperlukan revisi yang eksplisit dalam kodifikasi hukum pidana Indonesia mendatang untuk memperketat definisi *mens rea*, menuntut bukti yang jelas bahwa pelaku bertindak dengan tujuan spesifik untuk merendahkan dan memprovokasi kebencian antar golongan, bukan sekadar menyampaikan gagasan yang tidak populer.
6.7. Konsekuensi Hukum Bagi Korban Penistaan
Meskipun fokus utama hukum penistaan adalah pada hukuman pidana bagi pelaku, terdapat dimensi hukum yang sering terabaikan, yaitu perlindungan dan pemulihan bagi komunitas yang merasa menjadi korban. Komunitas yang merasa agamanya dinista seringkali tidak mendapatkan mekanisme pemulihan yang memadai di luar kepuasan melihat pelaku dipenjara. Kepuasan retributif ini bersifat sementara dan tidak menyelesaikan trauma komunal yang ditimbulkan oleh serangan terhadap identitas sakral mereka.
Diperlukan mekanisme kompensasi atau pemulihan berbasis komunitas yang diakui oleh negara. Misalnya, program dialog yang difasilitasi, pengakuan resmi atas kerugian emosional yang dialami, atau intervensi edukatif. Fokus pada pemulihan korban secara kolektif akan membantu mengalihkan energi massa dari tuntutan hukuman yang berat menjadi proses penyembuhan sosial, mengurangi politisasi kasus dan mempromosikan rekonsiliasi yang berkelanjutan. Tanpa proses pemulihan yang efektif, setiap kasus penistaan akan terus menjadi luka terbuka dalam struktur sosial.
Tantangan yang ditimbulkan oleh isu menista di masyarakat majemuk seperti Indonesia menuntut kesadaran kolektif yang mendalam bahwa kebebasan berekspresi dan perlindungan nilai sakral harus berjalan beriringan dalam konteks yang saling menghormati. Hukum pidana, meskipun merupakan instrumen penting, adalah solusi terakhir. Solusi pertama dan utama haruslah terletak pada etos kewarganegaraan, di mana setiap individu menyadari bahwa meskipun mereka berhak untuk tidak setuju dan bahkan mengkritik, mereka juga memiliki kewajiban moral untuk menjaga lidah dan tulisan mereka dari hasutan kebencian yang dapat meruntuhkan kerangka perdamaian sosial yang telah dibangun dengan susah payah. Penistaan adalah cerminan dari ketidakmampuan masyarakat untuk mengelola perbedaan secara damai; oleh karena itu, respons terhadapnya harus melibatkan seluruh elemen bangsa—dari pendidikan di sekolah, moderasi di media sosial, hingga keadilan yang ditegakkan dengan bijaksana di ruang pengadilan. Hanya melalui pendekatan multisektoral, yang mengutamakan dialog, edukasi, dan penegakan hukum yang non-diskriminatif dan proporsional, masyarakat dapat berharap untuk meredakan ketegangan yang melekat pada isu sensitif ini dan memastikan bahwa kebebasan berekspresi dapat mekar tanpa menumbalkan harmoni dan persatuan nasional.